Lelaki Bernama Bram

Lelaki Bernama Bram


Bram berdecak kagum melihat foto-foto yang diambil Rian. Mulai dari tempat favorit fotografi seperti pantai dan pemandangan alam, hingga obyek yang maha tidak penting seperti gayung bulukan karena jamur dan sandal jepit kurapan. Namun apapun obyeknya, mampu disulap kamera fotografi Rian menjadi rangkaian foto bernilai seni tinggi.

Sampai di sebuah obyek tunggal, seorang perempuan dengan pose sedang tersenyum yang jelas-jelas diambil secara candid, jari-jari Bram berhenti. Perempuan berpenampilan sederhana memakai kemeja kuning berlengan pendek dan rok katun putih sebatas lutut. Rambutnya dikepang satu. Tangan kanannya mendekap buku di depan dada. Tampilan yang terlalu biasa. Nyaris sama saja dengan penampilan mahasiswi lainnya. Namun senyuman yang terpancar dari paras rupawan si perempuan, membuat tampilan pakaiannya menjadi sama sekali bukan masalah besar. Wajahnya memiliki magnet, menciptakan tarik menarik hingga mata Bram tidak ingin berpaling darinya.

Ada gelenyar ketertarikandalam jiwa Bram. Dan ia tidak menyadari kalau ia tersenyum terlalu lebar hanya untuk selembar foto.

"Tertarik? Sori, tuh cewek jatah gue." Suara Rian menimpali imajinasi Bram yang mulai menjelajah terlalu jauh.

Who dares wins, Rian. Lo dekat sama jangkrik aja malu. Batin Bram.

Sambil duduk berselonjor di atas karpet, Bram mengamati sang obyek dalam foto dengan lebih cermat. Dengan resolusi tinggi, walau diambil dari jarak jauh yang dengan kamera jenis VGA mungkin hanya akan terlihat seperti gambar abstrak, wajah si cewek cukup terlihat jelas. Rian ahli mengambil angle. Dari samping, seluruh tubuh si cewek bak model. Pandangan Bram diikuti cengiran tidak jelas di wajahnya.

"Ni cewek anak mana?" Bram bertanya dengan wajah penasaran.

Rian menjawab asal. "Anak ayah dan ibunya."

"Sialan lo! Serius gue." Bram masih menatap takjub ke arah foto di tangannya. Sekaligus mengutuk diri, ke mana saja dirinya dan mengapa ia baru sadar ada bidadari secantik itu yang berkeliaran di sekitar kampus.

"Nggak tau. Gue juga kebetulan motret dia."

Bram yang dikaruniai Tuhan, rasa penasaran dan tidak sabaran, menyelipkan foto itu ke dalam buku filsafat yang diakrabinya selama berhari-hari ini. Target sudah ditemukan tanpa ia tahu usahanya kali ini tidak akan pernah semudah sebelumnya.

***

Kirana memperlambat langkahnya ketika melintasi koridor. Ruang kuliahnya yang berada di seberang sedang ramai oleh teman-teman sekelasnya yang tengah menunggu dosen kuliah siang. Pemandangan seperti ini sudah biasa terjadi jika dosen yang ditunggu belum datang. Sebaliknya, ketika dosen sudah nampak bahkan dari ujung koridor seperti tempatnya berpijak kini, mahasiswa akan berebutan masuk ke dalam kelas, seolah takut kena strap jaman sekolahan dulu.

Ia baru saja kembali dari jurusan dan tidak menemukan bayangan dosen yang seharusnya masuk sepuluh menit yang lalu. Dosen itu terkenal sebagai dosen terbang. Tempatnya mengajar di tiga kampus, termasuk kampus ini dan sebuah SMA Internasional. Kadang ngaret memang, namun kadang mengejutkan dengan datang lebih cepat dari jadwal.

Di depan ruang kuliah jurusannya, tiga cowok yang dikenalinya sebagai pengurus BEM fakultas, mungkin bagian dari yang berorasi tentang korupsi kemarin, tengah duduk mengobrol. Posisi mereka melintang, menghalangi setiap orang yang akan lewat.

Seharusnya Kirana berbalik dan mengambil rute lain, walau itu berarti harus mengitari taman atau lewat di belakang ruang kuliah jurusan lain dengan resiko mendapat perhatian lebih dari mahasiswa yang telah berada di dalam ruang kuliah. Ia pernah dua kali berjalan di samping jendela ruang kuliah yang terisi banyak mahasiswa dan kedua-duanya membuatnya harus jadi korban siulan iseng cowok-cowok yang memang hobi mengambil posisi duduk di dekat jendela. Seolah ia ikan kecil tidak berdaya dan cowok-cowok itu sekelompok hiu yang tengah kelaparan.

Mahasiswa yang tidak berani lewat di koridor memilih memutari taman. Namun Kirana tidak. Sekali ini ia ingin mencoba keberuntungan. Lagipula ia bukan seleb kampus yang setiap langkah dan gerak-geriknya jadi bahan omongan orang. Bukan juga mahasiswa yang suka berulah di kampus. Jadi semestinya tidak ada yang perlu dicemaskan.

Kirana sudah siap memajang sikap cuek ketika salah satu dari ketiga cowok itu menoleh ke arahnya. Tidak hanya menoleh, namun juga menyuruh ke dua temannya menyingkir berikut kursi yang mereka duduki. Ia tidak pernah merasakan berjalan di koridor seindah ini. Bak ratu. Dan jika ia tidak salah dengar, cowok tadi memanggilnya walau ragu. Tapi tidak ada suara lagi di belakangnya.

Aaah selamaaat...

Bram hanya sekali memanggil nama makhluk anggun yang melintas seperti lengkungan pelangi indah yang terbit sehabis hujan. Setelah itu ia terhenyak, terhanyut dalam kekaguman yang tidak mampu terbahasakan.

***

Bunyi kursi berderit di sebelahnya membuat Kirana menoleh. Adel tersenyum simpul. Kirana tidak bisa menebak alasan Adel tersenyum padanya. Teman yang mungkin sudah naik status menjadi sahabat tanpa disadarinya itu memang murah senyum. Ada banyak hal yang membuatnya bahagia. Kirana terkadang iri dengan orang semacam itu. yang tidak membawa-bawa beban hidupnya kemanapun kakinya melangkah. Ia tahu tidak akan bisa sebahagia itu.

"Kirana, lo kenal tuh cowok?" Adel bertanya sambil mengungkit alisnya ke atas. Membentuk lengkungan tipis.

Kirana masih serius menulis di notes.

Cowok siapa dan yang mana.

"Yang di koridor itu loh. Yang minggirin kursi waktu lo lewat?"

Ada kekaguman yang nyata. Dada Kirana juga berdebar hebat ketika melewati portal koridor tadi. Namun ia tidak terlalu menghiraukan. Barulah ketika ada orang yang mengingatkan, debaran hebat itu datang lagi.

"Nggak." Kirana tersenyum diplomatis. Memang tidak kenal.

Wajah cowok itu tidak familiar namun kata Adel cukup terkenal di kampus. Sewaktu OSPEK tingkat fakultas, ke dua cowok tadi menjadi panitia. Dan terus terang, keduanya termasuk panitia yang galak. Namun yang satu itu, ia tidak kenal. Kirana enggan membiarkan memorinya dihinggapi bayangan kekaguman terhadap orang. Khususnya lawan jenis. Lagipula ia punya kehidupan sendiri yang ibarat ubur-ubur dalam fase medusa yang hidup solitaire dan merasa tercukupi olehnya.

Lalu terdengar rentetan cerita Adel tentang si cowok koridor tadi. Bukan yang dua orang, namun yang satu itu. Yang di mata Adel begitu ganteng, keren dan berkharisma. Yang dilafalkan namanya dengan begitu fasih.

Brahmantyo Adiwijaya.

***

"Gue cabut dulu, Wan." Bram tidak lagi berminat melanjutkan obrolannya dengan ke dua temannya. Dengan segera ia angkat kaki dari koridor tempatnya baru saja kejatuhan bintang. Berjalan sambil memikirkan bagaimana cara ia bisa terhubung dengan si perempuan yang jauh lebih menawan dari yang dilihatnya di foto.

Suasana sekretariat PMI yang diikuti Kirana lumayan ramai. Adel yang dibujuknya, akhirnya ikut terdampar bersamanya di ruang sekretariat PMI untuk mengembalikan formulir. Mereka mengantri di belakang dua cewek yang tengah menandatangani bukti pengembalian formulir. Jumlah peminat PMI tidak sebanyak peminat UKM Seni. Kirana senang karena ia tetap ikut kegiatan tanpa perlu melibatkan diri dalam keramaian.

"Gue pikir hanya cewek sama cowok nerd yang mau masuk PMI. Ternyata nggak juga ya?" Adel menggandeng tangan Kirana meninggalkan sekretariat.

Lalu seperti slow motion, Brahmantyo Adiwijaya melintas di depan mereka. Kirana buru-buru balik badan. Nyaris seminggu setelah cowok yang kini ia ketahui akrab disapa Bram itu mengajaknya berkenalan sebelum Kirana kabur dengan alasan ada urusan penting. Entah karena rasa bersalah, atau takut, Kirana memilih menghindar.

Namun sepertinya cowok itu juga tidak mempedulikannya. Kirana yakin, Bram melihatnya sebelum sempat balik badan. Jadi ia punya alasan untuk bernapas lega.

Kirana kembali fokus dengan obrolannya dengan Adel tentang ekskul PMR yang diikutinya di SMA dulu ketika Adel dengan sesuka hati memutar obrolan mereka ke topik lain.

"Gila ya tuh cowok. Keren bangeet? Lutut gue sampe lemes nih. Sayang, player." Adel dan khayalannya kembali membuat Kirana mengurut dada.

Mungkin ia harus mengalihkan Adel dengan topik lain yang lebih menarik, namun sepertinya Adel tidak tertarik. Buktinya sepanjang jalan yang diobrolkannya selalu tentang Bram.

***

Kirana mengerutkan kening, membiarkan ponsel mungilnya berdering. Sebuah nomer unknown tapi familiar dan ia lupa pernah membacanya di mana, tertera di monitor. Ia menimbang-nimbang apakah akan menerima atau me-reject.

Ponselnya berhenti berdering. Kirana mendesah kesal ketika konsentrasinya kembali terganggu dengan suara SMS.

Hai

Kirana mengetikkan SMS balasan. Siapa tahu saja dari salah satu teman kuliahnya yang mau menanyakan sesuatu yang penting.

Maaf. Ini siapa ya?

Balasan masuk.

Bram

Jantung Kirana langsung memacu lebih cepat. Saat ponselnya berbunyi, ia jadi semakin bingung harus mengangkat panggilan atau tidak.

Tidak.

Ia mengembuskan napas kesal. Siapa yang sudah memberikan nomer handphonenya?

***

Elsa, teman kost Kirana muncul di kamar Kirana dengan wajah kuyu. Ia mengucapkan selamat pagi kepada Kirana yang sibuk membenahi buku-bukunya, sebelum naik ke tempat tidur dan memeluk guling.

Kirana tidak perlu bertanya lagi ke mana Elsa semalaman. Setiap malam Minggu tiba, Elsa kerap menginap di kamar kost pacarnya, Alex. Lalu Minggu pagi, siang atau sore ia akan kembali ke tempat kost mereka dengan ekspresi wajah yang melulu sama. Kelelahan karena kurang tidur.

"Na, lo emang nggak punya cowok?"

Untuk kesekian kalinya Elsa mengungkapkan pertanyaan yang sama dan akan selalu dijawab Kirana dengan senyum. Kirana selalu menjawab diplomatis kalau ia tidak mencari pacar. Kalau jodoh, ia ingin menikah setelah lulus kuliah dan memiliki pekerjaan tetap.

"Nggak asyik lagi kalo jomblo." Elsa memandangi langit-langit kamar Kirana yang bersih dari sarang laba-laba.

"Udah biasa kok."

Elsa berdehem. "Jadi selama ini lo ngejomblo? Tahan gitu? 20 tahun nggak pernah punya pacar."

Kirana balik badan kemudian duduk di tepi tempat tidur. Elsa mengoper satu bantal yang digunakan Kirana untuk menumpu ke dua tangannya ketika duduk. Lantas berkata. "Biasa aja, Sa."

Elsa yang mengaku sudah pacaran sebanyak 7 kali sejak SMP jadi merasa yang dilakukan Kirana adalah sebuah prinsip langka. Jaman sekarang, jangankan kuliah, SD saja sudah mengenal istilah pacaran. Apalagi sudah kuliah dan tetap setia dengan status jomblo.

Elsa memandang Kirana tidak percaya. Wajah Kirana yang ayu begini seharusnya sudah laku di pasaran. Apalagi anaknya santun dan cerdas. Laki-laki normal mana yang tidak tertarik? Kalau saja ia cowok, Kirana juga pasti akan masuk incarannya.

***

Bram menyandarkan bahu kanannya pada salah satu pilar di koridor yang sepi. Setiap Kamis ia tidak ada kuliah pagi, jadi kesempatan itu digunakan untuk menunggui kemunculan perempuan yang membuatnya terus kepikiran berhari-hari. Yang membuatnya mengabaikan janji dengan kekasihnya yang lain.

Kelas yang ditungguinya selama lebih dari setengah jam itu akhirnya bubar juga. Bram tidak beranjak dari posisinya. Menunggu sampai sosok gadis yang membuatnya penasaran menampakkan diri. Sepertinya tidak lama lagi. Ia masih terus berdiri di samping pilar dengan satu tangan memegang ponsel dan tangan lainnya mengelus dagu sebagai pengganti kebiasaan merokok. Tersenyum sejenak saat seorang yunior yang mengenalnya menyapanya.

Lalu saat ke dua matanya terarah ke rombongan mahasiswa yang tengah berjalan di koridor, mencari, ia akhirnya menemukan sosok yang tengah membalikkan wajah ke arah temannya yang berbicara tanpa titik koma.

Perempuan kalem, lembut. Berpendar terang di antara yang lainnya. Seperti makhluk dari kayangan.

Nah. Itu dia.

***

Cowok yang kemarin ia reject panggilannya, bersandar di pilar dengan ujung sepatu diketuk-ketukkan ke atas lantai. Kirana mengatur napasnya yang sempat kacau begitupun irama jantung yang memompa darah ke seluruh tubuhnya. Lonjakan adrenalin yang sama yang didapatkannya saat berada di tebing yang tinggi dan melompat ke bawah, di mana mengambang lautan lepas.

Baru melangkah sebanyak tiga kali, cowok itu mengangkat wajahnya.

Teman-teman Kirana yang perempuan baik yang berada di koridor maupun yang di taman, memfokuskan pandangan mereka ke pertemuan dua manusia yang walau berbeda gender namun secara fisik terlihat sama sempurnanya.

"Sibuk ya?" tanya Bram dalam jarak kurang dari semester dari posisi Kirana yang berdiri sambil mendekap buku di dadanya. Kemanapun ia menoleh, beberapa perempuan mengaguminya. Bukan tidak sadar pesona, hanya saja Bram hanya punya waktu untuk Kirana. Yang membuatnya lebih memilih nongkrong pagi-pagi di fakultas lain daripada tidur sampai siang di dalam kamarnya.

Kirana mengangguk. "Iya. Abis ini mau ke jurusan."

Mereka berjalan berdampingan di koridor yang agak ramai oleh arus manusia dari dua arah berlawanan.

Bram mengulurkan tangan di depan sebuah mading dengan maksud berkenalan. "Kita belum kenalan. Gue Bram."

Kirana mengamati wajah Bram selama tiga detik. Menimbang sejenak apakah akan menyambut perkenalan itu atau mengabaikannya seperti mengabaikan teleponnya.

"Kirana." Tapi Kirana tidak menyambut uluran tangan Bram sebagai tanda perkenalan awam. Ia menunduk, menggumamkan kata pamit dan berjalan tergesa-gesa menuju ke sebuah gedung yang ramai berisi mahasiswa fakultas Psikologi dengan urusan masing-masing.

Bram bersiul pelan. Mengetukkan jari ke papan mading yang penuh tempelan kertas. Untuk tahap awal, respon yang diterimanya tidak terlalu buruk.

"Damn! She's like an angel." Bram tersenyum simpul.

Sepasang mata bening dengan bola mata kecokelatan yang dinaungi bulu mata yang tidak begitu panjang dan lentik. Organ indera yang juga adalah jendela hati si pemilik. Memandang punggung Bram yang menjauh.

"Ganteng." Kirana balik badan melewati meja tempat penitipan tas, diiikuti kekaguman dari tiga orang cowok yang duduk di meja terdekat dari tempatnya berjalan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top