BAB 9: New York Ketika Hujan

TASBIH SANG KIAI
Written By: Sahlil Ge

BAB 9: New York Ketika Hujan
Diunggah pada: 18 September 2018
Revisi: --/--/----

***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***

***

***

Bantu saya temukan typo ya. Barangkali ada yang kelupaan.

***

*Bab ini terjadi sebelum Kiai berangkat ke New York. Dalam artian. Ini alurnya dimundurin.

***

{Abimana Ilyas}

Saya melangkah pelan di lobi kantor. Waktu magrib telah masuk lima belas menit yang lalu dan saya sudah menggenapi kewajiban itu. Langit menggelap dan pegawai mulai sepi. Sengaja saya pulang lambat karena ada beberapa hal yang harus saya tuntaskan. Dan baru saja saya mengirim file hasil kerjaan seharian, di kotak masuk email saya sudah ada tiga file lain yang menuntut saya untuk lembur malam ini. Tidak ingin mengeluh. Cukup dengan bersyukur. Meskipun rasanya punggung sudah protes minta dibaringkan di kasur. Hey, ini Jumat, dua hari ke depan ada waktu untuk libur. Jadi bisa untuk istirahat selagi tenggat kerjaan itu sampai besok siang.

Di luar sedang gerimis. New York ketika hujan memilik rasa tersendiri. Bagi saya itu indah ketika titik-titik air menjadi berkilau terpapar lampu-lampu kota. Membuat suasana urban yang sangat sibuk itu terlihat lebih tenang. Gelap berpendar keunguan. Ya, seperti itu.

Uang di dompet saya hanya tersisa untuk transportasi dari sini ke masjid komunitas muslim New York. Ya beginilah, dibawa irit pun nyatanya hidup di kota ini tak pernah berhasil. Saya tersenyum pada selembar dolar yang nyelempet di dompet saya. Bersyukur lagi. Tidak apa-apa, setelah ini Allah akan menggantinya. Selama saya masih hidup, selama itu pula rezeki saya belum terputus.

Saya mempertimbangkan antara naik taksi atau uber. Keduanya memiliki tarif yang beda tipis. Dan Uber menjadi pilihan saya karena masih ada kembalian beberapa dolar yang bisa saya pakai untuk membeli roti. Saya tidak makan siang hari ini.

Sepuluh menit menunggu, uber pesanan saya datang. Bersamaan dengan sebuah pesan dari Habib, "Sedang dalam perjalanan?"

"Iya."

Ada secercah harapan karena harusnya hari ini saya mendapatkan gaji mingguan dari mengajar di komunitas. Sejatinya pendapatan materi bukanlah prioritas ketika saya mengajar, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mungkin ini pun salah satu cara Allah memberi saya rezeki. Seperti segenggam jagung yang ditebar di jalanan kota Madinah.

Ah, kota itu. Saya ingin ke sana suatu saat nanti bersama istri.

Hm, siapakah dia?

Sudah beberapa hari ini semuanya terasa hampa. Dia membuat saya ratusan kali memeriksa layar ponsel dalam sehari. Namun notifikasi darinya tak muncul jua. Ya, tepatnya tiga hari ini. Saya tahu sikapnya mulai melunak. Dan mungkin itu semacam perubahan baik atas keputusannya berislam. Tapi saya bahkan belum pernah bertemu dengannya lagi di tempat kerja. Padahal kalau tidak salah bidang kerjanya sedang sangat sibuk mengurus liputan yang kini trending.

Saya memberanikan diri untuk mengirim pesan. Bagaimanapun saya juga punya hak untuk tahu kabarnya.

"Assalamualaikum, apa kabar?" ketik saya dalam pesan.

Sedikit lega ketika dia membalas tak lama kemudian.

"Waalaikumsalam, semuanya baik-baik saja. Hei, kau sedang dalam perjalanan ke komunitas? Semua orang menunggumu di sini."

Dahi saya mengernyit. Secercah harapan untuk bertemu hadir.

"Inara, apa kau di sana juga?" tanya saya.

"Ya. Aku baru saja membeli banyak barang. Kau tahu? Di sini ada banyak mahasiswa Indonesia yang datang. Sekitar tujuh orang. Tiga di antaranya laki-laki."

"Oh ya? Dalam rangka apa?"

Saya berusaha membuat obrolan ini tetap nyaman. Sambil terus menyelidik kenapa dia tak mengirimiku pesan apapun belakangan ini. Padahal harusnya kita membicarakan rencana pertemuan dengan orang tua Inara. Semacam permintaan restu kepada mereka, dari saya.

"Habib mengenal salah satu dari mereka. Katanya mereka sedang mencari komunitas seperti itu sebagai volunter ...-"

Dan seterusnya.

Saya tidak ingin membaca. Yang saya inginkan hanya melihat sosoknya, lalu berbicara. Mengajukan beberapa pertanyaan 'mengapa?' dan mendengar jawabannya.

Sepertinya saya harus mendekatinya sendiri. Sebagai kekasih yang menggeligis sepi tanpa ditanyai apa-apa, jujur saya rindu, khawatir. Saya tidak ingin kehilangan lembaran penting tentangnya. Soal penasaran saya pada mahasiswa Indonesia itu pun saya tahan. Mungkin ini akan jadi obrolan buat nanti.

"Kalau begitu sampai jumpa di sana," tutup saya. Dan benar, dia bahkan tidak membalas lagi. Padahal biasanya dia akan mengirim banyak pesan yang membuat obrolan itu selesai menggantung karena saya nggak tahu harus jawab apalagi. Tapi, dari caranya yang membalas pesan saya tadi, ada secercah harapan kalau dia baik-baik saja.

***

Kali ini yang hadir tak kurang dari tiga puluh orang. Saya bisa melihat tiga orang pemuda berwajah oriental di antara jamaah laki-laki. Tidak ada hijab pembatas di ruangan ini, hanya jeda yang cukup berjarak saja untuk dua belah jamaah. Laki-laki dan perempuan.

Ingin rasanya saya mencari wajah Inara. Tapi bisa nanti saja ketika mulai mengajar.

Oh, itu dia.

Sekilas saya melihatnya sedang berbicara dengan Asya di antara jamaah.

Kali ini saya berkesempatan melanjutkan pembahasan minggu lalu. Yaitu tentang perkembangan ekonomi pra-islam, ketika zamannya Rasulullah, era pemerintahan Khulafaur Rasyidin, dan tentunya akan merambah pada ekonomi islam pada masa kini. Dan setelah dua minggu kemarin mengupas tuntas perekonomian pada masa Rasulullah, kini tiba saatnya mengupas sedikit pengetahuan saya tentang perekonomian di era para khalifah.

Ya, Ekonomi Islam pada kenyataannya bukanlah sebuah gagasan baru apalagi utopia. Melainkan sebuah konsep halus yang sudah lama sekali ada. Bahkan kesuksesannya tertoreh dalam sejarah. Dan sekarang, ketika hampir semua lembaga keuangan konvensional mulai menyisipkan konsep syariah dalam pelayanannya, seolah hal itu merupakan gagasan baru hasil dari kulikan ekonom islam pada masa sekarang. Padahal kenyataannya tidak sama sekali. Begitu saya menjelaskan di depan mereka.

"Hampir empat belas abad yang lalu, bumi menjadi gelap ketika cahaya itu pergi. Manusia paling mulia dengan torehan prestasi kepemimpinan yang tak ternilai itu juga meninggalkan banyak sekali tuntunan hidup. Tak terkecuali ihwal pemenuhan kebutuhan rumah tangga atau ekonomi. Kita sudah membahas tentang ekonomi pada masa beliau SAW. Dan sekarang, giliran prinsip ekonomi yang dibangun oleh khalifah pertama yang meneruskan kepemimpinan Rasulullah dalam pemerintahannya. Ialah Khalifah Abu Bakar Asshidiq."

Saya melihat senyum-senyum kerinduan di wajah beberapa jamaah ketika saya menyebut nama Rasulullah dan diikuti dengan khalifah pertama.

Pada intinya tidak ada perubahan yang signifikan dalam tatanan ekonomi di tangan Abu Bakar. Karena beliau mengikuti jejak Rasulullah dalam mengumpulkan dan membelanjakan pendapatan zakat. Seluruh zakat yang terkumpul tercatat sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam baitul mal untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum muslimin hingga tak ada yang tersisa.

Dalam sebuah redaksi literasi, tercatat bahwa Abu Bakar membayarkan dengan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah dan tidak membeda-bedakan antara umat Islam terdahulu dengan umat Islam yang kemudian. Maksudnya antara muslim yang ikut berjuang dalam peperangan dan muslim yang mualaf setelah peperangan. Semua pendapatan negara didistribusikan secara merata. Jadi ketika pendapatan negara meningkat, semua muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak seorang pun yang dibiarkan dalam keadaan miskin.

"Yang lebih menggetarkan hati, pada saat Abu Bakar wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam bendahara negara."

Semuanya memperhatian saya berbicara. Ada juga yang mencatat sebuah skema sederhana yang saya buat di papan tulis dengan spidol.

"Perbedaan sistem ekonomi yang cukup kontras terlihat ketika kepemimpinan sudah beralih ke tangan Umar Bin Khattab. Yang mana, ketika masanya Abu Bakar lebih mengutamakan asas kesamarataan, pada era Umar beliau lebih menjunjung asas keadilan. Ada yang tahu apa maksudnya?" saya melempar pertanyaan ke forum.

Empat orang mengacungkan tangan. Tapi saya lebih tertarik untuk memberi kesempatan kepada gadis muda berwajah oriental khas Indonesia. Dia mengacungkan tangan paling cepat. Cara dia memakai kerudung tak sempurna, seperti hanya membebatkan kain di sekitar rambutnya saja. Saya menebak dia tak terbiasa memakai kerudung.

"Anda, silakan," saya memberi kesempatan kepada gadis itu.

"Um, perkenalkan. Saya Rachma Netta. Lebih akrab dipanggil Netta. Mengambil Ekonomi Bisnis di NYU. Dari Indonesia," dia bangga sekali menyebut Indonesia seolah ingin agar saya tahu.

Saya mengangguk dengan senyum. "Silakan."

"Um, sebenarnya fokus saya bukan di ekonomi keislaman, tapi pernah menamatkan buku dari Muhammad Sholahuddin, 'World Economic Revolution with Muhammad'. Dan masih mengingat sedikit paragraf tentang ini. Jadi mohon maaf kalau saya keliru."

"Tidak masalah. Sekecil apapun, ilmu pengetahuan sangat diperhitungkan dalam forum ini. Semuanya masih belajar, termasuk saya."

Dia mengangguk yakin, "Sebenarnya menurut pemahaman saya kedua asas itu memiliki maksud yang sama. Yaitu keputusan yang paling baik agar tak menyalahi aturan dari Allah."

Semua orang fokus memperhatikannya.

"Hanya saja, Khalifah Umar tidak memberi bagian yang sama kepada orang-orang yang pernah berjuang menentang Rasulullah dengan orang-orang yang memperjuangkan mati-matian membela beliau. Berangkat dari hal ini, Umar ingin memberikan keutamaan kepada umat Islam terdahulu daripada umat Islam kemudian, dengan alasan beliau berpendapat bahwa kesulitan yang dialami umat Islam harus diperhitungkan jika menetapkan bagian untuk seseorang dari kelebihan harta pendapatan negara tersebut."

Saya terkagum dalam hati. Gadis ini sudah paham. Bahkan nyaris sama dengan apa yang hendak saya paparkan di dalam forum.

"Dan asas keadilan yang diusung oleh Umar ini berpihak bahwa upaya seseorang dan tenaga yang telah dicurahkan dalam mempertahankan Islam harus dipehatikan dan dihargai atau dibalas dengan sebaik-baiknya. Untuk pahlawan. Terima kasih."

"Takbir!" semua yang di forum menggaungkan takbir untuk pendapat gadis itu. Karena kurang afdal jika tempat yang terkadang juga dipakai untuk solat ini riuh oleh suara tepuk tangan.

"Terima kasih untuk ilmunya," ucapan dari saya. Dan gadis itu mengangguk setelah kembali duduk..

Sejatinya memang benar. Imbalan hak hukumnya atas pembagiannya kepada mereka sesuai dengan kadar usaha yang diupayakannya. Ada sebuah buku karangan dari Dr. Ibrahim Fuad Ahmad Ali yang berjudul Al-Infaq al Am fil Islam, tercatat sebuah data yang merinci pembagian dirham kepada beberapa penerima sesuai dengan tingkatan upayanya pada masa itu. 5000 dirham diperuntukan kepada orang yang ikut Perang Badar dan kaum Muhajirin yang pertama. 4000 dirham untuk yang ikut Perang Badar dan kaum Anshar. 4000 dirham untuk pejuang yang berjihad dalam barisan Islam dari Badar sampai perjanjian Hudaibiyah. 3000 dirham untuk pasukan yang berjihad dalam barisan Islam dari perjanjian Hudaibiyah sampai akhir perstiwa orang-orang murtad. 2000 dirham untuk pejuang yang berjihad dalam barisan Islam pada Perang Qodisiyah dan Yarmuk. 1000 dirham untuk pejuang yang berjihad dalam barisan Islam. 500 dirham untuk satuan pasukan kelompok Mustanna. 300 dirham untuk satuan pasukan kelompok Tsabit. 250 dirham untuk satuan pasukan kelompok Ar-Rabi'. 200 dirham untuk penduduk Hajar dan Ubad. 100 dirham untuk anak-anak yang ikut serta dalam berbagai pertemuan. 500 dirham untuk para istri pasukan di Perang Badar. 400 dirham untuk istri pasukan di Perang Badar sampai perjanjian Hudaibiyah. 300 dirham untuk istri pasukan, mulai dari perjanjian Hudaibiyah sampai Perang Riddah. 200 dirham untuk istri pasukan pada Perang Qodisyiyah dan Yarmuk. Dan barangkali masih ada data lagi yang belum termuat di sini. Wallahualam.

Semua data itu saya tuangkan dalam tabel yang tergambar di papan tulis.

Masih ada dua penjelasan menganai era perekonomian di masa Khalifah Utsman dan Khalifah Ali. Tapi saya hanya memiliki durasi satu jam yang mana separuh dari kesempatan itu diefektifkan untuk diskusi. Dan sisanya dijadikan agenda untuk dibahas minggu depan. Akhirnya selesai juga sesi dengan saya.

Saat melihat Inara sedang berkemas, saya langsung sigap mengirim pesan padanya sebelum dia pergi.

"Aku ingin bicara. Jangan pergi dulu."

Saya melihat dia sedang membaca pesan itu. Lalu menoleh pada saya. Saya mengangguk kecil, dan dia mengangguk juga.

Sebelum saya keluar. Ada sedikit perbincangan dengan Habib dan beberapa orang lainnya. Alhamdulillah, saya mendapat rezeki untuk mengajar seminggu ini. Insya Allah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai tanggal gajian kantor. Uang saya sebelum ini sebagian besar dipinjam oleh Maja. Dia memiliki banyak urusan karena memutuskan untuk berpisah dengan saya dan bekerja di tempat yang berdekatan dengan kekasihnya.

Rombongan mahasiswa dari NYU itu ternyata sedang menunggu saya. Ada Inara juga yang mengobrol dengan salah satu dari mereka.

"Luar biasa," kata yang laki-laki. Dia memperkenalkan diri sebagai Nizam. "Senang bisa menemukan orang Indonesia yang seperti Anda di sini."

"Itu berlebihan sekali, Zam. Yang saya sampaikan tadi sudah diketahui banyak umat Islam. Saya yakin kamu akan jauh melampaui saya kalau sudah membaca kitab-kitab tarikh dan buku-buku karya cendekiawan muslim era sekarang yang fokus dengan ekonomi Islam."

"Ada referensi bacaan?" wajahnya ramah sekali.

"Mulai saja dari bukunya Dr. Safi'i Antonio," jawab saya.

"Pengajian rasa kuliah," Netta mendekati kami berdua. "Kayaknya kami bakal rutin main ke sini buat ikutan diskusi."

Saya mematut-matutkan telunjuk padanya. Tentu dengan makna yang sopan. "Kamu cerdas."

"Nggak lebih cerdas dari Ustaz Abimana."

"Whoa, tunggu dulu. Siapa yang menyuruh kalian panggil saya ustaz? Bukan kapasitas saya itu."

"Profesor?"

"Karya ilmiah saya cuma makalah, skripsi, dan tesis saja."

Kami semua tergelak.

"Jadi asrama kalian ada di mana?" saya bertanya. Meski sebetulnya saya tidak enak karena membuat Inara harus menunggu lebih lama lagi. Saya lihat dia sedang mengetik pesan pada ponselnya.

"Nggak jauh-jauh dari kampus," jawab Netta. "Um, kapan-kapan boleh lah ya kami mampir. Ada perlu beberapa bantuan."

"O, boleh. Silakan. Kalau malam ini mau mampir pun boleh. Saya ada stok bahan makanan. Kita bisa masak menu khas Indonesia di tempat tinggal saya. Bagaimana?"

Mereka bertatapan.

"Boleh nih?"

"Ya tentu boleh."

"Tapi kita nggak ada yang bawa mobil. Yang akan ke sana mungkin cukup empat orang saja. Saya, Nizam dan dua orang lagi. Sisanya akan langsung pulang."

"Wait a sec." Saya bergegas menelepon Nathan yang harusnya sudah sampai. Dia akan menjemput saya karena hari ini dia yang bawa mobilnya. Dan dia menjawab. Katanya sebentar lagi sampai. Cuaca masih hujan jadi dia lebih memilih untuk memperlambat laju demi keamanan. "Kalian bisa ikut dengan mobil kami. Sebentar lagi datang."

Ketika Nathan datang dengan mobilnya, dialangsung menghampiri saya.

"Nath, kau bisa bawa mereka saja?"

Dia mengangkat alis tidak mengerti.

"Mereka tamu kita malam ini."

"Oh, tentu. Kau bagaimana?"

Saya tidak menjawab. Tapi dia langsung paham begitu melihat ada Inara.

Kemudian saya memperkenalkan Nathan pada mereka berempat. Nizam, Umam, Windi, dan ...

"Netta."

"Apa?"

"Netta."

"Oh, kukira nama kita sama," kata Nathan.

"Bagaimana kalau kalian lekas berangkat?" ujar saya.

Mobil melaju menerabas hujan. Meninggalkan saya dan Inara di sana. Jujur canggung. Tapi saya akan memberanikan diri. Saya tidak ingin kehilangan informasi apapun.

"Hei," saya menyapa dari jarak empat langkah darinya.

"Bagaimana rasanya bisa berjumpa dengan orang-orang Indonesia di sini?" Bagus. Dia membuka obrolan.

"Rasanya? Menyenangkan. Makanya aku meminta mereka untuk mampir. Sekaligus mereka ada perlu, sepertinya."

"Jadi mereka ke rumah malam ini?"

"Iya. Apa itu tidak apa-apa?"

"Itu bagus. Aku senang ada banyak orang."

"Sekali-kali rumah harus lebih ramai."

"Bagaimana kalau aku mampir ke sana?"

Sudah lama sejak terakhir dia mampir, "Tentu. Kenapa tidak? Kami akan membuat menu khas Indonesia. Nathan dan aku belanja stok bahan kemarin. Lagi pula ini malam Sabtu. Akhir pekan."

Dia mengangguk, "Oke."

"Tapi sepertinya aku harus menumpang mobilmu."

Dia bergegas mengais isi tasnya, lalu mengulurkan kunci mobil, "Drive me then."

Saya pura-pura enggan dengan memutar bola mata, "baiklah."

Hujan masih merintik di luar sana. Apapun kelihatannya kami berdua, saya hanya ingin mengetahui yang sebenarnya dan membicarakan masa depan hubungan kita. Ini penting. Saya harus banyak tahu tentangnya, dan perlu menemui orang tua Inara untuk membicarakannya.

"Apa kabar?" tanya saya sembari mengemudi.

Inara masih mengelap mantelnya yang sedikit basah dengan tisu. "Um, baik-baik saja."

"Kau sedang sibuk proyek baru di luar? Sudah lama aku tidak melihatmu di kantor."

"Um, ya."

"Apa itu?"

Dia seperti menghindar dari menoleh ke arahku. "Semacam portofolio bisnis."

"Kantor mengizinkan?"

"Tidak perlu izin dari mereka. Aku sudah bukan bagian dari mereka lagi."

Jantungku mendadak kacau, "M-maksudmu?"

"Aku sudah mengemasi barang-barangku di kantor."

"T-tapi kenapa?" saya benar-benar memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan sekali. "Apa kau melakukan sesuatu yang salah? Melanggar aturan?"

"Ya."

Saya tertegun sesaat.

"Padahal kau bisa membicarakan itu denganku, Inara. Apa yang kau langgar sampai membuat mereka ... sampai kau harus selesai dengan mereka?"

"Apa kau melihat perempuan berpenutup kepala di sana? Selain aku?"

Saya benar-benar menahan sesuatu yang panas di dada. Bergulung-gulung. Sebuah emosi. "Sejak kapan?"

Dia menggeleng, "Beberapa minggu yang lalu. Sudahlah, kita tidak seharusnya membahas ini."

"Inara, kita harus membahas ini. Oke?"

"Iya tapi untuk apa? Isi obrolannya pasti akan sama dengan masalah serupa yang pernah terjadi di belahan bumi yang lain. Terima saja faktanya. Aku sudah baik-baik saja, sungguh."

"Tapi kau tidak harus diam seperti ini. Bicarakan denganku. Nanti akan kubicarakan dengan Matt."

"Mereka tidak akan mendengarkan."

Saya jadi merasa bersalah. Maksudnya, ketika saya mendapatkan pekerjaan di sana atas bantuannya kini malah Inara yang kehilangan pekerjaan itu.

"Lalu apa artinya aku masih bekerja di sana sementara kau kehilangan milikmu."

"Aku masih bisa hidup tanpa pekerjaan itu, Bim."

"Iya tapi tetap saja. Ini bukan soal materi. Bukan itu yang kupermasalahkan. Tapi hakmu."

Dia mengangkat tangan kanannya. Memberi isyarat agar saya menghentikan pembicaraan tentang itu dan meredakan emosi.

"Aku tidak apa-apa. Aku tidak ingin apabila salah satu di antara kita memperjuangkan hak itu lantas kantor mendapat catatan buruk oleh media. Mungkin ini tidak benar. Tapi setidaknya tempat itu sangat berjasa padaku sejak lama. Ini hanya soal regulasi yang ada di kantor. Orang-orang di sana tetap baik denganku. Kami masih berkirim pesan seperti biasanya."

Saya terdiam fokus ke jalan.

"Aku dan Nathan berencana membuka bisnis. Aku memang belum berani mengatakannya padamu soal ini."

"Nathan tahu?"

Inara mengangguk.

"Tentu kau memintanya agar tidak memberitahuku."

"Tapi sekarang kau sudah tahu."

Saya berusaha mengendalikan emosi. Baiklah, sekarang fokuskan pada urusan lainnya.

"Bisnis apa?"

"Sebenarnya ini ide Nathan. Kau tahu tidak?" dia memiringkan badannya untuk menghadapku. Setidaknya aku bisa melihat dia memang tidak sedang bersedih. Jadi selama ini dia tidak mengirim pesan karena dia tidak ingin saya tahu soal itu. "Rumah kalian berdua berada di komplek perumahan yang jauh dari tempat makan yang bisa untuk bersantai. Tidak ada kafe apalagi kedai bagel. Tidak ada tempat nongkrong keluarga." Saya menyimaknya. "Dan Nathan ingin agar pekarangan rumput di sebelah kanan rumah dibuka menjad tempat semacam itu."

"Pekarangan samping rumah? Maksudnya kau ingin membangun sesuatu di sana?"

"Tidak. Kita hanya perlu memasang beberapa peneduh di sana. Konsepnya outdoor. Bahkan ruang tamu kalian bisa dimanfatkan untuk pengunjung. Memasak dan lain-lain juga di sana. Itu pun kalau kau mengizinkan."

"Kenapa perlu izinku? Itu rumahmu."

"Setidaknya itu akan mengganggu keseharianmu."

"Aku tidak masalah."

"Jadi kau mengizinkan?"

"Itu rumahmu, oke? terserah kau saja." Saya sedikit tertawa di sini.

"Baiklah. Um, rencananya jam buka tempat makan itu hanya setelah asar sampai pukul sebelas malam. Karena segmentasinya hanya untuk mereka yang baru pulang kerja, ingin melepas penat, atau sekadar jalan-jalan di komplek ini. orang-orang sini sangat baik. Mereka hanya tidak memiliki tempat untuk saling bertemu dan bicara. Semacam itu."'

Dia terus membicarakan itu selama setengah perjalanan. Kurang lebih saya sangat paham dengan konsep yang Inara dan Nathan rencanakan. Meski, tetap saja saya masih merasa kesal dengan kebijakan kantor.

Saya tahu Inara punya uang. Nathan sudah bercerita banyak tentangnya. Lumbung tabungannya selalu mengalir tanpa dia bekerja. Orang tuanya selalu memberikan jatah yang besar. Bahkan ada salah satu usaha mereka yang laba bersihnya dialirkan pada rekening Inara. Karena orang tua Inara memiliki bisnis dengan penghasilan yang jauh lebih besar dari itu. Namun tetap saja, dana sebesar itu saja sudah bisa memposisikan Inara sebagai orang kaya diam-diam.

"Hei," kata saya.

"Iya."

"Kapan kita bisa bertemu dengan orang tuamu?"

Kalimat saya itu membuat Inara terdiam. Malah terlihat gugup. Dia seperti tidak siap membicarakan ini.

"Ada apa?" tanya saya lagi.

"Mereka tidak punya banyak waktu luang. Hanya ada satu hari dalam sebulan di mana mereka akan punya waktu untukku atau siapapun yang menurut mereka tidak terlalu penting untuk ditemui."

"Kau salah satu yang penting bagi mereka."

"Aku tidak yakin."

"Kira-kira kapan hari luang itu datang?"

Dia terdiam cukup lama.

"Tidak apa-apa kalau kau tidak benar-benar serius denganku. Mungkin hanya aku saja yang paling mengharapkan sebuah pernikahan," saya memutuskan untuk mengatakan ini sebagai sedikit geretak.

"Bukan begitu maksudku."

"Iya, tapi apa masalahnya?" saya mengatakannya dengan pelan-pelan.

Lagi-lagi Inara terdiam. Tapi kali ini suara tangisnya terdengar. "Jangan ajak aku bicara dulu. Aku baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya beberapa hari ini terasa berat."

Saya benar-benar diam.

"Minggu depan," ucapnya kemudian. "Tapi sepertinya kita hanya bisa bertemu dengan Mom di New York. Aku sudah bilang padanya kalau kita ingin bertemu. Tentang Dad, dia sedang berada di Montenegro. Itu artinya kita harus terbang ke sana kalau benar-benar ingin menemuinya. Aku baru tahu mereka sudah tidak bersama lagi ketika aku meneleponnya satu per satu. Aku tahu yang seperti ini akan datang. Aku tahu mereka akan bercerai suatu saat. Dan sekaranglah waktunya. Andai mereka mengundangku dalam persidangannya, aku tidak akan pernah datang."

Saya tidak berani menyela urusan ini.

"Jadi bagaimana? Kau siap menemui mereka dalam keadaan seperti itu?" dia bertanya.

Saya menoleh perlahan. "Akan kujawab kalau kau sudah mengizinkanku bicara."

Dia mengangguk sambil mengelap matanya.

"Aku bersedia. Apa saja akan aku lakukan, Inara."

Dia menangis lagi, "Maksudku, tidak apa-apa kalau kau tak bisa." Terisak. "Barangkali perempuan yang kacau sepertiku bukanlah pendamping yang sempurna untuk seorang dirimu."

"Hei," hati saya sedih mendengar kalimatnya yang lebih terdengar seperti sedang penuh tekanan. "Ada apa denganmu? Coba bicarakan padaku." Dengan segera saya menepikan mobil.

Di sebelah saya Inara menangis tersedu-sedu. Saya benar-benar tidak tahu apa yang sedang dia hadapi. Dia ketat sekali dengan masalahnya. Tak mau membicarakannya pada saya.

"Kau tahu? Aku mencintaimu," ucapnya dengan isakan yang dikuatkan.

"Dan kau tahu aku juga mencintaimu, kan?"

Dia menggeleng saja.

"Aku benar-benar merasa tidak layak untuk semua ini. Terutama dicintai olehmu," dia mengelap matanya lagi. "aku merasa diamu bukanlah aku, Bim." Dia menunjukan tatapannya yang tak berdaya. "Asya pernah berkata bahwa suami adalah cerminan dari siapa istrinya. Tapi asal kau tahu, aku bahkan seperti tak bisa melihat bayanganku pada sebuah cermin yang jernih seperti dirimu. Aku tidak bisa menemukan kesesuaian."

Ingin rasanya saat itu saya merengkuh. "Masalah apa yang sedang kau hadapi?" saya bertanya tegas.

Namun setiap kali ditanya 'kenapa' tangisnya kian menderas.

Diam-diam saya mengelap setitik air di ekor mata tanpa diketahui olehnya. Kesal.

"Inara, aku justru melihat bayanganku di dirimu," kata saya benar-benar tulus. "Aku melihat banyak kesesuaian yang bisa dijalani bersama. Tidak ada yang paling sempurna atau lebih baik di antara kita. Kalau kau merasa tidak sesuai hanya karena kau baru saja memeluk Islam, dan barangkali kau merasa belum tahu banyak tentang ajarannya, aku sangat siap memulainya denganmu. Kau bisa menanyai apa saja. Aku bisa mengajarimu apapun, oke? apapun yang ingin kau tahu. Hanya saja, aku mohon jadilah terus terang. Ini bukan dirimu yang selama ini aku tahu."

Dia berusaha mengendalikan air mata saat saya selesai mengatakannya.

"Sekarang aku ingin bertanya sekali lagi. Ini penegasan yang terakhir. Karena bagaimana juga aku tak ingin memaksa kehendakmu untuk menikah denganku. Dengarkan, jawab dengan kesungguhan karena aku tak akan menanyakan lagi setelah ini."

Dia mengangguk.

"Apa kau bersedia menjadi istriku?"

Saya pandangi dia. Terlihat bibirnya bergetar. Tubuhnya berguncang menahan sedu. Terkatup seolah tak ada jawaban apapun lagi.

"Akan kujawab setelah kita sampai di rumah."

Saya mengangguk. Dan tanpa pikir panjang langsung menjejak gas dengan kecepatan yang memungkinkan bisa saya kendalikan. Dada saya bergemuruh bersama rinai yang berjatuhan di atas. New York ketika hujan juga bermakna lain. Bagi saya, itu seperti tetesan air mata para malaikat yang ikut merasakan kesedihan Inara. Jujur, saat itu saya benar-benar ingin menangis juga. Melihatnya dengan keadaan seperti itu sungguh membuat hati ini penuh dengan sayatan. Kenapa gadis seriang dia bisa berubah selembut ini hanya dengan sebuah transformasi? Kenapa seolah Bella dan Inara adalah dua orang yang berbeda?

Saya menjejak rem saat mobil sampai di depan rumah. Saya terdiam belum ingin membuka mobil.

"Aku menunggu jawabannya," kata saya.

Saya menoleh padanya. Inara menunduk dengan kendali diri yang gentar. Saya benar-benar kesulitan membaca apa yang sedang dia pikul dalam pundaknya. Beban apa?

Lagi-lagi dia menangis. Saya menghela napas berat dengan suara. Agar dia tahu bahwa kesakitan yang sedang dia rasakan terasa jelas oleh saya juga.

"Aku minta maaf," katanya yang seketika membuat saya tertegun, "Ini tidak bisa diteruskan," bicaranya tak jelas sama sekali. Saya tahu dia berusaha keras menahan tangisannya. "kau tak bisa menikahiku."

Bukan! Bukan itu jawaban sebenarnya! Saya tahu jawabannya tertahan di kedalaman hatinya.

"Tidak bis-."

"Apa alasannya?" saya mencegat.

Dia terus saja menggeleng. Malah seolah ketakutan. "Masuklah ke rumahmu."

Itu kata lain dari 'cepat keluar dari mobil ini'.

"Tidak bisa seperti ini, Inara."

Seperti dia sudah tidak sanggup berbicara lagi. Tangannya mengisyaratkan secara halus agar saya keluar.

Dan saya keluar mobil saat itu juga tanpa sepatah kata. Tanpa menunggu di depan mobil. Tanpa menunggu dia berubah pikiran. Dan tanpa kedinginan menerabas hujan sampai di depan pintu rumah.

Terdengar mobil itu memutar arah untuk pulang. Dan saya baru menoleh saat mobil itu benar-benar hilang.

Hati saya tidak karuan. Napas saya tak berbenah di paru-parunya.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Ada apa dengan Inara?

Saya masuk ke dalam rumah. Di sana ada Umam yang sedang duduk di ruang tamu. Sementara Windi, Nizam, sedang berada di dapur memotong sayur. Dan terlihat Nathan sedang berbicara asyik dengan Netta di dekat panci yang mengepul.

Saya lantas berjalan menaiki tangga dengan perasaan lunglai. Istighfar melayang-layang di dalam dada. Saya menangis.

Ponsel saya bergetar. Dengan segera saya membuka WhatsApp. Besar harapan saya bahwa itu adalah sebuah pesan dari Inara. Tetapi itu hanya pesan dari beberapa teman yang belum terbaca termasuk Maja, dan sebuah grup baru. Grup yang diberi nama 'INTRO'. Pembuatnya adalah Habib. Yang menambahkan saya ke grup itu juga dia. Yang membuat saya bingung adalah, penghuni grup itu hanya ada tiga orang. Habib, Saya, dan Asya.

***
Silakan berkomentar.
Jangan lupa kasih bintang.

BAB 10 Akan diunggah kalau BAB 9 sudah mencapai 170 votes. Selamat patungan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top