[10] Wear Pack
Gemuruh air yang tak lagi jauh beradu dengan suara alam lainnya. Dingin, jaket tebal dan perapian tak mampu menghalau. Semilir angin yang tak seberapa besar menyentuh bulu kuduk yang meremang. Para mahasiswa yang berbaris ke samping itu masih tertunduk dalam gelap.
Tubuh-tubuh itu menggigil. Ingin rasanya memeluk diri dan berjongkok, mendekat pada sumber kehangatan yang jauh di depan barisan. Namun, pengawasan sikap pada masing-masing mereka memukul hasrat untuk sekadar berangan-angan.
Tiga orang senior angkatan terakhir menatap tajam, meski insan di depannya tak tahu menahu. Tangan-tangan tersebut tertaut di belakang punggung dengan kaki yang tak henti berjalan. Sisi kanan dan kiri, depan dan belakang, semuanya mengawasi.
Al menguap lebar. Efek kantuk dari obat yang ia minum semakin mendera. Tubuhnya sempoyongan. Nasihat-nasihat yang memasuki telinganya enyah tanpa tercerna. Penutup yang membalut mata tersebut tak menolong apa pun.
"Mahasiswa ada untuk abdi. Masyarakat di luar sana telah menunggu. Jangan apatis! Kalian--"
"Kak?" Al menginterupsi. "Saya mengantuk."
Para kakak tingkat itu saling pandang dengan alis yang terangkat. Tatapan tersebut mengisyaratkan pertanyaan yang sama, apakah mereka tidak salah dengar? Al semakin tak acuh. Kakinya menekuk dan ia juga menggaruk tengkuk. Tidak ada lagi sikap sempurna.
"Apa maksudmu? Kamu pikir cuma kamu saja yang lelah di sini!? Kami--"
"Jangan apatis!" Al kembali menyela. Kali ini dengan nada sama persis, mengikuti lawan bicaranya. "Kakak sendiri yang mengatakan itu."
Pengurus yang semula duduk di perapian pun ikut bangun. Mereka berjalan mendekat ke arah rekan yang berdiri dan mulai berbisik. Entah apa yang dirumpikan. Raut wajah mereka sungguh bervariasi. Ada yang mencerna situasi, mengangguk kagum, menggeleng tak percaya, mengernyit bingung dan memandang sinis.
"Jadi, maksudmu--"
"Saya mengantuk," ulang Al. "Apa Kakak tetap 'apatis' atas situasi ini? Saya me-ngan-tuk."
"Heh! Kalau senior sedang bicara, jangan--"
"Menyela?" Al menyeringai dan menoleh ke samping kiri. Ia tak tahu tepat di mana senior-senior itu berdiri. "Baik, saya tak akan melakukannya lagi. Saya hanya ... mengantuk."
Detik selanjutnya, Al luruh menghantam mahasiswa di sisi kiri. Pendamping yang berjaga di sampingnya segera mendekat dan mengambil alih. Mereka membuka kain hitam yang menutup mata Al. Benar saja, laki-laki itu terpejam sempurna dengan napas yang teratur.
"Gokil emang ini anak."
¶
Melody mengembuskan napas panjang. Ia sibuk menggosok kedua tangan dan meletakkan pada pipi chubby-nya. Gadis itu mengulang beberapa kali sampai mendapatkan kehangatan yang intens.
Tubuhnya lelah. Nasib pos terakhir memang kurang menyenangkan. Ia telah menunggu dari sepertiga malam hingga kumandang azan subuh samar-samar terdengar. Waktu yang terbuang itu tak ia manfaatkan untuk melelapkan pikir. Maklum, dingin ini bukan style-nya.
Ia masih menggeleng saat mengamati satu per satu rekan yang bisa mendengkur dalam situasi seperti ini. Kayu bakar yang semakin habis dilalap api itu tak menggoyahkan hasrat mereka untuk bangkit. Bahkan, ada yang mendengkur plus saling memeluk dengan bodohnya.
"Pos tiga aman. Seluruh peserta otw sungai!"
Melody terkesiap berkat suara HT milik Bandi. Ia mendengkus lalu menebusnya dengan ucapan syukur. Ia lekas beranjak dan menghampiri panitia lainnya.
"Bangun, bangun woy!"
Gadis itu menyibak selimut kawan-kawannya dengan telaten. Ia bahkan menendang kaki mereka dengan brutal. Tak lupa juga memukul punggung yang sibuk menghindari ocehannya.
Umpatan demi umpatan pun muncul. Bohong memang kalau mengatakan tubuh tidaklah penat. Persiapan, pelaksanaan dan evaluasi dilahap dalam satu waktu. Tidur? Percayalah, baru ini mereka memejamkan mata dengan tenang. Mencuri tidur kala aktivitas siang hanya menambah beban.
"Cepet juga," ujar salah satu dari mereka kala melihat beberapa mahasiswa muncul dari kejauhan.
"Lu aja yang bangunnya lama, Drul!"
"Halah, kayak lo enggak aja."
Saat tidur berlomba mendengkur. Sudah bangun masih saja berdebat. Hah, Melody menghela napas pasrah. Ia menutup telinga dan enyah dari tempat tersebut.
Kakinya menuntun sampai ke hilir sungai. Ia melihat Bima tengah menata wear pack--slayer hitam berlogo jurusan mesin--yang hendak dibagikan pada mahasiswa baru. Dengan telaten ia memilah dan memasukkan kembali pada kardus.
"Bang," sapa Melody. Tangannya masih sembunyi di balik saku jaket.
"Hem?" Laki-laki itu menjawab tanpa menoleh.
"Istirahat aja, biar Mel yang lanjutin."
Melody menawarkan diri. Ia tahu betul bahwa Bima dan senior tahun keempat lainnya baru turun dari pos tiga--pemberian motivasi. Meski guratan lelah tak tertoreh, Melody cukup inisiatif untuk menggantikan tugasnya.
"Gak apa-apa. Gue tau kalian juga capek."
Gadis yang riasannya sudah acak adul itu mengangguk. Ia kemudian berjongkok dan menyisihkan kain-kain tersebut hingga menyisakan ruang kosong. Bima tersenyum dan meletakkan slayer itu ke tempatnya.
"Mm ... Al gimana, Bang?" tanya Melody tiba-tiba.
"Kayak biasa. Masih seenaknya sendiri."
Bibir Melody mengatup. Hanya dengan mendengar kalimat itu, ia bisa memperkirakan hal-hal yang terjadi. 'Kayak biasa' dalam kamus Al adalah sikapnya yang tidak bisa diajak bekerja sama, terlebih dengan para senior.
"Dengan santainya dia bilang ngantuk ke kita-kita," sambung Bima sambil terkekeh. Ia tidak akan bisa melupakan kejadian ini.
"Terus? Kalian apain, Bang?"
Bima menggeleng, "Gak ada. Belum apa-apa dia udah tepar duluan."
"Hah?" Melody menautkan alis. "Maksudnya?"
"Ya jatuh. Ketiduran."
Tak kuasa menahan, Melody terkekeh sampai terjungkal. Pertama dalam sejarah, ia menemukan peserta diklat yang ketiduran saat diberi motivasi. Al memang selalu di luar dugaan. Ia terlalu menarik.
Setelah mahasiswa baru sampai di bawah coban, Melody beranjak sedikit ke atas agar bisa puas memandang adik-adiknya.
Gadis itu hampir menangis haru. Ia tahan sekeras mungkin air yang berkumpul di pelupuk matanya. Ia lantas meremas celana training yang ia pakai sejak kemarin.
Pemandangan di hadapannya itu memanggil kenangan saat ia pulang terseok hingga terkapar di ranjang rumah sakit selama dua hari. Dingin air sungai yang merendam kakinya kala itu mulai terasa (lagi), meski kini 100% berpijak pada bebatuan kering.
Melody memakaikan satu per satu slayer ke lengan kiri junior yang baru sampai. Senyumnya tak absen saat menyambut urat lelah dan garis hitam di bawah mata. Tak lupa ia menepuk bahu sebelum mendorong mereka untuk mencium bendera jurusan.
"Selamat, ya."
Kaki-kaki yang menyelesaikan seluruh rangkaian itu memasuki sungai sesuai perintah. Dingin. Risi. Semua bercampur jadi satu. Rasa takut akan benda dan hewan yang melintas segera memenuhi pikiran. Cukup untuk membangunkan kantuk.
"Kami ...."
Bandi memimpin adik-adiknya untuk menyanyikan mars himpunan. Tangan mereka mengepal di depan dada dan bernyanyi khidmat. Semua mengikuti. Bahkan senior yang telah lulus dan sekadar mampir untuk memeriahkan pun melakukannya dengan tubuh yang tegap. Begitu pula dengan Al.
Laki-laki itu memang tak hafal sebaris pun. Ia hanya diam mendengar dan mengikuti sikap di sekitar. Matanya masih merah, sisa-sisa lelap beberapa menit yang lalu.
Al menelan ludah. Tenggorokannya kering. Ia lekas bersyukur saat nyanyian itu selesai. Penutupan 'kan segera dimulai.
"Sekarang, silakan melakukan sujud syukur!" perintah Bandi.
Para mahasiswa itu saling pandang. Sujud? Di mana? Kaki mereka masih jelas berdiri di sungai yang dangkal. Bisikan-bisikan itu mulai ramai dan menimbulkan kesal.
"Sujud!"
Nada Bandi meninggi. Sontak semua mahasiswa baru jurusan mesin itu bersujud, mencium aliran air dengan mata tertutup. Susah payah mereka mengambil napas lalu kembali menenggelamkan wajah.
"Aaa!!"
Keheningan nan sakral itu dirusak oleh teriakan seorang gadis. Semua orang kompak mengedarkan pandangan, mencari sumber suara.
"Da-da-darah!"
Histeris. Gadis yang tak henti melompat-lompat itu sontak berlari ke pinggir. Ia bergidik saat air berwarna merah menghampirinya. Meski samar, ia sangat yakin dengan ucapannya. Aksi itu pun diikuti oleh mahasiswa lain dengan brutal. Acara suci yang penuh haru itu berubah ricuh.
Semuanya saling tatap, mengabsen siapa gerangan yang tengah terluka. Begitu pula senior yang memandang dari atas. Tampang supergarang itu melunak dan sama takutnya.
"Siapa?" tanya Bandi lantang.
Para peserta menggeleng sambil meraba diri. Mereka diperintah 'tuk melipat celana dan menyingsingkan lengan jaket. Tanpa terkecuali. Setelahnya mereka saling mengamati satu sama lain.
Meka ternganga dengan apa yang dilihatnya. Kedua tangan itu spontan terangkat menutup mulut. Ia lekas mendekati kawan di sampingnya yang juga terkejut.
"Al?"
Day 10
24 April 2020
Re-Pub
17 Februari 2021
2nd Re-Pub
5 Januari 2022
Mari tidur.
Rangkaian OSPEK dan diklat dalam cerita ini dibuat berdasarkan pengalaman, Beb 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top