Improvisasi Kedua - 01

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

TIGA tahun yang lalu rasanya masih seperti kemarin, saat Nilam kehilangan suami dan bayinya hanya berselang tujuh bulan.

Berlutut di sisi nisan kayu berukiran nama Rembulan, Nilam membasahi pusara gersang itu dengan sebotol air yang dibawanya. Senyumnya terulas pahit ketika matanya tertuju pada dua pusara lain sekian meter di sana yang telah diziarahinya lebih dulu. Waktu itu, Usman tidak bisa menempatkan cucunya di sebelah makam sang papa karena keterbatasan lahan. Setidaknya masih berada di lokasi yang sama sudah cukup bagi Nilam.

Lagipula Nilam percaya bahwa yang berjauhan hanya jasad. Ruh keduanya akan selalu bersama untuk saling melengkapi. Bintang tidak akan merasa sepi.

Sedangkan Nilam, tiga tahun ditinggalkan sendiri kini membuatnya akrab dengan sepi.

"Assalamualaikum, Rembulan, ini Pakde."

Nilam menengadah ketika Sahara ikut berlutut di depannya, pria itu tersenyum meletakkan buket bunga kecil. Kemudian dia memejamkan mata, melafalkan doa dalam hati. Nilam menutup botol airnya dan turut berdoa.

Keduanya beranjak setelah Nilam menyetujui untuk pulang, namun seorang remaja yang datang tiba-tiba membuat mereka berhenti. Rahang Nilam mengeras saat pemuda itu melayangkan senyum padanya, bergantian dengan Sahara.

"Ini ... anaknya Mbak Nilam, ya?"

Penjara boleh membebaskan, semua orang boleh melupakan, waktu terus berjalan. Tetapi Nilam bersumpah tidak akan pernah melontarkan satu katapun pada pemuda tanggung ini. Harusnya alur hidup Nilam sempurna jika bukan karena ketololan si berengsek ini yang merusak segalanya.

Pemuda berkaus putih itu berlutut di depan makam, meletakkan buket bunga lain di sisi buket Sahara. "Halo, Adik."

Berlama-lama di tempat ini membuat mata Nilam panas. Dia memilih melangkah tak acuh meninggalkan makam, namun kemudian tubuhnya tersentak karena lengannya dicekal. Dan pemuda itu kini menatapnya dalam dengan kesungguhan terpancar jelas.

"Maaf, Mbak. Maafin aku, Mbak. Aku tahu maaf saja nggak akan cukup untuk semua kesalahanku, tapi aku nggak akan berhenti sampai Mbak Nilam memaafkan aku."

Segera Nilam menepis pemuda itu lantas pergi sebelum genangan air matanya menjatuhi tanah pemakaman. Samar-samar di belakang, Nilam juga mendengar pemuda itu memohon ampunan Sahara. Terserah saja kalau hati Sahara seluas namanya, gurun Sahara, dan mampu memaafkan pemuda itu. Nilam tidak peduli, dan sudah jelas dia tidak akan sudi.

Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa.

***

"Tadi Ray bilang sama saya, dia ingin mendaftar program homeschool di Bright Brain."

Baru sampai di halaman rumah, baru mematikan mesin mobil, Sahara menyebutkan satu nama yang sangat Nilam benci dan otomatis membuat perempuan itu memicing.

"Bright Brain nggak menerima calon siswa dengan catatan kriminal yang menyebabkan tewasnya korban," desisnya geram.

"Ada syarat seperti itu? Really?"

Nilam terdiam. Jujur saja itu hanya sentimen pribadinya.

"Jangan harap aku mau jadi tutornya." Hanya itu yang dapat dia katakan untuk saat ini. "Anak nggak punya adab. Bagusnya dia masuk sekolah militer, dipelonco, terus mati."

"Nilam ...."

"Mas! Dia memang nggak sopan! Contoh sederhananya, dia manggil Mas dengan Om. Om Sahara, coba! Om otakmu nyangsang di dengkul?!"

Sahara mengerjap, merapatkan bibir sesaat. "Dari kacamata remaja 17 tahun, saya memang Om-om."

"Tapi dia manggil aku Mbak!"

"Karena Nilam memang masih muda, dan ... cantik."

"Mas kan juga ganteng!"

Sahara tersenyum kecil. "Thank you."

Dan dengan sialannya, pipi Nilam memanas dan dia yakin pasti juga merah.

"Ma-maksudku Mas itu juga masih muda. Nggak pantes dipanggil Om ya kecuali yang manggil balita atau bocah SD lah maksimal. Nggak ada akhlak bener bocah 17 tahun manggil Om ke Mas!" Nilam mengelak.

"Kalau Nilam belum tahu, saya sudah kepala empat."

Nilam terbeliak. "Sumpah?!"

"Nilam mengira usia saya berapa?"

"Seumuran Mbak Citra, bukan? Tuaan setahun dua tahun lah. Tiga limaan lebih dikit."

"Empat puluh dua, akhir tahun ini."

"Oh." Raut Nilam berubah drastis. "Oke."

Nilam mengalihkan wajahnya karena malu. Demi Tasya Farasya, Nilam bersumpah Sahara memang tidak terlihat setua itu. Usia dan wajahnya mengecoh sekali. Mungkin karena rautnya yang selalu datar, jarang berekspresi, jarang berkerut, jadi smile lines-nya sangat samar? Mungkin Sahara sering berendam SK-II? Mungkin diam-diam Sahara pasang susuk? Entahlah Nilam tidak berani berspekulasi.

"Bicara tentang sekolah," Sahara bersuara kembali, membenahi bridge dengan jari tengah, "Sagara juga ingin saya daftarkan untuk bimbingan private. Apa itu bisa di Bright Brain, tempat Nilam?"

Nilam menoleh berseri dan mengangguk. "Bisa, Mas, bisa banget! Ntar aku rekomen tutornya siapa aja." Lalu keningnya berkerut. "Tapi Sagara udah pinter, deh, Mas. Semester lalu ranking satu. Mau private apalagi?"

"Kemampuan Sagara belum terarah. Detilnya akan saya jelaskan nanti. Saya hanya perlu konfirmasi satu hal saja."

"Ya?"

"Saya minta tutornya Nilam sendiri."

Nilam membulatkan mata. "Aku tutor matematika SMP-SMA, Mas. Other than that, kalau Sagara mau belajar sama aku nggak perlu daftar BB segala lah. Langsung aja ke sini, aku ajarin gratis. Ponakan sendiri juga."

"Bagaimana pun saya ingin membayar karena menggunakan jasa Nilam."

"Ya Allah, menggunakan jasa. Dikata provider internet," kekeh Nilam. "Kalau Mas emang mau bayar ya jajanin aku apa kek. Gitu aja. Ntar aku kirim jadwalku bisanya hari apa aja, aku yang ke rumah Mas."

Menimbang sesaat dalam diam, akhirnya Sahara mengembus dan mengangguk.

"Baik. Asalkan tutornya Nilam."

Oke ... Nilam merasa ini lucu.

Nilam menyipitkan mata, tersenyum tengil. "Hmm? Harus Nilam banget, Mas? Emang Mas Hara tahu aku di kelas gimana? Fyi, Mbak Nilam ini termasuk tutor receh, banyak mulut, kang ngomel, galak, sering mendelik ala Suzana, herannya anak-anak suka aja sama aku. Ya aku memang cantik kayak Mas bilang tadi sih, I know."

Sahara mengalihkan wajah sesaat, mengulum senyum. "Ya, Nilam adalah sejenis pengganggu ketenangan yang perlu saya hindari."

"Lah, terus tadi bilang tutornya harus Nilam? Nggak konsisten ya Anda!" Raut Nilam berubah kecut.

"Karena saya butuh guru yang mengenal Sagara personally. Mungkin bukan guru, lebih condong ke teman. Lebih banyak permainan yang mengasah keterampilan daripada membaca textbook. Sagara sudah cukup belajar di sekolah, saya harap saya bisa mendampingi dia main di rumah tapi tuntutan rumah sakit makin tinggi. Apa saya bisa minta tolong Nilam?"

"Minta? Enak aja minta. Jajanin!" Nilam tertawa menjulurkan sedikit lidah. "Ya sudah sih kalo cuma games nanti aku pikirin. Aku harus ngantor." Dia segera mencangklong tas, bertanya terakhir kali sebelum turun mobil. "Ada yang bisa dibantu lagi, Bapak Sahara?"

Mengamati gerak-gerik perempuan di sisinya, Sahara terdiam sesaat, memiringkan kepala.

"Panjang."

Nilam tersenyum tak yakin. "Apanya?"

"Rambut Nilam, saya baru sadar sudah panjang. Boleh saya ...." Sahara menggantung pertanyaannya karena ragu. Nilam memajukan wajah, menanti kelanjutan dari pria yang kini mengulurkan jemarinya, juga ragu-ragu, seakan ingin meraih sesuatu. "Sentuh?"

Nilam tak bereaksi selama sekian detik, hanya mengait pandang dengan pria di hadapannya.

Sebab permintaan izin yang kaku barusan sukses membuat jantungnya bertalu kencang. Sahara benci naluri lelakinya yang lancang, namun diam panjang Nilam dia artikan sebagai 'ya'. Uluran tangannya perlahan melewati bahu Nilam, ke belakang tengkuk, meraih sejumput helai rambut kucir kuda perempuan itu.

Rambut yang sejak tadi berayun ringan bersama setiap gerakan Nilam, sungguh menggelitik pikiran Sahara.

•°•°•

Panas. Nilam kepanasan sekali.

Angin sejuk yang membelai sepanjang perjalanan menuju Bright Brain sama sekali tidak menolong mendinginkan wajahnya. Setelah memarkir skuternya, Nilam langsung melesat ke resepsionis, berniat ngadem di bawah AC. Namun sayang sekali pipinya masih saja terasa panas.

Penyebab panas dalam ini adalah kepalanya yang tidak bisa mengenyahkan wajah Sahara ketika meminta izin menyentuh rambutnya. Kebiasaan minta izin Sahara pada dasarnya bagus karena pria itu menjunjung tinggi adab dan sopan-santun, tetapi astaga, tidak baik untuk jantung Nilam. Apalagi tatapan di balik kacamatanya yang membius itu. Jangan-jangan dulu setiap Sahara mau penetrasi juga minta izin dulu pada Citra. Demi apapun kebiasaan minta izin Sahara itu harus dihentikan.

Ya Tuhan, Nilam benci pikirannya.

"Nilam."

"Apalagi sih, Mas?!" Nilam menggebrak meja.

"Wah, baru kali ini saya dipanggil 'Mas'."

Nilam mengerjap mendapati seorang wanita ramah berpostur ideal yang cukup dikenalnya. Senyum ringkih Nilam terkembang saat menyalami wanita itu, bergantian dengan Tika, si resepsionis.

"Maaf, Bu Winda, saya pikir orang lain," ujar Nilam tak nyaman.

"Nggak papa." Wanita yang disebut Winda itu menepuk lengan Nilam dua kali. "Nilam sehat? Apa kabar?"

"Alhamdulillah baik. Ibu apa kabar? Lama nggak ketemu." Nilam berbasa-basi.

"Baik juga." Winda tersenyum, mengangkat sebuah paper bag besar yang dibawanya. "Laksmana ada, Lam? Saya bawakan sarapan, tadi dia belum sarapan katanya buru-buru ada meeting. Semalam bergadang nonton bola, padahal sudah saya marahi."

Senyum Nilam ikut terulas senang.

Ya, pasti dia senang sekali jika dilahirkan dari sosok ibu seperti nyonya Winda Dewandaru. Masih memberi perhatian-perhatian kecil pada putranya yang sudah dewasa dan mapan. Meski seringkali Laksmana mengeluhkan hal ini karena merasa diperlakukan seperti bocah, yang mana justru membuat Nilam kesal pada pria itu.

Kurang bersyukur, jika dilihat dari kacamata Nilam sebagai yatim-piatu yang tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya.

"Ada, Bu, ada. Mungkin di ruangannya, monggo, saya temani, Bu?" tawar Nilam.

•°•°•

"Mama ... kan aku bilang ada konsumsi rapat, Ma?" keluh Laksmana dari meja kerjanya, melihat ibunya muncul di ambang pintu bersama Nilam. Kemudian matanya menyipit. "Bukannya kamu izin pagi ini?"

Sadar pertanyaan itu untuknya, Nilam menjawab, "Sudah. Nyekar doang ini, Mas." Lalu tersenyum pada Winda. "Monggo, Ibu."

Dengan napas berat Laksmana menerima kedatangan Winda yang membawakannya sandwich. Terutama karena ibunya tidak hanya membawa satu, tetapi banyak, dan wanita itu secara khusus mengajak Nilam duduk berbincang-bincang. Laksmana sangat yakin sifat kepo Winda sedang kumat.

Nilam masih mengunyah sandwich-nya ketika Winda bertanya, "Kalau di kantor Laksmana deketnya sama siapa, Lam?"

Sebelum menjawab, Nilam menelan dulu. "Cewek, Bu, maksudnya?"

"Iya, iya!" Winda berbinar.

"Mamaaa!" Laksmana menanggalkan kacamatanya.

Nilam terkekeh pelan. "Kayaknya nggak ada, Bu."

"Masa' sih?" Winda tampak kecewa. "Kalau yang naksir gimana?"

"Oh, banyak, Bu! Banyak banget!" Segera menyelesaikan makannya, Nilam kemudian minum dan menceritakan berapi-api. "Di antara sesama tutor, nih, Bu, setahu saya ada lima lah. Ini baru yang di pusat aja, Bu, belum branch lain. Terus di grup chat wali murid banyak mamah-mamah gemes yang suka nanya Mas Laksmana available hari apa aja? Tapi Mas Mana kan sibuk, jadi jarang banget bisa private. Terus, Bu, masya Allah! Murid saya nih yang demam hallyu bikin fandomnya Mas Mana segala masa', Bu!"

Winda mengernyit. "Halu? Fandom?"

"Diskusi kalian nggak substansial, bisa tolong di luar saja? Lima menit lagi ada meeting yang harus aku buka," potong Laksmana gemas.

"Bukannya tadi sudah meeting?!" protes Winda.

"Yang ini online sama cabang Pasuruan." Laksmana mengambil sepotong sandwich yang paling kecil, kemudian mengecup singkat pipi sang ibu. "Makasih. Love you, Ma."

•°•°•

Mas Hara
tante
ayo main sambung cerita :D

Baru saja Nilam meletakkan diri di kursi, bermaksud menikmati satu cup mi instan setelah mengajar, pesan itu masuk. Nilam memprioritaskan membalas terlebih dahulu.

Arunilam Kencana
oke
di puncak gunung, hiduplah seekor anak kambing

Sambil menunggu balasan, Nilam meniupi kepulan asap beraroma umami dari mi yang digulung dengan garpu. Belakangan, Sahara makin sering membawa Sagara ke rumah sakit karena tidak ada teman di rumah. Nilam sedikit khawatir. Memang Sagara hanya berdiam di ruang kerja papanya, tapi itu tetaplah rumah sakit. Tempat berkumpulnya penyakit. Lagipula, Sagara hanya dipinjami ponsel papanya untuk hiburan. Kasihan.

Mas Hara
anak kambing itu kesepian, main sendirian

Nilam tercenung sesaat.

Bocah masih kelas satu SD, bagaimana bisa sudah mengerti arti kesepian?

Arunilam Kencana
suatu hari, turun hujan yang sangat lebat

Mas Hara
anak kambing sembunyi di rumah

Arunilam Kencana
kemudian ada yang datang mengetuk pintu

Mas Hara
itu adalah orang jual dandang

Nilam tersedak kuah mi yang baru disesapnya.

Kediaman Usman memang sering kedatangan sales door to door menawarkan peralatan masak, termasuk di antaranya yang mencolok adalah dandang, alias panci. Rupanya Sagara memahami itu. Nilam hanya mengelus dada, membalas lagi.

Arunilam Kencana
penjual dandang adalah bapak tua yang kelaparan, kedinginan, dan kelelahan

"Gabut amat, Sis. Segala penjual dandang dibahas," celetuk Karla, baru duduk di kubikelnya setelah diam-diam melihat isi percakapan ponsel Nilam.

Nilam tertawa sebelum memakan minya kembali. "Sagara, La. Biasa."

"Itu bapaknya apa nggak nyengir baca chat kalian?"

"Paling cuma, 'oh' doang. Tuan PUEBI."

Karla lantas berpangku dagu, mengamati sahabatnya.

"Hubungan kalian tiga tahun gini-gini aja?"

Nilam berpikir sesaat. "Harusnya gimana? Tetep lah tante-ponakan." Dan seketika kepalanya mendapat toyoran.

"Bapaknya, astagfirullah!"

"Mas Hara? Kenapa?"

Karla mendengkus keras. Ah, sudahlah.

"Lupain." Dia mengibas malas. "Cepet habiskan itu popmi. Dipanggil Mas bos."

•°•°•

Nilam sudah tahu, setiap Laksmana memanggilnya ke ruangan, pasti urusan Bright Brain cabang Pasuruan lagi. Sang atasan seakan tahu Nilam pasti dengan senang hati mengurusi cabang satu itu, sebab di Pasuruan lah panti asuhannya berada. Tapi mau tidak mau, kecurigaan Nilam makin bertumpuk. Pasalnya ....

"Ke Pasuruan? Lagi?" ulangnya, takjub. "Kemarin lusa kita baru ke sana, Mas."

Laksmana menurunkan setengah kacamatanya. "Nggak mau kamu?"

"Ma-mau, sih. Tapi aku itu—" Sejenak, Nilam menggigit lidah, mencari kalimat penolakan terhalus yang bisa dipikirkannya. "Maaf, Mas. Selama ini aku oke-oke aja bolak-balik Pasuruan sama Mas karena aku mau main ke panti. Bukan mau kerja. Yah, ini personal sebenarnya. Tapi kalau Mas mau mutasi aku ke cabang Pasuruan, maaf aku nggak bisa, Mas. Aku mau di sini sama Bapak dan Ibu—"

"Siapa yang nyuruh kamu mutasi, sih?"

Nilam mengatup mulut.

"Kalau aku bawa kamu ke Pasuruan, memang bukan soal kerjaan. Aku kerja, kamu silakan main. Ini juga personal sebenarnya. Aku mau lihat kamu terhibur dengan bertemu mereka, keluargamu sejak kecil, rumah tempatmu dibesarkan."

Nilam masih mencerna.

"Tapi kalau kamu capek ya aku bisa ke sana sendi—"

"Eh, mau, Mas, mau lah! Besok kan? Besok nggak ada jadwal home tutor. Berangkat pagi pulang siang kayak biasanya?"

Di luar, Nilam hanya tersenyum sopan tetapi hatinya bersorak gembira. Lumayan kan, bisa molor sehari? Begitu sampai di panti yang pertama akan Nilam lakukan adalah tidur di ayunan pohon halaman depan.

Laksmana sedang memasukkan MacBook-nya ke tas, bersiap pulang, ketika Nilam kembali bersuara.

"Mas care banget sama aku. Makasih, ya, Mas?"

Gerakan tangannya berhenti, Laksmana melayangkan tatapan curiga. "Tumben kemayu. Pasti ada maunya. Minta insentif berapa?"

Nilam mengentak geram. "Mas!"

"Nah, ini baru Nilam."

Nilam mendengkus, merasa bodoh karena mencoba lembut namun juga tidak bisa lagi menahan hal yang mengganggu pikirannya sejak pagi. Seringai Laksmana musnah sebab entah bagaimana perempuan itu melayangkan tatapan dingin yang membuatnya terintimidasi.

"Mas, aku kepikiran mamanya Mas. Mas kok jahat, sih? Tega banget ngusir orang tua. Gini ya, Mas, maaf kalau aku annoying atau kesannya sok wise, terserahlah. Tapi aku nggak tahan kalau lihat anak ketus sama orang tuanya. I mean, mama Mas Mana itu baik. Baik banget. Mas malah ketus sama beliau cuma karena sering dijodohkan. Mas, mama Mas itu sosok ibu impian aku. Perhatian. Biar deh kalau terlalu perhatian sampai kepo ke semua orang, aku nggak papa. Aku jauh lebih suka ibu seperti itu daripada ibu yang buang anaknya ke orang lain dan berakhir dengan ditinggal panti asuhan!"

Suaranya bergetar, bahkan matanya terasa panas.

Nilam memalingkan wajah dan meraih jaketnya. "Aku nggak mau berdebat, cuma menyampaikan pendapat. Makas—"

Karena Laksmana menahan lengannya, Nilam tidak jadi beranjak. Dia menengadah sejenak untuk meredakan selaput air mata.

"Ya. Ya, aku risi setiap kali Mama menyinggung soal istri, pernikahan, rumah tangga. It doesn't mean I don't love her. Aku hanya nggak suka Mama selalu menuntut hal yang sama, seolah belum menikah di usia 33 itu dosa besar. Maaf kalau kamu berpikir aku nggak bersyukur," jelas Laksmana.

"Harusnya tadi Mas lihat gimana kecewanya mama Mas waktu keluar dari sini."

Raut Nilam tertekuk masam, namun justru membuat Laksmana gemas dan mencondongkan tubuh pada perempuan itu.

Perencanaan spontan terancang di otaknya. Laksmana membasahi bibir dengan rikuh tanpa mengalihkan mata teduhnya dari wajah Nilam.

"Kamu suka ibu seperti Mamaku?"

"Ya." Nilam mengangguk pelan.

"Bantu aku jadi anak berbakti dengan menyenangkan Mama."

"Bantu gimana?"

Laksmana tersenyum. "Jadi istriku."

•°•°•

Kusatsu, Shiga, 17 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top