3. Bertemu Kembali

Dimas turun di kantor Polsek Metro Jakarta Selatan, saat memasuki kantor, terlihat beberapa anak buahnya sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Selamat pagi, Pak," sapa anak buahnya, Hendra, yang terlihat sedang sibuk menata beberapa dokumen.

"Pagi." - Dimas duduk di meja kebesarannya, lalu meraih sebuah dokumen yang terletak di rak, dan membukanya - "akhir-akhir ini banyak sekali kasus kekerasan yang di lakukan geng motor. Sepertinya kita harus lebih sering melakukan patroli malam," sambung Dimas

Lalu seorang wanita mengenakan hijab masuk menenteng plastik kresek hitam di tangannya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab mereka serentak.

"Eh ... ada bidadari surga datang." celetuk Anjar yang duduk di sebelah Hendra. Wanita itu hanya tersenyum kecil, lalu berjalan menghampiri meja Dimas.

"Saya membawa sarapan untuk, Bapak," kata Wanita itu sambil meletakkan bungkusan yang ia bawa.

"Terima kasih, Fa. Tapi maaf, kebetulan tadi saya sudah sarapan." Senyum wanita yang dipanggil Fa itu lenyap, di gantikan senyum kecut penuh rasa kecewa, dan semua yang ada di sana hanya menatap Aqifa iba.

"Kalau Mas Dimas-nya nggak mau, Aa Hendra mau kok, Neng," Hendra berkata sambil meraih bungkusan di atas meja. Sementara wanita di depannya hanya mengangguk kecil dengan senyum yang dipaksakan. Lalu melangkah ke mejanya dengan lesu.

Di tempatnya, Dimas hanya menatap punggung Aqifa yang menjauh, laki-laki itu tak bermaksud menyakiti Aqifa. Ia hanya bingung harus dengan cara apa membuatnya berhenti terlalu berharap. Ia takut akan menyakiti wanita itu pada akhirnya, sementara dirinya tak bisa menjanjikan apa-apa.

Menghembuskan napas, Aqifa duduk dan menyalakan komputer. Entah sampai kapan ia harus menunggu Dimas mengerti perasaannya.

"Hari ini keluarga yang kemarin melaporkan anaknya hilang itu datang, kan?" tanya Dimas pada Aqifa.

"Iya, Pak. Mereka akan memberi keterangan hari ini." Mendengar jawaban wanita itu, Dimas hanya mengangguk, dan melanjutkan pekerjaan.

Menjelang siang, kantor polisi terlihat cukup ramai. Banyak masyarakat yang datang, entah untuk melaporkan tindak kejahatan yang menimpa mereka atau sekedar membuat laporan kehilangan barang berharga.

Termasuk seorang wanita yang terlihat memasuki kantor Dimas. Wanita yang mengenakan gamis berwarna krem dengan hijab hitam itu, berjalan sambil merangkul bahu seorang ibu paruh baya yang terlihat menangis.

Saat masuk, beberapa anak buah Dimas terlihat terpana dengan kehadirannya, antara kagum dan merasa familier.

"Masaallah ... siang-siang begini ada satu bidadari kabur dari kayangan," celetuk Anjar yang duduk di sebelah Dimas. Sementara laki-laki itu masih serius dengan pekerjaannya.

"Walah kamu mah, Njar. Sopo wae mau dibilang bidadari," jawab Dimas tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaan.

"Eee tenan iki mah, beda dari biasanya." Mendengar jawaban itu, Dimas mendengkus. Tiba-tiba Hendra mendekati meja kerja Dimas.

"Itu bukannya wanita yang dulu pernah kesini bersama ... " - Hendra mencoba mengingat-ingat nama keluarga Kaffi - "bersama Pak Aditya?" Reflek Dimas mendongkak, dan mendapati wajah yang dua tahun ini menghilang sedang terlihat bersama wanita paruh baya.

"Adiba ... sedang apa dia di sini?" gumam Dimas. Laki-laki itu memutuskan mendekat ke arah Adiba yang terlihat sedang berbicara dengan Aqifa.

"Adiba?" Seru Dimas memastikan benar Adiba atau bukan. Yang dipanggil mendongkak, dan terlihat kaget ketika melihat Dimas berada di depannya. Sejenak mata mereka saling berpandangan, seperti ada banyak hal yang sama-sama mereka pertanyakan.

"Dimas ... kamu?"

"Iya, ini aku. Kamu kira siapa?"

"Nggak, maksud aku, kamu kenapa bisa di sini? Bukannya ... " Adiba menggantung kalimat sambil menatap Dimas.

Sementara Aqifa yang melihat interaksi dua orang di depannya hanya menatap sedih ke arah Dimas. Entah mengapa, ada rasa takut menjalar di hatinya begitu melihat wanita didepannya bertemu sang pujaan hati. Bukan karena Adiba lebih cantik, tapi karena wanita itu terlihat lebih dekat dan mengenal Dimas lebih dari dirinya.

"Ayo kita bicara sebentar," tawar Dimas pada Adiba. Wanita itu hanya mengangguk.

"Aku ke sana sebentar ya, Tan?" pamit Adiba pada tantenya. Wanita yang di panggil tante hanya mengangguk, setelah itu Adiba berjalan mengikuti Dimas.

"Jadi, ke mana saja kamu selama dua tahun ini?"

"Aku kembali ke Kairo menyelesaikan studiku, dan baru balik dari sana kemarin. Kamu sendiri? terakhir kali aku ingat akan dipindah tugaskan ke Jawa, kan?"

"Iya ... hanya untuk beberapa bulan." Adiba hanya mengangguk, lalu keheningan menguasai mereka. Dimas mengamati wajah Adiba dari samping entah apa yang laki-laki itu pikirkan.

"Aku pikir kamu pergi karena frustrasi tak bisa move on dari Adit." kata Dimas tiba-tiba, membuat Adiba menatap sebal laki-laki itu.

"Cih, kamu sendiri bagai mana? Sudah berhasil move on dari Kayla, Hah?!" balas Adiba tak mau kalah. Mendengar pertanyaan Adiba, Dimas mendengkus, ditatapnya wajah wanita itu saksama. Adiba menahan napas, ketika tatapan itu terarah lurus ke manik matanya.

"Kepo," kata laki-laki itu, dengan wajah tepat berada di hadapan Adiba. Untuk ke sekian kalinya, Dimas selalu berhasil membuat jantungnya berdegup kencang untuk alasan yang tak ia mengerti, dan Adiba benci ini.

"Isssh ... Masih aja resek!" sungut Adiba.

"Tapi kamu suka, kan?" jawab Dimas semakin gencar meledek.

"A-apa?" Melihat wajah wanita itu memerah, tawa Dimas pecah. Membuat semua orang yang ada di sana memperhatikan mereka. Rasanya selalu menyenangkan jika menggoda wanita ini, batin Dimas.

"Isssh ... kamu tuh ya! Menyebalkan," Adiba menyilangkan tangan ke dada. Dimas tersenyum kecil menatap ekspresi jengkel wanita itu yang selalu berhasil menghiburnya.

"Tapi ... aku tak menampik, dua tahun ini ... " - Dimas menggantung kalimat dan menatap Adiba - "aku merindukanmu." Mendengar kata-kata Dimas, Adiba mengalihkan tatapannya ke arah laki-laki itu. Merasa heran sekaligus takpercaya.

"Ck ... berhenti menggodaku! Kamu itu ya masih saja menyebalkan. Aku pikir semakin bertambah tua usiamu, kamu akan jadi polisi yang keren. Ternyata masih sama saja," gerutu wanita itu jengkel. Meski jantungnya sekarang benar-benar terasa berpacu karena kata-kata Dimas, ia tak akan terpengaruh. Ayo lah, Di. Dia itu cuman menggodamu, jadi jangan baper seperti anak ABG. Batin Adiba mengingatkan.

"Tapi aku memang keren, kan? Dan tampan." ledek Dimas lagi sambil menaik-turunkan alisnya.

"Ya ... ya. Terserah kamu saja lah, Pak Polisi," Adiba menjawab dengan nada bosan. Menghadapi kenarsisan laki-laki ini tak akan ada habisnya. Lebih baik dia diam. Pikirnya.

Sementara di sudut lain, Aqifa terlihat murung, dan tak fokus mengetik keterangan wanita di depannya. Sesekali ia melirik interaksi dua orang tersebut. Belum pernah ia melihat Dimas tertawa selebar itu karena seseorang. Dan Adiba sukses membuat dia iri sekaligus nyeri dalam waktu bersamaan.

"Jadi, ada hubungan apa antara kamu dan ibu yang tadi itu?" tanya Dimas mengalihkan topik pembicaraan.

"Dia Tanteku,"

"Ah, jadi dia orang tua karyawan bank yang kemarin dilaporkan menghilang itu?"

"Ya ... aku tinggal bersamanya sekarang, tanteku hanya hidup berdua dengan sepupuku. Semenjak sepupuku menghilang, dia tinggal sendiri."

"Apa saudara dekat tak ada?"

"Hanya Abahku saudaranya, tapi Abah sama Uma sedang tak ada di Jakarta sekarang, jadi aku yang menemaninya ke sini." Dimas hanya mengangguk, saat tiba-tiba wanita paruh baya yang bersama Adiba mendekat. Refleks dua orang itu berdiri.

"Sudah, Tan?" Wanita yang di panggil tante hanya mengangguk kecil, lalu mengalihkan tatapan pada Dimas.

"Tolong, Pak. Temukan anak saya," kata wanita itu memohon sambil menangis, dan meraih tangan Dimas.

"Iya, Bu. Kami pasti akan menemukan anak ibu. Ibu berdoa saja, semoga putri ibu dalam keadaan baik." Adiba hanya bisa menatap Tantenya iba.

"Ya sudah, Dim. Aku pulang." Dimas mengangguk, lalu Adiba melangkah pergi. Laki-laki itu menatap kepergian Adiba hingga wanita itu memasuki mobilnya, dan melesat pergi.

"Itu bukannya wanita yang dulu ikut operasi penangkapan bandar narkoba itu kan, Pak?" Pertanyaan tiba-tiba Hengki membuat Dimas kaget.

"Iya, Dia wanita itu," Dimas menjawab singkat.

"Jadi, Pak Komandan sekarang dapat gebetan baru. Enak yo dadi wong ganteng, banyak yang suka. Cantik-cantik pulak." Tak menghiraukan ocehan Anjar, Dimas lebih memilih melanjutkan pekerjaannya.

Anak buahnya satu itu memang baru beberapa bulan berada di kantor ini, jadi dia tak tahu Adiba. Berbeda dengan Hengki yang memang sudah lama menjadi anak buahnya.

"Jadi, keterangan apa yang tadi kamu dapatkan dari ibu yang tadi?" Dimas bertanya pada Aqifa yang terlihat sedang melamun. Wanita itu terlihat kaget mendapati Dimas berdiri di depannya.

"Ah, Pak. Wanita itu mengatakan anaknya sudah tiga hari ini menghilang.

"Kenapa baru melapor hari ini?"

"Dia bilang dua hari sebelumnya, anaknya pamit ada seminar selama dua hari di luar kota, tapi sampai dua hari berikutnya anaknya belum pulang juga."

"Apa dia tak coba menghubungi anaknya?"

"Sudah, tapi yang jadi masalah, ponselnya tak aktif dua hari ini. Si Ibu bilang, biasanya sang anak akan menghubungi setiap jam istirahat."

"Mungkin saja ponsel anaknya rusak atau hilang?" pendapat Hendra

"Entah lah, ibu itu hanya memiliki firasat tak enak. Pasalnya terakhir ia lihat saat pamit pergi, si anak terlihat bertengkar dengan kekasihnya. Nah kekasihnya itu yang mengantarnya pergi."

"Baik lah, kita lakukan pencarian hari ini."

"Siap, Komandan," jawab mereka serentak.

☆☆☆☆☆☆☆

Selamat sore ... kok aku jadi merasa ini seperti cerita genre Misteri yah 😅😅😅
Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Walau bab ini agak mengecewakan. Dan bikin 😣😣😣 lesu.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top