[20] Salah Paham

Melody kembali mendengkus. Gadis itu masih sibuk memotong kuku dengan kaki yang menyilang. Ia hanya sesekali mengangguk dan berteriak 'setuju' atas keputusan apa pun. Entah paham atau tidak.

"Kan udah dipertegas sama Kajur, Yas. Tahun ini ada penggabungan jenis lomba. Itu instruksi dari kampus, kok. SK-nya udah turun."

"Ya, tapi kan, Ban ...."

Bibir Melody mengerucut bosan. Ia paling benci terkunci dalam kesekretariatan. Sudah dua jam ia berkutat dengan saran-saran yang tidak mau dinomorduakan. Perdebatan yang tak berujung itu membuat perutnya semakin liar.

Jam makan siang telah lewat setengah jam yang lalu. Azan duhur pun terabaikan berkat adu sengit yang terjadi. Melody hanya mengembuskan napas panjang. Sesekali ia menatap ponsel, memantau keberadaan adik tingkat yang tengah ia tugaskan.

From: Al-amak luar biasa
Di mana sih sekret lo? Pusing gue muter-muter!

Lo ospek kemarin ke mana aja, sih?
Lantai tiga paling ujung, sebelah UKM Catur.

Melody memutar bola matanya malas. Tidak hanya payah menghafal angka, ia juga lemah mengingat sesuatu. Bodoh dan ceroboh. Tidak ada yang bisa mengalahkannya dalam predikat tersebut. Beruntunglah kini ia tak lagi tinggal berdua dengan sang ayah.

Dengan santai gadis itu meminta Al untuk mengantar dokumen yang tertinggal di kamar. Jangan pikir laki-laki itu sedang duduk manis di rumah hingga Melody bisa bebas menyuruhnya. Al rela membolos dua mata kuliah demi pulang dan mengambil data-data tersebut.

Sang junior tidaklah tersesat. Ia hanya lelah memutari lantai dasar lalu naik ke lantai satu, dan begitu seterusnya. Satu per satu papan nama organisasi di atas pintu ia baca dengan teliti. Namun, nama HMJ Teknik Mesin tak kunjung ia temukan. Dan sialnya, memang sekretariat tersebut ada di lantai tiga.

Al menunduk dalam. Ia risi dengan banyaknya pasang mata yang melihatnya. Gedung khusus organisasi intra kampus ini tidak sepi sama sekali. Bahkan ada yang duduk mengangkat kaki sambil menikmati mi rebus instan. Kompor darurat yang tergeletak di depan pintu adalah jawaban mengapa mereka bisa memasak di tempat seperti ini.

Bukan Al malu dengan dirinya. Ia hanya tak biasa menenteng map berwarna merah muda dengan motif hello kitty. Ia telah mengumpat sedari awal. Bahkan sampai sekarang pun, ia masih melakukannya.

"Sial, di mana sih?" kesalnya.

Al mengernyit heran. Mengapa kampus dengan bayaran tak murah ini hanya memiliki lift di gedung fakultas? Ia pikir, student center ini layak untuk turut mendapatkannya.

Kesal campur bingung, Al pun menelan ludah. Kakinya maju mundur dengan ragu. Ia harus bertanya atau kalau tidak, ia tidak akan sampai tepat waktu.

"Permisi, Kak. HMJ Mesin di mana, ya?" tanya Al lirih pada dua orang gadis yang menata tongkat pramuka di tengah jalan. Ia tak terbiasa dengan situasi ini.

"Oh, lurus aja. Selisih lima sekret sama sini."

Al mengangguk. "Terima kasih."

Laki-laki itu mempercepat langkahnya, seperti berlari. Ia menghela napas lega saat tempat yang ia cari telah di depan mata. Al lekas menghubungi Melody untuk keluar ruangan.

Tak segera diangkat, Al kembali menekan layar panggil. Penasaran, ia melongok lewat jendela, mengintip suasana rapat yang telah disudahi tersebut. Ia lekas mundur dan berdeham. Senyum tipisnya sekilas muncul sebelum pintu sekretariat dibuka oleh seseorang.

"Al? Ngapain di sini?" tanya Bandi, masih dengan memegang kenop pintu. Agaknya mahasiswa tahun ketiga itu sudah hafal dengannya.

Dengan tak acuh, Al menunjuk Melody menggunakan matanya. Ia tidak lagi ingin bersuara.

"Oh, nyari Melody?" Bandi menoleh dan berteriak, "Mel, dicari adek gemes lo nih!"

"Suruh masuk!" teriak gadis itu dari dalam.

"Lo denger, 'kan?"

Al kembali mengangguk lalu melangkah masuk. Matanya mengedar, mengabsen tempat yang tak kalah rapi dari gudang rumahnya dulu. Ia segera mendekat ke arah Melody dan menyerahkan pesanannya.

"Nih!"

Melody mendongak ke sumber suara. Senyumnya merekah sempurna. Ia lantas mengambil alih dokumen tersebut dengan antusias. Ia juga menarik tangan Al untuk duduk di sebelahnya.

"Makasih, ya. Berkat lo, gue gak bakal disate sama Anas."

Kening Al berkerut bingung. Nama itu masih asing di telinganya. Seingatnya, tidak ada nama serupa di jajaran pengurus himpunan mahasiswa jurusan, apalagi LSO Robotika.

"Lo Al, 'kan?" Seorang laki-laki mengulurkan tangannya, "gue Anas."

Al menyambut tangan tersebut selama dua detik lalu melepaskannya. Ia segera memalingkan wajah tanpa menyebutkan nama. Toh, sosok di hadapannya itu sudah tahu.

"Bener kata lo, Mel." Anas mendekap tubuhnya dan berlagak menggigil. "Dingin."

"Iya, 'kan? Haha."

Gadis itu tergelak, sedangkan Al masih celingak-celinguk tidak jelas. Ia menatap Melody dan Anas bergantian, meminta penjelasan. Namun, sepertinya kedua kakak tingkat tersebut lebih memilih menertawai sesuatu, yang Al curigai sebagai dirinya.

Anas pun menepuk pundak pemilik nama yang sudah sering ia dengar hingga membuat sang empunya menatap sinis.

"Keren banget lo, Bro," ujarnya tiba-tiba.

Al hanya berkedip dengan alis tebalnya yang bertaut. Ia memandang tangan kiri Anas yang masih setia di bahu kanannya.

"Senior di HMJ aja gak ada yang bisa naikin nilai si Mel. Jago juga, lo."

Mendengar kata sakral tersebut, Al sontak penasaran. "Nilai Kakak naik?"  tanyanya dengan suara antusias. Sungguh tak selaras dengan wajahnya yang datar.

Melody mengangguk. "Iya, 64. Bagus, 'kan?"

Al menepuk jidat. Nilai macam apa itu? batinnya. Seumur-umur, ia tidak pernah mendapat angka serendah nilai yang dianggap 'bagus' oleh Melody. Delapan puluh adalah rekor terburuknya.

"Lo gak usah syok begitu. Angka enam di teknik itu udah lumayan."

"Iya?"

Anas mengangguk. "Lo udah ada tugas?"

Al mengiakan. Memang begitulah kenyataannya.

"Dapet berapa?"

Laki-laki itu mengeluarkan lembar kerja dari dalam tas dan menunjukkan skor yang didapat dari kuis dadakan. Hanya satu nomor yang dicoret menggunakan bolpoin merah. Angka sembilan juga tertoreh dalam lingkaran yang ada di pojok kanan kertas.

"Gila! Matkul Pak Botak dapet sembilan?" seru Anas melongo.

"Apa gue bilang. Dia itu beda. Kalian semua gak ada apa-apanya." Melody berbangga ria.

Mata Al berbinar saat mendengarnya. Baru kali ini sebuah pujian bisa menari dengan indah di telinganya. Ia menatap netra Melody dengan lekat. Semburat merah yang ada di rautnya membuat Al tenang.

"Iyakah?"

Melody mengangguk tanpa ragu dan tanpa tahu akibat dari jawabannya. Perlahan, Al tersenyum tipis dan menunduk malu. Lagi, jantungnya berdegup cepat. Sensasi tak enak yang sangat asing kembali datang.

Ia benar-benar menyukai rasa ini. Rasa yang hanya ia dapat dari sosok tersebut. Tanpa tahu rasa hangat, Al menggenggam tali ranselnya seraya membatin, "Jadi, kayak gini rasanya?"

Lelaki berjas putih tampak tergesa-gesa. Ia telah terlambat lebih dari dua jam. Kantong plastik hitam di tangannya ikut mengayun berkat langkahnya yang tak wajar.

Sesekali ia berhenti dan bertumpu pada tembok. Anak-anak tangga ini sungguh menyebalkan. Eren kembali menegapkan tubuh dan berjalan.

Kali ini bukan salad, melainkan dua bungkus nasi goreng dari Pak Ndut--langganannya dengan Melody--yang dibawa. Besar hasratnya untuk kembali memperbaiki suasana yang akhir-akhir ini kerap memanas.

Diam-diam ia bertanya pada Vigo terkait keberadaan sang kekasih. Eren sengaja tidak memberi kabar pada Melody bahwa ia akan datang ke sekretariatnya.

Namun, senyum dan antusiasnya lekas luruh saat sebuah pandangan yang memuakkan tersuguh di depan mata. Makanan yang ia bawa lantas terlepas dari genggaman dan jatuh, membuat kerupuk yang tak terbungkus tercecer begitu saja.

Tangan Eren mengepal kuat. Matanya tidak salah melihat. Kekasihnya tengah bercumbu dengan laki-laki lain, yang ia duga merupakan perusuh besar dalam beberapa hari ini.

Ia lekas memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu. Ia menarik kasar tubuh Melody yang telah berjarak dengan Al, lalu menghempaskan gadis itu hingga jatuh dari kursi. Al yang bingung dengan situasi ini hanya terbelalak dan terpaku.

Detik selanjutnya, Eren kembali meraih tangan gadisnya hingga tegap berdiri. Tanpa pikir panjang, ia mendaratkan telapak tangannya ke pipi Melody sekeras-kerasnya.

"Eren?"

Melody tersentak. Ia mengusap pipi kirinya yang memerah. Air mata yang entah dari mana itu mulai berkumpul di pelupuk. Ia menggigit bibir bawahnya dan menatap Eren bingung. Apa yang terjadi?

"Brengsek!"

Al menjatuhkan diri pada Eren. Ubun-ubunnya bagai ditarik paksa saat melihat Melody ditampar demikian. Ia sontak memukul rahang lelaki itu berkali-kali.

"Sudah, Al!"

Melody terus berteriak. Tidak ada siapa pun di tempat ini selain mereka. Ia segera menjauhkan tubuh Al dari Eren dengan susah payah. Ia tidak mau ada yang terluka lebih dari ini.

Gadis itu menarik tangan Al secara paksa. Ia membawa Al untuk keluar ruangan. Tangan kanannya erat menggenggam sosok yang berusaha memisahkan diri, sedangkan tangan kirinya sibuk menghapus air mata yang menetes.

Eren pun berdiri dan kembali berseru.

"Keluar dari sini, kita putus!"

Melody bergeming. Kata yang pernah terngiang di benaknya itu terdengar begitu saja tanpa alasan logis. Ia pun menggeleng dan kembali melanjutkan langkah.

Mungkin sudah saatnya.

Day 20

Re-Pub
15 Maret 2021

2nd Re-Pub
10 Januari 2022

Sabar, sabar, badai pasti berlalu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top