Improvisasi Kedua - 02

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"AKU?! Jadi ... istrinya Mas Mana? HUAHAHAHA ups!" Nilam terkekeh menirukan seseiklan sampo yang pernah dilihatnya dari televisi.

Jika Nilam mengira Laksmana akan tertawa bersamanya, dia salah besar. Alih-alih tertawa, pria itu justru mengeraskan rahang hingga Nilam kicep di tempat. Dia mulai merasa ada yang salah.

Nilam menyelisik raut sahabat mendiang suaminya itu.

"Mas? Mas Mana bercandanya nggak lucu."

Menekan nyeri di dada, Laksmana membuang tatapannya ke jendela. "Itu bukan reaksi yang sopan terhadap confession seseorang, Nilam. Apa dulu kamu juga begini sama Bintang? Kalau kamu menolak aku at least do it properly because confessing takes courage. Do I look like a joke to you?"

Nilam menggeser duduknya.

Wajahnya memanas dengan cepat. Satu tangan membekap mulut secara reflektif. Jantungnya berdetak di luar kendali hingga otaknya tak mampu mencerna apapun lagi.

"Ma-maaf ...." Hanya itu yang terlontar spontan.

"Hmm." Laksmana mengangguk pelan. "Sudahlah. Ayo pulang."

Kali ini Nilam yang menahan kemeja pria itu saat hendak beranjak.

"Maaf!" Nilam bersungguh-sungguh, meski tetap tak tahu harus bersikap bagaimana. Entah bagaimana rasanya sakit. "Maaf. Maaf, Mas! Aku sama sekali nggak mengira Mas Mana suka sama—"

"Lalu apa yang buat kamu mengira aku bercanda?"

Nilam bungkam untuk kesekian kalinya. Karena pertanyaan itu, lebih-lebih sorot kecewa Laksmana yang jelas ditujukan untuknya. Astaga, mengapa jadi serunyam ini.

"Mas—" Nilam menghimpun nyali. "Mas Mana mau jawabanku? Properly?"

"Dari reaksimu, aku sudah tahu jawabanmu."

"Maaf—"

"Menolak itu hakmu sepenuhnya. Aku nggak akan merajuk dan sengaja membuat kamu merasa bersalah hanya supaya kamu nerima aku, Nilam." Kemudian, Laksmana tertawa tulus, mengacak poni perempuan gelisah di depannya. "Setidaknya sekarang aku bisa move on dengan lega, karena sudah berhenti menahan perasaan selama delapan tahun. Ayo pulang."

•°•°•

Untuk kesekian puluh kalinya Nilam menggeleng takjub pada tumpukan lembar jawaban esai di atas pahanya. Rini berhenti mengetik, sejenak memperhatikan menantunya yang sibuk mencoret sana-sini dengan wajah tertekuk.

"Banyak yang di bawah passing grade, ya, Nduk?" selidik Rini.

"Yaitu, Bu. Ngapain aja sih mereka di rumah?! Nilam sudah woro-woro di kelas, di grup, besok mid test bangun ruang materi sekian sampai sekian. Sudah ada contoh soal dan pembahasannya. Masih juga di bawah 70?!"

Kembali Rini mengamati daftar nilai yang dimasukkannya pada worksheet laptop Nilam.

"Yang di bawah 70 ini cowok semua. Pada bergadang nonton EURO mungkin, Nduk. Delok'en kuwi [lihat itu] Bapakmu jam 2 pagi njerit 'GOOOLLL' duh marai Ibu mak tratap jantungen [bikin Ibu kaget jantungan]."

Berpikir sesaat, Nilam lantas mengangguk dan mengumpulkan lembar koreksiannya. "Palingan iya. Mas Laksmana juga—"

Ketika sorot kecewa Laksmana melintasi ingatannya, kalimat Nilam terputus.

"Mas Laksmana nonton EURO juga? Bergadang juga?" tanya Rini.

"Hm. Iya."

Nilam tak ingin berkata lagi. Dia segera menumpuk lembaran yang sudah dikoreksinya di sisi laptop lalu menutup pena. Rini melanjutkan bantuannya untuk Nilam, memasukkan nilai ke daftar di laptop, sambil kembali bersuara.

"Dulu setiap World Cup, EURO, atau apalah pokoke bal-balan [pokoknya main bola] pasti Mas Bintang keluar sama Mas Mana. Nobar di kafe. Pulang-pulang habis subuh langsung tidur," kenang wanita itu, tanpa mengalihkan matanya.

Nilam menyesap sedikit segelas susunya. "Iya, bener, Bu." Kemudian mencondongkan tubuh pada mertuanya. "Nilam diajak segala coba. Dasar itu berdua. Nggak mikir apa, jaman itu kan Nilam ngekos. Jam malamnya jam 10, buka gembok jam 6 pagi. Terus habis subuh Nilam tidur di mana? Ngemper di ubin masjid?!"

Rini tertawa pelan. "Harusnya Nilam mampir sini. Waktu itu belum dikenalin ke Ibu, sih."

"Biar sudah dikenalin juga Nilam nggak berani. Nilam kan putri malu."

Rini melirik skeptis. Seringai Nilam melebar.

"Mas Laksmana itu ... apa belum mau nikah?"

Menurunkan gelasnya, Nilam menghindari tatapan Rini. "Mana Nilam ngerti, Bu."

"Seangkatan Mas Bintang berarti 33. Belum ada calon istri?"

Nilam menyesap susunya lagi. "Nggak tahu." Wajahnya menghangat padahal susu itu dingin.

"Dia suka sama Nilam, lho."

"Iya ... hah?"

Nilam terbelalak.

"Ibu kok tahu?!"

"Lah, Nilam juga sudah tahu."

"Mas Mana baru bilang—"

"Hooo ... akhirnya sudah berani maju."

Nilam mengerjap tak paham, hingga akhirnya Rini menceritakan bagaimana dia bisa tahu semua itu. Bagaimana tiga tahun lalu Laksmana mengkhawatirkan Nilam di rumah sakit, dari situlah semua bermula. Bahkan Usman juga mengetahuinya. Lidah Nilam terasa kebas saat Rini mengakhiri penjelasannya.

Delapan tahun, demi Tuhan.

Untuk apa Laksmana mempertahankan perasaan selama itu? Tindakan yang bodoh, sangat bodoh, menurut Nilam. Sudah pasti pria itu punya pilihan untuk move on dan menikahi perempuan lain; mengapa harus menuruti hati sampai delapan tahun?

Nilam bergidik. Jangan-jangan, alasan Laksmana selalu menolak dijodohkan selama ini adalah ....

Dan kalau Nilam tidak salah, Laksmana pernah berkelakar dengan mengatakan bahwa dia bertepuk sebelah tangan dengan istri orang. Jangan-jangan yang dimaksud adalah ....

Aish!

Nilam mengetuki tempurung kepalanya. Sungguh. Bagaimana bisa dia sama sekali tidak peka terhadap pria itu sampai delapan tahun?!

"Bapak dan Ibu ndak akan menghalangi, misalnya Nilam berniat menikah lagi."

Pandangan Nilam kembali pada Rini yang kini tersenyum, setelah menutup laptop dan menumpuk lembar koreksian di atasnya.

"Sudah sewajarnya berkeluarga untuk perempuan seusia Nilam. Berumah tangga, hidup bersama suami dan anak. Dulu Ibu pikir, Mas Bintang juga berkesempatan membangun hidup seperti itu sama Nilam. Sayangnya waktu itu Ibu lupa, umur kita yang punya Gusti Allah."

"Nilam nggak ada pikiran untuk menikah lagi."

"Mungkin belum, Nduk. Allah maha membolak-balik hati," ralat Rini segera. "Bisa jadi besok Nilam mau menikah sama Mas Laksmana. Bapak sama Ibu restu dari sekarang."

Nilam terperangah. "Ibu langsung restu?!"

"Ada laki-laki baik yang berkenan sama anak perempuan Ibu, dan Ibu kenal sangat baik sama orangnya. Ndak ada alasan untuk Ibu ndak merestui. Nilam anak Ibu, kan?"

"Ta-tapi—" tatapannya turun karena ragu, "Nilam nggak mau pergi jauh-jauh dari Bapak sama Ibu. Di sini sudah enak, Nilam mau di sini, Bu."

"Mas Laksmana kan domisili Malang. Nilam ndak bakal jauh dari Ibu," gumam Rini. "Alasan Nilam karena itu thok? Cuma karena ndak mau jauh dari Bapak-Ibu? Bukan karena ndak cinta?"

Nilam menggaruk kepala. Mumet.

"Selama ini ya Nilam biasa aja karena nggak ngerti, Bu. Tapi kalau sudah dikasih tahu gini, gimana Nilam nggak kepikiran? Dasar Mas Mana."

Rini menepuk paha menantunya dua kali. "Nilam ikuti hati saja. Sama seperti dulu Nilam memutuskan nerima lamaran Mas Bintang. Ndak usah buru-buru, yang penting Nilam paham betul apa yang Nilam perlu."

Menimbang sesaat, Nilam tersenyum mengangguk. "Jadi ABG labil lagi."

"Nilam memang masih cocok jadi ABG. Ibu malah kepikiran Mas Sahara."

Nilam mengulum lidah. Kenapa lah Tuan PUEBI itu.

"Ibu takut kalau Mas Sahara nikah lagi, Sagara jadi jarang main ke sini karena sudah ada mama barunya," keluh Rini. "Waktu ada Mbak Citra kan hampir tiap hari ke sini. Sekarang Sagara sudah SD, tambah sibuk, jarang ke sini."

"Hmm ...." Nilam berpikir sejenak. "Ibu nggak usah khawatir, sih. Kecuali Mbak Citra, emang masih ada perempuan yang mau sama Mas Hara? Kayak meja kayu jati pernisan."

Rini mendelik. "Hush! Itu mantu Ibu paling ganteng, tau!"

"Ya mestilah paling ganteng! Mantu Ibu satu lagi kan Nilam? Kalau Mas Hara paling ganteng otomatis Nilam paling cantik."

"Wis Ibu iya-iya thok biar Nilam bahagia," cebik Rini, yang malah disambut senyum jemawa oleh Nilam. "Ibu denger dari Bu Aini, banyak yang tanya Mas Sahara sudah mau cari istri lagi apa belum? Sahara-nya cuma senyum."

"Nilam nggak heran, memang mukanya begitu."

"Kamu ini, jangan sinis kebangetan, Nduk. Awas nanti cinta."

Nilam hampir tertawa saat menghabiskan susunya. "Ganteng, sih. Sayangnya bukan tipe Nilam sama sekali."

•°•°•

Laksmana tidak paham ada apa, tapi demi kesopanan dia tetap menerima sekotak karton besar berisi kue basah plus nasi bungkus yang dibelikan Rini untuk bekal ke Pasuruan. Pasalnya, baru kali ini ibu sahabatnya itu sampai mau repot-repot begini. Biasanya sekadar menjamu dengan teh dan gorengan untuk sarapan di tempat.

Sesekali Laksmana melirik perempuan di sampingnya yang memangku kotak besar itu. Sejak tadi selalu melihat ramai aktivitas pagi jalan raya tanpa mau melirik Laksmana sedikitpun. Menunggu kemacetan depan pasar Lawang terurai, Laksmana merebahkan dada memeluk setir.

"Nilam ... aku bosen."

"Oh." Nilam hanya mengerling. "Iya, sabar."

Bibir Laksmana mengerucut. Normalnya, Nilam akan membalas dengan sesuatu seperti, 'yaudah sana turun bantuin tuh polwan cakep sama kang parkir ngatur macet'.

"Mau kue."

Dengan canggung Nilam membuka dan memperlihatkan apa yang dibawakan mertuanya pada Laksmana. Pria itu menunjuk sebuah gulungan ketan yang dibungkus daun pisang.

"Mau lemper. Bukain."

Nilam melakukan apa yang diperintah tanpa berkata apapun. Menyisakan setengah bagian daun pisang untuk pegangan, dan menyerahkannya pada Laksmana. Namun kemudian pria itu mengulum senyum manja.

"Suapin."

Menyadari jebakan Laksmana, Nilam mendengkus kesal dan menggigit lemper itu sendiri besar-besar. Laksmana kontan tertawa lantas menegakkan tubuh, mengambil lemper lain dari kotak yang kali ini dibukanya sendiri.

"Kamu kenapa, sih, Lam? Baper karena baru sekali nolak cowok? Kepikiran?"

Nilam menghempaskan punggung, menatap lurus ke depan, menelan sebelum menjawab. "Maaf, ya. Aku memang baperan."

"It feels nice, actually. Kapan lagi kamu baper sama aku. Selama ini dikacangin."

Otomatis Nilam menoleh dan mendelik Laksmana.

"Mas mau apa, sih?!"

"Kamu."

Nilam bersumpah, terakhir kali jantungnya berlompatan sehebat ini adalah saat Bintang memintanya jadi istri di hadapan Intan dan seluruh anak panti. Senyum Laksmana pagi ini mengingatkannya pada seorang pria yang dahulu tersenyum menahan malu, namun tak gentar menatap matanya demi mendengar jawaban yang diharapkan.

"Aku ingin tahu, sedikit saja, apa kamu pernah mempertimbangkan aku sebagai pria, bukan atasan atau teman suamimu?"

Alih-alih menjawab, Nilam membasahi bibir. Justru pertanyaan lain yang terlontar spontan dari kegelisahannya.

"Apa Mas Mana selalu mempertimbangkan aku sebagai perempuan, bukan bawahan atau istri teman Mas?"

Laksmana tertunduk. Terlalu canggung untuk menatap kedua mata gamang Nilam secara langsung.

"Aku selalu mendikte hatiku bahwa kamu selamanya mustahil. Sejak Bintang pergi, aku nggak bisa berhenti memikirkan kamu sebagai kemungkinanku."

•°•°•

emang nggak ada yang pro Laksmana? aku team Laksmana btw hiwiwiwiww

160 votes semua bab baru kita next

Kusatsu, Shiga, 20 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top