Bab 20
Tak lebih dari seminggu, Ian telah menyelesaikan pekerjaannya di L'Acino. Ian pikir Aaron akan terus merusuhinya, tapi kenyataannya sampai sekarang yang bisa lelaki itu lakukan hanyalah mengawasi Ian dengan kedua mata elangnya.
Fio tak lagi datang di jam kerja, gadis itu sangat jarang mengunjungi Ian. Mungkin karena ia takut akan memancing keributan karena Aaron—yang setiap waktu ada di restoran—begitu tidak suka jika Ian dan Fio saling berdekatan. Ditambah lagi, gadis itu tak ingin muncul kecurigaan dalam diri Ian—yang menjurus pada pembongkaran identitas aslinya—jika ia terang-terangan akrab dengan Aaron di depan laki-laki itu.
Aaron juga sudah tahu kalau Ian diminta bekerja di sana. Miranda membantu menjelaskan sehingga Aaron tak seenak jidat memberhentikan Ian. Hal itulah yang membuat Fio bersyukur. Tak dapat bertemu di resto, paling tidak ia bisa mengunjungi Ian di rumahnya. Seperti yang dulu gadis itu sering lakukan.
"Sore, Ian."
"Kamu datang? Ada perlu apa?"
"Nggak dibolehin masuk?"
"Baiklah, masuk."
Senangnya Fio, setelah sekian lama tak berkunjung ke rumah yang mencuri perhatiannya itu, akhirnya ia dapat kembali lagi. Dengan suasana yang berbeda. Ia tak merasakan keberadaannya yang dulu. Karena tidak ada Fio, yang ada hanyalah gadis bernama Jovi.
Fio tak lagi mengambil posisi duduk yang sama, anggap saja sudut favoritnya—di dekat jendela. Ia memilih tempat yang baru, yang belum pernah ia coba. Tempat duduk yang berada di sebelah depan, bagian kanan tangga.
"Terima kasih. Berkatmu, restoran mama jadi semakin ramai dikunjungi. Lukisanmu bagus. Lumayan, daripada yang kau lukis kemarin-kemarin itu."
"Seperti yang kamu bilang, lukisan yang dibuat dari hati hasilnya akan lebih memuaskan."
"Ini, titipan dari mama. Aku baru aja ke resto tadi."
"Apa ini?"
"Apalagi? Sesuatu yang bisa dimakan lah! Hanya itu yang bisa kami kasih karena kamu nggak mau diberi upah."
Ian mencium aroma lezat keluar dari kantong plastik yang Fio serahkan. Tentu saja masakan Italia.
"Hei, lukisan itu ... mau kamu apakan?"
"Aku akan ngadain pameran. Semua lukisanku akan aku pertunjukkan di khalayak umum."
"Ide yang bagus, aku pasti datang. Walau kamu nggak undang sekali pun."
"Aku belum bilang mau undang kamu. Tapi karena udah terlanjur kode-kode, okelah. Datang, ya."
Fio berdiri. Ia menatap intens pada lukisan-lukisan yang ditumpuk potrait dan disandarkan di bawah tangga. Gelap tak mampu melahap habis pengelihatan yang Fio dapat dari soft lens kebiruannya.
"Lukisannya bagus. Kamu yang buat semua ini?" tanya Fio dengan kedua tanganya yang sibuk menggerayangi tekstur lukisan tersebut.
"Ya. Aku membuatnya, tapi tidak sendiri."
Gerakan Fio terhenti. Kedua maniknya mulai memanas, pandangannya buram oleh air yang menumpuk di pelupuk mata. Jangan cengeng sekarang, Fi. Perintahnya pada diri sendiri, ia harus dapat membendung keterharuannya saat ini.
"Dulu, seorang gadis menemaniku melukis. Dia yang menuntunku mengarahkan kuas dan membantuku menghasilkan gambaran yang menurutku cukup indah."
"Siapa gadis itu?"
"Dia gadis yang sederhana, selalu ceria dan penuh gairah. Dia ... menghilang dan meninggalkanku bersama janji-janjinya."
"Meninggalkanmu seperti ini tanpa rasa bersalah, bukankah dia sangat bodoh?"
"Tidak. Aku yakin dia punya alasan."
"Bagaimana jika dia ternyata menghianatimu? Bisa saja dia sengaja meninggalkanmu, membuatmu terluka."
Ian tak menjawab. Hanya terdengar suara helaan napas. Kemudian, Fio melanjutkan.
"Apa dia cantik?"
"Pasti. Dia cantik. Aku yakin itu."
Jantung Fio seperti ditusuk-tusuk jarum. Jadi benar, Ian menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap visualnya. Tentu saja, mana ada lelaki yang mengidamkan seorang cewek berparas biasa? Apalagi terlampau jelek seperti Fio.
Akh, memikirkannya, hati Fio terasa nyeri. Sebaiknya segera ia akhiri percakapan ini sebelum ia terluka lebih dalam lagi.
***
"Ian, kamu nggak mau ikut?"
"Paman saja, aku tetap di rumah. Dan jangan bawa orang itu ke mari. Aku tak ingin melihatnya, bahkan sampai aku mati."
Rudi melenggang pergi. Untuk sekarang, biarlah Ian menenangkan diri. Trauma akan masa kecilnya kembali membayang. Hari ini, setelah hampir lima belas tahun berlalu, seorang lelaki yang pernah ia kenal dibebaskan dari penjara.
Lelaki yang sama, penyebab kebutaannya. Mengingat tempo dulu, di mana hidup Ian masih serba kekurangan dan Ian yang masih balita ditinggalkan oleh ibunya—yang kabur dan menikah bersama lelaki kaya—rasanya ia sangat marah.
Pecahan botol minuman keras dan kartu judi adalah benda-benda yang mayoritas mewarnai masa kecilnya yang suram. Ian yang belum mengerti apa-apa, saat itu hanya bisa menangis. Sebab, kelaparan pun ia tak diberi makan. Uang yang seharusnya jadi jatah makannya ludes dibuat judi dan mabuk-mabukan. Ingatannya pun secara tak sengaja terputar pada masa itu.
"Kenapa lo nggak ikut wanita matre itu sekalian, hah? Lo cuma nyusahin hidup gue tahu nggak?"
"Nangis terus! Dasar cengeng! Jadi anak cowok kok lembek, gimana besarnya nanti?"
"Kalo lo bukan anak gue, udah gue bunuh kali! Nggak usah nangis terus, berengsek! Kuping gue bisa budek!"
Ian mengepalkan tanganya. Ia sangat benci suara-suara dari masa lalunya. Kemudian, flashback itu muncul lagi.
"Nih, ya. Lo bikinin gue teh. Gue mau tidur dulu, jangan ganggu!"
Ian kecil berjalan ke arah dapur. Menampung air di dalam panci, lalu merebusnya di atas kompor. Umurnya baru tujuh tahun, tapi ia sudah dipaksa bekerja keras. Bermain pun tak bisa. Meskipun jarang, beberapa temannya masih sempat datang ke rumah untuk mengajaknya bicara.
Ian mengamati ke luar jendela. Walaupun tergolong belia, di usianya itu ia sudah mengalami yang namanya broken home. Bayangan ibunya yang menggamit lengan pria lain pun terpintas begitu saja. Ayahnya, Danang, berteriak-teriak seperti orang gila. Merasa dirinya dihina oleh istrinya, merasa dicampakkan dan dipermainkan wanita.
Sejak ditinggal pergi istrinya sendiri, Danang berubah 180°. Ia jadi suka pulang malam, malas-malasan, berjudi, mabuk-mabukan bahkan marah-marah hingga melakukan penyiksaan fisik terhadap Ian. Ian sering dicambuki dengan ikat pinggang hanya karena perkala sepele, seperti mencoret dinding. Ian sering ditampari hanya karena kelamaan membuka pintu ketika ayahnya pulang. Dan Ian sering sekali dikurung di kamar ketika ia merengek meminta sesuap nasi. Tetangga yang mengetahui hal itu juga tak berani ikut campur. Mereka takut pada Danang. Preman kampung yang kala itu meresahkan warga.
Ian yang tengah melamun, tiba-tiba mencium bau gas. Dan tak menghitung lama, suara ledakan menyumpal di telinganya. Kobaran api tercipta di mana-mana. Ian menangis, tak bisa melek sebab serpihan kaca terasa melukai matanya. Ian menangis, meraung meminta pertolongan. Ia terus meneriaki ayahnya, "Ayah! Ayah ... tolongin Austin, Ayah!"
Suara tangisnya semakin kencang. Tenggorokannya sampai kesakitan, pita suaranya hampir habis tetapi tetap tak ada yang datang. Matanya terlalu sakit. Sangat sakit sampai ia tak berani mengerjap. Hingga, beberapa saat kemudian, warga datang dan membantu memadamkan api yang telah melahap habis rumah sederhana Ian bersama ayah satu-satunya.
Rudi saat itu juga datang. Ia masuk menyelamatkan Ian, menggendong anak itu. Ia mendesis, merasa tak sampai hati menyaksikan kondisi keponakannya yang berdarah-darah di wajah. Beruntung api tak ikut menghanguskan tubuh anak itu, hanya saja, sebagian kecil dari tubuh ian terkena luka bakar.
"Austin, mulai sekarang, paman yang jagain kamu, ya. Kamu nggak boleh nangis, harus jadi anak kuat."
"Paman, Austin nggak bisa lihat. Ini boleh dilepas nggak?"
"Jangan, Austin. Matanya harus diobati, biar cepat sembuh. Jangan dilepas perbannya."
"Austin nggak bisa menggambar lagi dong? Austin kan harus sekolah, juga main sama teman-teman."
"Iya, paman ngerti. Makanya, Austin harus sehat dulu biar nanti bisa beraktivitas."
"Ayah mana?"
"Ayahmu? Dia lagi kerja. Cari uang buat biaya kamu makan," bohong Rudi.
Lelaki itu tahu, Danang kabur sejak kejadian kebakaran di rumahnya sendiri. Dan sampai sekarang entah ada di mana.
"Austin kangen ayah. Mau peluk ayah."
Rudi memeluk tubuh kecil keponakannya. Perban menutup kedua mata Ian, dokter menyatakan terjadi kerusakan di kornea mata anak itu. Kemungkinan besar akan menyebabkan kebutaan. Hati orang tua mana yang tak terenyuh ketika harus menyaksikan anak sekecil Ian diberi cobaan yang begitu berat?
Sekitar lima hari setelah kebakaran, Rudi menerima telepon dari kantor polisi. Dan dari sanalah awal mula Ian diasuh oleh Rudi. Ketika kabar buruk mengatakan bahwa Danang harus dipidana karena melakukan tindakan perampokan dan pembunuhan di rumah tetangganya sendiri.
Sungguh nasib baik enggan menyertai keluarga adik semata wayangnya itu. Rudi menembuskan napas kasar lalu menatap sedih pada keponakannya yang sedang tertidur pulas.
***
"Fi, sini. Aku mau ngomong empat mata," panggil Aaron, menganggu acara Fio yang sedang mengerjakan skripsi.
"Kenapa, Kak?"
"Lihat."
Aaron menyodorkan sebuah koran, warna kertasnya kusam, tak utuh karena beberapa bagian sudah compang-camping ditelan zaman. Itu koran lama, tertulis terbit di tahun 2002.
"Kakak dapat koran ini dari mana? Ini jadul banget."
"Itu nggak penting, sekarang lihat baik-baik yang jadi headline-nya."
"Apa? Yang berita pembunuhan ini?"
"Kamu tahu itu siapa?"
Fio menggeleng.
"Aku mau kamu jauhin Ian, ayahnya pembunuh yang ada di koran itu. Dan hari ini baru dibebaskan."
"Hah?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top