17. °Permainan Menyakitkan°


***

         Sore itu, Aluna dan Brayen sudah pulang ke rumah, setelah hampir berjam-jam menemani Aluna mengelilingi kebun binatang, benar-benar membuat Brayen merasakan lelah yang teramat. Apalagi harus terpaksa menggendong Aluna dengan jarak yang hampir menembus 4 kilo meter, membuat pinggangnya terasa pegal dan nyeri.

Di dalam rumah, Aluna bisa menyaksikan kedua orangtuanya sedang berbicara dengan mertuanya, terkadang terdengar gelak tawa yang membungkus percakapan mereka, memancing Aluna, ingin tahu dengan apa yang tengah mereka bincangkan.

"Mamah, papah, kok bisa ada di sini?"

"Memangnya nggak boleh, mamah sama papahmu ini merindukan anaknya yang manja dan dekil ini?" kata om Arif setengah bercanda, laki-laki itu menyembunyikan cekikikanya di balik telapak tangan yang terkepal.

"Aku nggak dekil papah, aku bersih!"

"Mamah tau, kamu nggak mandi pas ngajak Brayen untuk pergi keluar."

Kedua mata Aluna terbelalak kaget, tidak bisa menyembunyikan keterkejutan yang luar biasa.

"Dari mana mamah tau?"

"Brayen yang bilang."

"Dia bohong, aku mandi kok."

"Dia yang bohong, mah. Dia cuma bersihin belekan matanya doang, sampai dia nggak gosok gigi," kata Brayen terang terangan, Aluna memandang kesamping, menatap Brayen yang hanya memasang wajah mengesalkan, membuat Aluna jenglel setengah mati. Dengan gerakan cepat, Aluna bisa menarik lengan Brayen, dicubit, lalu ditarik dengan kuat, membuat Brayen berteriak menahan sakit, mengusap lengannya yang barusan mendapat siksaan kejam bari jari tajam Aluna.

"Kalian ini, setiap hari selalu saling ngehatuhin, berantem terus, kamu juga Brayen, jangan menuduh Aluna seperti itu."

"Aku nggak menuduh dia, mah. Emang nyatanya gitu kok, dia bau."

Wajah Aluna mulai bersungut-sungut, Brayen seolah sengaja membuatnya malu di depan kedua orangtua dan mertuanya itu, karena terlalu kesal, Aluna menoyor kepala Brayen kuat, hingga kepala itu terdorong kebelakang, bagaikan terjadi guncangan begitu dasyat di kepala Brayen, membuat pria itu terperangah dalam beberapa detik.

Aluna menggertakkan giginya, lalu merjalan cepat dengan kaki di hentakkan ke atas lantai, ia benar-benar kesak dengan Brayen.

Tante Diana dan om Rudi cekikikan sendiri, ternyata Brayen dan Aluna bisa selucu itu, seperti anak kecil yang tidak mau mengalah satu sama lain, padahal sekarang, mereka sudah terikat menjadi sepasang suami istri, hubungan yang seharusnya berjalan normal seperti pasangan lain.

***

Aluna duduk di atas ranjang, kedua tangan dilipat di atas dada, rasanya benar-benar ingin menonjok mulut Brayen, ia sampai tidak sadar telah berhasil menyiksa bantal guling hingga menjadi cacat, tercabik-cabik dan mengeluarkan isi badannya. Aluna memang sudah terlihat seperti macan yang sedang mengamuk saat kehilangan anaknya, merusak apapun yang ia jumpai. Emosinya masih saja belum mereda, ledekan Brayen benar-benar membuanya kesal dan sakit hati, rasanya belum puas jika belum mampu membalaskan dendam, hatinya berkoar-koar panas.

"Aluna," Aluna hanya menghiraukan suara itu, ia sudah tau kalau itu suara sang mamah. Ia lebih memilih menorotkan bibirnya, maju kedepan dengan ekspresi semanja mungkin, membuat taante Diana menjadi sangat gemas.

"Mamah ngapain? Mau ketawain aku?"

"Loh, kenapa mamah harus ketawain kamu?"

"Karena aku nggak mandi dan gosok gigi kan?"

Mendengar rancauan Aluna yang terdengar jenaka, membuat tante Diana menahan tawa.

"Udah aku duga," kata Aluna pada akhirnya, "aku itu nggak tahan harus simpan air di dalam mulut aku, apalagi harus masukin odol ke dalam mulut, disikat-sikat, itu bikin aku muntah, dan aku udah capek ngerasain mual terus."

"Kata siapa? Waktu mamah hamil kamu, mamah juga gitu kok."

"Hah?"

"Iya, malahan mamah dulu sampai nggak mandi sebulan loh, nggak mau gosok gigi, nggak mau bersih-bersih, terus mamah juga nggak sudi ketemu papah kamu, sampai dia harus berkorban tidur di luar kamar," kata tante Diana melucu, rasanya ia tidak percaya bisa mengalami hal gila seperti itu.

"Sampai papah kamu bawa-bawa perempuan lain, ya mamah nggak terima, mamah berdandan layaknya orang gila yang udah mengalami stres berat, mamah maki-maki perempuan itu, mamah cekek lehernya, mamah tarik rambutnya kuat-kuat, mamah gigit tekunjuknya sampe putus, terus mamah cakar-cakar muka dia yang sok kecantikan itu!" tante Diana menarik nafas mengatur intonasi suaranya, nyaris kehabisan nafas. Sementara, di samping, Aluna menatap ngeri ke arah sang mamah, ia benar-benar tidak menyangka, mamahnya bisa melakukan hal yang benar-benar gila seperti itu.

"Terus, akhirnya dia di pecat deh sama papah kamu, karena papah kamu nggak mau mamah ceraiin."

"Jadi, papah pernah sekingkuh?"

"Bukan sekingkuh sih, tapi perempuan itu yang godain papah kamu terus, apalagi mamah kan waktu itu nggak bisa berpenampilan menarik, kerjaannya marah-marah terus sama dia, bahkan mamah pernah minta papah kamu buat tidur diatas pohon mangga, sampai papah kamu jatuh, dan kakinya patah."

Aluna benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ia hanya membuka mulutnya lebar-lebar, mamahnya pernah ngidam hingga menyiksa papahnya

"Makanya, jangan malu, kalau ngidam emang suka aneh,"

"Terus, waktu mamah ngidam kak Rio?"

Tante Diana tersenyum, mendadak kembali digelitiki rasa rindu dengan Rio.

"Yang ngidam bukan mamah, tapi papah kamu. Hobi banget pelihara kucing-kucing di rumah. Padahal papah kamu itu paling anti sama kucing-kucing, apalagi sama bulunya, papah kamu bisa senewen kalau bersentuhan sama kucing."

Aluna hampir dibuat melongo tidak percaya dengan cerita yang dibawakan mamahnya, ngidam benar-benar bisa merubah sifat orang menjadi 180°.

"Nggak usah bingung, mungkin kamu sensitive karena baru mengalami. Ini, mamah udah bawain batagor yang kamu pengen, ini higienis, dan mamah bikin sendiri."

Aluna memandang piring yang dibawakan tante Diana, lalu berkerut dalam saat menatap isinya.

"Mamah yang bikinin?"

Tante Diana hanya mengangguk sebagai respons, lalu meminta Aluna untuk segera memakannya, memenuhi keinginan bayi yang ada di dalam kandungannya.

"Kamu makan sekarang, kasian anak kamu, nanti dia ngeces, ih mamah nggak mau punya cucu ileran," tante Diana bergedik ngeri, lalu mengangkat bahunya gemetar, tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi.

"Mamah percaya mitos?"

"Itu bukan mitos, Al."

"Ah, mamah sama aja kayak nenek-nenek jaman dulu, percaya soal begituan, aku mah nggak percaya."

Aluna mengambil piring yang disodorkan tante Diana sejak tadi, lalu menyantap isinya dengan nikmat. Kepalanya berkali-kali mengangguk, pertanda ia benar-benar sangat mentukai batagor yang dibuatkan mamahnya. Terasa sangat nikmat saat ada di dalam mulut.

"Loh, kan mamah emang mau jadi nenek."

"Hmm, yaudah deh. Terserah mamah."

***

Malan itu, Brayen sudah bersiap-siap, penampilannya rapi, serta dengan aroma parfum yang membuat tubuhnya menjadi wangi. Aluna ypang duduk di tepian ranjang, menatap heran ke arah Brayen, malam-malan seperti ini ia harus keluar, dan Aluna sangat tahu, Brayen akan menemui Ines, mantan kekasih yang masih ia cintai.

Tadi sore diam-diam Aluna membuka pesan WhatsApp milik Brayen, di sana, Ines meminta Brayen untuk menemuinya, bahkan Brayen membalas dengan pesan yang begitu panjang, dan terdengar sangat lembut jika di ucapkan. Selama ini, Aluna belum pernah diperlakukan istimewa seperti itu. Lantas, untuk apa gunanya Brayen meminta Aluna untuk membuatnya jatuh cinta dalam waktu satu bulan, jika pada kenyataannya, Brayen memang tidak berniat dengan ucapannya, permintaannya hanya permainan belakang, memberikan kesempaatan palsu untuk Aluna. Tak pelak kenyataan itu benar-benar menohok dada Aluna, membuat jantungnya terjepit, hingga tidak bisa membuatnya hidup dalam jangka waktu yang lama.

'Untuk apa kamu mengatakan hal yang tadi, Bra. Kalau sebenarnya kamu emang nggak mau jatuh cinta sama aku. Apa ini salah satu cara kamu untuk menandang aku? Hingga kamu bisa hidup dengan wanita pilihan kamu sebenernya.'

Aluna tidak akan membiarkan Brayen pergi, ia sudah terlanjur jatuh akan harga diri, membuatnya tidak sungkan untuk basah kuyup saat menyebur kedalam lautan kelaraan.

"Bra, lo nggak boleh pergi."

Kening Brayen mengerut, menatap Aluna dengan tatapan tak terbaca.

"Kenapa?"

"Pokoknya lo nggak boleh pergi, gue mau lo tetap di sini. Temenanin gue, dan pegang perut gue, ngomong sama anak lo yang ada di dalamnya."

"Apa ini lo bilang ngidam lagi?" Brayen tertawa jenaka, kemudian menggelengkan kepalanya.

"Gue nggak bisa. Gue ada janji."

"Batalin janji, lo. Gue yakin, acara lo itu nggak penting."

Brayen menatap Aluna tajam, kemudian akhirnya tetap memilih pergi, mengabaikan Aluna dengan permintaan yang telah diminta. Ditatap seperti itu, membuat hati Aluna mencelos sakit, Brayen benar-benar lelaki brengsek.

Setelah Brayen benar-benar pergi, Aluna hanya melihat di balik jendela, bagaimana mobil laki-laki itu meleset jauh, meninggalkan rumah mereka demi wanita lain, pantaskah Aluna menyebutnya pelakor? Wanita yang bekerja sebagai perusak rumah tangga orang lain, merenggut cinta yang semestinya menjadi miliknya.

"Huh...." menghembuskan nafas keluar, Aluna kembali ke atas ranjang, memilih menidurkan tubuhnya di sana, kepergian Brayen tidak bisa ia cegah.

"Sorry ya, mamah nggak bisa ngelarang papahmu pergi," kata Aluna lucu, sebenarnya ia merasa geli sendiri mengucapkannya, menyebut dirinya sebagai mamah benar-benar tidak pernah terbayangkan. Tapi, sekarang ada janin yang telah tumbuh di rahimnya, hasil perbuatan suami yang ia benci itu.

***

Aluna berjalan menuruni anak tangga, tidak perduli bagaimana mamah mertuanya akan mengomelinya, keinginannya untuk masuk kampus sudah bulat, tidak ada siapa pun yang boleh melarangnya, ia sudah terlanjur merindukan kedua temannya, bertemu dengan si Riana yang bolon, dan si Jesika yang antagonis dengan Riana.

"Loh, Al. Kamu mau kemana?"

"Ke kampus."

"Apa? Kamu bercanda? Aluna, pokoknya mamah nggak pengen kamu kecapekan, kemarin mamah udah hampir jantungan karena kamu minta jalan-jalan ke luar. Sekarang kamu malah pengen kuliah? Kamu mau bunuh anak kamu sendiri?"

"Aku datang ke kampus ya pengen kuliah, ngejar ketertinggalan aku, nyelesaiin skripsi aku, dan itu nggak akan ngebunuh janin aku kok."

"Kamu lupa, janin kamu itu lemah! Kamu kecapekan sedikit, kamu bisa pendarahan, dan akhirnya kamu keguguran, kamu mau?"

Aluna mengepalkan kedua tangannya, menahan emosi di dalam dada, ia paling tidak bisa di larang-larang, sejak dulu, permintaannya selalu terpenuhi, tidak boleh siapa pun melarangnya.

"Pokoknya aku tetap mau kuliah, lagian aku juga berangkat sama Brayen, kok."

Brayen menatap kesamping, menghentikan aktifitas makannya.

"Kenapa lo liat gue? Gue nggak boleh bareng sama lo, gampang gue bisa jalan kaki ke sekolah!"

"Jangan, Aluna. Oke-oke, kamu boleh ke kampus, dan Brayen harus menjaga kamu, kalian cuma boleh terpisah saat ada kelas doang."

Sejak dari tadi, Brayen hanya bisa diam. Tidak melakukan penolakan dengan perantaraan mulut, pelan-pelan, ia hanya menganggukan kepalanya. Ini salah satu janjinya dengan Ines, pertemuan kemarin tidak berbuah manis seperti yang ada di dalam otaknya, semuanya kontradiktif dengan kenyataan yang ada.

Lamat-lamat ingatan Brayen kembali terseret dalam kejadian kemarin, saat Ines menangis di hadapannya, membuatnya terluka dalam diam.

"Aku mutusin buat pindah kampus, Riyan. Aku nggak bisa terus-terusan ada di sini. Itu cuma ngingetin aku sama Rio terus."

"Apa kamu mencintai dia sebegitu dalamnya?"

Ines hanya mengangguk pelan, tanpa keraguan, menjawab dengan kejujuran yang masih tersisa, ia kembali hanya untuk mengambil barang-barangnya, lalu pamit dengan laki-laki yang pernah ada di dalam hidupnya.

Brayen mendesah resah, rasanya masih tidak percaya, Ines bisa mencintai orang lain secepat itu, tidak seperti dirinya, yang bisa mencintai Aluna dengan cepat, Brayen telah terkepung dalam cinta sepihak, dengan perempuan yang pernah mencintainya.

"Kamu harus bisa ngelupain aku, kalau kamu emang cinta sama aku, kamu harus bisa mencintai istri kamu sendiri. Nggak ada laki-laki yang mencintai perempuannya dengan menyeretnya sebagai wanita perusak, aku nggak mau bahagia di atas penderitaan istri kamu, meski kamu bilang kalian tidak saling cinta, tapi kamu fikirin anak kamu yang dia kandung, apa kamu tega menyakitinya, saat dia terlahir, dia sudah hidup dengan keadaan orangtua yang nggak utuh, aku harap kamu nggak sebrengsek itu, Riyan."

"Tapi, aku udah coba kok, ngasih dia waktu satu bulan, supaya bikin aku jatuh cinta, tapi kayaknya dia emang nggak bisa bikin aku jatuh cinta."

"Dia yang nggak bisa, atau emang kamu yang nggak mau, Riyan? Cinta itu nggak pernah mengenal waktu, kalau kamu ihklas, dan menerima kenyataan yang ada, aku yakin, kamu duluan yang akan jatuh cinta. Aku mohon, penuhi permintaan aku, cintai Aluna. Jaga dia."

Brayen mengambil gelas yang berisi air, kemudian meminumnya, mendadak tercekat saat mengingat kejadian kemarin, Ines menangis dan memohon, agar ia bisa mencinta Aluna, dan sama sekali Brayen tidak bisa melakukannya. Mencintai Aluna tidak akan mungkin pernah terjadi, meski pun di dalam perutnya sudah ada anaknya sendiri.

***

"Oh iya Bra, gue mau tanya, gimana sih caranya suapaya lo bisa jatuh cinta sama perempuan."

"Buat apa lo nanya kayak gitu."

"Nggak apa-apa, gue cuma pengen tau, kalau lo nggak mau jawab juga nggak apa-apa."

Brayen hanya diam, malas untuk menjawab.

"Lo minta gue buat bikin lo jatuh cinta, kalau gue nggak berhasil, berarti gue harus pergi, apa saat gue pergi lo bisa jatuh cinta sama gue? Atau cuman sekedar kangen doang?"

Entah keberanian dari mana, Aluna bisa berucap sedemikian mungkin, membuat Brayen hanya tetap diam, tidak menjawab apa-apa. Aluna menghel nafas pendek, merasa jengkel dengan Brayen yang berubah menjadi patung.

"Brayen!" karena terlalu kesal, Aluna mengenggut rambut Brayen kuat, membuat pria itu memekik kesakitan, nyaris oleng di lintasan aspal. Melihat Brayen kesakitan seperti itu, membuat Aluna berkoar-koar, senang sendiri melihat keberhasilannya saat menyiksa laki-laki itu.

***

Bersambung











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top