[5] Relasi
Sunyi. Hanya detak jam yang setia mengisi kamar bertembok hitam nan remang-remang. Tempat tidur tersebut dipenuhi poster motor gede yang tertempel pada lemari, di atas kasur, sebelah meja belajar dan dekat kapstok. Penghuninya tengah menjambak rambut, berusaha untuk membelalakkan mata.
"Dalam suatu sistem kendali pneumatic, udara bertekanan ditampung dalam sebuah tangki yang berbentuk silindris yang bertekanan 30 bar. Massa jenis udara dalam tangki adalah 32 kg/m³. Tentukanlah energi yang ditampung tiap kilogram udara, jika volume tangki adalah 1,3 m³, perkirakanlah total energi potensial udara dalam tangki."
Melody membaca soal kelima keras-keras. Kata orang, hal ini bisa menstimulasi telinga agar bisa menangkap materi dua kali lebih efektif dibanding hanya membatin. Namun, bukannya masuk, malah menambah masalah.
Kesal, ia mengacak rambut dan melempar pensilnya ke sembarang arah. Gadis itu lekas menjatuhkan tubuhnya ke lantai kamar yang tak beralas. Lantas, ia memandangi langit-langit kamar yang mulai bersarang.
"Hah ...," hela Melody.
Waktu sudah lewat tengah malam, tetapi tugas dari mata kuliah sistem fluida belum juga rampung. Dua jam ia habiskan dengan bergulat bersama angka-angka yang membosankan. Kadang ia bertanya-tanya, mengapa repot-repot memilih mesin sebagai kekasihnya selama di universitas. Bertemu dengannya selama empat tahun tidaklah menyenangkan.
Fokus Melody terpecah saat ponselnya bergetar hebat. Ia lekas bangkit dan meraih benda yang terkapar di atas nakas tersebut. Dengan cepat ia menekan tombol hijau saat mengetahui rekan sekelaslah yang menelepon.
"Halo, Nas?"
"Kelar?" tanya Anas--laki-laki dari seberang.
"Ck, kalau udah, gak mungkin gue ngangkat telpon lo sekarang."
Melody mendengkus. Ia dapat mendengar tawa bahagia dari kawannya. Sekian lama bersama tentu membuat mereka hafal tabiat masing-masing.
Hampir seantero teknik mesin angkatan 2017 mengetahui, betapa payah otak Melody dalam berhitung. IPK-nya pun tidak pernah menyentuh angka tiga. Dua pun syukur. Melihat betapa tegar gadis itu bertahan di tempat ini sungguh luar biasa.
"Udah nyampek nomer berapa?"
"Lima," jawab Melody ketus.
"Astaga, Mel. Mau kelar jam berapa? Lo butuh tidur. Besok jam enam harus udah di stadion. Wajib ain."
Melody memutar bola matanya malas. Ia paham situasi yang ada di depannya. Namun, dia bisa apa? Melihat rumus yang berderet saja kepalanya sudah berdenyut. Mungkin otaknya kini telah mengeluarkan asap seperti milik Patrick. Ia benar-benar tidak bisa melanjutkan tugasnya.
"Bodo amat, gak gue lanjutin. Capek. Pengen merem," ungkapnya.
"Baru juga tugas pertama, Mel."
"Mau tugas pertama atau bukan, kalau kagak bisa ya tetep kagak bisa. Ini bukan indomie, gak bisa instan."
"Hadeh," Laki-laki tersebut berdecak sebelum melanjutkan, "besok gue kasih liat, tapi jangan sama persis banget. Pak Yon galak. Ok?"
Akhirnya. Pening Melody lekas menghilang. Ia menarik senyum sempurna hingga mata sipitnya tinggal segaris. Tidak akan ada yang tega mendengarnya mengucap 'bodo amat', terlebih jika itu berhubungan dengan mata kuliah. Menjadi salah satu dari tiga gadis mesin se-universitas membuatnya istimewa.
"Uwu, makasih, Nas. Kadar peka lo emang level kuadrat."
Anas terkekeh. Ia segera pamit dan menutup panggilan untuk beristirahat. Melody kembali berterima kasih sebelum akhirnya tak lagi tersambung. Napas gadis itu kembali lancar seperti semula.
Tanpa merapikan lembaran-lembaran kertas yang berceceran, Melody beranjak menuju kasur dan mendekap Mamang--boneka berbentuk motor gede--dengan erat. Ia kembali membuka ponsel dan mampir ke akun instagram. Biasa, rutinitas sebelum tidur. Matanya memang aneh, melihat angka tidak sanggup, tetapi memandangi postingan tak penting sungguh betah.
Jari gadis itu dengan lancar mengetikkan sesuatu. Tak perlu bersusah payah, ia segera berhasil mendapatkan apa yang ia cari. Entah siapa yang merasukinya, nama Alras Faraden tiba-tiba terlintas dan menarik untuk diselidik.
Akun dengan username @alrass itu tidak terkunci. Ia memiliki banyak pengikut, lebih dari lima ribu followers tanpa following satu pun. Foto yang diunggah pun tak banyak. Hanya beberapa potongan badan, seperti mata, setengah wajah dan kaki. Penampakan seluruh tubuhnya hanya dipotret dari samping dan belakang.
"Cakep."
Kata itulah yang pertama kali terucap saat melihat unggahan wajah Al yang dihiasi flash dan berlatar hitam. Sungguh, kejujuran Melody patut diberi penghargaan. Gadis yang memainkan rambut panjangnya itu mulai melewati foto-foto yang tidak menarik.
Matanya pun berhenti di salah satu foto SMA Al. Sebuah pemandangan saat ia memamerkan piala kejuaraan yang cukup besar membuatnya bangkit dan bersandar pada dinding. Dengan teliti, Melody berusaha membaca tulisan buram pada poster di belakang posisi adik tingkat tersebut.
"O-lim-piade?"
Suara nan melengking itu tidak salah. Sebuah ajang bergengsi yang sangat mustahil bagi Melody benar-benar terpampang di sana. Gadis itu lekas menutup mulut dan menelan lidah. Untuk kedua kali, ia kehilangan mukanya.
¶
Laki-laki yang mengayunkan kaki bergantian itu sungguh malas dan merasa terasingkan. Hal yang ia lakukan hanya duduk, mengabsen punggung para senior yang tak pernah lelah menggerutu, seakan ada saja kesalahan yang dibuat di setiap harinya.
Al tidak kuasa untuk menahan napas kesal. Semilir angin yang menabrak bulu halusnya tak membantu apa pun. Sesekali ia membenahi kacamata hitamnya dan kembali menatap lautan manusia. Kali ini, mereka dihukum untuk mencari sampah di sekeliling stadion.
"Hei!" sapa seseorang sambil menepuk bahu Al.
Laki-laki itu tersentak, menoleh lalu mendongak ke sumber suara. Ia buru-buru mengangguk saat senior cantik yang menunggu di posko kesehatan tempo hari duduk di sampingnya. Al bahkan bergeser ke kanan agar tidak terlalu dekat.
"Kepala lo kenapa?" tanya Melody penasaran.
Sejak melihat Al termenung sendiri, gadis itu sudah berniat untuk mendekat. Hanya saja gangguan ini dan itu dari panitia lain terus menghadangnya. Berhubung para mahasiswa baru tengah dihukum, ia bisa melenggang santai sepuasnya dan menjalankan misi.
Tanpa menoleh dan tetap memakai kacamata, Al menjawab, "Kepentok."
"Hah?"
Melody tak kuasa menahan kekehannya. Nada bicara Al dengan kalimat yang diucapkannya sungguh tidak sinkron. Suara berat, datar dan dingin yang keluar dari mulutnya hari ini sukses mengundang tawa.
"Abis pingsan masih sempet kepentok?"
Al mengangguk, memang begitulah kenyataannya. "Iya, lucu?"
"Banget."
Al memandang sisi kanan Melody dengan lekat. Meski kacamata telah mengubah segala warna yang dilihatnya, ia masih bisa mengamati lekuk wajah sang senior. Pipi yang terangkat mendekati kantung mata dan menenggelamkan hidung minimalis itu merayunya untuk mencubit. Terlebih bibir ranum Melody sungguh berisi dan …. Ah, sudahlah, Al segera mengalihkan pandangan.
"Ehem," dehamnya mencairkan suasana.
Ia menggeleng cepat, mengusir bayangan Melody yang menari dalam benak. Matanya masih sibuk mencari objek yang pantas untuk dilihat, selain wajah Melody.
Gadis itu berhenti tertawa dan menatap langit dengan serius. "Kenapa lo masuk mesin?" tanyanya tiba-tiba.
Al pun menoleh sekilas lalu ikut memandang birunya awan siang ini. "Asik."
Lagi-lagi singkat, padat dan entah menjelaskan atau tidak. Kalimat Al bagaikan jumlah karakter dalam SMS zaman dulu. Semakin banyak dan panjang maka semakin mahal pula tarifnya.
"Kenapa lo gak ngambil teknik yang lain? Informatika atau elektro, mungkin? Gue liat lo aktif ikut olimpiade matematika dan pernah ikut robotik juga, 'kan?"
Al melepas kacamatanya. Bola mata laki-laki itu membesar seiring dengan alisnya yang terangkat. "Kok lo tau?"
Melody menelan ludah lekas tergagap. Ia memalingkan wajah dan segera menepuk mulut yang sempat kehilangan rem. Matanya terpejam gemas. Sungguh malu.
"Mm ...." Melody berpikir keras. "Liat formulir minat bakat yang lo kumpulin ke pendamping," jawabnya asal. "Iya, itu."
Al menyeringai. "Gue bahkan belum ngisi."
Skakmat. Melody tersenyum lebar hingga menampakkan gigi rapinya. Ia langsung menggigit bibir bawahnya dan menggaruk kepala. Sangat salah tingkah.
"Ok, ok. Gue stalking akun lo kemarin. Puas?"
Al mengangguk samar. Bibirnya masih tersungging dengan santai. Otaknya kian liar untuk melangkah ke arah yang diinginkan. Ia termenung sebentar lalu kembali menoleh ke arah Melody.
"Minta nomer lo dong ..., Kak."
Gadis yang baru kali ini mendengar sapaan tersebut hanya menatap lekat. Keduanya bertukar pandang cukup lama bak lautan manusia di sekitar stadion tak lagi berarti. Perlahan, Melody tersenyum dan menggeleng pelan.
Mau hari ini atau besok, ia tidak akan mengangguk. Semoga memang demikian.
Day 5
19 April 2020
Re-Pub
6 Februari 2021
2nd Re-Pub
3 Januari 2022
Buat teman-teman yang pengin berteman dan/ gabung ke grup readers bisa WA aku, ya. Nomornya ada di profil 😍
Kencan dulu ☕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top