Bab 1


Fio meletakkan kaca mata minusnya di atas meja. Ia melepaskan penat setelah berjam-jam bekerja menahan emosi. Kursi yang terbuat dari bahan kain dan busa itu terasa empuk memijat punggungnya yang pegal-pegal. Jadi, beginilah rasanya menjadi salah satu staf customer service di perusahaan e-commerce terbesar yang bercabang di Jakarta. Walaupun lelah, ia tak sekali pun mengeluhkan kewajibannya yang tak jauh dari amukan para pelanggan.

"Mbak, mana pesanan saya dua hari lalu? Kok nggak dateng-dateng, lambat banget!"

"Mbak, barang saya kok nggak sesuai order? Hiih, mana tekstur kainnya kusut lagi! Nggak becus, nih!"

"Mbak, saya minta tanggung jawab! Masa cangkir pesenan saya bisa pada pecah? Rugi dong!"

Fio menghela napas selagi menekan kepalanya yang agak pening. Menjadi pihak yang selalu dipersalahkan adalah risiko pekerjaan yang harus ia tanggung. Kemampuannya menuntut ia menjadi seorang problem solver yang dapat menenangkan setiap amarah pembeli. Anehnya, Fio malah suka. Tidak peduli mendapat kata-kata sekasar apapun, baginya, dapat berinteraksi dengan banyak orang adalah nilai bonus yang membuat perasaannya terpuaskan.

Masih beruntung Fio diterima dan lolos persaingan ketat di perusahaan besar pencetus platform perdagangan elektronik ternama, MyStore, yang diluncurkan empat tahun lalu di bawah MD Group—berpusat di Brisbane, Australia. Dalam kurun waktu tersebut, MyStore terbukti sukses dalam mengejar target penjualan berkat kemajuan teknologi dan peningkatan penggunaan internet serta gadget.

Gadis bernama lengkap Fiorenza Jovita Eleora itu memang terkenal sebagai sosok yang supel, pintar berkomunikasi, dan murah senyum. Mungkin karena karakternya itu, pihak HRD tanpa ragu menerimanya sebagai seorang internship. Sebenarnya, dunia Fio jauh dari kata 'komunikasi'. Darah yang mengalir di keluarganya adalah darah pebisnis. Namun, gadis itu mendapat dukungan penuh untuk melakukan apapun yang ia suka. Dan tidak perlu berpikir lama lagi, Fio pun menekuni kuliahnya sebagai mahasiswa tingkat akhir jurusan Manajemen Komunikasi di salah satu perguruan tinggi favorit di Jakarta.

***

Acara peregangan badan yang dilakukan Fio sejak sepuluh menit lalu terganggu sebab seorang lelaki bertubuh 170-an cm itu menghampirinya. Dengan penuh percaya diri, ia menyisirkan rambut ke belakang menggunakan jari. Kemejanya yang berwarna biru muda tampak basah oleh keringat, namun aroma parfum yang menguar, mampu mengalihkan betapa buruknya bau kecut orang tersebut di waktu yang sama.

"Fi, makan siang bareng Mas, yuk?" ajaknya pada Fio yang masih terdiam di kursi.

"Maaf, Mas Andre. Saya bawa bekal dari rumah," tolak Fio halus sembari mengeluarkan kotak makan dari bawah laci mejanya. Tak lupa gadis itu memasang senyum palsu.

"Gimana kalo Mas Andre temenin makan di sini?"

Fio memutar matanya malas, bagaimana caranya agar lelaki yang sok keren itu tidak mengusiknya terus-menerus?

"Yah, saya udah janji makan siang sama Mbak Angel, tuh, Mas."

Mendengar nama Angel, mendadak Mas Andre terbatuk-batuk. Lelaki itu berdeham, membersihkan tenggorokannya. Hingga ia mengatakan, "Eh, iya. Mas baru inget. Tadi si Viko minta dianterin ke puskesmas, perutnya sakit. Duluan, ya, Fi."

Dengan wajah kecewa, seseorang yang dipanggil Mas Andre—alias senior Fio di departemen yang sama—akhirnya meninggalkan tempat berbarengan dengan teman-temannya, yang tampak menertawakannya.

Baguslah. Tidak sia-sia telinga Fio mendengar gosip rekan kerjanya tadi pagi, kalau Mas Andre punya seorang pacar bernama Angel yang ternyata sekantor dengannya. Pacar yang galak dan posesif. Bisa dibayangkan saat tiba-tiba Andre makan siang dengan Fio, sementara di sisi lain ada Angel yang menyaksikan.

Untuk alasan makan siang bersama Angel, tentu saja ia bohong. Bertahun-tahun hidup dalam jati dirinya, Fio dapat menebak apa yang akan terjadi jika ia tetap memaksa ikut makan siang bersama mereka. Fio bukan gadis bodoh, yang tidak tahu kapan iblis menjelma menjadi malaikat. Ia tahu betul bagaimana niat buruk dikemas apik dalam ekspresi wajah yang ditampilkan oleh Mas Andre tadi. Fakta menyedihkannya adalah ia seringkali dijadikan sebagai bahan taruhan dan ejekan. Lagi pula, lelaki mana yang mau bersama dengan dirinya karena penampakannya yang seperti itu?

Fio memilih bangkit dari kursi ketika ruangannya mulai kosong. Ia mendekat ke arah dinding kaca yang transparan, mulai menyaksikan pemandangan sibuk jalanan Kebayoran Baru yang dipadati kendaraan. Beruntung ia memiliki seseorang yang setiap hari memasakkan makan siang, jadi tidak perlu susah-susah terjebak macet atau menghamburkan uang demi mengenyangkan perut.

Melihat bangunan yang sejajar dengan gedungnya, sesekali bibir Fio tersenyum kecil. Ia bertanya-tanya, bagaimana bisa ada rumah seperti itu di tengah kota? Rumah yang cukup unik karena bentuknya menyerupai kabin. Dinding bagian luarnya terbuat dari material kayu yang dilapisi cat warna merah kecokelatan. Ada dua jendela dan satu pintu di lantai dasarnya, sementara di lantai dua berjajar tiga jendela kaca. Bagian atapnya rata dengan tujuan untuk dibuat balkon terbuka dengan beberapa tanaman hias yang menyegarkan mata. Rumah yang mungkin hanya akan ditemui di tengah hutan atau di pedesaan, nyatanya terpampang jelas di depan mata kepala Fio sendiri.

Terbersit di kepalanya bahwa suatu saat Fio ingin berkunjung ke sana. Apalagi, setelah memperhatikan aktivitas seorang lelaki yang bergelut dengan kuas dan kanvasnya di lantai dua rumah tersebut. Menurutnya, itu menarik dan malah menjadi hiburan tersendiri di sela-sela kesibukan. Fio melakukannya sudah sejak tiga hari lalu, tepat saat ia pertama kali menjadi pegawai magang. Gadis itu sadar, tindakannya mengintip orang adalah ilegal. Entah setan apa yang merasukinya sampai-sampai ia mengabaikan semua hal yang disebut kesopanan dan lebih memilih untuk terus memata-matai kegiatan lelaki itu tanpa perlu diketahui.

***


Pukul menunjukkan 16.15 WIB. Lalu lintas ibu kota yang tak pernah sepi, membuat Fio terus menahan pusing. Ditambah lagi telinganya yang mendengung akibat suara klakson. Udara pengap dan panas dari asap kendaraan, juga membuat Fio harus ekstra bersabar dari hingar bingar yang memuakkan itu.

Sesungguhnya Fio dapat pulang dengan santai dan nyaman, terbebas dari pancaran sinar UV. Tapi sayang, jiwa kemandiriannya menyuruhnya untuk naik angkutan umum, menolak antar-jemput sopir keluarga.

Karena bus belum datang, Fio mampir ke sebuah minimarket untuk membeli minum. Di saat yang bersamaan, ketika ia berada di kasir, terdengar keributan di daerah jajaran rak makanan. Dan betapa terkejutnya ia setelah seorang ibu datang dengan marah-marah, menyeret kasar seorang pemuda di belakangnya.

"Mbak! Saya mau lapor!" teriak ibu itu terus diulang-ulang. "Mana satpamnya?!"

"Tenang, Bu. Bisa dijelaskan, ini ada apa?" tanggap mbak penjaga kasir dengan lemah lembut.

"Laki-laki ini mencuri bahan makanan dari rak! Saya melihatnya sendiri!" ucap ibu itu yang terkesan ngotot.

Dahi Fio mengernyit menyadari bahwa lelaki yang dituduh itu hanya diam saja tanpa melakukan pembelaan diri. Sorot mata lelaki itu kosong, mirip orang melamun, pun bola matanya tidak bergerak cukup lama—yang ini sedikit mengerikan. Ditambah lagi mukanya yang datar. Setidaknya, bukankah ia bisa mengatakan sedikit argumen meskipun ujung-ujungnya tidak dipercayai? Ah, untungnya pikiran Fio tidak seperti orang lain, yang baru mengenal tapi sudah menghakimi seenak hati.

"Bu, Ibu tidak sadar?" sahut Fio dengan sebelah tangannya ia ayunkan di depan wajah pria itu.

"Pria ini bahkan tidak bisa melihat. Untuk apa dia mencuri kalau kita semua tahu bahwa di setiap minimarket pasti ada CCTV?" ungkapnya. "Untuk mencuri pun percuma kalau aksinya bakal terekam dan berujung di kantor polisi."

"Halah! Mbak ini memang tahu apa? Saya kok saksinya! Emang Mbak bisa jamin, kalo orang buta nggak bisa nyuri?" cerocos ibu tersebut dengan menaikkan suaranya, "jangan-jangan Mbak temannya, ya! Ayo ngaku!"

"Bu, harap tenang, ya. Tolong jangan buat keributan," pinta mbak-mbak kasir.

Tak lama kemudian, muncullah bapak berseragam putih khas seorang satpam lengkap dengan tongkat pemukulnya.

"Ada apa ini?" tanyanya dengan muka garang.

"Nih, Pak, dia nyolong! Saya lihat sendiri, kok."

"Ayo, Mas ikut saya," ucap pak satpam. Tangannya sudah mencekal lengan si lelaki buta tersebut.

"Loh-loh, Pak, tunggu! Kok langsung diadili gitu? Perhatikan baik-baik, Mas ini nggak bisa melihat. Mana mungkin dia mencuri? Sebaiknya periksa CCTV dulu, siapa tahu ibu ini cuma salah paham."

Mendengar hal itu, wajah sang ibu mendadak pucat pasi. Fio mengetahui gerak-gerik beliau yang mulai aneh. Dan benar saja, tak berselang lama, ibu tersebut melarikan diri. Satpam itu melepas lengan si lelaki dan bergegas menangkap ibu-ibu tadi setelah mengetahui sebuah kotak susu terjatuh dari balik pakaiannya yang longgar.

Dari kejadian itu, Fio yakin. Si ibu berusaha menutupi aksi mengutilnya setelah kepergok dengan menuduh seorang laki-laki. Perkaranya satu, ibu itu kurang cerdik karena malah mengambinghitamkan pria buta. Yah, mungkin kepepet membuat konsentrasinya berantakan sampai-sampai tidak bisa berpikir jernih.

"Aduh, kasihan banget. Masa harus nyuri demi anaknya yang masih bayi?" gumam Fio kemudian diikuti pandangan prihatin.

Ia jadi merasa bersalah. Kalau saja Fio tahu masalah ibu itu, mungkin ia bisa membantu.

"Mas, nggak papa?" sapa Fio ramah kepada lelaki yang sedari tadi hanya diam di tempatnya.

"...."

"Mas, mau saya antar pulang?" sapa Fio lagi, lebih halus. Tanpa sadar, tangan Fio memegang lengan lawan bicaranya.

Mengetahui lengannya disentuh oleh seorang gadis, sontak lelaki tersebut menghempaskannya hingga si gadis hampir dibuat terjungkal.

"Nggak perlu! Nggak usah sok baik!" respon lelaki itu kasar. "Saya bisa sendiri!"

Dengan keras kepala, lelaki itu keluar meninggalkan minimarket. Tangannya tampak menggapai-gapai di depan dada, berusaha menemukan arah pintu. Fio yang merasa tidak enak membiarkan orang tuna netra pulang sendiri ke rumahnya pun mengikuti lelaki itu dari belakang. Takut kalau terjadi apa-apa, kecelakaan misalnya.

"Pergilah! Aku mungkin buta, tapi seseorang menguntitku dari belakang dan seolah menunjukkan simpatinya, bagiku itu sebuah penghinaan."

Kalimat itu langsung membuat langkah Fio terhenti. Sejenak, ia terkejut akan tindakan tidak terduga dari laki-laki tersebut. Bagaimana bisa laki-laki itu tahu kalau Fio membuntutinya di belakang? Fio jadi merinding sendiri.

"Berhenti! Apa kamu tuli?!" teriak lelaki itu makin kencang setelah tahu Fio masih melanjutkan langkah dan mengikutinya.

Akhirnya Fio mengalah. Ia masih berdiri di tempatnya dan menyaksikan lelaki itu berjalan dengan tenangnya tanpa alat bantu apa pun. Namun tak sampai lima menit, Fio dapat bernapas lega. Lelaki itu telah masuk ke dalam sebuah rumah yang tak jauh dari lokasinya. Ia tersenyum, hingga otaknya menyadari sesuatu.

"Loh, itu kan rumah si cowok pelukis?"

"Eh, apa mungkin dia? Tapi ... dia buta."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top