Bab 30 (End)


"Menurut Mbak, apa Ian beneran suka diriku apa adaya?"

"Ayolah, Fi, berapa kali lo nanya ini ke gue? Dan dalam berapa kali itu jawaban gue selalu sama. Ian sepertinya bukan tipe cowok seperti yang lo pikirkan."

"Tapi, seorang cewek cantik menyatakan cinta padanya kemarin malam. Lalu ... lalu ... m-mereka ... berciuman."

"Ha! Lo serius? Ian gimana? Responsnya?"

"Ian diem aja, sih. Tapi aku yakin, dia nerima cinta cewek itu berhubung si cewek adalah sahabat masa kecilnya. Mereka juga deket banget, udah kayak pasangan."

"Hei, lo sedih karena ini?"

"Menurut Mbak?" balas Fio agak jengkel.

Jadi selama setengah jam mereka mengobrol, Jenni baru mengerti kalau itulah penyebab Fio cemberut seharian ini.

"Haha!"

"Kok Mbak Jenni ketawa? Nggak ada yang lucu, Mbak!"

"Fi, lo nggak tahu alesan gue ketawa-ketiwi kayak gini?"

Fio menggeleng.

"Itu artinya, lo suka sama Ian, Fi. Suka! Lo cemburu karena ada cewek yang deket sama Ian."

"Mana ada, Mbak? Nggak mungkin aku suka," elaknya, padahal selama ini Fio susah tidur gara-gara memikirkan kenyataan bahwa ia telah jatuh hati pada Ian.

"Nggak usah malu-malu kucing gitu sama gue, gue tahu, lo pun sadar kalo lagi suka sama Ian. Pake nolak fakta lagi, gue ini udah pengalaman, Fi. Lo nggak bisa nipu gue!"

"Ya, deh. Mbak Jenni menang. Aku emang suka sama Ian. Tapi ... nggak mungkin kalau Ian juga suka sama aku. Kayaknya, ini bakal jadi cinta sepihak. Mirip kisah cinta aku di zaman SMA dulu."

"Ya udah, Fi. Kalo jodoh nggak bakal ke mana. Gue yakin, lo dan Ian itu udah ditakdirin hidup bersama. Tinggal menunggu waktu aja. Eh, lo inget, dulu waktu lo lagi ambil libur gara-gara sakit, Ian selalu ke sini buat nyariin lo. Dan akhirnya gue kasih deh alamat rumah lo yang di Pondok Indah."

"Iya, terus? Dia cuma penasaran sama wajah aku aja, Mbak. Nggak lebih."

"Nggak, Fi. Cowok itu gue rasa tingkah lakunya mulai berubah pas kehilangan lo. Dia kayak lebih stres gitu, mirip orang putus cinta."

"Entahlah, Mbak. Lagi pula, aku udah mutusin ini sejak semalam, kalau aku akan mulai ngelupain dia dan ngebiarin Ian memilih pilihannya sendiri."

Fio mengakhiri percakapannya dengan Jenni. Ia meneguk habis kopinya yang dingin, kemudian beranjak dari sana untuk kembali ke ruangannya.

"Mbak, aku balik. Sekalian mau beres-beres. Ini hari terakhirku, 'kan."

Jenni hanya memandangi punggung gadis itu sampai menghilang dari balik pintu.

"Kisah cinta karena perjodohan memang rumit. Tapi lebih rumitan itu kalo nyari jodoh sendiri. Adaaaa aja kendalanya. Semoga, lo dapetin deh cowok yang baik seperti yang lo harepin, Fi."

***

"Aduh, berat juga, nih."

Fio kesulitan membawa kardus berisi barang-barang kantornya. Ia baru saja keluar dari lift, sekarang menuju ke luar gedung untuk menunggu jemputan.

Sesampainya di luar, pemandangan rumah berdinding kayu itu mengupas sedikit demi sedikit kenangannya. Ia yang seringkali mampir ke sana sepulang kantor, atau memandangi jendela lantai dua rumah itu dari ruangannya di jam makan siang. Semua kegiatan itu akan berakhir hari ini juga. Setelah sebuah mobil menjemputnya, Fio berjanji, tidak akan pernah menginjakkan kakinya di tempat ini lagi. Tempat yang hanya akan membuatnya susah move on.

Bruk.

"Aduh, Mas, tolong hati-hati jalannya!"

Seseorang baru saja menyerempet bahunya, membuat Fio terkejut dan kardus yang ia bawa pun terlepas dari tangannya. Isinya jatuh berhamburan.

"Aku bantuin," kata seorang lelaki yang tiba-tiba menghampiri Fio.

"Terima ka-"

"Nah, udah beres."

Fio tak berhenti memerhatikan wajah seseorang yang telah membantunya itu. Jantungnya berdebar. Suaranya mungkin akan terdengar sampai ke telinga orang itu. Segera Fio bangkit dan memperlebar jaraknya.

"Terima kasih," ujarnya sekali lagi kemudian bergegas pergi.

"Tunggu, Fi! Ada yang mau aku omongin sama kamu. Tolong, jangan pergi dulu."

Fio menguatkan hatinya sebelum akhirnya berbalik. Ia menatap wajah itu lagi, wajah yang sama dengan laki-laki yang tak pernah membuat tidurnya nyenyak belakangan ini. Wajah yang membuatnya salah tingkah, juga patah hati sekaligus.

"Aku mau ngomong sama kamu, tolong dengerin aku dulu."

"Aku tak punya waktu banyak."

"Hanya lima menit, aku janji!"

Ian, pria itu berjalan mendekati Fio. Ia mengambil alih kardus yang dipegang Fio, lalu meletakkannya di bawah. Kini, tangan gadis itu telah ia genggam dan ia dekatkan dengan dada sebelah kirinya.

"Apa yang kamu rasain, Fi? Apa kamu bisa rasain jantung aku yang berdetak nggak biasa ini?"

Fio dapat melihat jelas bekas memar di wajah Ian. Gadis itu merasa kasihan. Karena dirinya, Ian jadi terluka.

"Ian, cepat katakan apa keperluanmu sebelum Kak Aaron datang dan kamu kena pukul lagi! Aku nggak mau kamu banyak luka karena aku," ucap Fio dengan nada resah.

"Aku nggak peduli. Mau Aaron memukulku sampai mati, aku akan tetap di sini dan mengatakan ...."

"A-pa? Kenapa menatapku seperti itu?"

Fio terkejut saat Ian mendekatkan telinganya ke dekat jantungnya. Kira-kira hanya berjarak sepuluh senti.

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

Fio mendorong tubuh Ian agar menjauh, namun Ian malah menarik pinggangnya. Membuat gadis itu menabrak dada bidang Ian. Ian mendekapnya sangat erat.

"I-Ian?"

Ketampanan Ian sangat jelas dari pengelihatan Fio. Hembusan napasnya bahkan menerpa wajah Fio, membuat Fio merinding.

"Aku bersyukur. Tuhan mengirimkan sepasang mata ini untukku, hingga aku bisa melihat betapa cantiknya dirimu."

"Ehm, Ian. Bisa lepasin, nggak? Aku takut Kak Aaron tiba-tiba dateng lalu-"

"Sst ... nggak ada yang perlu dikhawatirin. Aku kan sudah bilang, mau Aaron memukulku sampai mati, aku akan tetap di sini sampai perkataanku selesai."

"Lalu, apa yang ingin kamu katain? Tolong jangan menjebak dirimu bersamaku. Memangnya, siapa yang tega membiarkan kamu mati di tangan Kak Aaron?"

"Oh, apa maksudnya, kamu takut kalau aku mati? Takut kehilangan aku?"

"Apa, sih, Ian? Bicaramu mulai ngawur. Ayo, lepasin. Aku harus pergi sekarang."

"Fiorenza Jovita Eleora!" ucap Ian tegas. "Aku izinkan kamu memilikiku."

"H-hah?"

"Aku izinkan kamu memilikiku, sebagai gantinya, kamu juga harus mengizinkan aku untuk memilikimu, hatimu, seutuhnya."

Fio tidak mengerti. Kejadian ini terlalu cepat menurutnya. Memilikinya? Memiliki Ian? Apakah yang coba Ian sampaikan adalah sebuah pernyataan cinta?

"Ian, bisa kamu sederhanakan kalimatmu? Jangan membuatku salah paham."

"Bolehkah aku mewarnai hidupmu dengan kuasku?"

Fio berdecak sebal. Ian menggodanya atau apa? Ia mengatakan hal-hal yang sulit dimengerti. Dan bersikap seperti ini, mendekap tubuh Fio dan tak membiarkannya lepas sedikit pun.

"Apa, sih, I-"

"Aku suka sama kamu, Fi! Aku suka kamu sejak kamu hadir di sisiku!"

Fio membisu. Sesaat kemudian, Ian melepaskan pelukannya, ia mengambil sebuah bungkusan besar yang terletak di bawah. Dekat dengan kardusnya yang terjatuh tadi.

"Bukalah," pinta Ian seraya menyerahkan bungkusan berbentuk persegi panjang yang tidan terlalu tebal itu.

"Apa ini?" kata Fio spontan.

"Aku membuatnya sepulang dari rumah sakit, dan baru menyelesaikan kekurangannya kemarin. Semoga kamu suka."

"Ian ... i-ini ... indah."

Fio menyentuh setiap detail lukisan yang ada di tangannya. Itu gambar dirinya, yang dilukis dengan warna pekat bergaya post impressionisme.

Lalu, matanya memicing ketika menemukan sebuah tulisan kecil di bagian pojok kanan bawah.

"Will you marry me?"

Mulut Fio tak sengaja mengucap kalimat itu. Kemudian, Ian menjawab, "yes, I will."

Fio menatap Ian lama. Pun juga Ian. Hari semakin sore, sampai-sampai Fio tidak sadar kalau Aaron sedang berdiri di belakangnya. Menyaksikannya bersama Ian dan ikut memperhatikan aksi Ian merebut hati Fio-nya.

"Ian, ini maksudnya, ka-kamu ...."

"Iya, aku menawarkan, kamu mau 'kan jadi istriku?"

"Istri?"

"Iya, pendamping hidup. Apa masih kurang jelas?"

"Nggak, Ian. Jangan bercanda! Bukankah kamu udah jadian sama Megan?"

"Aku nggak bisa sama gadis yang tidak aku cintai, Fi. Dan aku ngelamar kamu saat ini, kamu tau 'kan artinya apa?" tanya Ian, kedua tangannya menangkup pipi Fio. "Aku ... cinta ... sama ... kamu," lanjutnya.

"Seperti campuran warna cat air di atas palet, yang dapat mengubah dua warna menjadi satu warna yang berbeda, kamu adalah satu-satunya orang yang mampu mengubah kehidupanku yang monoton jadi lebih indah. Dengan sisi lainmu yang membuatku terpesona, kamu berhasil mengikatku dalam sebuah perasaan yang abstrak. Yang saat ini aku kenal sebagai cinta."

"Ian, kamu lelaki yang tampan. Kamu punya banyak peluang untuk mendapatkan perempuan cantik di luar sana, dan kenapa harus aku? Kenapa sampai nolak Megan?"

"Apa menurutmu cantik saja cukup? Cantik nggak menjamin kalau aku nyaman berada bersamanya. Dan aku memilih kamu, berarti kamu istimewa."

"Meskipun ketidaksempurnaanku dominan, apa kamu akan tetap memilihku?"

Fio menautkan kedua alisnya. Terdapat sinar keraguan yang terpancar dari matanya. Tapi, Ian tak menyerah. Jika dulu Fio sangat bersemangat dalam mendekatinya, maka Ian tak boleh kalah.

"Bagiku, ketidaksempurnaanmu adalah bagian dari dirimu yang paling spesial."

Cukup mendengar kalimat itu saja, Fio sampai bungkam. Detak jantungnya semakin tidak teratur, semakin cepat hingga membuat sekujur tubuhnya tak bergerak. Tegang.

Aaron yang tadi mengepalkan tangannya, sekarang jadi lebih rileks. Ada rasa cemburu saat Ian mengatakan perasaannya pada Fio. Namun, berkat dirinya yang mampu menahan marah kali ini, ia jadi tahu. Ian bukanlah tipe laki-laki yang akan menyakiti atau mempermainkan Fio. Aaron melihat ketulusan dalam diri Ian.

"Fio? Jadi, bagaimana? Apa kamu masih belum percaya padaku?

Tidak masalah. Karena, aku punya segudang alasan supaya berhasil membuatmu yakin, bahwa perasaanku bukan main-main."

"Aku akan percaya. Kamu cukup membuktikan satu hal padaku."

"Hal apakah itu?"

"Orang bilang, pria akan melakukan apa pun demi cintanya. Jadi, aku mau kamu ngelakuin sesuatu, barulah aku bisa mempercayai perasaanmu."

"Katakan saja, apa yang kamu ingin supaya aku lakukan?"

"Terima maaf dari papamu dan lupakan semua rasa sakitmu di masa lalu. Mudah, 'kan?"

Ian tak menjawab. Raut kesal terlihat jelas di wajahnya. Lalu, Fio tersenyum miris. Percuma ia memberikan syarat itu sebab Ian pasti akan menolaknya. Kemudian, hubungan mereka berakhir sampai di sana. Tidak akan ada lagi kelanjutan atau pertemuan berikutnya.

"Baiklah, akan aku sanggupi. Aku akan menerima maaf papa. Bahkan, aku akan mengajak papa tinggal bersama. Aku akan menganggapnya sebagai orang tuaku lagi. Aku akan menyayanginya seperti yang kamu mau."

"Benarkah?"

"Aku serius. Apa aku sudah cukup meyakinkan?"

"Ian, ini kesempatan sekali seumur hidupku. Aku tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak mengakui ayahnya sendiri. Jadi, aku bertanya serius padamu. Jangan jawab ini karena aku, tapi aku sungguh ingin melihat jawaban itu keluar dari hatimu."

"Baik, Fi. Aku mengaku. Dugaanmu bahwa selama ini aku masih menyayangi dan merindukan papa itu benar. Jadi, aku berani memulai segalanya dari awal. Walaupun tanpa kamu minta, aku bisa melakukannya. Aku hanya butuh waktu."

Benar. Ian sepertinya tidak bermain dengan ucapannya. Mata sedihnya mengatakan semuanya. Ian sungguh memiliki keinginan untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ayah, hanya saja, butuh beberapa waktu lebih lama untuk mengembalikan semua seperti semula.

"Oke."

"Oke apa?"

"Aku menerimamu."

"Sungguh?"

"Apa aku terlihat sedang melakukan prank?"

Ian tersenyum. Ia terus menanyakan, "sunggguh?" dan memutari tubuh kecil Fio seperti orang gila.

Fio tak sedikit pun jengah, justru ia merasa lucu akan tingkah Ian. Laki-laki yang selama ini selalu jaga image, laki-laki yang dingin, dan kasar juga bermulut pedas, rupanya masih memiliki jiwa lugu seperti anak kecil.

Ini adalah sisi Ian yang sebenarnya. Pada akhirnya lelaki itu lepas dari bayang-bayang masa lalu. Ian lepas dari yang namanya rasa takut. Lelaki itu kini tertawa, menunjukkan kebebasannya.

"Hei!! Fio mau jadi istriku! Kami akan segera menikah dan punya anak-anak lucu!!"

"Ian! Jangan teriak-teriak, dong! Malu diliatin!"

Ian berlari ke arah Fio, memeluk gadis itu dengan kilat kemudian mengecup bibirnya sekilas.

"Eh?"

"Apa? Kenapa? Kita kan mau menikah."

"Ian!"

Fio memukul-mukul lengan lelaki itu dengan keras. Tapi, Ian seperti orang dimabuk cinta. Tak punya rasa malu setelah mencium seorang gadis di depan umum.

"Selamat, Ian. Kamu menang dariku."

Aaron yang sedari tadi menyaksikan mereka, pada akhirnya memunculkan diri.

"K-kak Aaron? Aku bisa jelasin, jangan pukul Ian, ya?"

"Tenang, Fi. Aku main aman, lagian, Ian sepertinya laki-laki baik. Jadi ... aku berani melepasmu."

"Kak Aaron denger percakapan kami?"

"Menurutmu? Aku di sana sejak sebelum Ian menciummu tadi."

"Huh?"

Fio mengalihkan mukanya, malu. Sementara Ian, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ian? Kemarilah."

Ian mengangkat kedua alisnya.

"Aku?"

Aaron mengangguk dan memberi isyarat agar Ian mendekatinya.

"Selamat datang di keluarga kami, Ian. Sekarang, kamu adikku juga. Iya, 'kan?"

Aaron merangkul Ian seperti yang biasanya saudara lelaki lakukan. Ian pun membalasnya, keduanya tampak bahagia. Fio ikut senang melihatnya.

"Hei, Kak Aaron, padahal Ian jauh lebih tua dibandingkan dirimu," sergah Fio yang membuat Aaron memberengutkan wajah. Kemudian, tawa pun kembali menyertai ketiganya.

Bagi Fio, hari itu adalah hari yang paling membahagiakan baginya.

Inilah akhirnya, Fi. Pangeran berkuda putih yang menerimamu apa adanya, akhirnya datang dan mengajakmu menuju dunianya.

Sekarang, orang tidak akan berhenti berharap untuk menemukan seseorang yang mereka suka. Sekarang, semua orang akan tahu, bahwa masih ada segelintir manusia berhati tulus di dunia ini. Tak terkecuali, di kota metropolitan yang terkenal kejam dan keras seperti Jakarta. Jodoh bisa datang dari mana saja. Dari sebuah rumah kabin unik di tengah kota ataupun dari sebuah kekaguman akan dunia melukis orang tuna netra yang kurang dihargai.

"Ayo, kita pulang dan bicarakan ini pada Tante. Tante pasti senang mendengar kabar kalau anak perempuannya laku."

"Aku juga akan pulang, segera akan kuminta paman, ah, tidak. Maksudku, akan kuminta papa melamarmu untukku."

Fio berbinar-binar setelah mendengar ucapan Ian. Pria itu sungguh telah berani memaafkan kesalahan papanya di masa lalu. Fio anggap ini sebagai salah satu misinya, dan ia telah berhasil mengikat kembali hubungan ayah dan anak yang pernah terputus. Rudi juga pasti sangat bahagia mendengar kabar ini. Fio tak sabar ingin melihat ekspresinya.

"Sampai jumpa, Ian."

"Sampai jumpa, Fi. Tunggu lamaranku di rumahmu."

"Pasti."

***

Di dalam mobil, tiba-tiba Fio dan Aaron terdiam. Di luar, seperti tak ada masalah antara keduanya. Berbeda ketika mereka masuk ke mobil, hawa-hawa tegang langsung menyapa.

"Kak, Kakak nggak marah?"

"Marah? Mungkin lebih ke arah kesal."

"Kak, sepertinya aku nggak perlu jelasin lagi kenapa kita nggak bisa bersama. Selain karena aku nggak ada rasa sama Kakak, juga-"

"Juga karena kita masih berhubungan keluarga. Iya, 'kan? Aku tahu. Yang membuatku kesal adalah, Ian ternyata pria yang baik. Selama ini dugaanku salah, makanya aku kesal. Kamu tahu, 'kan, aku ini sudah seperti dukun yang menebak apa pun pasti sesuai kebenaran."

"Ya, dan kali ini Kakak salah. Aku yang benar, nggak nyesel aku jatuh cinta padanya."

"Iya, kamu emang yang terbaik."

Terkadang, sebuah harapan dapat berbuah keikhlasan. Manusia hidup dalam sebuah kelompok yang menganut suatu prinsip.

Sebebas apa pun manusia, mereka tak bisa seenaknya melewati prinsip hidup yang telah mereka komitmenkan. Melanggarnya sama dengan mengucilkan diri dari umum.

Aaron mungkin memiliki perasaan pada Fio, yang jelas-jelas saudara sepupunya sendiri. Namun, ia sadar, bahwa cinta memang tak harus memiliki. Ia lebih memilih untuk menjunjung prinsip keluarga—prinsip yang dianut hampir semua orang. Prinsip yang membatasi cintanya.

Tetapi, kini ia merasa lega. Karena, ia melepas Fio untuk lelaki yang lebih pantas darinya. Lelaki baik yang kelak akan menggantikannya dalam menjaga Fio. Ialah Austin Ian Keindra. Lelaki yang dulu sangat ia benci. Lelaki yang pernah ia duga sebagai penjahat yang hanya akan mempermainkan nasib Fio, justru adalah lelaki yang menerima Fio dengan segala kekurangannya.

Orang yang membuktikan bahwa ketidaksempurnaan bisa menjadi sebuah hal yang spesial jika dinilai dari hati.

Aaron percaya, Fio dan Ian adalah dua manusia yang telah tercatat sebagai pasangan paling sempurna. Dan ia tak akan pernah menyangkal ketika suatu hari ada seseorang yang mengatakan demikian.

"Fio, hiduplah dengan bahagia. Aku akan selalu mendukungmu mulai sekarang, dan mungkin, aku bisa sedikit longgar, karena, Ian lah yang akan menggantikan posisiku untuk menjagamu."

Sore menjelang malam itu pun mereka habiskan di mobil dengan gurauan. Tak sabar menunggu ketika Miranda memberikan persetujuan atas hubungan Fio dengan Ian. Tentu saja, Ian adalah salah satu stok pria terbaik yang telah Tuhan turunkan. Miranda sudah dipastikan tak akan menolak laki-laki yang pernah dipekerjakan di restonya itu.

End.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top