Bab 19

Mencintai memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu mengetahui seberapa pantas orang lain untuk kita dan bagaimana reaksi mereka ketika kita bilang suka. Banyak persiapan untuk jatuh cinta agar apa yang kita usahakan tidak menjadi senjata makan tuan yang sia-sia.

Begitu pula Ian. Hal terpenting yang ia butuhkan saat ini adalah kesabaran. Ian jatuh hati pada Fio. Tentu saja, mana mungkin seorang lelaki tidak tertarik pada gadis sederhana dan penuh energi positif seperti Fio? Hanya saja, satu. Ian sama sekali tidak tahu rupa gadis itu. Apakah gadis itu cantik, manis, atau bukan kedua-duanya.

Sejak kehilangan Fio, hidup Ian begitu suram. Lelaki itu baru tahu, pengaruh Fio dalam kehidupannya hampir 95%. Ian tak bisa berhenti membayangkan suara gadis itu, tak bisa melupakan setiap detik saat Fio menghabiskan sisa waktu hariannya bersama Ian. Lelaki itu juga masih terngiang akan janji yang Fio ucap, bahwa gadis itu tidak akan pergi jauh darinya setelah Ian dapat melihat. Juga janji bahwa Fio haruslah gadis pertama yang Ian saksikan setelah operasi matanya berhasil. Tetapi apa? Gadis itu lenyap ditelan bumi.

Belakangan, Ian sempat depresi—walau tidak separah orang gila di jalanan. Dan itu sangat mengusik ketenangannya dalam melukis dan berimajinasi. Ian hampir menyerah pada hobinya, ia berniat melupakan apa itu melukis. Karena, setiap kali ia memegang kuas, selalu bayangan gadis itu yang melekat di pikiran.

Segala kefrustrasian itu pun berhenti, tergantikan dengan sebuah harapan baru. Saat Ian menyelamatkan seorang gadis yang hampir kecelakaan di jalanan depan rumahnya. Berada di sekitar gadis itu membuat darahnya berdesir. Suatu kondisi yang langka, satu-satunya yang pernah ia rasakan. Sama seperti saat Fio memakaikannya sebuah jaket di hari mereka pergi ke taman. Dari sanalah, cerita cinta itu bermula. Ian merasakan kehadiran Fio sebagai suatu entitas yang membuat dirinya merasa nyaman. Lalu, muncullah kecurigaan, apa mungkin selama ini Fio berada di sekitarnya?

Yang lelaki itu ingat dari sosok Fio hanyalah panjang rambut dan nama depannya. Juga soal pekerjaan Fio yang magang sebagai staf customer service di kantor yang dibangun di depan rumahnya. Fio gadis yang berkacamata, Ian tahu sejak tak sengaja menyentuh wajah gadis itu saat ia ketiduran, bersamaan dengan kegiatannya menemani Ian melukis. Dan mungkin, kala itu adalah pertama kalinya Ian meraba muka Fio. Merasakan tekstur dan relief wajah yang selama ini membuatnya penasaran.

Kini, mereka bertemu kembali. Dalam hubungan dua orang yang saling menguntungkan, Ian sebagai pelukis yang diminta bekerja untuk mendekor ulang dinding L'Acino dan Jovi sebagai anak pemilik restoran tersebut.

Ian yakin, pertemuan mereka bukan tanpa alasan. Mengingat hari itu—di saat grand opening—Ian melihat sosok Aaron yang berdiri memberikan pidato dan diikuti dengan perkenalan seorang gadis bernama Fiorenza Jovita Eleora. Mata Ian memicing saat itu juga. Pendengarannya menajam. Bohong jika Ian mengaku lupa dengan nama gadis itu, bohong jika ia merasa familiar dengan wajah sang gadis yang menyebut dirinya Jovi karena pada realitanya Ian sangat ingat wajah itu.

Untuk memastikan kebenarannya, Ian hanya bisa bersabar dan terus bersikap seolah tidak tahu. Menunggu sampai Jovi berterus terang padanya dan bilang kalau ia memang Fio.

Lelaki itu membatasi percakapannya, sedikit saja keceplosan, Fio akan semakin menjauh. Ian berpikir demikian sebab sampai detik ini ia belum tahu, apa yang menyebabkan Fio pergi darinya. Dan Ian tidak akan letih untuk mengorek alibi yang selama ini gadis itu sembunyikan.

***

"Wow, Fi. Ini beneran kamu?" puji Aaron yang baru saja disambut Fio di restorannya.

Fio hanya dapat tersenyum malu. Ia tak biasa dengan ungkapan kekaguman, apalagi seorang pria yang menyatakannya.

"Kamu ... pakai riasan wajah, ada apa ini?" interogasi Aaron sambil menaik-turunkan alisnya.

Sedangkan Fio, ia menelisik gelisah. Memastikan kalau Ian tidak akan datang menghampiri mereka. Belum saatnya Aaron mengamuk, masih terlalu awal. Tujuan Fio belum terwujud, mungkin sebentar lagi.

"Kenapa, Fi? Ngelihatin apaan sih?"

Aaron mengikuti arah pandang Fio, tapi sukses gadis itu halangi. Fio menarik lengan Aaron dan membawanya keluar.

"K-kak, kita pulang yuk!"

"Loh, kan aku baru nyampe? Minum yang anget-anget dulu, kek. Masak ngajak aku langsung pulang?"

"Please," mohon Fio.

"Baiklah, demi kamu."

"Eh, Fi. Itu si I–"

"Mama aja ya yang nemenin ngobrol. Aku pamit," seru Fio. Telunjuknya menempel di bibirnya yang mengatup rapat, memberi aba-aba agar Miranda tak buka mulut perihal kehadiran Ian di sana.

Parah. Tampaknya Fio harus mengatur jadwal, bagaimana caranya supaya Ian dan Aaron tak saling bertatap muka ketika bekerja. Dan Fio memarahi dirinya sendiri. Salahnya karena sekonyong-konyong mengambil langkah tanpa memperkirakan imbas yang akan ia didapatkan.

Mendengar suara mesin mobil yang dinyalakan, Ian bangkit dari posisinya. Tatapannya sulit diartikan ketika melihat Fio masuk ke mobil bersama Aaron. Memorinya terputar kembali. Tepat saat Aaron mengatakan bahwa dirinya orang terdekat Fio.

"Jovi ...," lirih Ian yang mustahil untuk didengar orang lain.

***

Fi, serius deh. Kenapa nggak dandan kayak kemarin aja? Kamu harus bikin orang-orang kantor terkesima. Biar mereka berhenti bertingkah seenaknya padamu.

Sugesti Aaron menjadi alasan mengapa hari ini kedatangan Fio di kantor begitu dielu-elukan. Gadis itu terlihat bersinar dan fresh dengan wajah barunya.

Di balik senyumnya yang kaku, ia menyimpan beribu kegelisahan. Apalagi yang akan ia dengar dari netizen di gedung MyStore? Apakah kalimat yang syarat akan ejekan seperti biasanya? Fio ingin tahu.

Berbanding terbalik dengan ekspektasinya, keberadaannya justru dipuja-puja.

"Ini siapa? Bidadari turun dari surga?"

"Tuhan, terima kasih telah menurunkan jodoh untukku."

"Masyaa Allah, cantiknya."

"Wah, wah. Godaan macam apa ini? Aku baru jadian kemarin. Masa udah dikasih ujian yang seberat ini? Nggak adil, deh."

Hei, ini aku, Fio! Apa mereka tak mengenaliku? Gumam Fio dalam hati.

Fio berjalan gusar menuju ruangannya. Di belakangnya, para pria berisik dan terus membicarakannya. Tentang wajahnya yang begitu jelita. Banyak pula karyawati yang iri pada Fio. Mereka bertanya-tanya, rahasia apa yang membuat Fio tampak begitu memukau?

Hingga gadis itu mendudukkan dirinya di kursi kerja, semua keriuhan itu berhenti. Fio berpura-pura tidak tahu, ia memasabodohkan para rekan kerja yang sangat kepo terhadapnya. Tapi ia puas, benar kata Aaron. Dengan berpenampilan menarik, semua orang tidak lagi menjelekkannya. Bibirnya pun menyunggikan senyum.

"Fi, lo dandan ke kantor?"

"Iya, Mbak Jenni. Gimana?"

Fio berdiri, memutar badannya meminta pendapat dari Jenni. Apakah performanya hari itu sudah oke?

"Fi, bukannya lo bilang ke gue kalo lo akan jadi Jovi di luar kantor doang, ya?"

Fio memerengutkan mukanya. Apa ia salah? Fio hanya melakukan uji coba, membuktikan bahwasanya kata-kata Aaron ada benarnya.

"Gue nggak percaya lo bisa berubah gini. Gue pikir, lo akan tetep megang teguh prinsip hidup lo," ujar Jenni putus harapan.

"Mbak Jenni, cuma hari ini, kok. Aku janji, jangan marah, ya," rayu Fio begitu ekspresi Jenni tidak menunjukkan sebuah keramahan.

Entah hari ini atau besok, jika nggak sekarang gue memperingatkan lo, lo akan berubah selamanya, Fi.

"Kali ini aja, ya? Jangan ingkar."

"Iya, iya."

***

"Jadi bener 'kan? Itu lo! Kemarin gue lihat lo masuk ke kamar mandi, pas keluar, eh ... lo udah berubah jadi bidadari. Gue nggak salah lihat!"

Di jam makan siang, meja Fio langsung dikerubungi para senior wanitanya. Salah satu di antara mereka ternyata memergoki Fio yang masuk ke kamar mandi untuk membenahi make up-nya.

"Fi, lo cantik banget. Sumpah! Gimana sih bisa sebagus ini make up-nya? Ajarin lah!"

Fio mulai terganggu. Kedatangan mereka membuat Fio tidak bisa makan dengan tenang. Cerewet, itulah yang ada di otak gadis itu sekarang. Dulu saja mereka bersikap seolah Fio tak pernah ada di kantornya. Tapi sekarang, Fio sudah seperti gula yang menarik perhatian para semut yang kelaparan.

"Fi, lo ngingetin gue sama Jukyung, apa lo terinspirasi dari dia?"

Jukyung? Siapa? Selebgram? Apa youtuber?

"Hehe ... nggak, kok. Ini ... aku juga lagi belajar dandan. Nggak ahli banget," kata Fio merendah.

"Tetep aja, Fi. Meskipun pemula, kita akui, lo udah bisa dibilang master!"

"Hai, boleh gabung?"

Mereka semua terdiam saat seorang lelaki datang menghampiri dan mengambil tempat duduk tepat di depan meja Fio, masih di ruang kerja yang sama. Terlalu sempit untuk Fio dapat menghirup napas segar, ia terdesak dan rasanya ingin segera menjauhkan diri. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ini kesempatan emas agar kehadiran Fio di kantor ter-notice.

Beliau Pak Adam, salah satu manager di bagian administrasi. Tersohor akan kemiripannya dengan Reza Rahardian. Wanita-wanita itu pun seakan menggeliat geli mengetahui kehadiran lelaki yang bisa dikatakan bos mereka sebab kedudukannya yang lebih tinggi.

"Pak Adam itu kan orangnya sombong banget, tapi dia nyamperin ke sini loh? Bukannya ini yang namanya mukjizat?"

"Lebay, lo! Pak Adam itu nggak sombong, dia berkharisma. Cakep pula, gimana nggak klepek-klepek gue. Pasti dia juga penasaran sama si Fio."

"Wajar sih, si Fio yang dekil berubah jadi cantik begini pasti menarik perhatian semua orang."

Diam-diam Fio menguping bisik-bisik seru antara kedua seniornya yang ada di sebelah kanan. Tak terduga, perubahan dirinya hari ini langsung bikin heboh orang sekantor. Haruskah ia bangga?

***

"Kamu laki-laki yang waktu itu, 'kan?"

Kegiatan Ian tersendat saat seseorang menepuk bahunya keras sampai menimbulkan suara gebukan.

"Ngapain kamu di sini? Masih mau nyari sepupu saya?" tanya Aaron dengan tatapan nyalang dan kedua tangannya terkepal.

Sepupu? Fio?

"Kamu sepupunya? Baguslah."

"Jawab saya! Ngapain kamu di sini?"

Aaron menilik kuas dan cat yang ada di kedua tangan Ian. Ia sempat tercengang, bukan hanya karena melihat Ian ada di restorannya, melainkan karena lelaki buta itu telah dapat menggunakan kedua matanya secara normal.

"Seperti yang kamu lihat, saya sedang bekerja. Nona Jovi yang meminta saya untuk mendekor ulang restoran ini."

"Jovi?"

"Anak pemilik restoran ini. Namanya Jovi, 'kan?" tanya Ian secara spontan. Ini saat yang tepat untuk menanyakan siapa Jovi sebenarnya. Ian berharap Aaron akan memberinya sedikit banyak penjelasan.

"Jovi?" gumamnya sekali lagi. "Apapun yang kamu lakukan, sebaiknya pergi dari sini sebelum kesabaran saya habis. Saya udah peringatin supaya kamu ngejauhin Fio, ngerti?!"

Ian menyeringai. Lalu berucap, "coba saja ancam saya. Kali ini, saya tidak akan takut dan menyerah. Permisi, saya harus melanjutkan pekerjaan saya di sini."

"Dan tolong jangan mengganggu, terutama soal urusan saya sama Fio," lanjut Ian ketus.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top