20. °Keputusan Terbaik.°
***
Aluna baru saja tiba di kampus, Arsya benar-benar bagaikan malaikat penolongnya, jika Arsya tidak datang, mungkin semuanya akan kacau, ia harus siap kembali mengulang kuliah di tahun depan, dengan perut yang benar-benat sudah membesar. Membayangkannya saja, Aluna sudah benar-benar ngeri, apalagi jika mengalaminya secara nyata.
Arsya masih belum percaya, bisa membawa Aluna di atas motor yang sama, merasakan saat tangan perempuan itu melingkar hangat di pinggangnya, jika boleh jujur, Arsya ingin hal itu selamanya, tetap bisa mengantar dan menjemput Aluna layaknya sebagai sepasang kekasih. Sekarang, mereka berjalan berdampingan di atas koridor kampus, Arsya benar-benar merasa sangat bahagia.
"Besok, mau di jemput lagi?"
"Emang lo nggak repot?"
"Nggak, kalau emang Brayen nggak mau berangkat bareng lo, biar gue yang jadi tukang ojek lo, gratis tanpa biaya."
Aluna tergelak tawa mendengarnya.
"Emang lo mau?"
"Kenapa enggak."
Aluna hanya mengangguk, tidak memberikan jawaban apa-apa.
Saat masih berjalan di koridor, Aluna bisa melihat beberapa mahasiswa berlarian dari gedung farmasi, dan teknologi komputer, seolah berhamburan dengan sorak marai keributan, membuat kepala Aluna bertanya-tanya, apa yang terjadi.
"Ini kenapa? Demo?"
"Gue nggak tau. Tapi, kayaknya bukan demo deh, ini ada yang berantem."
Entah kenapa, tiba-tiba Aluna di kuasai rasa penasaran, tidak memberikan aba-aba apapun, ia langsung berlari mengikuti kerumunan mahasiswa yang lain, tidak memerdulikan bagaimana kondisi tubuhnya saat itu, gerakan yang terjadi terlaksana begitu refleks tanpa diminta.
Aluna mencoba mengatur nafasnya, mencoba mengintip ke arah gedung kelas ekonomi, kelas Brayen. Tiba-tiba saja di hadang rasa curiga.
Setelah cukup merasa normal, Aluna menerobos masuk ke dalam kerumunan masa, seketika nafasnya terhenti, melihat kekerasan di depan mata. Ya, Brayen sudah terkapar di atas ubin, dengan laki-laki yang duduk di atas tubuhnya. Wajah pria itu juga ikut memar-memas, sementara Brayen sudah setengah sadar, mungkin jika terus dipukul seperti itu akan langsung melayangkan nyawanya.
"Berhenti!" Aluna berani mendekat, mendorong tubuh pria itu dari atas tubuh suaminya. Air mata Aluna bersimbah tanpa diminta, mungkin ini sebabnya, kenapa ia bisa berada di tempat ini, ia harus melindungi suaminya.
"Kenapa lo pukul dia!" kata Aluna begis, matanya berkaca-kaca dengan wajah penuh emosi.
Pria itu hanya tertawa ironi, seolah-olah sedang terjadi drama yang begitu lucu, seperti film-film yang tayang di tv, saat kekasihnya dihajar, datanglah perempuan yang berkedok sebagai bidadari pelindung, sangat mendramatis.
"Diam! Nggak usah ikut campur!"
"Tapi lo mau bunuh dia! Lo gila?"
"Gila?" ia hanya mampu tersenyun sarkastis, lantas berjongkok di depan Aluna, lalu menatap Brayen dengan antipati.
"Pembunuh seperti dia, juga pantas untuk dibunuh!"
"Pembunuh?"
Mendengar pengakuan laki-laki itu, jantung Aluna nyaris berhenti bekerja, setaunya, selama ini Brayen tidak pernah menghabisi nyawa seseorang.
Mendadak suasanya menjadi tetang, pria itu kini terududuk dengan lesu. Menjenggut rambutnya frustasi, satu-satunya keluarga yang ia punya, telah dibunuh oleh Brayen, laki-laki pecundang yang tidak tahu diri.
"Dia sudah menabrak adik gue, tepat di hari ulang tahunya. Padahal, cuma dia yang gue punya. Tapi, gara-gara kebodohan dia yang ugal-ugalan di jalanan, ngebuat adik gue harus kehilangan nyawanya. Andai saat itu dia nggak kabur, mungkin nyawa adek gue masih ketolong," suaranya mulai melamban, terdengar kesedihan yang terdalam di dadanya, rasanya begitu sangat sakit.
Di bawa pada kejadian yang mengerikan itu. Gadis perempuan berusia 7 tahun itu berlari membawa boneka yang ia pegang di tangaannya. Gio sengaja merayakan ulang tahun sang adik di dekat danau di pinggir jalan, membuat pesta kecil di sana, tidak memerlukan hiasan mewah apapun, cukup dengan teman-teman sekolahnya dan beberapa penjual makanan keliling. Gio sangat senang melihat kebahagiaan yang dipancarkan Kamila. Setelah kematian orangtuanya beberapa bulan yang lalu, membuat Kamila jarang sekali tersenyum, bahkan ia sering menangis di sekolah. Terlebih jika Gio terlambat menjemputnya, ia hanya bisa duduk bersama tukang bakso di depan sekolah, sambil menangis karena merindukan ibunya yang tidak pernah telat menjemput.
Saat itu, Kamila melihat tukang bakso di seberang jalan, bapak-bapak yang selalu menemaninya di sekolah sebelum Gio datang menjemput. Laki-laki tua itu sudah menganggap Kamila sebagai cucunya sendiri, memberikanya sebuah boneka besar, hasil tabungannya selama satu bulan.
Kamila sempat bercerita, ulang tahunnya akan dirayakan di dekat danau, yang tidak jauh dari sekolahnya, sang kakek merasa sangat senang dan ingin memberika hadiah yang di gemari anak perempuan itu.
Tak pelak, Kamila menerimanya dengan begitu bahagia, ingin memamerkannya pada Gio, berlari tanpa aba-aba, saat itu juga sebuah mobil telah melintas dengan kecepatan tinggi, menghantam tubuh mungilnya, menyisakan bercak merah kental di gaun putihnya nan indah, sepatunya terlepas, tubuhnya terhempas berkali-kali, Gio yang melihat kejadian itu, memandang mobil fortuner hitam itu dengan tatapan benci.
"Kamila..." Gio berteriak kuat, ia tahu, adiknya harus segera dibawa kerumah sakit, saat memandang ke arah mobil pelaku, Gio sangat berharap orang itu turun dan bertanggung jawab, tapi nyatanya, ia malah pergi begitu saja, melarikan diri tanpa rasa dosa.
"Gue udah gagal menjaga amanah kedua orangtua gue, gue nggak bisa menjaga adik gue dengan baik. Jadi, gue mau menghabisi nyawanya!"
Aluna sendiri masih belum percaya dengan apa yang barusan ia dengar, Brayen benar-benar sudah membunuh?
Samar-samar Brayen bisa mendengarkan pengakuan laki-laki itu, ia keheranan sendiri, bagaimana mungkin Gio menuduhnya telah menghabisi nyawa adiknya?
Seingat Brayen, ia tidak pernah menabrak siapapun di jalanan, hingga melayangkan nyawanya. Ya, Brayen benar-benar sangat yakin.
"Kenapa lo bisa nuduh, dia yang nabrak, sementara orang yang udah nabrak adik lo, pergi gitu aja."
"Gue ngelanin mobil dia! Dan saat gue tau, pemilik mobil ini kuliah di sini, itu sebabnya gue bisa disini. Gue cari semua infomasi, dan benar. Dia pemilik mobil itu, laki-laki pembunuh!"
"Gue nggak pernah nabrak adik lo. Jadi ini kenapa lo segitu bencinya ngeliat gue, harusnya lo tanya. Sedikit pun gue nggak pernah melakukan hal keji kayak gitu."
Mendengar pengakuan Brayen, membuat emosi Gio kembali mendidih, hingga nyaris menonjok Brayen, jika saja Aluna tidak berhasil menangkis tangannya, mungkin wajah Brayen sudah kembali di tonjok dengan kuat.
"Ada apa ini!"
Suara sentakan itu berhasil membuat suasana menjadi diam, menghentikan aksi bisik berbisik antara mahasiswa dan mahasiswi itu. Mereka semua masih sangat terkejut mendengakan berita barusan, bahwa Brayen salah satu mahasiswa yang selalu dikagumi para kaum hawa, adalah pembunuh, orang yang benar-benar tidak punya hati.
Laki-laki berwajah tegas itu merasa sangat jengkel, orang-orang disana hanya membiarkan perkelahian berlangsung begitu saja, harusnya mereka bisa memisahkan dua orang itu. Tapi, nyatanya tindakan mereka sama seperti anak SMA yang seolah-olah belum mengerti apa-apa.
"Kalian berdua, ikut saya!"
Brayen berusaha bangkit, di bantu berjalan oleh Aluna. Sebenarnya Aluna juga masih meragukan kesaksian Brayen, mulai sedikit terhasut akan berita murahan yang belum tentu asal usulnya.
"Lo sangka, gue emang udah nabrak adik dia sampai meninggal?"
Tanya Brayen di sela-sela kesakitannya. Ia berjalan tertatih-tatih, ternyata tenaga Gio begitu sangat kuat, mungkin jika seseorang sedang di kuasai rasa emosi, energi kekuatannya akan menjadi dua kali lipat lebih kuat.
"Gue nggak tau." jawab Aluna singkat.
***
"Apa yang kalian lakuan, saya benar-benar tidak habis fikir, etika kalian benar-benar tidak ada!"
Pak Andi menatap Brayen dan Gio secara bergantian, kedua wajahnya sama-sama terluka, keadaan baju yang sangat tidak terawat. Pak Andi benar-benat tidak mengerti dengan keduanya, hingga harus melibatkan kekerasan seperti itu.
"Harusnya kalian bisa bersikap dewasa. Melakukan kekerasan, apa itu salah satu cerminanan baik? Memalukan!"
Pak Andi merasa geli sendiri, seperti menghadapi anak SMA yang labil, berkelahi hanya merebutkan satu wanita yang sama.
"Kalian meributkan apa? Perempuan yang tadi?"
"Saya tidak sebodoh itu. Jika anda mengatakan penyebab ini semua hanya karena seorang wanita, saya rasa itu terlalu berlebihan."
"Lalu apa, katakan!"
"Tanyakan pada dia, apa yang telah dia perbuat."
Brayen mengerutkan keningnya, benar-benar tidak bisa mengerti. Ia sama sekali tidak pernah berada dalam situasi seperti yang dituduhkan pria itu, sedikitpun, bahkan Brayen rela bersumpah.
"Saya merasa tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa."
"Bangsat!" Gio tidak bisa menerima, Brayen bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Membuat Gio benar-benar merasa muak.
"Jangan membuat keributan, atau kalian berdua saya keluarkan dari kampus ini," pak Andi membantah dengan tegas, sangat sulit untuk berbicara dengan kedua laki-laki itu.
"Dia sudah membunuh adik saya! Jadi, dia harus mati dan membusuk di pencajara."
"Gue udah bilang, kalau gue nggak pernah menabrak siapa pun sampai meninggal!"
"Pecundang!"
Selalu dituding seperti itu, membuat Brayen menjadi jengah, bosan bercampur tidak suka.
"Kapan adek lo di tabrak? Gue benar-benar ngerasa nggak pernah ngalamin hal itu."
"Lo masih belum mau mengaku? Kejadian itu tepat tanggal 10 februari, ketika dia berulang tahun. Lo masih sok berlaga lupa?"
"10 Februari?" Brayen rasanya ingin tertawa, jelas tuduhan itu salah besar.
Melihat Brayen seperti itu, membuat Gio tidak terima.
"10 Februari itu pernikahan gue sama Aluna. Dan gue pakai mobil pengantin. Jadi lo jangan main-main, ko udah mencemarkan nama baik gue."
Mendengar jawaban Brayen, membuat Gio serasa di permainkan, Brayen selalu menghindar.
"Selesaikan masalah kalian! Serahkan pada polisi, dan untuk sementara kalian jangan balik ke kampus ini sebelum masalah kalian selesai."
"Apa? Pak, 3 minggu lagi itu sidang. Dan saya harus ada di kampus ini."
"Itu sudah keputusan. Sekarang, kalian silahkan keluar."
Brayen merasa tidak terima, terpaksa harus keluar dengan wajah penuh penasaran. Kenapa Gio sampai menuduhnya seperti itu, seingatnya pada saat pernikahannya dengan Aluna, mobilnya diberikan pada Miko. Sepertinya, Brayen harus menemui Miko, meminta semua penjelasan atas kesalah pahaman ini. Jika memang Miko pelakunya, Brayen berjanji akan memberikan Miko pelajaran setimpal, berkedok di balik namanya, lalu bisa pergi seenaknya. Jadi, ini alasannya kenapa ia sempat menghilang selama dua bulan?
Sementara Gio, masih belum bisa berfikir jernih, menurutnya, Brayen sedang bersandiwara, sengaja menutupi kejahatannya, dengan alasan pernikahan.
"Kalau sampai lo berbohong, gue bakal pastiin, buat menghabisi nyawa lo, Brayen," kata Gio penuh dendam.
***
"Gimana sih ceritanya, kok bisa suami lo di cap sebagai pembunuh?"
"Gue nggak ngerti, Jes. Gue nggak tau harus percaya apa enggak. Tapi, ngeliat kemarahan cowok tadi, bikin gue yakin, apa yang dia bilang emang bener."
"Jadi, secara nggak langsung, lo percaya Brayen udah membunuh?"
Aluna hanya mengangkat bahunya tidak tahu harus bersikap bagaimana.
"Tapi, saat dia dipukulin kayak tadi, bikin gue takut, takut kalau dia kenapa-kenapa, gue nggak mau Gio sampai nekat dan bikin Brayen meninggal juga."
"Lo benar-benar perduli sama dia?"
"Gue udah coba ikutin saran lo dan Riana, tapi gue nggak bisa. Yang ada gue malah makin pengen deket sama dia. Lo tau gimana keadaannya sekarang, ada anak yang harus gue pikirin masa depannya, dan gue udah putusin, kalau gue bakal jatuhin hati gue buat Brayen, supaya dia juga bisa jatuhin hatinya buat gue."
"Lo yakin?"
"gue nggak tau, Jes. Tapi, gue udah bikin keputusan kayak gitu."
Jesika hanya mengangguk mengrti, tapi sejujurnya ia sangat menghawatirkan Aluna. Mengingat bagaimana Brayen memberinya pilihan di waktu yang sangat singkat, bagaimana jika Aluna gagal? Lantas harus menerima kenyataan dan harus pergi dari kehidupan suaminya sendiri?
"Mungkin, ini saatnya gue harus berdamai dengan ego gue. Gue harus mau berkorban buat anak gue, biar gue tau, gimana rasanya berkorban demi masa depan anak sendiri."
"Gue nggak bisa bantah apapun keputusan lo, Al. Tapi, gue pastiin, kalau lo sampai terluka gara-gara dua, gue pastiin, dia akan berhadapan langsung dengan gue."
Mendengar pengakuan Jesika, membuat hati Aluna terenyuh, merasa di perhatian. Memeliki teman yang sangat menyayanginya.
"Makasih, Jes. Selama ini lo sama Riana, selalu ada buat gue."
"Sama-sama, Al."
Kedua sama-sama tersenyum, memberikan sapaan paling tulus.
***
Brayen sengaja menyeret Miko ke belakang kampus, ketempat paling sepi, agar tidak ada satupun yang bisa mendengatkan pembicaraan mereka, Brayen akan menyudahi kegilaan ini, memaksa Miko harus mau berkata jujur.
Miko yang sejak tadi berusaha untuk menghindar, tapi sepertinya takdir tidak mendukung, dan mungkin ini saatnya, ia harus membayar semua kesalahannya.
"Gue yakin, ini semua terjadi gara-gara lo!" kata Brayen to the point, tidak ingin bertele-tele. Ia tidak mau jika hatus dihukum karena bukan atas dasar kesalahannya.
Miko masih belum bisa menjawab apa-apa, kebisuannya membuat Brayen menemukan jawabannya, laki-laki itu sudah melakukan kesalahan, hingga menyeretnya dalam keadaan tak menentu.
"Jadi, ini semua benar-benar salah lo?"
Miko hanya bergeming, benar-benar tidak bisa menjawab, lidahnya kaku untuk mengaku atau bahkan melakukan penolakan. Memberikan kesaksian palsu.
"Saat itu, gue menikah sama Aluna. Dan gimana mungkin gue bisa kendarain mobil yang jelas-jelas lo bawa? Jadi, ini alasannya kenapa lo pergi mendadak, maksud lo apa? Menghindar dari masalah? Dan hatus gue yang membayarnya?" tanya Brayen tak habis pikir.
"Lo lebih dari pecundang!"
"Sekarang, gue minta lo bikin kesaksian di depan semua orang."
Kediaman Miko benar-benar memancing emosi, Brayen. Serasa ingin menonjok muka pria yang bersikap gamang seperti itu.
"Jawab gue!"
"Memang gue, pelakunya. Tapi gue nggak sengaja!"
"Nggak sengaja?"
"Gue buru-buru."
"Tapi kenapa lo nggak bawa dia ke rumah sakit, dan malah pergi gitu aja, Miko." Brayen mengusap wajahnya frustasi, harusnya Miko tidak melakukan hal seperti itu.
"Gara-gara lo, gue yang harus dituduh. Kalau lo ngaku, urusan ini nggak bakal sampai ke polisi, dan prosesnya makin panjang."
"Gue nggak mau berhadapan dengan polusi. Itu sebabnya gue milih pergi. Tapi gue salah, sepertinya tuhan nggak merestui gue buat menutupi kejahata gue."
Brayen sendiri juga tidak tahu, apa yang harus ia lakukan agar bisa menyelamatkan Miko. Melihat kemarahan yang di pancarkan dari mata Gio, pria itu sepertinyabtidak hanya menginginkan pelaku penambrak adiknya masuk penjara. Tapi, juga mengincar nyawanya. Brayen bisa merasakan bagaimana nafsunya saat memukulinya tadi, jika Aluna tidak datang tepat waktu, mungkin nyatawa akan melayang saat itu juga. Sama halnya saat ia memukuli Rio, tanpa sengaja mehilangkan nyawanya.
Brayen tidak tahu, sampai kapan pula kebusukannya akan tersimpan begitu apik. Tapi, keresahannya membuatnya sedikit tidak tenang, takut akan berdampak buruk di kemudian hari nanti. Jika Brayen bisa memilih, saat itu ia tidak akan berada di rumah Ines, hingga harus menjadi penyebab kematian orang yang saat ini dicintai perempuan itu, dan jika Rio masih ada, mungkin perempuan itu tidak akan memilih pergi.
***
Bersambung...
Sepertinya pada salah paham ya waktu itu, wkwkwk. Gio marah atas kematian adiknya, bukan kematian kak Rio 😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top