Improvisasi Kedua - 03
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
"INI jamnya Sagara, ini bekalnya."
Sagara berlompatan mengenakan jam tangannya yang sejak semalam dicari tapi tidak ketemu di rumah, rupanya tertinggal di rumah Rini. Di kamar Nilam sewaktu anak itu tidur di sana. Pintu kamar Nilam yang terbuka setelah dimasuki Rini, entah bagaimana memancing lirikan Sahara. Pemilik kamar tidak ada padahal sepeda motornya masih di luar.
"Nilam berangkat pagi sama Mas Laksmana, ke Pasuruan," terang Rini, menjawab pertanyaan yang tak disuarakan Sahara. Pria itu beralih pada mertuanya yang mengepak isi ransel Sagara. "Katanya pulang siang, sampainya sore, nanti Iangsung ke rumah Sahara. Katanya sudah janji mau main sama Sagara."
"Nilam semakin sering ke Pasuruan. Apa mau mutasi ke sana, Bu?"
"Oh, ndak kok. Itu cuma akal-akalannya Mas Laksmana, Ibu ngerti." Rini tertawa seraya menggeleng ringan.
"Akal-akalan?" Sahara mengernyit.
"Supaya bisa seharian sama Nilam." Rini memakaikan ransel hitam itu pada cucunya. "Ah, sebentar lagi Ibu mantu lagi. Alhamdulillah. Ibu lega Nilam mulai belajar buka diri."
Sahara terdiam, sebelum memicing. Nilam membuka diri?
"Untuk Laksmana?"
"Hmm. Mudah-mudahan." Rini mengangguk riang lalu beralih pada menantunya. "Laksmana itu baik, sopan, Ibu kenal dari dulu karena sama-sama Bintang terus. InsyaAllah mampu diamanahi Nilam."
"Lebih mampu dari saya?"
Tak yakin dengan apa yang barusan didengarnya, Rini membulatkan mata. Sahara terkesiap dan sesaat mengalihkan wajah. Jelas terlihat salah tingkah namun tetap mengatasinya di balik senyuman tenang.
"Maksud saya, apakah seperti saat Ibu mengamanahkan Citra pada saya ... dulu?"
"Ah, ya, kurang lebih." Rini mengatur ulang pikirannya yang sempat ke mana-mana. "Apa Sahara juga seperti Nilam, berniat membuka diri?"
"Saya tidak berpikir ke sana."
"Untuk sekarang tidak. Nanti bagaimana?"
"Jika ya, saya tidak mengelak."
Kembali mengangguk, Rini kemudian tersenyum mengusap kepala cucunya yang sedang minum susu, sedikit lagi siap untuk sekolah.
"Ibu cuma mau pesan satu hal sama Sahara. Siapapun perempuan beruntung itu nanti, tolong jangan jauhkan Sagara dari Bapak dan Ibu, ya?"
•°•°•
Warna dasar cat dinding panti masih sama, yaitu putih, hanya sedang dicat ulang agar tampak lebih bersih. Ketika Nilam turun dari mobil, aroma segar cat menguasai hidungnya dari belasan kuas yang digunakan anak-anak untuk memperbarui warna dinding. Intan yang baru meletakkan senampan pisang goreng di meja di halaman segera menyambut Nilam dan Laksmana.
"Anak-anak nggak sekolah, Bun?" tanya Nilam setelah mencium punggung tangan Intan.
"Libur, sekolahnya dipake tes CPNS," jelas Rini. "Masuk, Nduk. Mas Laksmana juga. Saya bikin soto untuk sarapan."
Laksmana membungkuk sopan. "Mumpung masih pagi, saya langsung ke kantor sa—"
"Mas Bintang suka banget sotonya Bunda Intan. Apalagi sama perkedel. Perkedelnya ada, kan, Bun? Mas Bintang makannya lahap bener, seneng ngelihatnya," gumam Nilam. Tidak peduli bahkan seandainya Laksmana tersinggung, sebab niatnya memang untuk menyindir pria itu.
Laksmana menyerah, mengembus dan tertawa ringan. Pada akhirnya mengikuti kemauan perempuan itu.
•°•°•
Bukan tanpa alasan jika Bintang menyukai soto masakan Intan. Harus Laksmana akui sahabatnya itu mempunyai lidah yang satu selera dengannya, yakni penggemar rasa kuat. Banyaknya bumbu berbanding lurus dengan kenikmatan.
Nilam menggeleng heran saat Laksmana dengan malu-malu minta tambah, hanya kuah dan sohun saja.
"Mas suka sohun?" selidik Nilam, mengambilkan apa yang diminta Laksmana.
Pria itu mengangguk. "Banget."
Nilam mengulum senyum. "Mas Bintang suka perkedelnya."
Laksmana membalas senyum itu, percaya diri. "Mulai sekarang, belajar ingat dua hal, Nilam. Satu, aku suka sohun. Dua, aku suka kamu. Oh, rasanya kamu sudah ingat yang kedua karena membandingkan aku sama Bintang. Kamu penasaran apa aku lebih baik dari Bintang atau sebaliknya?"
"Mas!" Nilam memelotot seram, bagaimana bisa Laksmana mengatakan hal seringan itu di depan Intan dan anak-anak lain?
Intan menanggapi dengan tawa ringan, menjaga agar suasana makan tetap kondusif.
Agenda panti hari ini adalah bersih-bersih barang lama. Panti terlihat kacau saat semua barang di lemari depan dikeluarkan, yang kebanyakan adalah buku-buku sumbangan. Di antara tumpukan itu, Nilam menemukan satu buku yang dingatnya.
Nilam meraihnya, menyisihkan tumpukan buku lain. Sebuah album foto bersampul plastik merah yang warnanya sudah pudar.
Menilai dari fisiknya, Laksmana bisa memperkirakan buku itu berusia sekitar 20 tahunan. Pria itu mengambil tempat di sisi Nilam yang kini tengah membolak-balik setiap halaman, bersama senyum mengenang menghiasi wajahnya.
Laksmana turut mengamatinya, setiap lembar kolase foto-foto itu masih tampak baik meski oksidasi kecokelatan menegaskan kesan tuanya.
"Hayo, Nilam yang mana?" tanya Intan menantang, selagi tangannya bekerja memilah buku-buku.
Nilam menyunggingkan senyum sinis, menggeser album fotonya pada Laksmana. "Aku yang mana?"
Satu alis Laksmana naik. "Kalau aku benar, apa hadiahnya?"
"Bihun."
"Kencan."
"Not that fast. Hanya aku pertimbangkan kalau benar," gumam Nilam, disambut lirikan penuh arti Intan.
"Okeee!" Semringahnya mengembang, Laksmana menyingsingkan lengan kemejanya dan mulai membuka lembar pertama. Matanya mulai memindai setiap wajah pada foto-foto. "Nilam itu ... pasti waktu bocah yang ... paling burik rupa. Karena sekarang gedenya cantik."
Nilam mendelik. "Eh kurang ajar. Teori darimana, hah?!"
"Nilam waktu kecil memang tomboi." Intan terkikik.
"Tapi nggak burik, Bun!"
"Lupa kamu, Nduk? Siapa yang ngasih obat merah setiap kamu habis nyemplung parit, nyari iwak wader, mulih-mulih badane bocel kabeh [mencari ikan wader, pulang-pulang badannya lecet semua]?"
"Bocel ya bocel, lecet, nggak burik!" Nilam ngotot.
Perdebatan Nilam-Intan terus berlanjut, diikuti sederetan nostalgia masa kecil yang terbuka bersama setiap kalimat keduanya. Sedangkan Laksmana benar-benar serius mencari Nilam di antara belasan anak yang dia taksir berusia di bawah 10 tahun.
Rasanya tidak satupun yang tampak seperti Nilam. Tetapi dia menemukan seorang anak yang familier.
Seorang anak laki-laki; bukan perempuan.
Laksmana berusaha mengingat wajah ini, namun tak menemukan apapun dari setiap ruang ingatannya. Hanya perasaan tidak asing yang samar. Mengusik pikirannya, hingga dia menyikut Nilam pelan.
Nilam merapat, melihat sosok di mana telunjuk Laksmana berlabuh.
"Ini siapa?"
"Wih?" Nilam membulatkan mata. "Ini aku. Mas kok bener?"
Laksmana menoleh skeptis. "Kamu?" Dia mengerjap tak yakin. "Ini cowok, kan?"
"Mana, sih?" Intan mencondongkan tubuh sesaat, kemudian tertawa. "Iya ini Nilam. Persis cowok, ya? Celana gombor cingkrang, nggak mau rok. Kaus belel. Topi diputer ke belakang. Apalagi potongan rambutnya cepak. Terus mukanya merengut ae. Nggak ada cewek-ceweknya."
Nilam mengibas rambut panjangnya. "Kan sekarang cakep."
Tenggelam dalam kebingungan sendiri Laksmana kembali mengamati anak laki-laki yang disebut sebagai Nilam itu dengan kening berkerut. Dia tidak yakin, di mana dia pernah bertemu anak ini.
•°•°•
Air menetes dari langit dengan intensitas rendah saat Nilam dan Laksmana baru keluar dari sebuah masjid di pinggir kota Pasuruan. Keduanya segera kembali ke Altis silver dan Laksmana melajukan kendaraan itu ke arah Malang. Kontras dengan awan pekat yang menaungi Bumi, Nilam terlihat bersemangat mendengarkan penyiar radio yang membacakan salam dari penelepon.
"Masih jaman gitu, ya, kirim-kirim lagu lewat radio?" Perempuan itu terkekeh geli, melirik Laksmana yang fokus dengan jalanan. "Mas Mana dulu gini?"
"Pernah." Yang ditanya mengangguk kecil. "Dulu kirim buat gebetan."
"Pacar?"
"Mantan calon pacar, sebelum kita pisah karena lulus dan kuliah beda pulau."
Nilam memberengut masam. "Dulu aku sering denger radio, sambil belajar, nggak pernah ada yang kirimin lagu."
Sedangkan Laksmana mengangkat senyum bibirnya. "Aku kirimin mau?"
"Mau, mau!" Raut masam itu kini berganti tawa cerah yang selalu Laksmana senangi. "Dynamite-nya BTS, ya!"
Laksmana melenguh. "Astaga, itu lagunya Mbak Tari resepsionis. Romantic love song, kenapa, Lam? Aku kan—argh!"
Mobil itu selip dan Nilam segera berpegang pada handle pintu sebagai tindakan spontan karena tubuhnya oleng. Bahu jalan licin serta kondisi tidak beres pada mobil membuat Laksmana menepi sesegera mungkin. Berbekal payung di bawah jok, Laksmana keluar memeriksa keadaan.
Tak lama, dia mengetuk jendela penumpang depan di mana Nilam berada dan perempuan itu menurunkan kaca.
"Bannya pecah. Aku ganti sebentar, ada spare di bagasi. Kamu mau di dalam atau keluar? Tapi ini deres banget."
Nilam celingukan sesaat, sebelum matanya menemukan tempat yang dirasa menarik. Sebuah bangunan semipermanen yang menyediakan bakso, pangsit, dan mi ayam. Nilam jelas lebih memilih di sana daripada bengong di mobil.
Sementara Laksmana berjuang mengganti ban di tengah guyuran hujan, Nilam memesan dua porsi mi ayam. Sambil menyesap sedikit teh panas yang telah tersaji di awal, kedua matanya lekat hanya tertuju pada Laksmana. Sekelilingnya tampak buram, kecuali sosok berjas hujan putih yang sedang berlutut di tanah becek demi memasang dongkrak hidrolik.
Senyum kecil menghiasi wajah Nilam.
Mengagumkan bagaimana selama delapan tahun ini Nilam tidak sadar bahwa Laksmana bukan sekadar teman yang berdiri di sisi Bintang. Dia juga pria mandiri yang enggan berpangku tangan. Tahu persis apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah sendiri dengan tangan sendiri.
Kedua pesanan kini telah dihidangkan. Asap putih beraroma umami menggoda penciuman Nilam, tetapi dia putuskan untuk makan bersama Laksmana. Sekian menit berselang akhirnya pria itu duduk bersamanya, setelah mengembalikan perkakas ke bagasi.
Setengah rambutnya menitikkan air, begitu pula keningnya yang basah. Nilam menarik beberapa lembar tisu dari kotak di meja. Entah dorongan dari mana membuatnya ingin mengeringkan kening lelah itu.
Tetapi Laksmana yang tidak paham maksud perempuan itu segera menerima lembaran tisu tersebut disertai senyum berseri. "Makasih, Lam." Lalu dengan santai mengelapi keningnya sendiri.
Kecanggungan menyelubunginya, Nilam merapatkan bibir lantas segera menarik kembali tangannya. Hatinya menggerutu. Laksmana selalu mengatainya perempuan tidak peka, tapi nyatanya pria itu sendiri tidak lebih peka darinya.
Hawa dingin serta semilir angin membuat keduanya makan dalam diam dan lahap. Habis dalam sekejap, menyisakan teh panas yang menunggu untuk disesap.
Dari bibir gelas, Laksmana melirik rikuh pada perempuan di sisinya.
"Tang, I'm sorry," bisiknya.
Nilam membalas lirikan itu. "Mas ngomong ke siapa?"
"Sorry, ini belum dimulai tapi istrimu sudah kuajak susah. Perempuan mana mau diajak hidup susah?"
Nilam tertawa pelan sebelum meletakkan gelasnya yang hampir kosong. "Aku sih nggak mau. Tapi nikmat mi ayam panas-panas pedes pas hujan adem manalagi yang kamu dustakan, Mas?"
"Are you sure? Aku dengar salah satu penyebab perempuan kesal sama laki-laki adalah karena kendaraannya mogok pas jalan bareng."
"Dan Mas pasti belum dengar alasan mengapa pemeran laki-laki di hampir setiap MV selalu diperlihatkan sedang memperbaiki mobil, adalah karena selain memasak, otomotif adalah skill yang nggak pernah gagal bikin pria kelihatan seksi di mata wanita."
Sepasang alis Laksmana terangkat.
Tak tahu harus merespon apa, dia mengalihkan mata kembali pada mangkuk kosong. Darah seakan berkumpul memenuhi kedua pipinya. Jadi begini rasanya saat dipuji perempuan yang disukai.
Nilam turut mengalihkan pandang karena geli. Reaksi Laksmana di luar perkiraannya, dan entah mengapa terlihat menarik.
"Nilam, kamu ... apa kamu benar-benar nggak ingat masa lalumu?"
Nilam menoleh, kembali menemukan tatapan serius pria itu padanya.
"Aku bahkan sudah lupa seperti apa rupanya orang yang dulu aku panggil 'tante', yang dulu ninggalin aku di panti itu, Mas. Sebelumnya, sejauh yang kuingat, kami cuma hidup berdua. Nggak pernah ada yang kupanggil 'mama' apalagi 'papa'."
"Apa nggak ada data apapun tentang 'tante' ini?"
Nilam menggeleng. "Kata Bunda, data yang dipakai palsu. Orang-orang yang bermaksud meninggalkan anak selamanya di panti sering begitu."
Laksmana hanya bergumam dan mengangguk, kemudian menghabiskan tehnya. Meyakini dalam hati bahwa bocah memang terkadang terlihat mirip satu sama lain. Ya, mungkin.
•°•°•
Perasaan berat dan pening menyiksa kepala Nilam saat kendaraan memasuki kawasan Malang kota. Sampai di rumah, Nilam segera membanting diri di ranjang setelah sebelumnya mendapat izin Laksmana untuk tidak kembali ke kantor. Hidungnya gatal, wajahnya sesak dan panas seakan mau meledak.
Tanpa pikir panjang, diminumnya satu tablet generik pereda gejala flu. Dalam beberapa menit kantuk menyerangnya, dan kini dia sudah hampir tertidur.
Rasanya ada hal penting—pekerjaan penting—yang harus Nilam lakukan sepulang dari Pasuruan tetapi kepalanya terlalu sakit untuk mengingat. Sudahlah. Toh besok libur.
•°•°•
Maaf sekali aku telat 🙏🏻
Anakku sakit, it's been 2 weeks and he's not getting any better. Dia isolasi mandiri di rumah jadi hampir sepanjang hari aku harus siaga nemenin main.
Untuk beberapa waktu ke depan aku juga masih susah menemukan waktu nulis dan publish, seenggaknya sampai anakku bener-bener sembuh. Semoga segera. Maaf banget.
Dan terima kasih atas semangatnya ninggalin jejak di setiap bab, bahkan sampai ditagihin, aku terharu 😭 Beneran, itu penyemangatku sekaligus reminder buat nyicil tulisan di sela-sela waktu, minimal sebelum tidur gitu, meskipun kadang dapetnya cuma 300 kata.
Kusatsu, Shiga, 24 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top