8. Kebimbangan Hati
No edit, jadi maaf jika typo bikin kalian sakit mata. Enjoy this story!
*****
Dimas melajukan mobilnya membelah jalanan kota Jakarta. Cuaca hari ini begitu terik, belum lagi jalanan yang macet total menambah daftar panjang betapa sumpeknya kota ini. Dimas memacu kendaraan dengan perlahan, berusaha menyalip kendaraan yang berada di depannya. Sepanjang perjalanan, laki-laki itu tak hentinya merutuki aksinya melamar Adiba secara tiba-tiba.
Hal yang barusan terjadi sama sekali diluar rencana. Awalnya ia hanya ingin menemui Adiba untuk membicarakan masalah persidangan terkait sepupunya. Namun, gara-gara bocah tengil di kampus itu ia terpaksa mengaku sebagai calon suami Adiba.
Bocah itu membuat Dimas merasa tersaingi. Entah untuk alasan apa ia sangat terganggu dengan kata-kata mahasiswa Adiba tersebut, ketika bocah itu mengatakan dengan lantang dan penuh keyakinan jika dia menyukai Aiba.
Sekitar dua jam berkendara, mobilnya memasuki sebuah rumah bergaya mediterania dengan dua lantai. Begitu turun, seorang wanita paruh baya tersenyum kearahnya.
"Assalamualaikum, Bi Wati."
"Waalaikumsalam, Den. Tumben lama sekali baru kesini?" tanya Bi Wati, pembantu rumah tangga di keluarga Baskoro.
"Bapak ada, Bi?"
"Ada kok, Den. Beliau ada di halaman belakang, sedang santai dengan Ibu." Dimas mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah tersebut.
Ucapan salam laki-laki itu membuat pasangan suami istri yang sedang asyik berbincang itu terhenti.
"Assalamualaikum," seru Dimas, lalu menyalami dan mencium punggung tangan kedua orang tua angkatnya.
"Waalaikumsalam."
"Kamu, Le. Dari mana saja baru main ke sini? Apa kamu datang bawa calon istri, iya?" Pertanyaan ibu angkatnya hanya dijawab senyum kecil Dimas.
"Yo maklum to, Bu. Akhir-akhir ini Dimas memang sedang banyak kerjaan."
"Maafkan Dimas baru sempat jenguk ibu."
"Yo wis ora po-po. Duduk dulu, Le, biar tak ambilin minum." Setelah mengatakan itu, Bu Ani masuk ke dalam rumah meninggalkan dua laki-laki beda generasi itu.
"Kenapa, Le? Kamu sepertinya sedang bimbang." Pernyataan Pak Baskoro tepat sasaran, karena sekarang Dimas terlihat mengembuskan napas gusar.
"Dimas baru saja menyatakan ingin menikahi anak gadis orang, Pak," jawab Dimas to the point. Pak Baskoro menutup bukunya, lalu beralih menatap Dimas yang terlihat gusar.
"Bagus kalau begitu, lebih cepat lebih baik. Terus?"
"Masalahnya Dimas-"
"Kamu kenapa? Masih bilang kamu belum siap? Kamu mau bilang takut dengan sebuah komitmen?" Pak Baskoro memotong kata-kata Dimas, membuat laki-laki itu terdiam menatap sang Ayah.
"Dengar baik-baik, hanya ada dua pilihan yang benar dalam perasaan cinta antara laki-laki dan perempuan. Halalkan, atau ikhlaskan. Mau sampai kapan kamu seperti ini? Sementara umurmu sudah kepala tiga. Kamu mau ujung-ujungya berakhir seperti hubunganmu dan Kayla? Jangan menunda-nunda hal baik, apa lagi menikah. Karena ujungnya setan lah yang akan bertindak sebagai orang ke tiga."
Dimas hanya diam mendengar nasihat ayah angkatnya, sebelum laki-laki paruh baya itu melanjutkan kata-katanya.
"Jadi, siapa gadis itu? Dan kapan kamu akan membawa Bapak menemui keluarganya?" Pertanyaan Pak Baskoro hanya di tanggapi diam oleh Dimas. Meski bingung, akhirnya laki-laki itu mengembuskan napas dan berusaha memantapkan hati.
"Seperti yang Bapak bilang, lebih cepat lebih baik. Mungkin dalam waktu dekat ini."
"Bagus lah jika itu keputusanmu." Terjadi keheningan setelah itu, sebelum Bu Ani datang membawakan secangir teh untuk Dimas.
"Di minum, Le." - Bu Ani meletakkan cangkirnya ke atas meja- "ibu sudah menyiapkan makan siang. Setelah ini kita makan lebih dulu sebelum kamu pergi." Dimas hanya menjawab dengan anggukan, lalu wanita itu kembali masuk ke rumah.
"Jadi bagai mana dengan kasus penyiraman air keras pada penyidik KPK itu? Apa sudah ditemukan pelakunya?" Pertanyaan pak Baskoro membuat lamunan Dimas teralihkan.
"Belum, Pak. Kasus ini begitu sulit dipecahkan. Kami sudah menangkap beberapa orang yang dicurigai memiliki motif kuat untuk melakukan penyerangan itu, tapi lagi-lagi kami tak memiliki cukup bukti untuk menjebloskan mereka ke penjara." Mendengar penuturan Dimas, Pak Baskoro mengembuskan napas.
"Ya ... lagi-lagi seperti sebelumnya, pelaku kejahatan tersebut pasti tak bisa dilacak. Ayah amat bersimpatik pada beliau, meski ini kasus penyerangan ke sekian yang diterimanya, beliau tetap teguh dengan pendiriannya untuk mengungkap kebenaran." Dimas hanya mengangguk setuju dengan kata-kata Ayahnya.
"Ya sudah, ayo kita makan siang bersama," lanjut Pak Baskoro. Setelah mengatakan itu, mereka berdua bangkit dan masuk ke rumah.
******
Ditempat lain, Adiba terlihat sedang melamun di banguku taman belakang rumah tantenya. Di tangan kanannya ia memegang buku, niatnya membaca untuk mengalihkan pikiran dari kejadian beberapa jam yang lalu. Namun, sepertinya gagal karena yang terngiang di telinganya justru kata-kata Dimas.
Menikah lah denganku ...
Adiba benar-benar terlihat frustasi, hingga dari tadi wanita itu terus menarik napas dan mengembuskannya. Sesekali terdengar decapan kesal dari bibir wanita itu. Merutuki kelakuan Dimas yang menurutnya aneh.
"Aisssh ... dasar Polisi Narsis itu, kenapa selalu saja membuatku begini, menyebalkan! Apa sih yang ada dalam pikirannya? Dia pikir menikah itu gampang?! Awas saja kal-" Gerutuan Adiba terhenti ketika suara lembut Abahnya terdengar.
"Siapa yang menikah?" Abah bertanya, lalu duduk di samping Adiba yang terlihat gugup karena kata-katanya mungkin saja terdengar laki-laki paruh baya itu.
"Ah ... i-itu ... anu. Maksudnya temen Adiba mau nikah," jawab Adiba gugup, wanita itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil menampilkan deretan giginya ke arah sang Ayah.
Abah hanya tersenyum simpul menatap gelagat sang putri yang aneh. Fedrik jelas tahu ada hal yang disembunyikan putrinya, karena Adiba tak pandai berbohong. Laki-laki itu terus mengerutkan kening ke arah Adiba, membuat wanita itu akhirnya mengembuskan napas pelan, ia tak tahan karena terus di tatap seperti itu oleh ayahnya.
"Ya baik lah ... Adiba akan cerita, tapi Abah jangan tertawa ya." Ancam Adiba pada Abahnya. Abah hanya mengangguk kecil.
"Emmm ... menurut Abah bagaimana jika tiba-tiba ada laki-laki yang menawarkan pernikahan pada seorang wanita? Sementara laki-laki itu bahkan tak mencintai si wanita. Apa yang harus wanita itu jawab? Apa ia harus mempercayakan hidupnya pada laki-laki itu meski ia juga tak mencintainya?" Mendengar pertanyaan putrinya, Abah hanya tersenyum kecil.
"Laki-laki yang beriman adalah laki-laki yang pandai mengendalikan syahwatnya. Dan hanya laki-laki baik lah yang bersedia menawarkan pernikahan meski ia tahu mereka tak saling mencintai. Karena ia percaya, jika takdir Tuhan selalu bekerja dengan caranya." Mendengar jawaban sang Ayah, Adiba mengernyitkan dahinya bingung.
Penjelasan Abahnya selalu saja tak bisa ia pahami. Abah mengerti kebingungan sang putri hingga ia memilih memberi Adiba penjelasan lebih detail. Adiba mulai menegakkan badan, memasang baik-baik pendengarannya agar apa yang akan Abah jelaskan dapat ia mengerti.
"Begini, Selalu ada kebaikan di balik yang tidak kita sukai : "Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan Allah mengetahui sementara kamu tidak mengetahui" QS. Al-Baqarah: 216. Masih bingung?" Abah menatap putrinya yang kini mengembuskan napas. Adiba memperbaiki duduknya sebelum wanita itu membuka suara.
"Masalahnya, Pernikan itu adalah hubungan jangka panjang, Bah. Apa cukup jika mengandalkan keyakinan itu?"
"Nah, justru karena itu kamu harus tahu, sebuah pernikahan tak bisa hanya mengandalkan perasaan sesaat. Maka tugasmu adalah percaya jika sesuatu yang di dasari atas kecintaanmu pada Allah, maka Allah pasti akan memberimu yang terbaik. Begitupun yang dilakukan laki-laki itu. Ia hanya percaya, jika perasaan cinta itu bisa tumbuh tanpa mengenal pada siapa ia memilih." Adiba terdiam lagi, mencoba memikirkan kata-kata sang Ayah yang juga pernah diucapkan oleh Dimas. Ayahnya benar, ia hanya harus pecaya jika cinta datang karena terbiasa.
"Jadi, siapa laki-laki itu?" Mendengar pertanyaan Abahnya, Adiba menegakkan tubuhnya.
"Hah! A-apa? Bu-bukan Adiba kok, Bah, yang di lamar tiba-tiba. Itu teman Adiba." Adiba berkata dengan nada gugup, dan semakin membuat Abah tersenyum karena tingkah putrinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top