Bab 27


"Om Danang?"

Setelah melewatkan acara inti, Fio pikir Danang tidak akan datang ke acara ulang tahun putranya, Ian. Nyatanya, pria itu tengah berdiri tegap di depan mata Fio. Ia merasakan puncak kepalanya diusap, seketika, kehangatan mendiang papanya kembali ia rasakan. Hatinya menghangat, kesedihannya tiba-tiba hilang dan ia menjadi lebih damai. Sejenak, Fio memejamkan matanya, sementara isaknya terhenti sejak mendengar suara Danang menyapanya penuh kelembutan.

"Sudah tenang? Mau cerita?"

Fio menoleh, tahu-tahu pria dengan kasih sayang itu telah duduk di sebelahnya.

"Om datang?"

"Iya, kemudian om liat kamu lagi nangis. Kenapa, Nak?"

"Tidak, hanya-"

"Fio," panggil seseorang dari dalam rumah. Fio setengah terkejut, pemandangan seorang laki-laki lengkap dengan blazer biru tua dan kaos abu-abu itu menghampirinya.

Potongan baru rambut Ian, yang bermodel undercut, sejak awal memang menguras perhatian Fio. Sekarang ini, gadis itu dapat melihatnya lebih dekat. Ian begitu tampan malam ini. Namun sayang, bukankah Ian kini menjadi milik orang lain? Fio pun teringat bahwa ia belum sembuh dari rasa sakit hati yang menerkamnya beberapa menit yang lalu.

"Austin?" Danang menimpali panggilan Ian yang ditujukan untuk gadis di sebelahnya.

Mata tua pria itu sebening telaga, seutas senyum terlukis di bibirnya. Kulit wajahnya yang berkerut tak mengurangi pesona yang dimilikinya di usia yang hampir menyentuh kepala lima. Dapat dipastikan, Ian mirip dengan ayahnya. Mereka sama-sama tampan. Wajahnya yang berbentuk bulat, bulu matanya yang lentik, bibirnya yang tipis, hidungnya yang kecil dan mancung, serta rahangnya yang tegas. Semuanya terlihat sama persis, membuktikan bahwa Ian dan Danang memanglah memiliki hubungan darah, ayah dan anak paling sempurna.

"Mau apa kamu di sini?!" bentak Ian, "berhenti! Jangan mendekat, apalagi menyentuhku!"

Ian memundurkan kakinya selangkah ke belakang, mengiringi pergerakan Danang yang semakin mendekatinya. Ketegangan tercetak jelas di ekspresi muka Ian, kelopak matanya terbuka lebar dan dahinya mengernyit.

"Austin, ini papa," ucap Danang begitu teduh, namun ditanggapi sinis oleh anaknya.

"Papa? Sejak kapan seorang papa menganiaya anaknya sendiri? Menyiksanya dan meninggalkan luka di batinnya selama bertahun-tahun. Apa pantas kamu disebut 'papa'?"

"Maaf, maafkan papa."

Dengan nada penuh penyesalan, Danang menatap sendu Ian. Auranya mengatakan bahwa ia sangat merindukan anak laki-lakinya itu, ingin sekali ia memeluk Ian untuk melepas kerinduan yang ia pendam selama bertahun-tahun di bui.

Tinggal beberapa senti saja, Danang akan berhasil merengkuh tubuh Ian. Sayang, Ian yang tidak menerima keberadaan ayahnya justru mendorong pria itu kuat-kuat.

"Ian! Jangan!! Kamu nggak boleh kasar sama orang tua!"

"Kasar? Ini masih belum seberapa dibanding perbuatannya padaku dulu! Dan kamu, ikut aku!"

Ian meninggalkan Danang yang masih terjatuh di tanah berpaving itu. Lalu lalang kendaraan seolah menutupi kejadian tidak terpuji yang dilakukan Ian. Lelaki berperawakan tinggi itu justru menyeret tangan Fio dan membawa gadis itu pergi.

***

"Lepasin, Ian! Sakit!"

"Bukannya aku sudah bilang, nggak usah dekat-dekat dengan pria itu! Kenapa kamu membantah?"

"Ian ... ini sudah lima belas tahun. Papamu sudah menebus semua kejahatan yang dilakukannya dan dia memutuskan untuk berubah. Apa salahnya kamu memberikan sedikit maafmu dan biarkan beliau menunjukkan kalau dirinya layak untuk kembali menyandang status sebagai orang tuamu?"

"Ngomong itu mudah. Kalau kamu jadi aku dan ngalamin langsung, kamu nggak akan pernah sudi ngasih maaf, apalagi melihat wajahnya," kata Ian masih mengelak.

Fio mengembuskan napas. Dipegangnya kedua bahu Ian dengan sedikit berjinjit.

"Jangan menyakiti dirimu sendiri. Meski kamu nggak jujur, tapi dalam hati, sebenarnya kamu juga rindu padanya, 'kan? Kamu sengaja ngeluarin semua kebencian kamu buat menutupi fakta kalau sebenarnya kamu masih menyayanginya. Karena menurutmu, masa lalu dan papamu adalah dua buah kelemahan yang membuatmu enggan bergerak dan membuka diri."

Ian tak menjawab. Semua yang dikatakan Fio benar adanya, laki-laki itu sadar. Dirinya masih menyimpan segenggam kasih sayang dan setitik kerinduan untuk Danang, orang yang telah membesarkannya dengan penuh harap. Hingga kemalangan itu terjadi, Danang berubah menjadi iblis yang kejam.

"Papamu, dia seperti itu karena dia terluka. Kamu pun sama dengannya, Ian. Kamu berubah jadi sosok yang kasar dan antisosial, karena kamu juga terluka oleh sikap papamu yang kejam. Manusia emang selalu punya salah, dan kita diberi hati supaya bisa memaafkan. Ian, Om Danang cuma mau kamu anggep dia sebagai ayah, nggak lebih. Dia juga cuma butuh maaf darimu meskipun kehilangan kamu sebagai anak adalah risikonya."

"Cukup, Vi! Tolong, jangan memprovokasiku lagi! Bagiku, tak ada lagi kata maaf. Tak ada lagi cinta, tidak ada lagi kerinduan! Aku dengan pria itu adalah dua orang asing yang tidak boleh saling kenal. Ya, dia orang asing. Hanya orang asing."

"Orang asing? Aku harap, kamu memahami lebih dalam apa makna dari orang asing. Apakah seseorang yang berperan dalam kelahiranmu di dunia ini adalah orang asing? Apakah orang yang pernah mencari nafkah untuk membesarkanmu adalah orang asing? Apakah orang yang pernah menggendongmu dan menimangmu saat kamu masih bayi adalah orang asing? Ian, orang yang sejak kecil melekat dan tercatat dalam kisah hidup kita bukanlah orang asing."

"Lalu, harus kusebut apakah orang yang telah lama membuang rasa kasih sayangnya padaku itu? Hanya karena seorang wanita meninggalkannya, dia berubah. Aku tidak pernah mau punya papa selemah itu. Hanya karena hatinya tersakiti, lantas aku menjadi sasaran pelampiasan. Apakah lelaki itu tak sadar, aku ini masih darah dagingnya? Dia pantas menjadi orang asing. Jika dia melupakanku sebagai anaknya, maka aku pun bisa melupakannya sebagai papa."

"Ian kamu nggak bisa kayak gini, tolong jangan keras kepala. Bisakah kamu sedikit saja jujur? Aku nggak suka kamu bohongin diri sendiri, dan terus melangkah mundur serta mencoba menghapus kenyataan masa lalu. Buka hatimu untuknya, Ian."

"Jujur? Kamu minta aku jujur disaat kamu sendiri nggak pernah jujur padaku?"

Mendadak, tatapan Ian berubah. Sorot matanya menjadi lebih tajam.

"A-apa yang kamu bicarakan?"

"Aku tahu, selama ini, kamu pun menutupi sebuah kebenaran dariku, Fio."

Fio tercengang. Apa baru saja Ian memanggilnya Fio?

"B-bagaimana kamu-"

"Kamu berjanji nggak akan pernah menjauh. Sekarang aku sudah bisa melihat, lalu, apa yang sedang kamu lakukan ini, Fi? Kamu memakai make up dan mengaku sebagai Jovi? Kenapa kamu nggak jujur padaku?"

Fio meneguk ludahnya kasar. Tangannya meraih-raih ke belakang, berusaha menemukan sebuah pegangan. Tubuhnya menjadi lemas, hingga akhirnya ia menemukan sebuah tembok untuk dijadikan sandaran.

"Kamu ... tahu?"

"Aku tahu. Selalu tahu kalau kamu adalah Fiorenza. Kamu pikir aku bodoh?"

Puncak kemelut di antara keduanya seketika mengendur setelah Ian menyinggung rahasia yang Fio sembunyikan. Tentang penyamaran gadis itu yang dianggap tipuan oleh Ian.

Ian melangkahkan kakinya lebih dekat ke Fio. Gadis itu hanya berdiri kaku, saraf-sarafnya seakan mati. Ia tak dapat menggerakkan tubuhnya saat ini saking begitu tegangnya.

"Fi? Kenapa kamu waktu itu ninggalin aku di rumah sakit? Aku selalu berharap kamu datang dan jadi orang pertama yang aku lihat."

"Ian, a-aku ... aku bisa jelaskan semuanya, t-tolong jangan begini," ujar Fio terbata, mengetahui wajah lelaki itu sangat dekat dengan wajahnya dan tangan kekar lelaki itu telah mengurungnya di depan tembok.

"Jelaskan, jelaskan sepuasmu, Fi. Aku sangat penasaran."

Fio semakin menahan napasnya sesaat setelah merasakan wajah Ian begitu dekat dengan ceruk lehernya.

Hingga ... sebuah tendangan mengahantam pinggang lelaki itu sampai ia terjerembab dengan muka mengenai jalanan trotoar.

"Berengsek!" umpat Aaron yang tiba-tiba saja datang mengepalkan tangannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top