4. Rasa Bersalah
Suara tangis kesedihan terdengar memenuhi lorong rumah sakit. Seorang wanita paruh baya menangis di depan jenazah anak perempuannya yang telah terbujur kaku, sementara para dokter bagian forensik yang mengelilingi hanya bisa tertunduk, ikut merasakan duka wanita itu.
"Aling, bangun! Jangan tinggalkan Mama! Bangun!" teriak wanita itu menangis histeris.
"Sudah, Tante. Ikhlaskan Aling pergi," bujuk Adiba berusaha menguatkan tantenya agar wanita itu tenang.
"Tante nggak akan pernah tenang sebelum laki-laki brengsek itu mendapat hukuman setimpal!" teriak wanita itu lagi. Adiba hanya mengangguk, lalu menarik tantenya kepelukan.
"Iya, laki-laki itu pasti akan mendapat ganjarannya. Tente tenang lah." Sambil berurai air mata, Adiba terus mendekap tubuh tantenya, dan menepuk-nepuk punggung wanita itu agar tak limbung. Hingga tiba-tiba sepasang suami istri datang, dan menginterupsi tangisan mereka.
"Diba!" Panggil wanita paruh baya yang mengenakan baju syar'i itu, lalu berjalan mendekati Adiba dan sang tante. Sementara di belakangnya diikuti laki-laki paruh baya yang memiliki wajah oriental mirip dengan Adiba.
"Uma, Abah! Kalian pulang?" kata Adiba mengalihkan perhatian pada kedua orang tuanya. Lalu wanita paruh baya yang dipanggil Uma langsung menarik tantenya ke dalam pelukan.
"Mey, kamu yang sabar."
"Aling meninggal, Ren. dia meninggal, dan sekarang aku hidup sendiri," tangisan May semakin terdengar pilu. Membuat Irene ikut menitkkan air mata.
"Bagaimana kronologisnya hingga Aling ditemukan?" tanya Abah pada Adiba.
"Nanti kita dengar saja penjelasannya dari polisi, Bah." Obrolan mereka terhenti ketika Dimas datang menghampiri.
"Maaf, Di. Bisa-" kata-kata Dimas terpotong saat menyadari orang tua wanita itu ada di sana. Laki-laki itu tersenyum sopan pada orang tua Adiba, yang di balas hal sama oleh mereka
"Ah, maaf, saya mengganggu obrolan kalian," Dimas berkata dengan nada tak enak hati.
"Tidak apa-apa, Dim. Kenalkan, ini Abah aku. Abah ini Dimas, polisi yang menangani kasus kematian Aling."
"Dimas, Om. Sahabat Adiba." Adiba mendengkus mendengar Dimas mengenalkan diri sebagai sahabat di depan Ayahnya. Wanita itu sama sekali tak menyangka laki-laki itu menyebutnya sahabat, mengingat perdebatan lah yang sering mengisi pertemuan mereka.
"Sahabat dari mana? Tiap ketemu aja kita berantem terus," gumam Adiba yang masih bisa didengar Dimas.
"Ah, kamu polisi yang sering dice-" Adiba menghentikan ucapan Abah dengan wajah panik, Wanita itu bahkan memberi kode lewat delikan mata ke arah Abah. Astaghfrallah bisa gawat kalau Abah meneruskan ucapannya. Batin Adiba.
Mengerti kode dari sang Anak, Abahnya hanya tersenyum ke arah Dimas, sementara Dimas mentap Adiba sambil memicingkan mata curuga.
"Apa!" sungut Adiba saat Dimas terus menatapnya.
"Adiba," tegur sang Abah agar Adiba tak bicara dengan nada menghardik.
"Maaf kan putri saya, dia memang kadang seperti itu."
"Tidak masalah, Om. Adiba memang sering seperti itu pada saya. Mungkin karena kami sahabat."
Mendengar Dimas bicara seperti itu di depan Abahnya, Adiba menahan kesal setengah mati, karena kata-katanya membuat Abah menatap Adiba seolah bertanya 'apa benar begitu?'. Kalau sudah seperti itu, bisa berdengung kupingnya nanti karena nasihat Abahnya yang panjang kali lebar.
Dimas menyunggingkan senyum penuh kemenangan ke arah wanita itu, dan tentu saja hanya Adiba yang tahu apa maksud senyum Dimas yang mengejek.
"Ah, maaf sekali lagi. Maksud saya tadi, apakah Anda polisi yang membantu Adiba menemukan Aling?"
"Panggil saya Dimas saja, Om. Itu memang kewajiban kami sebagai penegak hukum."
"Iya, terimakasih, Dimas. Saya Fredrik, Abahnya Adiba. Kalau boleh, saya ingin tahu kronologis keponakan saya dibunuh, apa bisa nak Dimas menjelaskan."
"Ya, akan saya jelaskan, mari ikut saya." Setelah itu, mereka berempat mengikuti Dimas ke sebuah ruangan.
"Sebelumnya saya minta maaf harus mengabarkan ini. Dokter mengatakan jika sebelum dibunuh, anak ibu sedang hamil dua bulan." Kontan semua orang yang ada di ruangan itu kaget bukan main mendengar penuturan Dimas. Ada gurat kecewa dalam wajah-wajah di depanya yang membuat Dimas merasa tak enak.
"Aling hamil? Tapi ... dia tak pernah bercerita pada saya," jawab May.
"Dari beberapa kesaksian tetangga kosan kekasih Aling, beberapa hari sebelumnya mereka mendengar pertengkaran. Hingga beberapa hari kemudian jenazah Aling ditemuan telah membusuk dikosan tersebut. Sementara kekasihnya tak tahu kemana, dan sekarang sedang dalam pengejaran kami." Keterangan Dimas membuat tangis May pecah. Wanita itu sungguh tak menyangka, anak semata wayangnya akan meninggal secara teragis seperti itu.
"Saya mohon, Pak. Tolong temukan orang yang membunuh anak saya, dan hukum dia seberat-beratnya."
"Iya ... itu pasti, Bu. Saya dan semua anggota polisi yang lain akan berusaha mencari keberadaan laki-laki itu. Kalau begitu, saya pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab empat orang di ruangan itu.
"Abah, Diba bicara sebentar sama Dimas, ya." Abahnya hanya mengangguk, lalu wanita itu mengejar langkah Dimas.
"Dimas!" Seruan Adiba membuat Dimas menghentikan langkah.
"Ada apa?"
"Mm ... makasih."
"Its okay, itu kewajiban aku sebagai penegak hukum. Kamu boleh balas dengan meneraktirku makan mungkin." Dimas bermaksud menggoda wanita itu dengan kata-katanya.
"Boleh, kapan?"
"Hah! Serius?"
"Iya ... kapan?"
"Besok kuhubungi saja. Aku duluan ya. Sampai bertemu." Setelah mengatakan itu, Dimas benar-benar pergi.
☆☆☆☆☆☆☆
"Jadi Dimas itu polisi yang sering kamu ceritakan ke abah itu, Di?" tanya Uma saat mereka di mobil, dalam perjalanan pulang. Sambil merangkul bahu May yang tetidur di sebelahnya, wanita itu menatap putrinya.
"Iya, Uma. Mana Abah tadi pake keceplosan di depan dia, kan Diba malu." Wanita itu berkata sambil mengerucutkan bibirnya.
"Ya lagian kamu, bicara sama orang kok pakai bentak. Abah nggak pernah, ya, ajarin kamu begitu. Lagi pula dia tak seperti yang kamu ceritakan kok." Mendengar Abahnya bicara seperti itu, Adiba mendengus.
"Abah nggak tahu saja dia bagimana, aslinya dia itu menyebalkan, Bah. Dia suka banget mengatai Diba, dan membuat Diba jengkel. Diba benci sama dia." Adiba bercerita dengan nada bersungut-sungut, sementara Abah hanya menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya. Adiba boleh berusia kepala tiga, tapi jika sedang bersama orang tuanya, tingkah wanita itu seperti anak ABG yang suka sekali merajuk dan manja. Mungkin karena dia adalah bungsu dari tiga bersodar.
"Ssst, kamu nggak boleh bicara begitu, pamali. Ingat ada Allah yang dengar kamu ngomong begitu."
"Iiih ... apa hubungannya Uma?" jawab Adiba merajuk.
"Eeeh ada dong, kamu ingat, Allah itu maha pembolak balikkan hati. Hari ini kamu bilang benci, besok bisa jadi kamu bakal cinta mati." Mendengar kata-kata Umanya, Adiba begidik ngeri. Adiba tak bisa membayangkan jika dirinya benar-benar jatuh cinta pada laki-laki itu.
"Nggak, jangan sampai ya Allah," kata Adiba memohon.
"Kamu jangan begitu, membenci sewajarnya, jatuh cinta sekedarnya, sebab segala sesuatu yang berlebihan itu tak baik akibatnya, Di. Seperti yang Uma katakan tadi. Allah itu maha pembolak-balikkan hati. Kamu nggak bisa memilih dengan siapa kamu akan jatuh cinta. Karena nggak ada yang tahu masa depan selain Allah." Nasehat Abah membuat Adiba terdiam.
Benar yang Abahnya bilang, karena rasa cinta yang berlebihan juga lah, dulu dia hampir menghancurkan pernikahan seseorang. Adiba masih sering dihantui rasa bersalah, jika dia mengingat kesalahannya tersebut.
********
Assalamualaikuuuum
Selamat malaaaam. Ada yang masih menunggu cerita mereka? Mungkin sementara ini aku bskal up cerita mereka seminggu sekali, hingga Revisi Kayla selesai. Jadi jangan bosen nunggu ya.
Sebagai pembaca yang baik, diharapkan tinggalkan jejak di cerita ini ya. Sebagai bentuk penghargaan kailian agar aku semangat nulis terus.
See you nex capter. 😙😙😙😙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top