Bab 10

Ian meremas jemarinya gelisah sembari menunggu detik-detik keratoplasty-nya dimulai. Ia terbaring di atas brankar dengan seragam khas berwarna hijau. Tepat pukul dua siang, dokter akan membawanya ke ruang operasi. Tak sulit menemukan donor kornea yang cocok untuk Ian. Mungkin Tuhan merestuinya, sebab ada korban meninggal dunia yang rela menyumbangkan sesuatu paling berharga miliknya yang tentu dapat mengubah hidup Ian.

"Ian, paman nggak nyangka. Akhirnya kamu mau melakukan ini. Padahal, paman tawarkan hal ini padamu berkali-kali tapi kamu selalu nggak mau," kata Rudi, melirik Ian dengan tatapan bahagia.

"Paman, apa Fio sudah datang?"

Alih-alih menanggapi topik pembicaraan Rudi, Ian justru menanyakan keberadaan gadis itu. Fio berjanji akan menemaninya melakukan operasi dan mau menjadi gadis pertama yang akan Ian lihat saat kedua matanya berfungsi lagi. Namun sampai detik ini, Ian tidak mengendus kehadiran gadis baik itu. Membuatnya sedikit khawatir.

"Fio bilang, dia sedang banyak pekerjaan. Kalau pekerjaannya selesai, dia pasti ke sini. Kamu tenang saja."

Sebelum dijadwalkan operasi, Ian telah melalui pemeriksaan mata menyeluruh untuk memprediksikan kemungkinan terjadinya komplikasi pascaoperasi. Ian juga melalui tahap pengukuran kornea untuk menentukan donor yang tepat. Sesi konsultasi terkait suplemen atau obat-obatan yang dapat memengaruhi hasil operasi juga sudah dilakukan. Kini, Ian tinggal menunggu pasukan medis datang untuk menjemputnya ke kamar serbasteril.

"Permisi, Pak Rudi. Kami memohon izin untuk membawa Saudara Ian ke ruang operasi," kata seorang dokter bedah mata bernama Ruben.

Waktu yang ditunggu tiba. Seorang dokter bersama dengan tenaga medis lainnya datang lengkap dengan pakaian OK (Operation Kamer) berwarna hijaunya. Masker dan sarung tangan terlihat melengkapi penampilan mereka. Ian mendesah karena Fio belum juga datang.

"Ian, kamu siap?" tanya Rudi, sebelah tangannya menepuk bahu Ian. Memudarkan lamunan lelaki itu.

Setelah melewati tahap ini, Ian akan memulai kehidupannya selayaknya manusia normal. Ia akan bebas dari belenggu halusinasi visual, ia bebas dari pengelihatannya yang kabur dan hanya dapat merasakan silau cahaya. Jika selama ini kalian mengira Ian buta dan hanya diselimuti kegelapan, kalian salah. Ada banyak definisi untuk orang yang tuna netra. Ian tergolong pasien yang kehilangan pengelihatannya akibat cedera yang menimpa kornea matanya beberapa tahun silam. Pada dasarnya, pengelihatan Ian masih masih sensitif terhadap arah datangnya cahaya. Ian tetap dapat melihat ekspresi wajah, namun tidak jelas. Juga, ia dapat melihat suatu pergerakan, seperti bayangan pamannya yang berjalan ke kamarnya setiap pagi, atau kepulan asap dari cangkir teh yang biasa pamannya buat setiap sore.

Dengan jalan ini, Ian sadar sepenuhnya kalau ia akan dapat lagi menyaksikan seisi dunia dengan jelas. Dan ia pun harus menanggung risiko jika suatu saat Tuhan mempertemukannya dengan seseorang penyebab kebutaanya di masa lalu.

"Ian?"

"I-iya, Paman. Aku siap."

***

Kurang lebih sudah seminggu sejak keberhasilan cangkok mata Ian hari itu. Ian sekarang dapat melihat rintik hujan yang mengucur dari atap rumahnya, lalu membentuk riak dalam genangan air yang mengubang di jalanan.

Ibu-ibu yang dulu mengolok Ian, kini berdecak kagum. Beberapa dari mereka juga berlomba mendapatkan Ian sebagai menantu. Ibu-ibu itu datang setiap pagi dengan membawa anak gadisnya, alasannya jalan-jalan dan bersilaturrahmi. Tanpa ditanya pun Ian tahu, mereka cuma alasan. Ke mana mereka di saat Ian tidak berdaya? Manusia memang cuma mau untungnya. Setelah tahu Ian dapat melihat, mereka berbondong-bondong datang dan berniat merayu. Ian muak.

Ian bergerak naik ke balkon terbuka yang telah ia sulap menjadi taman kecil. Kakinya menyentuh hijaunya rumput sintetis yang masih basah kena percikan air hujan. Pun tanaman-tanaman yang berada di planter box dan rak terlihat segar sehabis terguyur nikmat Tuhan dari atas langit itu. Ian menatap nanar gedung perkantoran yang ada di seberangnya. Bukankah dulu Fio bilang sering memperhatikannya dari sana? Dari ruang kerja lantai dua yang berdinding kaca. Ian menerobos pandangannya ke dalam sana, di matanya tampak sebuah kesibukan. Ian tidak tahu, mana di antara mereka gadis yang bernama Fio. Karena jarak yang cukup jauh, wajah yang mampu Ian lihat juga samar-samar.

Sekarang pukul tiga sore. Sekitar satu setengah jam lagi, jam kantor akan bubar. Para pekerja kantor akan berhamburan pulang. Menyadari hal itu, Ian buru-buru mempercepat langkahnya ke lantai bawah. Menunggu Fio di depan pintu rumahnya seperti yang pernah ia lakukan dulu.

Matanya menelisik gelisah, apakah Fio selama ini sakit sehingga tak pernah menampakkan diri di rumahnya lagi? Atau ... Fio pindah kerja?

"Nggak mungkin," ucap Ian pada dirinya sendiri.

Tidak terasa, sudah dua jam lebih Ian menunggu was-was. Untuk kesekian kalinya, Fio tak memunculkan diri. Hal itu membuat Ian sedikit kacau.

"Kalau begini, terpaksa. Aku akan ke kantornya besok siang."

***

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" sapa resepsionis dengan nametag bernama Dita. Mata wanita itu membulat seperti kelereng, menyaksikan pahatan sempurna dari wajah seorang lelaki tampan yang kini ada di depannya.

Apa dia jelmaan malaikat? Bisik Dita dalam hati.

"Mbak, bisakah saya bertemu dengan Fio?" tanya Ian langsung ke inti, ia malas bebasa-basi dengan resepsionis bersenyum palsu itu.

Tunggu, Fio? Hah? Jangan bilang ... cowok ini si buta yang pernah ke mari nyariin Fio juga?!

"Mbak? Halo?" panggil Ian sambil melambai-lambaikan tangannya di depan Dita.

"Eh iya, Mas. Fio yang mana, ya?"

"Aduh, Mbak. Nggak usah pura-pura lupa, deh! Mbak inget 'kan saya siapa? Pasti Mbak juga tahu, Fio mana yang saya maksud."

"Eh i-iya, Mas. Sebentar, ya," kata Dita dengan halusnya. Ia gugup dan sedikit takut setelah mendengar ucapan Ian yang cukup menohoknya.

Duh, ngapain sih nemuin si dekil? Apa cantiknya juga dia! Ngerepotin aja.

Ian mengetuk-ngetukkan jarinya di meja resepsionis selagi menunggu perempuan bernama Dita itu selesai menelepon seseorang. Tanpa sadar, Ian jadi sumber pencuci mata para wanita yang bekerja di sana. Ian seolah menjadi selebriti yang terkenal, yang hendak melakukan jumpa fans di lobi gedung MyStore.

Beberapa perempuan nekat mendekatinya, mengajak Ian berkenalan. Tapi, Ian mengusir mereka mentah-mentah. Ia bilang mau menemui pacarnya yang bekerja di sana. Seketika, hati para perempuan itu bak dicabik-cabik seekor singa jantan yang memesona. Dan dengan senang hati, Ian mengakui sikapnya yang dingin. Biarlah mereka menilai negatif soal perilaku Ian, ia tidak peduli. Lagi pula, anggap saja itu balasan bagi mereka yang dulu pernah menjelek-jelekkan dirinya dan Fio di belakang.

"Maaf, Mas. Mbak Fio sedang cuti."

"Cuti? Kenapa? Dan kapan cutinya berakhir?"

"Untuk alasannya saya kurang tahu. Tapi, besok lusa Mbak Fio sudah mulai masuk kerja."

Apa jangan-jangan dia sakit?

"Lo Ian, 'kan?"

Ian terkejut saat seorang wanita dewasa datang menghampirinya. Wanita dengan tubuh semampai, ditambah lagi sepatu heels-nya yang membuat tingginya terlihat hampir menyamai Ian.

Ian meneliti wanita itu dari atas sampai bawah. Jangan sampai ia digoda lagi oleh perempuan-perempuan genit. Melihat sosok yang ada di depannya ini, tampaknya ia sudah berkeluarga. Ian tidak mau dicap orang ketiga.

"Maaf, Mbak. Siapa, ya? Dari mana Mbak tahu nama saya?"

"Gue Jenni, temennya Fio. Gue saksi kedekatan lo sama Fio. Lo nyariin tuh cewek, 'kan?"

Hah, kukira cewek genit. Rupanya cewek baik-baik.

"Iya, saya mencari gadis itu."

"Jadi bener kata Fio, sekarang lo udah bisa ngelihat. Pantesan dia kabur," ceplos Jenni.

"Maaf? Mbak bilang dia kabur? Apa maksudnya, ya?"

"Kalo lo mau tahu jawabannya, nih."

Jenni mengeluarkan selembar kertas hasil sobekan note book-nya. Tak lupa ia menyiapkan sebuah pen, dan menuliskan beberapa kalimat di atas kertas itu.

"Temui dia di sini," ucap Jenni kemudian.

"Ma-makasih banyak, Mbak. Saya hutang budi sama Mbak."

"You're welcome. Btw, lo jangan sampai jadi cowok seperti yang Fio bayangin, ya."

Jenni berlalu, meninggalkan Ian yang masih termangu dalam pikirannya. Kata-kata Jenni barusan membuat Ian berpikir keras. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksudkan Jenni. Ah, paling tidak ia bersyukur karena mendapat langsung alamat rumah gadis yang ia cari. Jenni sangat membantu.

***

Sesuai alamat yang diberikan Jennifer kemarin, Ian saat ini sudah berada di depan gerbang salah satu perumahan elit. Cukup sulit menjangkau tempat itu karena Ian harus rela berdesakan di dalam bus. Ia mengumpat, lain kali lelaki itu akan belajar mengendarai motor. Dan ketika waktunya tiba, ia akan meminta Rudi mengajarinya membawa mobil miliknya. Pria sejati harus pandai mengendarai apa pun, 'kan?

"Mas, cari siapa?" tanya seorang satpam yang sepertinya bekerja untuk menjaga rumah mewah itu. Ian sama sekali tidak menduga kalau Fio anak orang kaya.

"Mau cari Fio, Pak."

"Mas siapanya Non Fio?"

"Saya ... temennya, Pak."

Dahi satpam itu berkerut. Terlihat sirat keraguan dari manik matanya. Tentu saja, selama ini Fio dikenal sebagai gadis yang tertutup terhadap lelaki. Anak majikannya itu juga terkenal tak punya begitu banyak teman. Mengetahui seorang lelaki tampan datang dan mencari nonanya, satpam itu terheran-heran.

Tak lama kemudian, sebuah mobil minibus berwarna silver muncul membunyikan klaksonnya. Sontak, pak satpam membukakan gerbang lebar-lebar, lalu menunduk hormat menyapa seseorang yang mengemudikan mobil itu meski semua jendela mobilnya tertutup rapat.

Ian mengamati lamat-lamat, hingga pintu mobil terbuka. Menampilkan seorang yang tak kalah tampan dengan tinggi yang sebanding dengannya. Lelaki yang mengenakan kemeja putih dan celana kain berwarna hitam. Sepatu pantovel tampak membalut di kedua kakinya. Warna rambut lelaki itu agak kecokelatan dengan gaya fringe berponi, serasi dengan warna matanya yang senada. Mirip bule.

Ian bertanya-tanya, siapakah sosok rupawan yang baru turun dari kereta kencananya itu?

"Siapa Pak Yanto?" tanya pria itu pada satpam. Suaranya terdengar bijaksana.

"Katanya, temen Non Fio, Mas."

"Temennya Fio?"

Salah satu alis pria itu naik. Kini pandangannya bertemu dengan Ian. Ian masih dengan wajah datarnya, menatap pria itu penuh curiga. Jangan-jangan cowoknya Fio?

"Anda siapa, ya?" tanya pria itu formal, terkesan angkuh dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

"Saya Ian, temen Fio."

"Sejak kapan Fio punya temen cowok? Kamu yakin Fio yang kamu cari tinggal di sini?"

"Saya dapet alamat dari rekan kerja Fio di kantornya. Tidak mungkin alamat palsu."

"Kenalin, saya Aaron, orang terdekatnya Fio."

Ian terkejut dan berkutat dengan otaknya. Apa maksud dari orang terdekat? Tunangan? Pacar? Atau cuma sahabat sama seperti dirinya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top