Bab 9
Sejauh ini hubungan Ian dengan Fio semakin membaik. Gadis itu tidak seperti yang Ian duga—mendekatinya hanya untuk mengejek dan meremehkan. Rasa kagum yang Fio tunjukkan begitu murni dan polos. Jika di luaran sana banyak teman sepantarannya yang berhedon, Fio lebih memilih menghabiskan sepanjang waktunya bersama Ian. Menemani Ian melukis sepulang dari kantor hingga petang tiba.
Fio adalah gadis yang punya banyak rasa keingintahuan. Selama Ian melakukan rutinitasnya, Fio tak bisa diam dan hanya menyaksikan. Ia turut memperundingkan berbagai hal yang tidak ia pahami. Seperti, "Ian, kenapa kamu suka ngelukis pantai? Kenapa selalu suasana senja? Kenapa dominasinya kental dengan warna merah?" Dan dalam sekali tebas, pria itu menjawab, "Pantai adalah satu-satunya kenangan yang tertinggal dalam ingatanku sebelum aku buta. Aku memvisualisasikan segala hal yang pernah aku jumpai sejauh itu, nggak lebih. Dan di antara kenangan yang tersisa, pantai dan senjanya yang selalu kurindukan." Setelahnya, Fio tak berani lagi bertanya. Takut Ian sedih dibuatnya atau takut ia menyinggung perasaan Ian tanpa ia ketahui.
Ian tak pernah membiarkan udara luar menyentuh kulitnya dan suara bising lalu lalang kendaraan mengganggu telinganya. Dengan kata lain, Ian sangat jarang menampakkan diri di luar rumah. Pernah beberapa kali ia mencoba, terakhir saat ia ke minimarket dan dituduh mencuri—pertemuan pertamanya dengan Fio. Begitulah yang terjadi. Padahal ingin membaurkan diri dengan lingkungan barunya, Ian malah jadi bulan-bulanan, sasaran tindak kriminal orang lain.
Lebih dari itu, yang membuatnya malas menyentuh jalanan perkotaan adalah cemoohan dari orang-orang sekitar. Kalau tidak mengerjai, mereka akan mengatai Ian habis-habisan. Tentang kebiasaan Ian yang aneh—melukis—yang menurut mereka sama sekali tidak pantas bagi seorang yang buta. Kebanyakan yang berkata begitu adalah tetangga-tetangga individualisnya. Mereka yang tinggal di apartemen terdekat, yang biasa bercengkrama di luar rumah Ian—terutama kaum ibu-ibu yang sering sekali menggoda pamannya. Di depan Rudi mereka berucap manis, memuji-muji Ian, namun di belakangnya semua kemanisan itu enyah dan hanya meninggalkan pahit yang berbekas luka di hati Ian.
Ian kasar, sudah bukan hal yang asing lagi. Bagi yang mengenal lelaki itu, kata-kata ketus, wajah tidak menyenangkan, juga kalimat-kalimat pedas, seringkali terdengar. Mungkin menurut mereka, Ian hanyalah makhluk lemah yang berpura-pura kuat. Mengatakan sedemikian rupa padahal dirinya tersiksa dengan angin lalu yang dilontarkan manusia-manusia munafik dari mulutnya. Ian sungguh membenci siapapun yang bertingkah baik padanya selama ini. Hingga ia bertemu Fio, pandangannya sedikit demi sedikit mulai goyah. Fio berbeda. Hal itu yang mungkin memunculkan rasa kepenasaran Ian akan sosok Fio. Bagaimana wajahnya? Bagaimana senyumnya? Bagaimana penampilannya? Dan, tiba-tiba terbesit sebuah pemikiran. Mengapa ia tidak melakukan operasi mata yang bertahun-tahun ia tolak?
Banyak hal yang Ian pertimbangkan untuk mengembalikan fungsi matanya. Namun, lelaki itu menciptakan sebuah batasan yang berujung ikrar. Berkat kebenciannya pada masa lalu, juga akan wajah seseorang yang selalu terngiang di kepalanya, cukup! Bagi Ian, lebih baik buta selamanya daripada dapat melihat dan terus-menerus terkungkung pada masa lalu—dengan sebuah kesempatan yang mungkin mempertemukannya lagi dengan sosok itu. Ian ingin menghentikan segala ingatannya empat belas tahun lalu. Dan untuk sekarang ini, ia memulai lembaran baru yang ia kehendaki, memasukkan segala memori yang hanya ia izinkan di kepalanya.
Namun, kenapa? Setelah berhasil mempertahankan ikrarnya, diumur yang ke-24 tahun ini, Ian harus dilanda kegoyahan? Cuma gara-gara seorang gadis keras kepala hadir dalam hidupnya. Cuma gara-gara seorang gadis magang yang sering mampir ke rumahnya. Cuma gara-gara gadis kurang ajar yang selalu memata-matainya di jam-jam ia melukis. Cuma gara-gara seorang Fiorenza. Haruskah Ian mengurungkan niatnya untuk menjadi tuna netra selamanya?
***
Hari ini adalah hari Minggu. Akhir pekan yang Fio gadaikan untuk Ian. Hari di mana gadis itu ingin mengajak Ian jalan-jalan dan menikmati dunia luar. Awalnya, lelaki itu menolak. Namun, hatinya meleleh ketika membayangkan ucapan permohonan Fio dengan puppy eyes-nya.
Hei, memang kamu tahu seperti apa wajah gadis ini, Ian? Lucu sekali!
"Jadi ... mau, ya? Ayolah, aku sangat jarang jalan-jalan ke luar. Apalagi sama temen," pinta Fio. "Kamu nggak kasihan sama aku yang udah kerja hampir semingguan full? Aku butuh refreshing, dan aku juga butuh kamu."
"Hah ...," Ian mengembuskan napasnya kasar. Sebagian besar logikanya ingin menolak, tapi hatinya berkata sebaliknya. "Baiklah, tapi jangan jauh-jauh dan jangan lama-lama, ya," lanjutnya dengan beberapa persyaratan.
"Oke."
Gadis itu memakaikan jaket pada Ian dengan cukup telaten. Ia menyisir rapi rambut Ian yang hitam legam, juga memakaikan lelaki itu sebuah topi untuk menghalau sinar matahari yang menyilaukan. Ian cukup dibuat deg-degan, merasa kalau perhatian Fio terlalu berlebihan untuknya. Seakan-akan, mereka adalah suami-istri yang sudah tinggal selama bertahun-tahun.
"Kenapa harus pakai jaket?" tanya Ian untuk mengalihkan kegugupannya, mengatasi detak jantungnya yang berkontraksi dua kali lebih cepat seperti mendengar lagu disko.
"Ian, Ian. Peduli dikit kek sama kulit kamu yang seputih susu. Kan sayang kalo jadi gosong kena sinar matahari."
Ian terkekeh mendengar alasan Fio. Lagian, Ian sendiri tidak terlalu memedulikan kulitnya yang akan kehitaman kalau ia keluar rumah. Karena, permasalahan terbesarnya adalah menghadapi orang-orang dan omongan mereka yang mungkin akan menyayat hati.
"Fi?" panggil Ian refleks, tangannya terasa hangat oleh genggaman Fio.
"Iya?"
"Nggak jadi."
Setelah pamit dengan Rudi—yang tampak sibuk dengan korannya pagi itu—Fio mengajak Ian berjalan melewati trotoar. Tak sekali pun Fio melepas gandengan tangannya pada Ian, hingga tampaklah tatapan-tatapan sinis dari para pejalan kaki selama di perjalanan. Mengabaikan mereka, Fio tetap berjalan dengan senyuman yang merekah di bibirnya.
Rencananya, Fio akan membawa Ian ke taman kota. Kawasan Kebayoran Baru memang terkenal sebagai kawasan dengan taman kota terbanyak. Kawasan ini punya lebih dari tiga puluh persen lahan dan ruang terbuka hijau dari total luas Jakarta atau sekitar 720 hektar. Keluar dari rumah Ian, Fio menuju halte dan menunggu bus yang akan mengantarnya ke Jalan Lamandau III, di daerah Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
"Ayo!" ucap gadis itu selagi menarik tangan Ian untuk ikut bersamanya naik ke bus.
Setelah menemukan posisi duduk, Fio memerhatikan raut wajah Ian yang tampak cemas. Ia lagi-lagi menggenggam tangan lelaki itu, berusaha menenangkan.
"Nggak usah takut, aku ada di sini. Aku nggak akan ninggalin kamu, oke? Santai saja, Ian. Nikmati perjalananmu," bisik Fio yang entah bagaimana sukses menjinakkan kerisauan dalam hati Ian.
***
Mereka tiba di lokasi, tepat pada pukul 07.30 pagi. Ian merasakan embusan angin yang menyejukkan menerpa kulitnya. Udara yang sangat segar—yang selama ini langka ia dapatkan di lingkungan rumahnya—dapat ia hirup secara rakus di taman ini. Ian juga mendengar suara keramaian, kebanyakan berasal dari jeritan anak-anak kecil yang main kejar-kejaran. Tak jarang, Ian juga mendengar suara seseorang dengan permaianan sepatu rodanya. Juga ada gemericik air yang cukup menyita perhatian.
"Ada sungai?" tanya Ian memastikan perkiraannya.
"Bukan. Itu air mancur yang ada di sekitar danau."
"Danau ... di taman?"
"Ini Taman Ayodya, Ian. Termasuk masih baru dibangun. Luasnya kira-kira 7.500 m², di tengahnya dibuat danau seluas seperlimanya. Kamu tahu apalagi yang menyenangkan di sini?"
"Apa?"
"Kita bisa memberi makan ikan. Ayo, kutunjukkan!"
Benar saja, Ian dapat menabur makanan ikan yang sudah disediakan. Merasakan betapa serunya memberi makan ikan-ikan kecil yang ada di sana. Meskipun yang dapat ia dengar hanyalah suara air yang berkecimpung akibat ikan-ikan kecil yang mulai berkerumun. Tak pernah ia merasa seasyik ini sebelumnya, Fio sungguh membuatnya terhibur.
"Ian, ini adalah satu-satunya taman yang menyediakan jalur dan fasilitas bagi penyandang cacat. Intinya, tidak semua orang itu punya pemikiran buruk. Buktinya, pemerintah saja memberi fasilitas pada warganya yang menyandang disabilitas. Kamu nggak perlu malu buat nunjukin diri, masih ada orang-orang yang seperti kamu di luar sini. Mereka kelihatan bahagia, kok."
"Ya, mungkin kamu bener. Nggak salah aku cerita banyak hal ke kamu selama ini," ujar Ian sambil tersenyum.
"Kakak, Kakak! Bukan begitu cara ngasih makan ke ikannya!"
Ian terkejut saat seorang anak kecil meneriakinya, sekaligus mengambil sisa makanan ikan yang ia pegang di tangannya.
"Emang, gimana caranya?"
Kali ini, Fio yang menjawab. Anak kecil itu terlihat begitu cerewet, menjelaskan seolah-olah ia yang paling paham dengan kegiatan memberi makan ikan. Tak ada yang Ian lakukan selain mendengar obrolan seru antara Fio dengan anak kecil itu.
"Oh, jadi begitu? Tapi ... kamu ngehabisin makanan ikan milik kakak ini. Terus, gimana kakaknya bisa mempraktikkan apa yang kamu ajarin tadi?"
Anak kecil itu meringis mendengar pertanyaan Fio.
"Yah, gimana dong, Kak? Elis nggak sengaja ...," ucap gadis kecil berusia sekitar lima tahunan itu. Rambutnya yang keriting pendek dikuncir dua dan pipi tembamnya membuat Fio semakin gemas.
"Kalau gitu, gini aja deh," kata Fio sambil mendekatkan bibir ke telinga Elis, membisikkan sesuatu yang membuat Ian penasaran.
"Kak Ian ...," panggil Elis dengan suara khas anak kecilnya, terdengar lugu dan lucu.
"Elis minta maaf ya, Kak. Sebagai gantinya, Elis kasih sesuatu ke Kak Ian."
Fio menganggukkan kepalanya, menyetujui tindakan selanjutnya yang ingin dilakukan Elis. Beberapa detik kemudian, Ian merasakan pipinya basah. Gadis cilik itu menciumnya. Tak terasa, wajah yang tadinya tampak mengerikan—karena begitu datar tanpa ekspresi—saat ini mempertontonkan senyuman lebarnya yang diselingi suara tawa.
"Baiklah, Elis. Kak Ian maafkan," kata Ian menanggapi bocah lima tahunan itu.
"Eris, di sini kamu rupanya! Ayo, pulang, Nak."
Tampak seorang wanita yang berumur sepantaran Rudi datang bersama suaminya. Rupanya, mereka orang tua Elis—ejaan anak kecil untuk nama Eris.
"Aduh maaf ya, Mbak, Mas. Anak saya merepotkan."
"Nggak kok, Bu. Eris anaknya lucu," jawab Fio.
Tak lama kemudian, mereka pamit dengan Eris yang sudah ada di gendongan. Kini, yang tersisa hanyalah Fio dan Ian.
Di tengah kegiatan mereka, seorang juru foto datang menawarkan jasanya. Fio tak menolak, dengan senang hati ia berpose. Kedua tangannya tampak menarik sudut bibir Ian ke atas, agar lelaki itu tersenyum ke kamera. Cekrek. Foto pun berhasil diabadikan. Lumayan, ekspresi Fio tidak sejelek foto-foto masa perpisahan SMA-nya dulu. Ian juga terlihat tampan di kamera. Bagaimana pun mimik wajahnya, entahlah, orang tampan memang selalu pas di segala suasana, batin Fio.
"Fi, aku mau minta pendapatmu," ucap Ian tiba-tiba.
"Pendapat soal apa?"
"Menurutmu ... bagaimana kalau aku mengoperasi mataku?"
Deg. Detak jantung Fio seakan berhenti. Mengoperasi mata? Itu tandanya Ian akan segera dapat melihat isi dunia. Juga ... dapat melihat wajahnya yang mungkin mengecewakan.
"Sebenarnya sudah lama paman memintaku untuk melakukan cangkok mata, tapi aku selalu menolak dengan alasan tertentu. Tapi kali ini, aku ingin melihatmu, Fi. Aku ingin ngelihat gadis yang tulus mau berteman denganku. Aku harap, kamu juga gadis pertama yang muncul di pengelihatanku setelah aku operasi nanti."
Ian menggapaikan tangannya ke udara, hendak menemukan wajah Fio. Ingin sekali Ian menyentuhnya. Tapi, Fio menahan pergelangan tangan Ian saat jemari Ian hampir mendarat di pipinya.
"Kenapa, Fi? Kok diem aja?"
Fio terlarut dalam persepsinya sendiri. Ia mengerti betul tentang ketidakpantasannya bersanding dengan Ian. Dilihat dari berbagai sisi pun, pertemanan mereka juga terlalu jungkir balik. Fio hanyalah gadis buruk rupa yang punya kesempatan bagus mengenal seorang pangeran tampan seperti Ian. Kalau dibandingkan dengan film Beauty and The Beast, Fio lebih cocok memerankan si monster mengerikan yang mendapat kutukan dari seorang penyihir itu. Tidak, Fio tidak akan sanggup menampakkan wajahnya di depan Ian nanti. Ia malu. Tapi, keinginan Ian adalah yang paling utama. Jika lelaki itu sudah memutuskan untuk dapat melihat, Fio tidak bisa mencegah. Kebahagiaan Ian adalah yang terpenting meskipun risiko untuk ditinggalkan di kemudian hari sudah dapat Fio prediksikan. Fio tidak bisa egois dengan memanfaatkan kebutaan Ian agar Ian dapat terus berteman dengannya tanpa tahu rupa fisiknya itu.
"Bagus. Aku ... mendukung rencanamu. Kamu pantas bahagia, kamu pantas melihat, Ian," kata Fio dengan suara sedikit parau. Di samping itu, foto hasil cetak yang diberikan si juru kamera diremas Fio begitu saja, lalu ia simpan foto itu dalam kantongnya. Ian tidak boleh mengenali Fio saat Ian sudah bisa melihat nanti.
"Kamu janji, akan selalu bersamaku, 'kan? Saat aku sudah bisa melihat, aku ingin kamu nggak pergi jauh-jauh."
Fio sedikit terharu mendengar permintaan Ian, tapi apa boleh buat. Daripada diusir lebih dulu oleh Ian, sebaiknya Fio yang mengasingkan diri. Fio harus pergi.
"M-mungkin," jawab Fio lemah. Sementara, Ian tersenyum di dalam hatinya. Sebentar lagi, Ian akan mengetahui bagaimana rupa gadis yang sudah menemani hari-harinya selama hampir satu bulanan itu.
***
Wuah, jumlah kata terbanyak yang pernah aku tulis :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top