10. Percikan Kecil Sebuah Rasa

Hari ini aku akan mulai lanjut updet DIMAS-Adiba. Tapi versi awal sebelum cetak karena aku males edit. Jadi maaf kalau tulisannya bikin kalian sakit mata 😂😂😂
Happy Reading. Jangan lupa tinggalkan jejak.

****

Seorang laki-laki tampak berlari tergesa-gesa melewati gang-gang sempit di kawasan pemukiman padat penduduk. Sementara beberapa polisi tampak mengejarnya di belakang. Beberapa kali pula terdengar letusan senjata api yang mengaung di udara, sebagai tanda peringtan agar laki-laki itu berhenti berlari dan menyerah.

Namun, bukannya menyerah dengan peringatan polisi, laki-laki itu justru terus berusaha menghindar dan bersembunyi. Begitu melewati sebuah ruamah kosong, ia memutuskan masuk. Napas Laki-laki itu masih memburu ketika ia memutuskan bersembunyi dibalik sebuah tumpukan barang-barang bekas dirumah itu. Ia memasang telinganya baik-baik guna memastikan keadaan aman atau tidak. setelah beberapa saat tak terdengar suara-suara gaduh polisi yang mengejarnya, laki-laki itu bernapas lega.

"Syukur lah, sepertinya mereka tak bisa menemukanku," gumam laki-laki itu mengembuskan napas. Sambil sesekali melongokkan kepala memastikan dia benar-benar aman. Namun, belum ada sepuluh menit jantungnya kembali normal, sebuah pistol ditodongkan tepat kearah kepalanya.

"Jangan bergerak! Dan angkat tanganmu!" Dimas berdiri menjulang tepat di hadapan laki-laki yang dari tadi merepotkannya itu. Laki-laki di depannya adalah salah satu gembong narkoba yang telah lama diincar pihak berwajib. Berbekal dari informasi warga sekitar yang mengatakan adanya sebuah pesta narkoba. akhirnya Dimas bisa menangkap kawanan mereka.

Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun itu mau tak mau mengangkat tangan, dan berdiri dari duduknya. Dimas berpikir ia berhasil menangkap pimpinan gembong narkoba tersebut. Namun prediksinya meleset, karena dengan gerakan cepat laki-laki itu berusaha berlari lagi setelah menendang tulang kering Dimas. Dimas tak menyerah begitu saja, dalam keadaan tersungkur ia melesatkan satu timah panas yang mengenai kaki kanan laki-laki itu.

Laki-laki itu ambruk, dan mengerang kesakitan. Namun masih mencoba berdiri dan berlari. Membuat Dimas dengan terpaksa harus melesatkan timah panasnya untuk kedua kali, dan mengenai kaki kiri laki-laki itu.

Laki-laki itu mengerang pasrah, karena hidup bebasnya telah berakhir hari ini. Dimas berdecap sebal, lalu memasukkan pistol ke sarungnya yang ada di pinggang.

"Ck! Merepotkan saja!" gumam Dimas kesal, dan berjalan menghampiri laki-laki itu. Disusul beberapa anak buahnya datang menghampiri.

"Harusnya tadi kau jangan melawan! jadi tak harus seperti ini," seru Dimas pada laki-laki itu yang terus mengerang menahan sakit, sementara darah segar di kaki laki-laki itu mulai merembas dan tercecer di lantai.

"Bawa dia ke rumah sakit!" perintah Dimas pada anak buahnya.

"Siap, Komandan!" seru mereka kompak. Lalu menyeret laki-laki yang tertembak tersebut.

Dimas berjalan memasuki mobil polisi yang terparkir agak jauh dari rumah kosong itu. Keteika sampai di dalam mobil, ponsel yang ia letakkan di dasbord berbunyi. Buru-buru diangkatnya panggilan itu, dan tertera nama Kayla di layar.

Dimas langsung menjauhkan telinganya dari ponsel ketika di seberang sana terdengar teriakan wanita itu.

"Dimas! Astaghfrallah! Kamu di mana sebenarnya? Acara sebentar lagi dimulai! Kamu niat datang ke sini apa tidak, sih!?" Dimas meringis mendengar kata-kata Kayla. Laki-laki itu melirik jam digital kecil di atas dasbor yang menunjukan pukul lima sore. Ia berdecap kesal, karena melupakan acara ulang tahun pernikahan Kayla --Ia bahkan belum menyiapkan apa-apa.

"Aku segera meluncur ke sana. Tunggu aku dalam waktu setengah jam." Tanpa mendengar ucapan salam Kayla, Dimas menutup ponselnya dan bergegas menancap gas menuju ke rumah wanita itu.

"Gara-gara si berengsek tadi aku lupa acaraku sendiri!" sungut Dimas.

Dengan kecepatan di atas rata-rata, ia berusaha memasuki gang-gang tikus agar menghemat waktu, dan tak perlu bermacet-macet dijalanan. Hanya tersisa waktu satu jam untuk menyiapkan semuanya. Jika harus pulang ke rumahnya sendiri jelas akan memakan waktu lebih lama. Laki-laki itu memutuskan masuk ke butik milik Gea yang lumayan dekat dengan lokasinya sekarang.

Seorang pelayan yang telah mengenalnya, karena beberap kali pernah kesini bersama Kayla, mengijinkan ia masuk dan menumpang membersihkan diri. Setelah terlebih dulu membeli baju dan juga sepatu.

Begitu keluar dari dalam kamar mandi, ia melihat seorang wanita yang sepertinya tak asing. Meski sekarang wanita itu terlihat berbeda dengan gaun yang ia kenakkan, tapi Dimas jelas tahu wanita itu Aqifa. Dengan perlahan, ia memutuskan menghamprinya yang tengah mencoba sebuah sepatu.

"Qifa?" tanya Dimas ragu-ragu. Wanita yang dipanggil memutar wajahnya dan terlihat kaget mendapati Dimas berdiri di hadapannya sekarang.

"Pak Dimas." Wanita itu mengamati penampilan Dimas dari ujung kaki hingga kepalanya. Laki-laki yang berdiri di hadapannya sekarang benar-benar tampak berbeda dengan tuxedo nevinya. Lalu, seulas senyum tersungging di bibir wanita itu. Benar-benar kebetulan yang tak terduga, batin Aqifa senang.

"Kamu sedang apa? Mau ke pesta juga?" tanya Dimas.

"Ah, i-iya, Pak. Kebetulan Nyonya Kaffi mengundang saya juga ke pestanya. Lalu Bapak sendiri?"

"Oh ... saya juga mau ke sana." Aqifa mengangguk kecil, wanita itu tampak kikiuk dan juga gugup. Hingga terjadi keheningan beberapa saat di antara mereka sebelum Dimas membuka suaranya.

"Kalau begitu, kita sekalian saja bersama menuju ke sana. Atau kamu sudah ada yang-" kata-kata Dimas terhenti saat dengan cepat Aqifa menjawab ajakannya.

"Saya bersedia, Pak," jawab Aqifa semangat. Dimas terdiam beberapa saat sebelum ia mengangguk dan mengajak wanita itu menuju ke mobilnya.

Di dalam mobil hanya keheningan yang tercipta, Aqifa dengan jantungnya yang terus berdebar karena laki-laki di sebelahnya yang terlihat sangat tampan --Ia tersenyum saat mengingat mimpinya semalam tentang Dimas yang melamarnya-- Sementara Dimas sendiri mala begelut dengan pikirannya tentang lamarannya pada Adiba. Ditengah pikirannya yang bercabang, terlihat seorang menyebrang jalan.

"Dimas, Awas!" teriakan Aqifa membuat lamunan Dimas buyar, sekaligus kaget.

"Aisssh sial!" Umpat Dimas sambil menginjak rem sekuat tenaga. Bunyi suara decitan ban membuat beberapa orang yang bermukim di sekitar tempat itu memperhatikan mobilnya.

******

Sementara di kediaman rumah keluarga Aditya Kaffi, nampak telah ramai dengan semua tamu yang datang. Kayla terlihat menawan mengenakan model gaun brokat berwarna putih, yang simpel tapi tetap elegant. Sementara aksen pita pada bagian pinggang semakin mempercantik tampilannya. Dipadukan dengan balutan hijab berwarna merah muda yang serasi dengan warna pitanya.

Wanita itu terus mondar-mandir dengan gelisah, dan sesekali melirik jam dipergelangan tangan. Kayla terus mengamati jalanan dan sesekali menyapa tamu yang datang. Sambil berharap laki-laki yang ia tunggu segera muncul --ia menunggu Dimas datang ke acara lebih dulu untuk mempersiapkan segalanya-- Namun, sudah setengah jam semenjak ia menelephon laki-laki itu, Dimas tak juga muncul. Kegiatannya terhenti saat Adit menghampiri wanita itu dan menepuk bahunya dengan lembut.

"Sayang, ayo kita masuk. Kita harus menyapa tamu-tamu di dalam."

"Tapi, Mas, Dimas lama sekali, sih. Ini sebentar lagi acaranya dimulai loh, belum lagi buat nyiapin kejutanya. Adiba juga tadi sudah menelepon sebentar lagi sampai sini," Kayla berkata dengan nada khawatir.

"Tenang lah, mungkin Dimas juga sebentar lagi sampai. Ayo ... kita masuk." Dengan berat hati, Kayla mengangguk dan mengikuti Adit masuk.

Adit dan Kayla sedang berbincang dengan beberapa tamu perusahaan ketika dari arah pintu, masuk seorang wanita yang membuat tatapan mata semua orang tertuju padanya.

Wanita yang mengenakan gaun pesta berwarna nevi, dengan model brokat yang sederhana namun terkesan mewah itu, berjalan dengan anggun kearah Kayla, Lalu melambaikan tangannya. Yang disambut hal sama oleh wanita itu.

Gaun itu menjuntai idah dengan bagian belakannya lebih panjang hingga terseret saat ia berjalan, dengan model mengembang. Sementara di bagian pinggang dan tangannya terdapat bordiran berwarna emas yang semakin memperlihatkan kesan mewah. Dipadukan dengan hijab berwarna senada.

Kayla meminta ijin pada semua kolega suaminya lalu berjalan menghapiri Adiba.

"Kay, kamu apa tidak salah memberiku gaun ini?" tanya Adiba heran saat ia memperhatikan gaun yang di kenakan Kayla.

"Nggak, itu memang khusus kupesankan buat Kakak kok. Kan ini hari spesial," jawab Kayla dengan senyum lebarnya.

"Tapi gaun ini terlalu indah untuk dikenakan olehku yang hanya menjadi tamu di sini. Ini lebi cocok di pakai olehmu, kan seharusnya malam ini kamu lah Cinderellanya, Kay. Bukan aku."

"Sudah lah, anggap saja hari ini Kakak lah pemeran utamanya. Ayo kita ke sana." Kayla membawa Adiba untuk menikmati hidangan, lalu mereka memilih duduk di kursi yang ada disebelah meja.

"Ngomong-ngomong, Tante Hana dan keluargamu yang lain mana, Kay?" tanya Adiba sambil mengedarkan pandangan keseluruh ruangan.

"Masih di dalam sedang bersama anak-anak." Mendeng jawaban Kayla, Adiba hanya mengangguk.

Tiba-tiba dari arah pintu, terlihat Dimas masuk. Adiba terdiam, senyum yang dari tadi ia tampilkan menghilang begitu ia tahu Dimas tak datang sendiri. Entah ada apa dengan hatinya sekarang, kenapa rasanya tak nyaman sekali saat ia tahu Dimas datang dengan wanita lain.

Wanita itu mengalihkan tatapan ketika matanya bersirobok dengan mata Dimas. Sementara Dimas justru menyunggingkan senyumnya sambil melambaikan tangan, sebelum laki-laki itu berjalan menghampirinya dan Kayla.

"Ah, itu Dimas!" Tanpa sadar Kayla memekik, lalu berdiri dari duduknya.

"Aaah syukurlah kamu sudah datang, Dim," kata Kayla dengan senyum lebar. Lalu menatap Aqifa dan tersenyum pada wanita itu. Sementara di tempat duduknya Adiba hanya menatap dua orang itu dengan cuek. Wanita itu bahkan tetap asyik dengan makan di tangannya dan nampak tak terganggu. Lalu tatapannya beradu dengan Aqifa. Aqifa menyungingkan senyum kaku ke arah Adiba.

"Apa kamu tak mau memberi salam pada calon suamimu?" tanya Dimas pada Adiba yang hanya dijawab dengkusan Adiba. Mau tak mau Adiba berdiri dari duduknya dan menatap Dimas sinis.

"Cih! Masih bisa kamu menyebut dirimu calon suamiku setelah seminggu lebih tak ada kabar! Kamu pikir aku bodoh." Setelah mengatakan itu, Adiba pergi dari hadapan Dimas dan melirik Aqifa sekilas.

"Aisssh dia pasti marah padaku," gumam Dimas sambil menatap punggung Adiba yang menjauh.

"Dasar laki-laki kurang peka! Kejar dia sana!" sungut Kayla.

"Dasar merepotkan sekali, Sih," gerutu Dimas lalu berlari mengejar Adiba.

******

Hai haiii aku datang lagi dengan Dimas. Hari ini lagi khilaf jadi updet cepat, mumpung ide lagi mengalis deras wakakak. Gimana dengan part ini? Apa kalian penasaran dengan bab selanjutnya? Pantengin terus ya.

Ah ya ... barang kali ada yang mau berteman denganku di IG follow ya @Nurmoyz192.

Jangan lupa di vote ya biar aku bisa cepat Updet. Ketjcup-ketjup dari aku Moy Moy 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top