impLOVEssible - 2
Mai Nina.
Ketukan di pintu kamarku yang awalnya pelan lama-lama terdengar semakin keras. Duh siapa sih, ini kan baru jam 7 pagi. Namanya liburan, nggak afdol kalau bangun sepagi ini.aku menyeret langkah malas dan membuka pintu.
"Mai, tungguin di ruang tamu ya, takut nak Rivay dateng ama anaknya.Ibu sama abah mau ke pasar dulu." Ibu sudah rapih dan bersiap dengan keranjang belanjanya.
"Tu kan, Mai lagi kan yang jadi korban.Udah tau Mai benci setengah mati ama om sompret itu." Gerutuku sambil menggaruk-garuk rambut.
"Duh Mai, mandi gih sono.Bau banget, mana kucel. Malu sama nak Rivay, dia yang laki aja rapih, wangi. Lah ini yang perempuan malah gembel gitu." Seru ibu tidak mempedulikan gerutuanku dan berjalan menuju depan.
Aku hanya menggumam mengiyakan perintah ibu sambil mengambil handuk dan langsung melangkah ke kamar mandi.Teman-teman SMAku sering bilang kalau aku adalah perempuan jadi-jadian. Pakai rok hanya kalau sekolah, rambutku pendek di bawah telinga, kulitku sawo matang dan agak sedikit terbakar karena seringnya terkena matahari saat pulang sekolah. Dan untuk urusan mandi, aku pun tidak seperti perempuan kebanyakan yang doyan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggosok seluruh tubuhnya. Aku hanya perlu waktu tidak sampai 3 menit untuk mandi dan sudah plus keramas. Praktis.
Aku mendecak kesal saat menyadari aku tidak membawa pakaian ganti saat ke kamar mandi tadi, sementara baju yang tadi kupakai sudah teronggok manis di ember baju kotor. Terpaksa aku keluar dengan memakai handuk yang cuma bisa menutupi bagian dada sampai di bawah bokongku sedikit. Ah lagipula kan tidak ada orang, aku bisa saja langsung berlari ke kamar.
Aku berlari kecil menuju kamar dan senyumku terkembang saat melihat pintu kamarku hanya tinggal dua meter lagi.
Gabruk!
Bukan, ini bukan tabrakan. Karena kakiku masih basah jadi aku sukses terpeleset dan mendaratkan pantatku di tehel dingin, akibatnya handuk yang kugunakan agak melorot. Buru-buru aku mengencangkannya lagi tepat ketika aku melihat tangan terulur padaku.
Matilah aku!
Tangan siapa ini?
Nggak mungkin tangan abah, abah kulitnya hitam, ini tangan kulitnya putih.
Tangan ibu apalagi, kalau kejadian tadi di lihat ibu, sudah pasti omelannya lebih dulu meluncur daripada membantuku bangun.
Jadi ini? astaga jangan-jangan tangan....
Dengan cepat aku mengangkat kepala, dan terkesiap saat melihat mata hitam tajam menatapku tanpa ekspresi. Tanpa berkata apa-apa aku menampik tangannya dan segera berlari ke kamar tidurku.
***
Pagi ini aku berpakaian agak pantas, celana training panjang dan (masih) kaos yang sudah luntur tulisannya. Aku menggeleng-gelengkan kepala guna mengusir kejadian memalukan tadi. Selama ini meskipun cuek, aku tidak pernah berpakaian minim di depan laki-laki. Bisa di gorok abah kalau aku memakai rok mini atau kaos tanpa lengan keluar rumah. Nah, ini si om-om jutek itu keenakan banget melihat aku hampir telanjang dengan handuk melorot.
Suara tawa perempuan kecil menarik perhatianku dan membawaku ke beranda depan. Ada dua kursi yang terbuat dari kayu jati, serta dipan panjang tempat abah berbaring sambil malas-malasan. Pria itu duduk di kursi kayu sementara si perempuan kecil melompat-lompat di atas dipan sambil memeluk boneka Winnie the pooh.
"Nah, Raisa ayo salam sama tante.." ujar si om sambil tersenyum pada anak itu.
Bocah perempuan itu berlari ke arahku, rambutnya ikal sebahu membingkai pipinya yang montok. "Tante siapa namanya? Aku Raisa," ujarnya sambil mengulurkan tangan dan mencium tanganku. Sejenak aku takjub dan sedikit terkesan.
Aku membungkuk dan menatap matanya. "Panggil kakak aja ya, aku kak Mai." Jawabku sambil tersenyum.
Raisa berlari lagi menuju dipan dan lompat-lompat lagi disana. Sementara aku duduk di kursi kayu di samping si om. Harusnya sih aku bikinin minuman buat dia, tapi inget kejadian semalem membuatku malas beranjak ke dapur.
"Saya mau titip Raisa." Ujarnya tanpa melihatku.
"Kenapa nitip di sini?"Tanyaku ketus.
"Orang tua saya sedang keluar kota, bibi yang biasa jagain Raisa pulang kampung, sementara saya ada urusan pekerjaan di luar negeri yang harus di selesaikan."
"Trus urusan sama aku apa? Kita kenal juga nggak. Aku cuma tahu kalau om suami dari almarhumah mbak silvi. Nama om aja aku nggak tahu," sahutku sedikit berbohong.
"Mai Nina Aswari." Aku menoleh saat dia menyebut nama lengkapku dengan suara dalamnya. Mataku bertatapan dengan mata tajam miliknya. "Jangan main-main. Saya nggak punya waktu untuk itu."
Aku berdiri dan menatapnya tajam. "Om, aku juga nggak punya waktu main-main ama om. Kalau mau minta tolong baik-baik dong!" Sentakku.
"Kak Mai, aku mau pipis, kamar mandinya di belakang ya?" tanya Raisa sambil menarik bajuku. Aku hanya mengangguk, Raisa bergegas ke belakang, sementara tanganku bersedekap dan menatap sadis kepada si om sompret itu.
Dia berdiri dan berhadapan denganku. Tangannya di masukkan ke dalam saku celananya Tubuhnya yang tinggi tidak mengintimidasiku, ya meskipun kepalaku cuma mentok pas di dadanya, tapi aku nggak takut. "Saya Rivay Arsjad dan saya bukan om kamu." Ujarnya singkat.
Aku melengos. "Tetep aja om-om."
Rivay baru akan membalas perkataanku saat kami mendengar ada suara motor berhenti di depan rumah.
"Eh nak Rivay..udah dari tadi?" Ibu menaruh belanjaannya dan bergegas menghampiri Rivay untuk bersalaman. Wajah abah pun tidak kalah sumringah. Abah memarkir motor dan langsung menghampiri Rivay. Wajah datar dan jutek milik om sompret itu langsung berubah sopan dan ramah, senyumnya terkembang lebar. Aktor dari mana sih dia ini? kok bisa-bisanya merubah ekspresi secepat itu.
"Duh Mai kebiasaan deh, ini si Rivay bukan di bikinin kopi." Ibu melirik sambil memberi isyarat padaku untuk ke belakang. Tanpa membantah aku langsung melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah, lagipula aku sudah muak bin eneg lihat mukanya.
Sampai di depan kamar mandi aku berhenti saat melihat Raisa kesulitan menaikkan retsleting celananya, dia sudah tampak kesal, tapi memilih untuk melakukannya sendiri ketimbang berteriak minta tolong.
Aku mendekatinya dan berjongkok di depannya. "Raisa, bisa? Sini kak Mai bantu." Raisa mengangkat kepalanya dan tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang rapih. Dengan mudah kunaikkan retsleting celananya.
"Makasih ya kak Mai." Lesung pipi dan senyumnya terkembang. Membuatku tiba-tiba teringat dengan om kampret yang sialnya adalah bapak dari anak ini. Senyum mereka benar-benar mirip.
"Sama-sama.." gumamku sambil berdiri dan hendak ke dapur ketika tangan Raisa memegang lenganku.
"Kak Mai, kok kak Mai mirip mama Raisa sih?"
Aku mengangkat alis sambil menatap heran padanya. Satu-satunya orang yang bilang aku mirip mbak Silvi ya cuma bocah ini. Bisa di bayangkan, aku dan Mbak Silvi bagaikan langit dan bumi, yang membuat status kita menjadi sepupu karena papa mbak silvi dan abah adalah kakak beradik. Sisanya? Kalau melihat secara fisik, nggak ada yg percaya kalau Silviana Aswari masih saudara sepupu dengan Mai Nina Aswari.
"Nggak mirip ah, cantikan mama Raisa dong pastinya." Ujarku sambil mengusap kepalanya.
Raisa tersenyum tipis padaku. "Mungkin emang cantikan mama, tapi kan mama udah meninggal, jadi yang paling cantik sekarang ya Kak Mai." Raisa berlalu meninggalkanku yang masih bengong mendengar ucapannya.
Aku terkagum-kagum, karena pertama, omongan Raisa jauh lebih dewasa daripada usianya. Dan kedua, Raisa adalah orang ketiga yang bilang aku cantik setelah ibu dan abah.
Aku benar-benar terharu.
***
"Raisa jangan nakal ya?" si om mengusap lembut rambut Raisa dan mengecup puncak kepala putrinya.
"Iya, Raisa janji nggak ngerepotin kakek, nenek dan kak Mai. Papa hati-hati ya. Jangan lama-lama perginya." Raisa memeluk bonekanya. Tidak terlihat sedikitpun kesedihan atau rengekan yang membuat si om berat hati meninggalkannya.
Deru mobil fortuner yang di bawa si om terdengar dan mulai berjalan meninggalkan halaman rumahku.
"Raisa, udah makan?" tanya ibu sambil menggandeng tangan bocah itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Sementara aku dan abah memilih duduk di beranda depan, menikmati angin sepoi-sepoi.
"Mai, kamu jadi mau kuliah di Jakarta?"
Aku menoleh dan mengerutkan kening pada abah. "Jadi, Bah. Itu nggak bisa di tawar-tawar lagi. Mai mau hijrah ke Jakarta. Di sana sambil kuliah, Mai bisa cari kerja."
"Bukannya apa, Mai. Jakarta itu ngeri. Abah aja masih was-was kalau kesana. Kita kan emang orang pinggiran Jakarta. Kenapa nggak cari kampus deket-deket sini aja." Tawar abah.
"Bah, itu cita-cita Mai. Mai pengen mandiri, bah. Nggak nyusahin abah ama ibu lagi. Nanti disana Mai cari kerja, jadi pelayan restoran juga nggak papa, yang penting Mai mandiri." Sahutku.
"Kawin aja, Mai. Biar nggak nyusahin abah ama ibu lagi."
Aku langsung meloncat dari kursiku. "Weeeeits yang bener aja, bah. Mai masih muda. Lagian kawin sama siapa, bah? Ama kambing? Mai pan kagak punya pacar." Ujarku sewot.
"Ya kali-kali aja ada manusia khilaf mau ngelamar kamu," jawab abah santai sambil mengipas-ngipaskan koran ke lehernya. Aku langsung masuk ke rumah sambil menghentakkan kaki dengan perasaan dongkol setengah mati.
Kawin kok buru-buru, kucing birahi aja perlu waktu, nggak main asal nemplok, apalagi aku!
***
Aku menyisir rambut Raisa yang tebal dan halus. Sudah hampir seminggu sejak dia di titipkan om sompret itu di rumah. Sejauh ini semua baik-baik saja. Raisa adalah anak mandiri dan tidak merepotkan sama sekali. Setiap malam dia memilih tidur denganku, dan acara sisir menyisir ini berlangsung tiap malam sebelum tidur. Dalam hati aku iri sekali, dia berumur lima tahun dan punya rambut seindah ini. Sementara aku tujuh belas tahun hidup di dunia ini, rambutku bisa di samakan sama sapu ijuk saking kasarnya.
"Raisa biasa di sisir gini sama bibi sebelum tidur," ujarnya sambil membelai-belai boneka Winnie the poohnya.
"Kalo nggak ada bibi, siapa yang nyisir rambut Raisa?" tanyaku iseng.
"Papa!" jawabnya dengan penuh semangat.
"Emang bisa?" tanyaku.
Duh Mai, ya bisalah. Timbang nyisir doang mosok nggak bisa.
"Papa lebih halus nyisirinnya dari kak Mai. Papa bisa kepang tiga, bisa kuncir lontong, bisa kuncir dua dengan belahan zigzag. Papa jago deh pokoknya," ujarnya bangga.
"Mungkin papanya pernah kerja di salon." Sahutku asal.
"ih kak Mai. Papa kan kerjanya di kantor." kemudian raut wajahnya berubah. "eh tapi bisa aja kak, nanti coba Raisa tanya lagi ya ama papa. Siapa tahu papa sering main ke salon." aku terkekeh mendengar jawabannya.
"Emang papa nggak punya pacar?" aku segera menutup mulutku setelah pertanyaan itu keluar. Raisa baru lima tahun mana ngerti pacar, dan lagian ngapain aku mau tahu urusan si om itu.
Raisa menoleh padaku. "Pacar itu apaan kak?"
Mampus!
"Maksud tante, temen perempuan. Emang papa nggak punya temen perempuan?"
Dia mengerutkan keningnya kemudian menggeleng. "Nggak kayaknya, kak. Papa mainnya ama temen laki-laki semua." Tiba-tiba matanya berbinar cerah. "Oiya, om Ray pernah bilang kalo papa kayak maho, nggak pernah punya temen deket perempuan. Maho itu siapa sih kak? Nama orang ya?" tanya Raisa yang sukses membuatku melongo.
Tembok mana tembok? Jedotin kepala dikit boleh kali ya biar nggak stress.
*maho : gay
--------------------------------------
hai,
Mai nina come back! :D
Kalo pada suka ama om Rivay dan Mai di tunggu vote dan komennya ya :)
Smoga next part ide mengalir deras jadi bisa cepet di apdet.
Trimakasii untuk yang sudah menyempatkan vote dan komen. i love you so much!
love,
vy
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top