[3] Bertanggung Jawab
Lapangan 130 m x 85 m menyambut kedatangan mahasiswa baru setelah dimanja oleh aula ber-AC. Matahari yang tengah tersenyum riang memancarkan teriknya secara totalitas. Peluh demi peluh mulai bermunculan di area kening, punggung, dan telapak kaki.
"Push up, sit up, squat jump, semuanya sepuluh set, laksanakan!"
"Siap! Push up sepuluh set, laksanakan! Satu, dua, tiga ...."
Ratusan mahasiswa baru itu mulai tiarap. Suaranya masih lantang mengingat hari masih setengah siang. Energi mereka masih berkobar sempurna saat sang senior memberi hukuman. Tak tanggung-tanggung, satu set yang berarti sepuluh lakuan tersebut dihadiahkan saat agenda belum dimulai sama sekali.
"Hah ...," seru mereka satu per satu.
Rumput hijau yang rutin terawat itu beralih fungsi sebagai kasur. Mereka menjatuhkan tubuh, mencium bumi, dan menikmati sensasi menggelikan yang menembus kaus lapang. Napas pun Senin-Kamis setelah 100x push up terlewati.
Tidak sedikit dari mereka yang memijat tangan dan kaki. Pegal dan linu perlahan merambat dan menyiksa. Hanya Al yang masih celingak-celinguk, mengabsen aksi para rekannya yang bermacam-macam. Tatapan lelaki itu masih santai meski deru napasnya sama cepat dengan yang lain. Ia membenahi letak topi yang sedikit miring berkat pergerakan yang berulang.
"Gila tuh senior, ngasih hukuman langsung sepuluh set, njir!" keluh seseorang di samping Al.
Al mengalihkan pandang ke arah panitia yang berdiri sempurna sambil berkacak pinggang. Ada pula yang semangat memegang megafon dengan seruan yang itu-itu saja. Beberapa lainnya menyilangkan tangan di depan dada dan mengawasi dengan tajam. Hanya dua orang yang memilih berteduh bersama petugas kesehatan.
"Gue Meka." Tukang sambat di samping Al mengulurkan tangan.
Hening. Laki-laki berlesung pipi itu tak lagi mengucap apa pun. Ia menunggu dengan puppy eyes-nya, mengharap balasan dari calon kawan baru yang ia kagumi sejak hari pertama.
Al pun tersenyum tipis dan menjabat tangan tersebut. "Al."
"Salam kenal, ya. Sesama mesin, Bro."
Al melirik pita yang terpasang di lengan kiri Meka. Benar, warna yang sama dengan miliknya. Ia kembali tersenyum dan mengangguk. Setidaknya, ia telah mengantongi kenalan yang serumpun.
"Sit up sepuluh set, laksanakan!"
Seruan tiba-tiba dari koordinator lapangan itu membuat para junior tunggang langgang mengubah posisi. Dari yang semula tengkurap menjadi telentang. Matahari yang berada di atas kepala menyapa mereka dengan senang hati. Keluh berisi umpatan silau mengiringi mata yang mengernyit.
"Sat! Mereka maunya apa, sih? Nyiksa?" Meka kembali mengotori mulutnya sendiri. Mungkin itu adalah kebiasaan atau bahkan kegemarannya.
"Iya, lagian kita kan cuma telat dua belas menit."
"Iya, ih. Dome ke stadion kan jauh banget."
Dua gadis berjilbab di sebelah kiri Meka ikut menyaut. Meski udara yang mereka hirup semakin sulit untuk diraup, mereka masih sempat melakukan pembelaan. Sisi tidak terimanya menyeruak di belakang.
Al hanya menyimak. Kalaupun ingin, ia pasti telah mendebat keluhan tersebut. Lantang berbicara memang bagus, tetapi bukan di belakang seperti ini yang harus diapresiasi.
Susah payah Al menahan rasa jijik yang ingin muncul di raut wajahnya. Entah harus berapa lama ia mendengarkan curhat yang sambung menyambung tersebut. Telinganya meronta, meminta untuk diistirahatkan.
"Mau sampai kapan mereka ngegosip? Sit up udah ke-45 ini," gerutu Al pelan yang terdengar oleh Meka.
"Biasalah anak cewek. Biarin aja," jawabnya.
"Anak apa?" Al penasaran.
Meka menoleh dan melirik lengan kedua gadis di sampingnya. "Dua-duanya industri."
Al mengembuskan napas lega. Syukurlah, ungkapnya dalam hati. Paling tidak laki-laki itu tak akan menjumpai spesies demikian di jurusannya.
"Setop! Ganti!"
Meka sontak berbalik ke arah depan. "Loh, udah?" herannya.
Al pun mengangkat bahu bingung. Ia yakin bahwa hitungannya tidak salah dan mereka masih di angka 70-an. Mungkin senior ganas berhati hello kitty itu memberi potongan pada mereka.
"Rangkul kawan di samping kalian!" Senior tersebut kembali berseru.
Para mahasiswa itu kompak menoleh dan menatap satu sama lain. Matanya linglung dan liar mengedar ke segala sisi, tak memahami instruksi yang diberikan. Lantas pendamping pleton yang semula berdiri di tempat masing-masing mulai menyebar dan membenarkan.
Jarak yang terbentang cukup jauh berkat aksi dua hukuman sebelumnya seketika menciut. Anak-anak baru tersebut saling mempercayakan tangannya ke bahu orang lain. Mereka mempersempit dan merapatkan barisan sesuai arahan.
"Squat jump sepuluh set, laksanakan!"
"Satu ... dua ...."
Para mahasiswa itu mulai menekuk lutut dengan susah payah. Posisi tangan yang bergantung ke pundak kawannya itu cukup mempersulit gerakan. Terlebih saat mengangkat tubuh, sebagian dari mereka tak senada dalam melakukannya. Hal itu sontak berhasil memecah belah keadaan. Keluh demi keluh pun kembali hadir. Mulut mereka lagi-lagi saling menyalahkan.
"Yang kompak!"
Suara dari megafon itu kembali datang. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Perintah yang sama terus terucap, lagi dan lagi. "Kompak, kompak! Itu tangannya lepas! Itu juga! Yang bener!"
Al mendengkus. Tatapannya fokus pada kakak tingkat yang mengawasinya dari samping kanan. Kedua netra mereka bertemu cukup lama. Al pun melayangkan seringai andalannya sebelum kembali menghadap depan.
"31 ... 32 ... 33 ...."
Angka-angka itu terus bertambah. Betis, pinggang serta lengan berusaha tegar semaksimal mungkin.
Al menggeleng. Matanya terpejam saat suara megafon berubah menjadi sebuah dengungan yang luar biasa. Ia menelan ludah lalu membuka mata. Buram dan hitam kehijauan.
Panik. Al mengusap matanya brutal. Ia mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dari mulut. Ia kembali menutup mata dan membukanya perlahan. Masih sama. Hanya getaran yang mampir ke telinganya saja yang berbeda. Semakin kuat dan sangat mengganggu. Kini, Al tak dapat mendengarkan satu pun kalimat yang terucap.
"Eh, lo enggak pa-pa?" tanya Meka saat menyadari gelagat aneh Al.
"G-gue--"
Tangan yang semula kuat memegang bahu di sampingnya itu melemah. Al tak lagi bisa merasakan tubuhnya. Ringan, seolah dapat terhempas hanya dengan tiupan angin. Laki-laki itu pun limbung ke kiri dan tersungkur.
Aroma rumput yang terbakar matahari lantas menusuk hidung. Al berkedip pelan, berusaha melihat siapa pun yang ada di hadapannya. Namun, semuanya kian samar hingga gelap menutup matanya.
¶
Tangan kiri Melody tak henti mengambil kudapan yang ia bawa dari indekos. Mulutnya mengunyah tanpa henti, sedangkan matanya fokus mengupas setiap kalimat yang ia baca. Sebuah novel karangan Kazuo Ishiguro menjadi kekasihnya hari ini. Sudah separuh buku ia habiskan sejak kemarin malam.
"Sial, sial, sial," ucapnya saat membaca suatu adegan mencengangkan. Hal itu bukan umpatan, melainkan bentuk kekagumannya.
Gadis itu semakin jatuh ke dalam bacaannya. Ia mengangkat kedua kakinya ke kursi lalu berjongkok. Sesekali ia membenahi kacamata bulatnya yang kerap turun. Maklum, hidung gadis itu sedikit landai.
"Enak lo, ya, dapet kerjaan ginian!" seru Tyo--salah satu panitia bagian logistik.
"Ya, kan bukan gue yang mau. Protes ke Bang Bima sana!" jawab Melody tanpa melirik sedikit pun.
Laki-laki itu hanya menggeleng lalu keluar posko setelah mendapatkan barang yang ia mau. Melody menjulurkan lidah dan memutar bola matanya malas. Iri bilang, Bos, batinnya.
Gadis itu menoleh, menatap sosok yang membuatnya dikunci di tempat ini. Seseorang yang membuatnya enak-enak berteduh, di saat panitia lain tersengat sang surya. Laki-laki supernyebelin yang memberinya kesulitan di hari pertama, tetapi menghadiahkan kenikmatan di hari kedua. Melody jadi penasaran, apa yang akan Al berikan untuknya di hari ketiga?
Laki-laki itu masih terpejam sempurna. Bibir Al tampak pucat dan sedikit biru. Deru napasnya juga masih sama. Cepat, selayaknya atlet maraton.
Melody menutup novel dan meletakkannya di atas nakas. Hatinya terketuk untuk tak lagi bersantai dan melakukan tanggung jawab seperti seharusnya. Ia mengambil kompresan yang ada di dahi Al dan mencelupkannya kembali ke baskom.
"Hm, anak kayak lo bisa sakit juga, ya," ucapnya sambil memeras kain tersebut.
Melody beranjak dari duduknya dan mendekati tempat tidur Al. Ia membungkuk dan meletakkan benda tersebut kembali ke tempatnya. Ia gerakkan telapak tangannya untuk menyentuh leher Al. Sungguh panas.
Melody membuka laci nakas dan mencari kain lain. Ia kembali membasahi benda tersebut sebelum mulai menyeka juniornya. Namun, alis gadis itu terlebih dulu bertaut. Matanya berkeliaran bingung.
"Eh, dia ... gak keringetan?"
Niat untuk mengelap keringat Al pun urung dilakukan. Gadis itu spontan meletakkan kain tersebut dan mengusap tangan Al dengan kosong. Terlepas dari panas yang mendera, kulit Al sungguh halus dan bersih.
Melody lantas berdiri. Perlahan, ia berjalan mendekat lalu menyentuh rambut Al. Benar-benar kering. Tanpa disadari, senyumnya merekah dengan sendirinya.
"Kalau lagi diem begini, lo cakep juga, ya."
Day 3
17 April 2020
Re-Pub
4 Februari 2021
2nd Re-Pub
2 Januari 2022
Lama-lama aku pengin ganti nama Kak Mel jadi namaku sendiri 🤧
Sudahlah, nanti Abang ngambek ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top