Bab 24
"Ma, kayaknya aku nggak bisa pulang ke rumah, deh, buat beberapa hari ke depan. Aku...."
Omongan Fio terpotong, akalnya tidak bisa membantunya kali ini. Tidak mungkin ia mengatakan kalau tak berani pulang dan belum sanggup mengahadapi kakak sepupunya yang kelewatan.
Fio menghembuskan napas beberapa kali, tampak frustrasi. Sementara, wanita paruh baya yang ada di seberang telepon dibuatnya bingung. Fio tak menjawab panggilan Miranda yang terus saja terucap dalam tempo cepat. Mamanya khawatir, semalam ia tahu putri satu-satunya tidak pulang ke rumah. Aaron yang melaporkannya.
"Fi? Kenapa, Sayang? Kok diem aja dari tadi?"
"Ah, itu ... kita ketemu aja ya, di kantor. Mama bisa kan ke kantor aku di jam makan siang?"
"Kenapa nggak di resto aja? Sekalian makan siang gratis, mama yang masakin menu spesial buat kamu."
Nggak bisa! Nanti bisa ketemu sama Kak Aaron!
"Jangan! Di kantor aja, Ma. Aku ... capek banget mau keluar kantor. Nggak papa, 'kan?"
"Ya udah, deh. Nanti mama ke kantor."
Fio mengulas senyum. Mamanya memang tak pernah bisa menolak permintaannya. Bisa dikatakan, Fio sangat mendapat perhatian Miranda. Sejak kecil, gadis itu dimanja olehnya. Namun, bukan berarti mendapat kasih sayang lebih, Fio tetaplah gadis yang mandiri—yang tak pernah meminta secuil harta pun dari orang tuanya. Ia memenuhi kebutuhannya sendiri kecuali tempat tinggal dan makan sehari-hari.
Sekarang masih pukul enam pagi, ada waktu sekitar satu setengah jam untuk gadis itu bersiap-siap ke kantor. Untung tas kerjanya ia bawa. Tas yang berisi dompet lengkap dengan KTP dan ATM-nya, handphone dengan charger-nya, dan beberapa alat make up. Cukup lengkap, kecuali satu. Pakaian ganti. Lalu apa yang harus ia pakai sekarang? Bahkan ia belum mandi gara-gara memikirkan hal itu.
"Loh, Vi, belum siap-siap?"
Tiba-tiba Ian muncul dari balik pintu. Seingat Fio, ketika gadis itu membuka matanya, Ian sudah tak di tempat. Lelaki itu bangun lebih awal darinya. Fio sedikit malu dengan fakta ini. Harusnya seorang gadis bangun lebih pagi dibandingkan pria.
"A-aku nggak bawa baju ganti. Gimana, dong?" jawab Fio. Gadis itu memunggungi arah Ian datang, masih tak percaya diri dengan wajah polosnya tanpa riasan.
"Oh, ya, udah. Mau aku anter pulang?"
"Nggak!" tolak Fio keras. Ian mengerutkan dahinya, menggaruk kepalanya heran.
"Kenapa?"
"Ada, deh. Aku nggak bisa cerita. Kamu ada solusi?"
"Solusi buat apa?"
"Buat pakaian aku lah. Aku beneran bingung, harus masuk kerja tapi nggak ada baju ganti."
Ian berdecak, mengusap-usap dagunya seperti orang yang sedang mencari ide. Fio berjalan gelisah ke kanan dan ke kiri, ikut mencari alternatif dari masalahnya.
"Aku nggak tau apa alasanmu, sebenernya aku penasaran. Tapi, okelah. Kamu nggak bisa cerita sekarang, berarti kamu punya hutang penjelasan sama aku. Aku yakin, pasti ini ada hubungannya dengan kamu yang nginep di rumah aku."
"Ian, ini bukan saatnya buat bahas itu."
"Aku tahu! Aku bisa minta Megan bawain bajunya buat kamu."
"Hah, apa?!"
***
Fio menyendok makanannya asal. Matanya bosan menyaksikan kemesraan Ian dengan sahabat kecilnya, Megan. Apa perlu pakai suap-suapan segala? Ian kan bisa makan pakai tangannya sendiri! Begitulah benak Fio yang sedang memprotes.
"Ayo, Ian. Makan, aaak."
Dan lebih kesalnya lagi, kenapa Megan harus pintar memasak? Fio seperti butiran debu jika dibandingkan dengan gadis itu. Fio mungkin bisa bekerja di dapur, namun sebatas mencuci dan memotong sayur, memasak air, dan membuat mie instan. Ah, tidak. Gadis itu sudah berhasil mempelajari satu resep, pasta carbonara, dari sang mama. Tapi entah bagaimana bisa ia mengacau di dapur tadi pagi. Niatnya mau membantu Megan memasak, Fio malah ceroboh dan membuat tangan Megan terciprat minyak panas.
"Udah, aku bisa makan sendiri. Tanganmu masih sakit, 'kan? Atau aku yang nyuapin kamu aja?"
"Serius? Kamu nggak keberatan nyuapin aku?"
"Ngapain keberatan?"
Sudah cantik, lulusan universitas luar negeri, pintar memasak lagi. Sungguh gadis idaman para lelaki. Fio lagi-lagi pesimis. Megan terlalu sulit ia saingi.
Nafsu makan gadis itu mendadak hilang. Ia membanting sendok dan garpunya, mengabaikan sayur asem dan bacem tahu tempe yang tadi membuatnya tergiur.
"Loh, Vi, kok nggak dihabisin?" tanya Ian saat Fio bangkit dari kursinya.
Kala itu, hanya ada mereka bertiga di meja makan. Rudi berangkat duluan, ada urusan mendesak dengan kantor penerbit yang bersedia menerbitkan novelnya.
"Err, aku buru-buru."
"Jovi?"
Bukan Ian, tapi Megan yang sedang memanggilnya sekarang.
"I-iya?"
"Kalau kamu masih butuh baju, bisa hubungi aku lagi. Nggak usah sungkan, kamu teman Ian, berarti temanku juga."
Bolehkah Fio berkata kasar? Tidak. Gadis sesopan dirinya tidak akan mudah mengeluarkan umpatan-umpatan kotor. Dalam hati, ia hanya mengeluh saja. Kenapa juga ia sampai lupa bahwa blazer, kemeja, dan rok yang ia gunakan semuanya milik Megan.
"Makasih," responsnya singkat.
Fio mengambil tas kerjanya dari lantai atas, saat hampir keluar rumah, Ian mencegatnya.
"Vi!"
"Iya, kenapa?"
"Mau aku anter? Aku juga penasaran selama ini kamu kerja di mana."
Itu ide buruk! Aku beneran pikun! Di depan Ian aku seorang Jovi. Tapi, di luar itu, aku masihlah Fio yang menjadi pegawai magang di MyStore. Bagaimana ini?
***
Aku ... ngurus cabang restoran papa yang ada di Tebet.
Fio memijit pangkal hidungnya setiap kali kalimat itu terlintas di kepalanya. Alasan konyolnya, tentang pekerjaannya. Mengurus restoran papanya? Gadis itu saja tidak tahu, L'Acino punya berapa cabang dan di mana saja letaknya. Fio asal bicara karena sudah kepepet.
Saat ini, ia menunggu mamanya datang. Ia duduk resah di salah satu bangku kafetaria. Jenni yang biasanya menemani gadis itu, hari ini tak tampak batang hidungnya. Fio sendirian. Terakhir kali, Jenni marah-marah atas sesuatu yang tidak jelas menurutnya.
"Fio!"
Itu dia, suara mamanya tercinta. Miranda tiba dengan wajah berseri. Baru semalam tak berjumpa, Fio sudah sangat merindukan senyuman manis mamanya. Gadis itu refleks terbangun dan menghambur ke dalam pelukan Miranda.
"Eh, kenapa ini? Kok kamu tiba-tiba manja sampai minta peluk-peluk?"
"Nggak papa. Fio cuma kang–"
"Hai, Fi."
Jantung Fio berhenti berdetak saat menyorot kehadiran Aaron di depannya, mengikuti langkah Miranda di belakang.
"Kok mama sama dia?"
"Aaron? Anak ini maksa buat ikut. Jadi, mama ajak sekalian. Mungkin kangen sama kamu kali, semalem nungguin kamu sampe nggak tidur. Kamunya nggak pulang-pulang dari rumah Jenni."
Sekarang Fio tahu. Aaron lah yang mengarang cerita kalau dirinya menginap di rumah Jenni untuk menutupi pertikaian di antara keduanya. Pantas, mamanya tak menelepon kemarin. Pagi tadi pun tidak menanyakan ke mana Fio pergi meskipun tahu kalau semalaman tidak pulang. Di sisi lain Fio lega, ia jadi tak perlu susah-susah mencari kebohongan lain. Cukup satu ini saja.
"Jadi, Ma ... aku butuh liburan."
"Liburan? Bukannya jadwal kerjamu padat?"
"Iya. Karena itu, aku selalu butuh teman. Kayak ... Mbak Jenni."
"Yang jelas, Fi. Mama nggak bisa nangkep kalimatmu."
"Aku mau sementara tinggal bersama Mbak Jenni, aku butuh teman untuk bercanda di tengah pekerjaanku yang melelahkan. Aku mau nginep di rumah Mbak Jenni, beberapa hari ke depan."
Sepi. Yang terdengar adalah suara ramai para pembeli yang berlalu-lalang mengantre makanan.
"Fi? Kamu mau nginep? Artinya kamu nggak akan pulang?" sahut Aaron.
Fio memutar bola matanya malas. Ia tak menginginkan tanggapan atau opini lelaki itu, Fio hanya butuh persetujuan mamanya. Itu saja.
"Boleh. Tentu boleh! Mama malah seneng, kamu udah punya teman dekat. Nggak terkucilkan kayak masih sekolah dulu."
"Apa, Tan?!"
"Serius, Ma?"
Fio dan Aaron menjawab perkataan Miranda secara bersamaan, menimbulkan efek terkejut di wajah wanita itu.
"Kok dibolehin, sih? Ini Fio nginep di rumah orang loh! Gimana kalau dia kenapa-napa? Siapa yang bisa mantau? Siapa yang bakal jagain? Terus, si Jenni itu kan udah punya keluarga. Punya suami, punya anak. Banyak yang harus dia urus, masak Fio nambah-nambahin beban dia? Kalau Jenni ikut ngurusin Fio, waktunya bersama suami dan anaknya jadi terganggu. Belum lagi, di rumah itu ada cowok. Si Robbert, suami Jenni. Aku nggak bisa jamin kalau Robbert nggak macem-macem sama Fio. Tante pikirin baik-baik lagi, deh. Aaron sih nggak setuju sama permintaan Fio."
Mulut Fio dan mamanya menganga lebar. Rahang mereka merosot ke bawah, jaw drop, gara-gara ucapan Aaron yang panjang lebar dan bikin tercengang.
Oh, iya. Jangan lupa, sifat lelaki itu memang protektif. Keterlaluan. Tidak bisa meninggalkan Fio di luar rumah barang sedetik pun. Tidak heran, jika Aaron mengatakan kalimatnya tadi dengan bersungut-sungut.
"Ma, please...."
Miranda sekarang dirundung bimbang. Ia harus menuruti anaknya atau percaya pada perkataan keponakannya? Tampak Miranda memegang kedua sisi kepalanya. Pening.
"Gimana, ya, Fi? Kok, kayaknya omongan Aaron ada benarnya."
***
Gagal total! Rencana Fio untuk menghindari Aaron harus ia telan mentah-mentah. Miranda berpihak kepada Aaron dan Fio tak bisa membantahnya kali ini.
Gadis itu berjalan lesu ke rumah yang sudah menampungnya semalam. Aaron akan menjemputnya sepuluh menit lagi, dan Fio gunakan waktu itu untuk berpamitan dengan Ian.
"Ian?"
Gadis itu terkejut mendapati Ian berdiri di depan pintu. Rupanya, kedatangannya langsung disambut.
"Jovi, apa bener kamu ketemu sama papaku kemarin?"
Ian melipat tangannya di depan dada dengan ekspresi wajah yang sangat marah.
Bagus, sekarang apa yang akan terjadi?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top