[Ekstra] Cuma Awalan

Hari masih pagi buta, tetapi sosok yang memainkan obeng di garasi tetap terjaga dari semalam. Ducati miliknya terus dipoles sampai siap tanding bulan depan. Sebenarnya, Al tidak perlu terburu-buru. Namun, tahun terakhir jurusan teknik sangatlah mengerikan. Ia tidak mau mengambil risiko.

Setelah melakukan pengecekan terakhir, lelaki berkulit pucat itu mengemasi peralatannya, lalu berbaring di sofa. Cukup lima belas menit. Ia mengatur alarm sebanyak tiga kali, berjaga-jaga bila mimpi mengambil alih kesadarannya lebih lama. Al memiliki janji dengan dosen terkait perancangan proyek yang ia buat. Bisa tamat riwayatnya jika terlambat sedikit saja.

"Lama-lama rumah lo pindah ke sini, Al."

Al mendengkus tanpa membuka mata. "Diem. Gue mau tidur."

"Tidur kelar ngampus aja. Kalau lo telat, gue dan anak-anak juga yang repot," ucap Meka sembari menyeduh kopi di meja paling pojok.

"Lo aja kalau gitu yang datang."

"Oke, tapi gue nggak nanggung kalau Pak Botak nggak terima dan ngamuk-ngamuk."

"Ck, kalau gitu biarin gue tidur sekarang."

Meka berjalan dan duduk di kursi plastik, tepat di depan sofa Al. Garasi bengkelnya memang menyediakan perabot sederhana untuk para mekanik modelan Al yang sering menginap seenaknya. Ia tidak keberatan, toh kerjaan Al sepadan dengan kelakuannya. Di antara anak-anak Engene, lelaki itu tetaplah juaranya, baik dari segi perawatan motor hingga performa di arena balap.

"Gue nggak jamin lo bisa bangun tepat waktu."

"Ya, lo bangunin, lah."

Meka bersandar, lalu menyilangkan kaki. "Gue nggak mau nyari mati."

"Suruh Kak Mel aja kalau gitu."

"Tai, lo!"

Al tak lagi menanggapi ocehan Meka. Ia perlu tidur. Meski merasa baik-baik saja, ia tak pernah tahu apa yang bisa terjadi ke depannya. Terlebih, ia lupa membawa termometer dan semalaman berkutat di tempat pengap tak ber-AC seperti ini. Kalau Melody tahu, mungkin ia akan dihukum habis-habisan.

Nyatanya, benar kata Meka, Al tak kunjung bangun saat alarm ketiga berbunyi. Lebih tepatnya, ia baru mendengkur beberapa menit lalu. Ini tidaklah cukup. Alhasil, Meka benar-benar menghubungi Melody untuk mengurus adik kesayangan, sekaligus pengisi hatinya itu.

Sayang, yang Melody katakan justru, "Urus sendiri."

"Ayolah, Kak Mel. Pacar lo kebo banget. Gue panggil-panggil tetep nggak mempan."

"Gue mau otw kantor, Mek. Lo aja yang bangunin," jawab Melody melalui ponselnya.

"I-iya, deh." Lelaki yang mengucir rambutnya itu segera menepuk betis Al. Namun, aksi itu terhenti saat hawa panas menyengat telapak tangannya. "Eh, Kak, Al panas banget."

"Nggak usah ngibul, deh. Gue beneran ngantor hari ini, Mek."

"Gue juga beneran, Kak. Apa karena pendinginnya mati, ya?"

"Lo ada termometer, air hangat, kain bersih, sama obat penurun panas, nggak?" Melody menyebutkannya dengan kecepatan tinggi.

Meka menepuk jidat. "Ini bengkel, Kak. Yang ada serbet kotor, noh. Bekas oli."

"Ish, resek! Lo beli, gih, cepet. Awas aja kalau sampai sana belum ada apa-apa."

"Eh!"

Melody mengakhiri panggilan secara pihak. Meka hanya bisa menghela napas berat. Ia segera memanggil penjaga yang tengah menikmati singkong rebus, lalu memintanya membelikan barang yang sudah disebutkan sebelumnya, kecuali kain dan air hangat. Ia tidak mungkin keluar dan meninggalkan Al sendirian.

"Nggak yang cowok, nggak yang cewek, sama-sama nyusahin. Jodoh emang."

Meka lantas mengambil handuk kecil di rak barang. Masih baru, Melody tidak akan mengamuk akan hal ini. Ia kemudian menuang air panas dari panci dan mencampurnya dengan air dispenser.

"Shit, kenapa tadi nggak sekalian minta beliin makanan, ya?" Meka menggerutu.

Lelaki itu segera mengirim pesan ke satpam yang ia suruh, tetapi tak kunjung dibuka, apalagi dibalas. Sepertinya, yang bersangkutan meninggalkan ponselnya di pos. Sungguh nasib. Ia pun bergegas keluar. Namun, belum sampai teras, Melody sudah datang. Langkahnya tergopoh-gopoh, padahal sepatu yang dikenakan memiliki hak yang cukup tinggi.

"Di mana?" tanyanya pertama kali setelah berhadapan dengan Meka.

"Dalem."

"Obat?"

"Masih dibeliin."

"Makan?"

"Ini mau beli."

"Ya udah, lo cabut sana!"

Melody segera masuk dan mendekati Al, sedangkan Meka memutar bola matanya malas. Ia merasa menjadi pesuruh, padahal bengkel ini milik keluarganya. Andai bukan senior, ia pasti sudah menelan Melody. Itu pun kalau tidak ada Al di sana. Tak mau ambil pusing, ia lekas mencari pedagang bubur terdekat.

Sementara itu, gadis yang mengenakan blazer beige dan bawahan hitam buru-buru mengecek suhu badan Al. Ia tak peduli dengan posisi duduknya--berjongkok--yang mulai menyiksa tumit. Sebelum bunyi pip terdengar, ia tetap pada posisinya.

"Kok bisa panas banget, sih? Lo ngapain aja?" keluhnya saat menemukan angka 39,2° Celcius.

Melody kemudian mengganti kompresan Al. Ia tak harus menyeka tubuh lelaki itu karena Al tidak berkeringat.

"Al, bangun, yuk."

Tak ada respons apa pun. Al masih setia memejamkan matanya. Iseng, Melody mencubit hidung Al dan memainkannya sebentar. Namun, hanya dahi Al yang mengernyit, sedangkan sosok yang dijaili tidak mau bangun.

"Nakal, ya."

Melody mulai mendekatkan wajahnya. Ia menyusuri wajah Al menggunakan hidungnya, mulai dari kening, terus ke bawah hingga ke dagu. Ia kemudian menggigit bibir bawah Al, yang membuat lelaki itu refleks membuka mata karena kaget--tidak sakit, tentunya.

"Kalau lecet, Kakak yang salah."

"Biarin, lagian cuma gue yang bisa nyium."

Al tersenyum tipis. "Oke, gue kalah."

Lelaki itu pun mencoba duduk. Peka, Melody membantunya bersandar pada sofa. Kain yang menempel di dahinya langsung jatuh. Setelah sadar seratus persen, ia sontak meraih ponsel dan mengecek jam. Sisa sisa tiga puluh menit lagi. Gawat, batinnya panik.

"Kakak ngapain ke sini? Gue mau mandi. Bawa motor, nggak? Nebeng ke kampus, ya? Nggak buru-buru, kan?"

"Satu-satu Al."

"Oke, jawab yang mana pun."

"Nih," Melody menunjuk termometer yang selalu ia bawa ke mana-mana, "gue ke sini karena Meka telpon."

"Terus sekarang ke mana, tuh, anak?"

"Beliin lo sarapan dan obat."

Al menggeleng. "Nggak sempet. Gue makan kalau udah balik, oke?"

Melody lekas menahan tangan Al yang hendak keluar. "Dosen siapa?"

"Prof. Abun," jawab Al datar.

"Gue yang hubungi beliau, lo istirahat dulu."

"Nggak. Gue nggak mau. Sekarang bisa aja dibolehin, tapi entar pasti diungkit lagi. Gue nggak mau dipersulit."

"Tapi--"

"Santai, Kak. Cuma demam. Kalau kenapa-napa, gue bakal chat lo. Sip?"

Melody mengembuskan napas panjang. "Gue yang patahin kaki lo kalau terjadi apa-apa."

Al refleks tertawa, lalu mengacak rambut Melody pelan. "Cantik, deh. Pacar siapa, sih?"

"Udah sana mandi. Gue tungguin."

"Nggak ikut sekalian?"

"Al!"

"Oke, oke, gue mandi."

Setelah berjalan lima langkah, Al malah putar balik. Melody seketika menautkan alis. Tahu-tahunya, lelaki itu menunduk, menyejajarkan wajah mereka yang kini hanya berjarak tiga senti. Detik berikutnya, Al tersenyum manis. Mata keduanya saling tatap cukup lama.

"Makasih, ya," ucap Al lembut.

"Sama-sama."

Al menatap bibir Melody lekat-lekat. Setelah mendapat anggukan dari gadis itu, ia lekas menciumnya dan sedikit memberi bekas di sudut kiri. Melody segera memberi pelajaran dengan mendorongnya jauh-jauh. Meski begitu, Al tetap terkekeh-kekeh.

"Lo cabut aja nggak apa-apa, Kak, daripada dimarahin bos."

"Gue masih ada waktu buat ngurus anak nakal kayak lo."

"Anak nakal ini bisa ngurus dirinya sendiri."

Melody berdiri. "Ya udah kalau gitu, tapi entar pulang, ya? Akhir-akhir ini lo jarang di rumah. Sadar, kan?"

Al menelan ludah. Ia tidak yakin. Ada hal yang membuatnya enggan menuruti permintaan itu. Alih-alih menjawab, ia hanya tersenyum dan permisi ke kamar mandi, sebelum tenggat waktu makin mengejarnya.

Lagi, Melody harus menekuk wajah. "Segitu nggak maunya lo, Al?"

Gadis itu pergi tanpa pamit. Saat disapa Meka pun, ia tetap melenggang begitu saja, membuat sosok yang membawa tiga bungkus makanan termangu bingung.

Ini semua karena Al. Lelaki yang tak bisa merasakan sakit dan justru menciptakan rasa sakit untuk orang lain itu harus bersuara.

🏍️
~~~~~

Hai! Jadi ceritanya lagi tes ombak buat sekuelnya. Gimana? Lanjut, nggak?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top