[27] Kembali Jatuh
Hiruk pikuk manusia di sekitar tidak pernah memiliki harga. Al lebih terpaku dengan lamunan yang tak segera enyah dari alam pikir. Berulang kali ia mengusir dengan gelengan kepala dan usapan wajah.
Laki-laki itu memejam lalu membuka matanya kesal. Ia menggaruk tengkuk lalu mengacak rambut. Al mengerang, marah akan dirinya sendiri. Kemudian menatap para senior yang asyik berbincang membahas wahana apa saja yang akan mereka naiki.
"Tum, mau itu dulu."
"Itu aja."
"Gak, ke sana dulu aja."
Sekali saja Egas ingin melepaskan kedua tangannya dari badan. Sekujur tubuhnya ikut linu saat Idon dan Doni menariknya bergantian. Lelah menyetir dari kampus ke dunia fantasi membuatnya tak lagi memiliki daya. Sekadar menghempaskan si kembar saja tidak sanggup.
"Berisik!" seru Melody. "Lepas!"
Gadis itu menghampiri sang ketua dan mengambil alih Egas ke sisinya. Laki-laki itu menghela napas lega seraya mengelus dada. Ia tersenyum tulus dan mengucapkan terima kasih, meski tiada suara yang terdengar.
Al masih terpaku di tempatnya. Seumur hidup, baru ini kakinya menginjak tempat pariwisata, apalagi wahana bermain. Apa pun bentuknya, ia tidak pernah menjajaki dunia luar. Bahkan kebun binatang pun, Al tidak tahu wujudnya seperti apa.
"Ayo?" ajak Melody seraya menggandeng lengan kanan Al. "Mau naik apa?"
Al menggeleng. Bukan tidak mau, melainkan tidak tahu. Ia menelan ludah saat suara teriakan yang entah datang dari sisi mana kembali terdengar. Tubuh pun terpaku, tiba-tiba rasa takut menggelutinya.
"Kora-kora dululah, Mel," saran Idon.
Melody menatap Al. "Mau?"
Lelaki itu berkedip ragu lalu mengangguk pelan. Demi apa pun, ia tidak tahu benda mana yang bernama Kora tersebut. Kakinya memilih untuk mengikuti ke mana pun para senior mengajaknya.
"Kalian gimana?" lanjut Melody menatap kawan-kawannya yang tak bergerak.
"Mau ke halilintar. Pisah aja gak pa-pa, ketemu di sini lagi entar."
"Ok."
Al sedikit membungkuk, memberi salam pada kakak tingkat yang memilih untuk melenggang ke sisi kiri. Langkah kecilnya mengiringi kaki Melody yang melompat kegirangan. Binar mata gadis itu membuat senyum Al otomatis mengembang.
"Yeay!"
Laki-laki penggila angka itu mendongak, menatap sebuah perahu yang mengayun hingga kemiringan 90 derajat. Matanya refleks terbelalak, diikuti dengan mulutnya yang menganga. Kecepatan yang tak main-main itu membuat nyalinya terjun bebas.
"Al?" Melody menyenggol lengan sosok di sampingnya tersebut. "Al!"
"I-iya?" gagap Al.
"Kenapa? Lo gak berani, ya?"
Al menatap Melody lamat-lamat. Bibir gadis itu sedikit turun ketika mengucap kalimat tersebut. Ia paham bahwa kecewa akan menggantikan rasa antusiasnya jika Al berkata 'iya'. Ia lantas menarik napas dalam-dalam sebelum menggeleng yakin.
"Berani, kok."
Mereka langsung bergegas untuk membeli tiket dan antre dengan pengunjung lain. Setelah sepuluh menit menunggu, giliran pun datang. Melody segera menarik tangan Al dan tak melepaskan lengannya sedikit pun.
Lelaki itu memegang pinggiran kapal dengan erat. Semua seniornya menantang untuk duduk di paling belakang. Ia lekas mengeratkan cengkeraman saat kora-kora tersebut mulai mengayun.
Tubuh Al seperti diangkat, terombang-ambing menampar angin. Matanya bergerak bingung, entah harus menatap mana. Teriakan Melody dan yang lain membuat telinganya berdengung.
Degup jantung Al berpacu lebih cepat dari biasanya. Dadanya terasa berat, seakan ada ribuan batu yang menghalangi jalan pernapasannya. Tangan yang masih digenggam erat oleh Melody itu perlahan bergetar.
Selesai dengan permainan, para penumpang perahu itu mulai berdiri satu per satu. Ada yang berjaga hingga terhuyung-huyung. Tidak sedikit dari mereka yang saling mengolok.
"Cemen lo, Mel. Teriak doang yang dikencengin," ejek Idon.
"Ye, orang baru pertama kali naik ginian."
Melody melepaskan pegangannya pada Al dan berjalan lebih dulu. Perutnya bagaikan diaduk dan hasrat ingin muntah naik ke kerongkongan. Ia segera memijat lehernya dan menghirup aroma terapi guna menetralkan hal tersebut.
"Cepet dong, Al!"
Seruan itu masih sanggup hinggap di telinga Al. Namun, setelah itu hanya dengunganlah yang menggantikan. Rupa cerah siang hari ini berubah gelap kebiruan. Dengan hati-hati, Al menapaki tangga yang tak lagi ia kenali bagaimana wujudnya.
Napas Al berderu panik. Ia menggeleng kuat saat raut Melody semakin samar di matanya. Ia tersentak saat kakinya tak berhasil menyentuh anak tangga.
"Al!"
Melody, Egas dan si kembar berlari menghampiri Al. Laki-laki itu tersungkur setelah menghantam anak tangga beberapa kali. Mereka semakin panik ketika pelipis Al mengeluarkan darah segar. Kedua telapak tangannya pun ikut terluka sebab bertumpu pada bebatuan.
"Ya ampun, Al."
Melody merogoh kantung dan mengeluarkan sapu tangan yang selalu ia bawa. Kemudian menekan sumber darah tersebut. Ia menggigit bibir saat Al bergeming dan linglung.
"Ke lobi aja, Mas. Minta bantuan," seru operator wahana dari kejahuan.
Doni mengangguk. "Gue sama Idon nyari pertolongan dulu."
Melody mengiakan. Tanpa diminta, Egas membantu Al untuk berdiri. Laki-laki itu memapah sang junior dan membawanya duduk di kursi pengunjung.
"Mel, gue beli minum dulu, ya."
Empunya nama lagi-lagi mengangguk. Matanya sudah berkaca-kaca dan tubuh pun turut gemetaran. Datar tatapan Al membuatnya semakin panik. Laki-laki itu masih diam seribu bahasa dengan pandangan kosongnya.
Melody menatap kain bermotif kupu-kupu--kesayangannya. Ia terus menekan luka Al yang tak hentinya mengeluarkan darah. Air mata yang berusaha dibendung lantas menetes tanpa diminta.
Semakin sadar akan perlakuan tersebut, Al pun menoleh dan tersenyum tipis ke arah Melody, meski ia tak tahu di mana tepat gadis itu berada.
"G-gue pengen nanya sakit atau enggak, tapi gue sadar itu pertanyaan bodoh," ucap Melody dengan suara bergetar.
"Gue OK."
"Dan itu karena lo gak punya kosa kata lain."
Melody terisak tanpa malu. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Tangan kanannya ia gunakan untuk menekan kening Al, sedangkan sebelah kiri mengusap telapak tangan lelaki itu dengan lembut. Goresan-goresan kecil yang bertebaran di sana membuatnya sakit.
"Please, kasih tau gue. Apa yang lo rasain sekarang?"
Rasa bersalah memenuhi relung Melody. Kalimat-kalimat yang didahului 'andai' dan 'kalau saja' terus bermunculan di pikirannya. Semua semakin perih saat Al tetap damai di tempatnya. Jika itu Melody, ia tidak akan setenang itu.
Apa yang gue rasain?
Al mengulang kalimat Melody, berusaha mencari rasa yang dapat menjawab tanya tersebut. Laki-laki itu menggeleng pelan. Senyumnya kembali hadir ketika tetesan air dari pelupuk matanya jatuh ke pipi.
"Gue gak ngerti, Kak. Rasanya seperti ... pengen ngeluh, tapi gue gak tau apa masalahnya."
Melody tertegun. Ia membawa Al ke bahunya lalu mendekap erat. Setelah si kembar membawa bala bantuan, mereka segera membawa Al ke klinik terdekat untuk mendapat perawatan.
Syukurlah, Al hanya perlu beberapa jahitan dan sedikit istirahat. Setelah menghabiskan satu botol infus, ia sudah diperbolehkan pulang.
Setelah turun dari mobil Egas, tangan Melody enggan melepaskan tubuh Al. Erat genggamannya berjaga agar laki-laki di sampingnya tidak menabrak apa pun. Sesekali ia meringis saat kaki yang tertatih itu diseret paksa.
Al berusaha berkata baik-baik saja lewat senyum tipis yang sesekali muncul. Tubuhnya memang terasa lelah, tetapi pandangannya baik-baik saja. Hanya rona wajah pucat dan kepala berbalut perban yang membedakan.
Ia lekas bersandar pada tembok saat Melody melepaskannya. Kemudian menghela napas panjang, sibuk menatap tangan Melody yang terus gemetar saat membuka kunci. Ia pun bangkit dan mengambil alih benda tersebut.
"Kalau buka pintu itu ke kanan, Kak," lirihnya.
Melody menelan ludah. Ia pamerkan senyumnya guna mengurangi rasa canggung. Lantas kembali meraih lengan Al dan menuntun laki-laki itu sampai sofa ruang tamu.
"Lo duduk sini dulu, ya. Gue ambil air minum."
Al mengangguk. Ia pun bersandar pada sofa dan memejamkan mata. Kantuk yang menderanya seakan mengajak untuk menyelami alam mimpi.
"Astaga, Al!"
Sang empunya nama tersentak. Mata yang baru sekian detik terpejam itu sontak terbelalak ketika Rumi tergopoh-gopoh menghampirinya. Ia semakin dibuat heran mengingat hari masih terang dan ibunya sudah pulang.
Rahman yang berjalan di belakang pun ikut tergesa-gesa. Kedua orang tua itu duduk berjongkok di depan Al dengan raut khawatir. Tangan Rumi terangkat mengusap pelipis Al yang ditutup perban.
"I-ini kenapa?" tanyanya lembut dan sedikit bergetar.
"Jatuh."
"Kok bisa?" Rahman tak kalah penasaran.
Al bergeming. Pekat irisnya liar mengedar ke sembarang arah, asal tak bertemu milik ibu dan calon ayahnya. Tak sadar, ia meremas celananya kencang. Bibirnya mengatup rapat, tak segera menjawab.
"Loh, Papa ..., Tante, sudah pulang."
Melody terpaku dengan dua gelas air yang ia bawa. Kakinya bergerak mundur ketika ayahnya menatap tajam. Keringat dingin pun mulai bermunculan di daerah kening dan telapak tangan. Jantung Melody semakin berdegup saat Rahman beranjak dan mendekatinya.
"Papa seharusnya mendengar penjelasan dari kamu, Mel." Lelaki yang berkacak pinggang dengan rautnya yang acak-acakan itu berseru, "Apa yang terjadi dengan adikmu? Kenapa pulang-pulang dia diperban lagi? Mau sampek kapan kamu bahayain dia?"
Melody tidak sanggup mengangkat wajahnya. Susah payah ia menahan air yang telah berkumpul di pelupuk mata. Pertahanannya lagi-lagi runtuh berkat bentakan sang ayah.
"Al gak apa-apa, Om," ucap laki-laki itu membela Melody. Rautnya berubah iba saat tubuh yang masih memegang gelas dengan erat itu terus bergetar.
"Gak apa-apa gimana? Dalam sebulan kamu sudah terluka berapa kali? Dan itu semua karena anak Om."
Rumi beralih duduk di sebelah Al dan mengelus kepala anak itu. Ia tak berniat ikut campur untuk meredam amarah Rahman. Tubuhnya masih syok saat kembali disuguhi pemandangan seperti ini. Tidak ada ibu yang tak tersakiti kala anaknya terluka.
"Ma-maaf, Pa."
"Maaf aja? Gak mau cerita?"
Melody menghirup kembali ingusnya agar dapat meraup udara sebanyak mungkin. Perlahan ia mendongak dan melirik Al yang tak henti pula menatapnya. Laki-laki itu tersenyum manis memberi semangat.
"Tadi ... kita ke Dufan dan Al jatuh dari tangga setelah naik kora-kora."
Rahman menepuk jidatnya tak percaya. "Mikir apa sih kamu, Mel? Adikmu itu--"
"Om," potong Al. "Cukup. Al permisi ke kamar dulu."
Resah dengan kata 'adik' yang kembali terucap, Al pun bangkit tanpa pamit pada Rumi. Ia terus berjalan melewati Rahman dan Melody yang sama-sama menatapnya--takut kalau tubuh itu tiba-tiba limbung dan kembali membentur sesuatu.
Disebut saja begitu pelik, apalagi kalau disandang.
Day 27
11 Mei 2020
Re-Pub
27 Maret 2021
2nd Re-Pub
14 Januari 2022
Tiga lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top