impLOVEssible - 1
Part 1
Mai Nina POV
“Mai..ngapain sih nongkrong di kolam belakang mulu. Bantuin ibu sini masak!”Aku mendengar teriakan ibu dan langsung menyadarkanku dari lamunan panjang. Sambil berlari ke dalam rumah, kulepas earphone-ku dan menyudahi ritualku sebelum mandi pagi, yaitu mendengarkan lagu-lagu One Direction, salah satu boyband favoritku yang posternya terpampang besar di kamarku.
“Apaan sih bu? Mai baru mau mandi.” Ujarku sambil mendekati Ibu yang sedang asyik berhadapan dengan kompor butut kesayangannya.
“Mai..kamu itu anak perawan, jam 10 baru mau mandi. Mau jadi apa sih? Anak-anak remaja masjid yang sholeh mana mau nikah sama kamu.” ibu mulai lagi dengan segala omelannya.
“Bu, Mai nggak mikirin nikah. Masih jauh itu, Mai sekarang lagi nunggu pengumuman kelulusan. Kuliah di Fakultas ekonomi. Kerja kantoran. Jadi orang sukses, gajinya gede, bisa beliin ibu kompor baru deh.” Ujarku sambil memeluk ibu dari belakang.
Sebagai anak tunggal, aku sering mendengar cerita betapa sulitnya orang tuaku mendapatkan seorang anak. Bahkan ibu baru mengandung aku setelah hampir 10 tahun menikah.
“Yaudah, mandi sonoh.Abis tu sarapan. Kita ke rumah Dian ya nanti, Bantu-bantu acara nikahannya besok.” Ibu menyebutkan nama tetangga sekaligus soulmate-ku sejak kecil yang beruntung di persunting anak Kyai pemilik pondok pesantren dekat rumahku. Dian memilih tidak melanjutkan kuliah dan menerima lamaran anak sang Kyai itu.
“Mai sedih kalau inget Dian, bu. Kan harusnya kita sama-sama kuliah bareng. Eh dia malah milih nikah muda. Nggak habis pikir deh.”
“Jodoh itu udah ada yang ngatur, Mai. Syukur Alhamdulillah si Dian dapet anak pak Kyai, semoga anak ibu, Mai Nina Aswari, yang yah meskipun nggak cantik-cantik banget bisa seberuntung Dian.” Ujar ibu sambil tertawa.
Aku cemberut sambil menyampirkan handuk ke pundakku.“Ih ibu tega. Ibu aja nggak pernah lihat yang namanya Taylor Swift. Itu sebelas dua belas ama Mai tau!” Sahutku sambil menghentakkan kaki menuju kamar mandi.
***
“Kamu yakin mau nikah, Di?” tanyaku sambil membantunya merapikan baju-baju yang akan dimasukkan ke dalam koper.
Dian yang sedang menyisir rambutnya menoleh padaku. “Ya iyalah, Mai.Kalau aku nggak yakin, aku nggak bakal mengiyakan lamarannya Radit.”
“Kamu nggak mau gitu, kuliah aja, main-main santai, nonton bioskop, hahahihi berdua, ngumpulin duit siapa tahu One Direction ke Indonesia..” kami berdua memang penggemar berat boyband satu itu.
“Ya maulah, Mai. Tapi kan aku harus memilih. Lagian, kata umi, aku beruntung dapet Radit. Kalo nolak, bisa jadi aku malah nikah ama pengangguran atau preman kampung beberapa tahun lagi.” Bayangan sosok bang Jambrong, preman kampungku sukses membuatku bergidik.
“Jangan gitu dong, Di. Aku belum punya jodoh nih, dan yakin seyakin-yakinnya kalau beberapa tahun lagi bang Jambrong ngelamar, pasti aku tolak.” Dian terkekeh mendengar ucapanku.
“Mai, sahabat aku yang paling unyu sekampung ini. Kamu pinter, jadi harus kuliah dan banggain Abah sama Ibu. Sedangkan aku, kapasitas otak pas-pasan, lulus SMA aja udah syukur banget. Jalan kita emang beda, tapi kita tetep sahabatan kan, meskipun aku nanti ikut Radit pindah ke luar Jawa.” Ujar Dian sambil mengacak rambutku. Aku mengangguk. Mataku berkaca-kaca menatap wajah sahabatku, my partner in crime, yang besok sudah sah menjadi istri orang.
“Selama masih ada twitter, facebook, path, instagram dan whatsapp. Jarak nggak akan memisahkan kita, Di..”
Bantal kecil mendarat dimukaku. “Najong tralala lo..” ujar Dian sambil tertawa.
***
Aku pulang lewat pintu belakang karena melihat di depan sedang ada tamunya Abah. Setelah mengganti pakaian dengan kaos putih butut dan celana adidas favoritku, aku langsung menuju dapur, mencari sesuatu yang bisa di makan. Makan adalah hobi keduaku, setelah tidur. Jika ada waktu luang, bisa dipastikan kegiatanku tidak jauh-jauh dari dapur dan kamar.
“Mai..” tepukan di bahuku sukses membuatku hampir meloncat dari kursi saking kagetnya.
“Apaan sih abah! Ngagetin aja!” kataku sambil mengelus dadaku yang masih berdebar kencang.
Abah tertawa. “Mai, lagian maghrib-maghrib ngelamun. Noh, tamu abah tolong bikinin kopi. Abah mau sholat dulu.”
“Bertamu kok maghrib-maghrib, nggak sholat apa.” Gerutuku.
“Dia udah sholat di mesjid depan tadi. Suudzon aja ama orang.” Sahut Abah sambil berlalu.
Aku segera menjerang air dan membuat kopi. Meskipun ada teknologi dispenser, tapi ibu selalu bilang, bahwa kopi dan teh lebih enak rasanya kalau airnya di masak sampai mendidih.Berhubung aku bisanya cuma masak air, jadi nggak ada masalah dengan aturan itu.
Aku membawa secangkir kopi dan setoples kue kering dengan nampan menuju beranda depan. Dari dalam rumah aku memicingkan mata melihat siapa tamu abah, biasanya nggak jauh-jauh dari pak RT, pak RW atau kepala hansip, paling kece juga Dadan, ketua remaja masjid.
Tapi ini kok keliatannya bukan tamu biasanya, penampilannya rapih dan ini bau apa sih? Kalau tamu Abah yang lain udah pasti baunya bau minyak rambut, kali ini aroma harumnya beda, bikin lutut lemes.
Aku menaruh nampan di meja, dan melirik sekilas. Wuiiihh ganteng bener! Putih, ada brewok tipis di rahang, alis tebal, hidung mancung, rahang tegas, dan bibir tipis, dengan cepat aku menginventarisir asset wajah tamu Abah. Yaa meskipun tampangnya sudah tidak muda lagi, tapi lumayan banget buat cuci mata.
“Ehm..” aku berdehem untuk mendapatkan perhatian tamu abah yang sedang asyik dengan gadgetnya. Dia mengangkat muka dan mengerutkan kening ketika melihatku.
“Silakan diminum kopinya..” ujarku sambil tersenyum manis. Pria itu balas tersenyum, tapi senyum tipis.
Dih pelit banget, senyum doang perhitungan apalagi soal duit. Aku berdiri sambil memegang nampan dan menatap pria yang sedang meminum kopi buatanku.
“Udah berapa lama kerja disini?” suara berat miliknya akhirnya terdengar. Dia bicara tanpa melihat ke arahku.
Aku mengerutkan kening. "Kerja? Maksudnya?”
“Kerja bantu-bantu di sini udah berapa lama? Punya temen nggak? Saya lagi butuh asisten rumah tangga untuk jagain anak saya.” Ujarnya datar.
Krompyaaaang!!!
Spontan aku langsung membanting nampan yang kubawa. Pria di depanku terlihat kaget. Sementara abah dan Ibu tergopoh-gopoh keluar dari kamar.
“Subhanallah Mai…kenapa main banting-banting nampan?” tanya ibu sambil memungut nampan yang aku banting.
“Abah, ini orang siapa sih??” tanyaku kesal sambil menunjuk pria kurang ajar itu.
“Mai, ada apa sih sebenernya?” bukannya menjawab, Abah malah bertanya balik padaku.
Sambil menghentakkan kaki, aku memilih masuk ke dalam rumah daripada harus berhadapan dengan om-om sompret itu. Harusnya dia nanya dulu dong, aku siapa, atau ada basa basi lain yang lebih sopan dari sekedar pertanyaan ‘udah berapa lama kerja disini?’.
Aku membanting pintu kamar dan langsung melompat ke kasurku. Sial banget, maghrib-maghrib ketemu setan lagi berkeliaran.
Pintu kamar di ketuk pelan dari luar. “Mai buka nak, ibu mau masuk.” Dengan malas aku menyeret langkahku dan membuka pintu.
“Kalau ibu mau nyalahin Mai karena nggak sopan banting-banting nampan depan tamu, mending nanti aja bu. Mai lagi nggak mood di omelin.”
“Yee, siapa juga yang mau ngomelin. Lagian nak Rivay udah minta maaf sama ibu dan abah karena nyangka Mai yang bantu-bantu di rumah ini. Makanya kamu kalau pakai baju yang cakep dikit, gimana ada yang naksir kalau senengnya pakai baju yang udah pantes jadi lap gitu.”
“Rivay?” aku menggumamkan nama yang barusan di sebut ibu.
“Iya itu Rivay Arsjad, yang 6 tahun lalu nikah sama mbak Silvi, saudara kita.” Ingatanku melayang saat aku menghadiri pesta pernikahan besar-besaran di Jakarta, ketika sepupuku di pinang oleh anak pengusaha kaya. Waktu itu aku masih berumur 11 tahun, kelas 5 SD. Meskipun kami sepupu dekat, hubunganku dan mba Silvi tidak terlalu akrab, karena usia kami yang terpaut jauh.
Mbak Silvi melahirkan seorang putri dan kemudian dia di vonis dokter menderita kanker rahim. Aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya sampai beberapa bulan yang lalu. Kami sekeluarga berduka ketika mendengar mba Silvi meninggal dunia, dan dia meninggalkan seorang putri berusia 5 tahun.
Abah dan Ibu datang ke pemakamannya di Jakarta sementara aku berhalangan hadir karena sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian saat itu.
“Mau apa dia kesini, Bu?”
“Hanya silaturahmi, Mai. Orangtua Mbak Silvi kan juga udah nggak ada, jadi dia menganggap abah dan Ibu sebagai orangtuanya.”
“Bagus deh. Kalau cuma silaturahmi berarti nggak lama kan?” Aku merebahkan diri di kasur dan bernafas lega.
“Emm, sebenernya kita bakal sering ketemu dia sih, soalnya dia mau titip anaknya di sini selama seminggu. Mai nggak keberatan kan?”Tanya ibu sambil melihat cemas ke arahku.
Aku langsung terduduk.“Trus ibu kasih dia nitipin anaknya disini?”
Ibu mengangguk pelan.
“Ya salam ibu..kita kan bukan penitipan anak. Ini pasti Mai yang ujung-ujungnya jadi korban suruh ngurusin anaknya si om sompret itu!” sahutku kesal.
“Rivay namanya, Mai.Rivay bukan sompret.”
Aku menutup wajahku dengan bantal. “Terserah ibu deh namanya siapa. Mai nggak rela sisa liburan di pakai buat ngejagain bocah, ibu tau sendiri kan Mai nggak suka ama anak kecil.”
Aku terus menggerutu sampai akhirnya tertidur karena kelelahan. Ah iya, kesal memang bikin capek, mungkin setara dengan lari marathon sejauh 5 km.
-----------------------------
yuhuuu,
kenalin dong adek baru saya. masih muda kinyis-kinyis baru lulus SMA :D
seperti biasa..cerita saya super ringan kayak chiki :") semuanya yg manis-manis aja, dan masih masuk genre comedy romance.
silakan di vote dan di komen kalau pada suka, kalau pada penasaran gimana lika liku cintanya Mai yang menganggap hubungannya ama om Rivay itu impossible bgt :) buat yang nggak suka di larang keras merusuh ya, silakan cari lapak yang lain..
next part? lihat dulu deh seberapa byk yg penasaran ;)
i love you guys..
love,
vy
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top