BAB 6: Terhimpit Rasa
TASBIH SANG KIAI
Written By: Sahlil Ge
BAB 6: Terhimpit Rasa
Diunggah pada: 28/06/2018
Revisi: --/--/----
***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
{Bella}
Aku berbaring di tempat tidur dengan mata yang tak sanggup terpejam. Seperti separuh nyawaku tertawan di jeruji rusuk-rusuk Abimana. Bahkan selama di taksi menuju rumah, kami tak membuat percakapan yang berlebih. Mungkin karena Abimana sengaja membuatku sibuk menjawab pertanyaannya mengenai jalan, rute, gedung-gedung, dan atau fasilitas NYC yang belum dia mengerti. Ketika dia turun pun tak ada sepatah kata, yang ada hanya senyum singkat dan lambaian tangan.
Parah. Aku benar-benar jatuh cinta padanya dengan parah. Bahkan sampai fajar semakin terang, aku tidak bisa tertidur memikirkan kalimat Abimana tentang dia yang mendoakanku untuk jadi miliknya. Mendadak aku seperti demam. Ya ampun, benar-benar seperti demam.
Hari itu, Abimana memang belum mulai bekerja di kantor yang sama denganku. Tetapi dia mulai menyibukkan diri di komunitas. Jujur, semenjak malam itu aku mulai bisa menangkap kisah cinta seperti apa yang Abimana inginkan. Dan rasanya, aku tak apa, aku menyutujui mau seperti apa saja yang dia inginkan. Mendengar bagaiamana dia mengungkapkan perasaannya pun itu sudah cukup buatku.
Waktu bergulir begitu cepat. New York sudah berganti hari di mana aku harus mengikuti apa yang Dave inginkan. Aku benar-benar ingin menolaknya. Di sisi lain aku takut jika Abimana tahu aku pergi dengan Dave untuk menemui orang tuanya, dia akan marah atau cemburu. Ya meski aku yakin Abimana tidak akan begitu. Dan di sisi yang lainnya, ternyata demam yang kurasakan sejak itu berkelanjutan sampai detik ini. Ugh! Kekuatan cintamu begitu menakutkan, Abimana!
"Aku sudah ada di bawah apartemenmu," Dave mengetik pesan. Aneh, itu malah membuatku semakin enggan mengikuti ajakannya. Aku bahkan tidak mempercantik diriku untuk pertemuan ini. Aku hanya memakai sesuatu yang sopan, dan coat panjang yang sangat tertutup. Oh, dan juga syal. Angin musim semi resmi mulai berkeliaran.
"Aku tidak bisa terlalu lama," kataku memasuki mobil yang sudah dibuka pintunya oleh Dave.
"Itu tergantung bagaimana kau bisa membiasakan diri," dia menjawab sambil menutup pintu. Lalu mengambil alih kursi kemudi.
"Kau baik-baik saja? Wajahmu sedikit pucat."
"Tidak baik-baik saja. Dan lebih baik kau tidak memaksaku untuk pergi."
"Aku janji ini tidak akan lama. Kau akan kuantar pulang saat kau mulai merasa tidak nyaman."
"Aku sudah tidak nyaman bahkan sejak saat ini."
"Kalau begitu tahan beberapa jam lagi."
"Jam."
"Kumohon, Belle," aku iba dengan cara matanya menatap.
Mobil mulai berderap dan membawaku ke sebuah restauran mewah. Di sana aku melihat kedua orang tua Dave yang berpenampilan sangat eksekutif di sebuah meja reservasi yang begitu mahal. Mau tidak mau aku harus membawa diri menyesuaikan mereka. Meski jika boleh jujur, aku merasa terganggu dengan parfum mereka. Ya, elegan, tapi aneh dan selera mereka buruk soal wewangian.
"Kau pasti Bella," kata Ibunya Dave, "aku Peggy, dan ini ayahnya Dave, Thomas."
Peggy memegang tanganku dengan lembut, layaknya seorang ibu yang begitu menyayangi pacar anak laki-lakinya. Tapi aku bukan. Dave dan aku tidak ada hubungan apapun.
"Bagaimana harimu, sweetheart?" kata Thomas. Aku bisa membaca dari cara mereka bersikap, bahwa Dave dibesarkan oleh kedua orang tua yang sangat beradab. Sayang sekali mereka tidak tahu seperti apa Dave itu, dan berapa banyak perempuan yang sudah merobek kancing kemeja putranya di malam-malam yang tak mereka ketahui. Meski tak bisa kuelakkan, Dave memiliki disiplin kerja yang patut diperhitungkan. Aku tahu sebenarnya dia layak meraih posisinya saat ini. Terlepas dari seperti apa gaya hidupnya di luar lingkaran karirnya itu.
Aku melihat ke arah Dave. Matanya mengisyaratkan sedang sangat membutuhkan sebuah pertolongan dariku. Baiklah, untuk kali ini saja.
"Hariku tidak jauh-jauh dari pekerjaan, Sir," aku berusaha seformal mungkin.
"No Sir, just Thom. Anggap saja kita seperti keluarga," Thomas berusaha membuatku nyaman.
"Dad, Bella sedang tidak enak badan," kata Dave. Oke, itu harus aku hargai.
"Kenapa kau tidak bilang, Dave?" Peggy mengatakan itu penuh kekhawatiran, "kau harusnya membiarkan dia istirahat saja di rumah, kita bisa menundanya lain hari sampai dia sembuh. Atau kita yang menghampiri rumahnya," oh, itu kalimat seorang ibu sekali, "Bella, sayang, kau sudah menemui dokter? Kalau belum aku sendiri yang akan membuat janji dengan dokter buatmu," dia bertanya lagi.
Karena Dave tidak tahu menahu soal ini, maka dia hanya diam. Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini sebagai pertanda sakit, karena aku tahu sekali demam ini bersumber dari mana. Kubilang cintanya Abimana begitu luar biasa, kan?
"Aku tidak apa-apa. Seharian ini aku sudah menghabiskan waktuku untuk beristirahat. Dan, ya, mungkin besok aku akan membuat janji."
"Jangan berbohong," kata Thomas, "kau bilang tadi masih berkutat dengan pekerjaan hari ini."
"Aku hanya mengambil setengah hari saja," jawabku. Serius, tatapan perhatian mereka terlihat sangat tulus. Di balik penampilan mereka yang begitu eksekutif, ada sisi low profile di sikap mereka.
Tiba-tiba Dave menggenggam jemariku, "Sungguh, kau baik-baik saja?" dia mengatakan itu dengan sangat lembut. Entah itu tulus atau hanya sebagian dari manufer di depan orang tuanya.
"Aku tidak apa-apa," jawabku singkat.
Di sana kami hanya makan malam. Mungkin juga sedikit perkenalan. Anehnya, orang tua Dave sama sekali tidak menunjukkan sebuh sesal atau marah ketika aku menegaskan bahwa antara Dave dan aku hanyalah teman, atau tidak lebih dari rekan kerja. Tapi mereka seolah menduga bahwa ini hanya sebuah kebohongan atau hal yang malu-malu aku katakan. Mereka menceritakan bagaimana keluarga mereka yang bahagia, rukun, beradab dan sangat menjunjung nilai-nilai etika di dalanya.
Mereka juga menanyakan bagaimana keluargaku. Meski aku seolah harus meraba apa saja hal tentang keluarga yang masih tersisa di kepalaku. Kesepian, kesepian, kesepian. Hampir tak ada kata keluarga utuh di sana. Mom, Dad, anehnya keberadaan mereka begitu samar. Yang kuingat hanya pesan-pesan singkatnya yang bertuliskan, 'Dad sudah mengirimimu uang sekian ribu dolar,' atau 'Mom sedang konferensi di Cannes, kau ingin apa? Uang sudah Mom kirim.' Hanya uang. Dan uang-uang dari mereka masih menumpuk di rekeningku. Aku bekerja dan kurasa belum perlu memakai semua uang itu, atau aku tidak menginginkannya.
Entah bagaimana orang tua mereka mendidiknya saat remaja dulu. Aku seolah menghilang dari kehidupan mereka. Seperti hanya seseorang yang akan cukup puas jika sudah mendapat debit di rekening. Mereka bercerai, sudah, selesai. Aku tertinggal di persimpangan yang mereka pilih. Muak. Tak ada satu arah pun yang bisa kuikuti dari mereka. Kenyataannya memang begitu. Acap kali perceraian begitu mudah dan menyisakan anak-anak mereka yang benar-benar kehilangan. Perceraian adalah hal yang egois. Jadi, mungkin sekarang alasannya sudah semakin jelas kenapa aku sangat mendambakan kisah cinta sendiri yang begitu indah dan normal.
Dave mengantarku pulang setelah kami puas mengobrol hampir dua jam. Aku tidak bisa menyangkal kehangatan yang didapat dari orang tua Dave. Mereka adalah keluarga yang sempurna. Aku tahu itu adalah alasan yang sangat disayangkan kalau aku ingin menolak seorang David Kohl. Tapi ini bukan tentang itu, ini tentang perasaan yang tak bisa kutipu-tipu. Aku memilikinya untuk orang lain. Dan ini adalah perasaan dengan rasa nyaman terbaik yang pernah ada.
Aku mungkin sekarang sudah menjadi pribadi yang berbeda semenjak kenal Abimana. Dan ini bukan dia yang merubahku, tapi aku sendiri yang memutuskan untuk berubah, perubahan yang mengarahkanku pada hal-hal yang bahkan jauh lebih baik. Sementara tentang Dave, aku tahu dia siapa bahkan sejak perkenalan kami. Dia memang selalu bersikap manis padaku, tapi aku tahu persis dia siapa.
"Aku tidak bisa mengantarmu ke apartemen sebelum kita singgah ke dokter. Aku merasa bersalah kalau Ibu tahu aku tidak melakukannya untukmu. Kau tahu tadi dia berbisik agar aku mengantarmu ke dokter."
"Tidak usah, Dave. Aku baik-baik saja."
"Itu bukan yang wajahmu katakan."
Oke, saat itu aku tidak bisa banyak menolak. Aku lelah. Entah kenapa hari ini juga terasa sangat melelahkan. Kuperiksa ponselku, bukan main bahagianya ketika melihat Abimana mengirimkan peta lokasi keberadaannya dengan tulisan 'Menuju ke rumah'. Kau tahu? Ini level baru dari hubungan kami, di mana Abim sudah mulai berani mengirim pesan duluan padaku. Aku ingin membalas dengan teks yang panjang, meluapkan semua kata-kata yang selalu ingin aku bicarakan di depannya, tapi aku ingin menembak hatinya. Kubalas hanya dengan emoji hati berdegub.
"Ada keluhan apa saja?" dokter itu bertanya padaku. Dokter laki-laki yang sepertinya sangat mengenal Dave. Mereka berinteraksi dengan sangat akrab.
"Hanya demam."
Dia mengangguk dengan tampang wajahnya yang meyakinkan.
Ponsel Dave berdering, dan dia mengisyaratkan padaku untuk keluar sebentar mengangkat panggilan itu. Dia bersumpah itu hanya urusan kerja. Dan apapun itu aku tidak peduli.
Selanjutnya dokter itu memeriksa tekanan darahku. Agak begidik dia menyimpulkan bahwa tekanannya sangat tinggi.
"Pola makanmu baik-baik saja?"
"Aku tidak berlebihan dalam mengonsumsi apapun."
"Apa kau mengikuti program diet?"
"Tidak sama sekali."
Kantuk terasa berat.
"Maaf, apa kau sedang dalam periodemu?'
"Sebulan ini tidak," jawabku. Dokter itu mengerutkan dahinya, "maksudku, aku sudah sering satu bulan tanpa menstruasi."
"Oke, beberapa pasienku juga sama sepertimu. Kau memang demam," katanya. "Tunggu sebentar." Dokter itu keluar.
Dan masuklah Dave. "Bagaimana?" dia bertanya.
"Kubilang ini hanya demam."
"Ya itulah kenapa aku membawamu ke sini. Kau akan mendapat obatnya."
Dan kalian tahu apa yang dokter itu bawa saat kembali? Tanpa sopan santun dia membawakanku sebuah alat tes kehamilan.
"Tapi lebih baik kau coba dulu," katanya.
"Apa maksudnya ini, dok? Kau tidak sopan sama sekali," tukasku.
"Maaf, tapi aku tidak bisa menyamaratakan diagnosa untuk semua pasien. Tidak apa-apa," dia tetap mengulurkan benda itu.
"Ini lucu sekali, Dokter. Aku belum pernah melakukan hubungan biologis dengan seseorang, bahkan semua orang tahu aku belum menikah."
"Oh, m-maafkan aku. Tak apa-apa kalau kau tidak berkenan. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai dokter dan memastikan semuanya sesuai diagnosa. Baik, um, mungkin hanya akan ada obat demam untuk malam ini."
Di sana Dave pun tertegun. Aku kesal sekali dengan dokter ini. Tak sopan sama sekali! Kuambil tasku dan pergi meninggalkan ruangan dengan tanpa segan. Kubiarkan Dave di dalam sana sementara aku melenggang lebih dulu ke dalam mobil.
Tak lama kemudian Dave menyusul dan membawa obat-obat itu. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Aku mau pulang sekarang."
"Oke, kau bisa tenangkan dirimu."
Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan. Anehnya aku membiarkan satu tangan Dave memegangi tanganku malam itu. Iya, dia memang mengemudi, tapi fokusnya cukup kuat untuk berbagi dengan tanganku. Tanpa sadar aku tertidur, dan terbangun saat mobil sudah berhenti di depan apartemenku. Dave masih di sana.
"Bella," katanya, "terimakasih untuk malam ini, aku sangat menghargai itu."
Aku mengangguk, "Untuk teman."
Dia mengerjap, "Apa saja, terimakasih."
Aku mengagguk. Ketika hendak keluar setelah pintu di sebelahku terbuka tiba-tiba Dave menahanku dengan memegangi satu tanganku yang lain. Lalu dia mencondongkan tubuhnya untuk menutup pintu itu lagi.
"Dave, apalagi?" tanyaku lesu.
Dia memegangi kedua tanganku erat-erat.
"Kau tahu aku tidak bisa kehilanganmu," tatapan itu, "katakan, apa saja yang harus kulakukan agar bisa memenangkan hatimu, Sayang."
"Dave, aku-."
"Kau lihat tadi? Orang tuaku sangat menyukaimu. Aku bohong, tadi yang menelepon bukan orang dari kantor, tapi Mom yang ingin memastikan aku membawamu ke dokter."
"Dave, orang tuamu memang sangat baik, aku tahu itu. Tapi ini-."
"Dengarkan aku," katanya memotong. Entah kenapa jantungku berdegup cepat, tapi tak bisa kuartikan sama sekali. "Aku minta maaf."
Aku mengernyitkan dahi, "Untuk?"
Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Kau tahu itu apa? Bukan kotak cincin atau apa saja yang harusnya seseorang seperti dia lakukan untuk merebut hatiku dan melamarnya. Bukan benda-benda itu sama sekali. Melainkan, yang dia keluarkan dari saku adalah benda menjijikan yang tadi kutolak mentah-mentah saat dokter memintaku melakukannya.
"Aku mohon kau coba melakukannya sekali saja," dia berkata dengan hati-hati, tapi itu malah membuatku marah dan sangat kesal.
"Maksudmu apa? Kau gila, ha? Kau pikir aku perempuan seperti itu?" aku memarahinya.
"Dengarkan aku dulu. I-ini tentang malam itu. Dan, aku ingin kau melakuknnya kali ini. Aku memikirkan ini sepanjang minggu."
Aku tertegun. Malam? Malam itu? Malam apa?
Kilasan-kilasan tak jelas muncul di kepala. Ada ingatan yang tak pernah berani kusentuh. Jika maksud Dave adalah malam itu, malam di mana dia membuatku terkapar dengan minuman-minuman di sebuah bar, saat aku tak sadarkan diri, saat aku terbangun sudah di kamarku, dan sudah memakai piama, dan ... dan ... seketika dadaku sangat sakit. Mata Dave benar-benar mengatakan segalanya. Dengan ringan dan begitu cepat aku menamparnya. Aku tahu itu meninggalkan bekas memerah yang akan bertahan cukup lama di pipinya.
Dia tidak marah-marah atau berusaha mengelak. Dia hanya menunduk, lalu menatapku lagi. Seolah hatiku baru saja dialiri cairan yang mematikan. Rasanya sakit. Aku marah. Kenapa Dave-. Aku menamparnya sekali lagi, dan satu kali lagi, dan satu kali lagi, dan satu kali lagi. Bibirku bergetar, deraian mengalir cepat di pipiku.
Aku tidak ingin mengatakan apapun. Atau mendengar seseorang berusaha menjelaskan apapun. Sakit. Aku hanya merasakan kesakitan yang ... mungkin sesuatu yang tersakit yang pernah aku rasakan dan alami.
Kubuka pintu di sebelahku dan keluar. Dia berusaha mengejarku cepat-cepat. Dia berhasil mendapatkan pergelanganku sampai aku terhenti.
"Itu sebabnya aku mempertemukanmu dengan orang tuaku."
Aku berbalik, dan menamparnya sekali lagi.
Tak ingin mengucapkan satu kata pun untuknya. Dan kakiku gontai memasuki rumah. Kepalaku sakit. Suhuku meninggi. Aku tahu ini suhu yang menaik karena cinta Abimana dan bukan karena dosa Dave! Jika pun itu benar, aku tidak mungkin hamil! Tak ada kaitannya dengan periodeku yang sebulan ini berhenti. Aku pernah mengalami ini beberapa kali. Bahkan Tyra pernah satu bulan tidak menstruasi juga dan itu masih wajar. Beberapa hari lagi aku pasti akan memasuki periodeku. Ini sudah biasa. Demamku hanya reaksi terkejut dari jatuh cinta dengan Abim, bukan Dave, bukan Dave, bukan Dave, bukan bajingan itu. Dan mungkin perjalanan yang dingin malam itu dengan Abim pun salah satu yang menyebabkan demam ini kian tinggi.
***
Tepat dua minggu setelah kejadian malam itu, hari Jumat, dan ketika masjid komunitas dipadati oleh jamaah sholat Jumat. Di hadapan seluruh anggota komunitas, aku mengucapkan kalimat syahadat. Sebuah persaksianku bahwa Tiada Tuhan Yang Berhak Disembah Selain Allah, dan Muhammad Sholallahu 'Alaihi Wasalam adalah Utusan Allah.
Bahkan Abimana ada di sana. Aku melihatnya mengelap ekor matanya saat Asya dan yang lainnya memelukku di depan banyak orang. Mereka mengucapkan takbir hingga menggema. Bangunan itu seolah akan runtuh hanya dengan gema-gema takbir mereka.
Aku menangis. Tubuh ini terasa ringan. Dosa-dosaku bersih sampai detik ini. Aku memasuki sebuah fase baru dalam hidup. Menjadi murni seperti bayi, dan bening seperti mata air. Aku selembar kertas kosong yang siap ditorehkan tinta-tinta amalanku. Hanya persaksian itu dan sebuah kemantapan hati bahwa aku akan mengimani segalanya yang diajarkan dalam Islam. Hari itu aku resmi menjadi seorang muslimah.
Masih tak bisa berhenti menangis bahkan ketika aku di antarkan ke sebuah ruangan, dan mengganti pakaianku dengan busana muslim yang selama ini aku beli dan kusimpan diam-diam bersama Tyra. Satu setel busana muslimah yang begitu sederhana, berwarna putih mutiara mengkilap seperti sutera, dan untuk hari itu aku langsung memasang sebuah cadar dengan warna senada. Asya memasangkan celak di sekitar mataku. Dan Fatime mengukir hena di kedua tanganku. Aku tahu mereka berlebihan seolah aku adalah seorang pengantin. Tapi mereka berkata, bukanlah pengantin yang sedang kami dandani, melainkan surga sekarang kedatangan satu lagi bidadarinya. Lagi-lagi aku membuat anak sungai di pipiku.
Ada tiga mualaf yang hari ini bersyahadat. Dua di antaranya adalah laki-laki. Dan mereka berdua sedang mengikuti kajian di sana. Banyak sekali jamaah yang berurai air mata.
Jonathan dan Tyra ada di luar menungguiku cukup lama. Aku memeluk Tyra, dia memuji kecantikanku, memberi dukungan yang mendalam. Sedangkan Nathan tak bisa melakukan apapun selain, ya, mengatakan hal-hal baik yang sudah selayaknya dia katakan padaku.
Allah memang menjanjikan banyak pahala bagi siapapun yang mengimani-Nya. Tapi aku tak pernah menyangka balasan itu akan sedrastis ini.
Malamnya, saat aku selesai menunaikan sholat isya pertamaku, sebuah email masuk, dan itu dari Abimana.
Assalamualaykum, warahmatullahi, wabarakatuh.
Alhamdulillah.
Aku bersyukur surga kedatangan satu lagi bidadarinya. Aku tidak tahu, tapi semoga kau adalah salah satu yang terindah di antara mereka.
Hatiku bahagia. Luluh. Tidak berhenti mengucapkan kalimat syukur dan takbir sejak kau resmi menjadi muslimah. Kau tidak salah memilih. Dan tak ada yang memaksamu untuk melakukannya. Aku sangat mengapresiasi ini, Bella.
Kau tahu? Jika aku dihadapkan dengan air terjun yang berhulu dari surga, dan aku harus memilih antara ember yang sudah hampir penuh atau ember yang masih kosong untuk menampung air itu. Aku akan memilih ember yang masih kosong. Karena aku ingin menikmati betapa indahnya setiap tetes air itu jatuh dan mengisi ember itu dari awal. Dan untuk permisalanku yang payah ini, aku hanya ingin mengatakan ... maukah kau mengisi ember kosongmu itu bersamaku? Aku harap ada kesempatan buatku untuk ikut mengisi kekosongan itu. Kita akan meneguk airnya bersama. Kita saja, dan mungkin beberapa bocah kecil yang akan hidup di antara kita.
Aku ingin menikahimu, Inara Zahratusy-Syita.
...
Aku ingin menangis membaca pesan itu. Atau, ya, harusnya aku mati. Tapi tidak, aku tidak akan mati sebelum menjadi tua bersama laki-laki itu. Dan Abimana melamarku dengan nama mualafku sekarang. Habib yang menamaiku Inara Zahratus-Syita, yang artinya Sinar terang yang menerpa bunga musim dingin. Sinar terang itu adalah islam, dan bunga musim dingin itu adalah hati yang tercairkan dari kebekuan. Nama yang bagus.
Apa aku menerimanya? Kau tak perlu bertanya. Ini hanya antara kami, aku dan Abimana.
Dan selanjutnya adalah, kami merencanakan pertemuan kepada keluarga kami masing-masing.
...
Ada satu hal dari semua ini yang sudah jauh hari kupersiapkan. Aku sudah tahu ini akan terjadi atau setidaknya meskipun Matt berjanji akan memperjuangkanku sekeras mungkin agar tidak kehilangan pekerjaanku, itu tetap tidak bisa dihindarkan. Aku dipecat dengan terhormat. Dan yang memecatku bukanlah Matt atau pun Dave, tapi seseorang yang memiliki kewenangan lebih tinggi dari mereka.
Apa alasannya? Aku berjilbab sekarang, meski aku tidak melanjutkan cadarku. Mereka memberiku satu pilihan sulit; tetap memegang posisi itu dan aku harus melepas jilbabku dan kembali memakai pakaian seperti biasanya. Atau, ya, kau bisa menebaknya.
Lalu apa pilihanku?
Aku memilih mengemas semua barang-barangku di kantor. Kumasukkan ke dalam peti kemas sebanyak dua kotak. Dan Matt yang mengantarku pulang. Dia menyesal tidak bisa membantuku, karena dia pernah berjanji. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya. Hal yang seperti ini pernah terjadi di kantorku, kau tahu. Dan aku pun tahu ini akan menimpaku juga.
Abimana sudah bekerja di tempat itu, tapi bidang kerja kami jauh berbeda, makanya dia tidak tahu apapun tentang pemecatanku. Aku tidak ingin dia tahu. Setidaknya bukan saat ini aku akan memberitahunya.
Namun, apa yang kita inginkan kadang memang sudah ada di depan mata. Tetapi apakah kita bisa meraih dan memilikinya itu beda lagi penjelasannya.
Aku mulai ketakutan ketika sampai hari ini periode menstruasiku belum juga datang. Aku meminta Tyra membelikanku benda menjijikan itu. Aku bahkan sudah menangis di kamar mandi sebelum aku menampung urinku sendiri. Aku ketakutan, aku marah, aku tidak tahu harus berbuat apa jika dua garis itu benar-benar ada. Aku ingin membunuh Dave. Aku malu dengan syahadatku yang bahkan belum genap satu minggu.
Dan yang kutakutkan terjadi, dua garis itu muncul. Tyra merengkuhku yang menangis ketakutan. Tentu dia seketika menduga Davelah pelakunya. Tapi bagaimana bisa? Aku bahkan tidak tahu bagaimana persisnya Dave melakukan itu.
Rencana pembunuhan Dave mungkin bisa saja dengan mudah aku atur. Tapi bagaimana dengan Abimana? Dia bahkan sudah mengatur kedatangan Kakak laki-lakinya ke sini. Dan aku sudah memesan tiket pesawat untuk dua minggu kedepan untuk menemui orang tuaku. Aku menjadi seperti gila, aku tak layak membunuh siapapun kecuali diriku sendiri.
Kenapa gerbang syahadat itu malah membawaku pada cobaan seberat ini? Apakah ini adalah hukuman lain untuk dosa hidupku sebelum ini? atau apa? Aku sungguh ketakutan. Tetapi saat aku bertanya dan bertanya pada diriku sendiri, Allah menjawab itu dalam ayat-Nya, 'Aku mencintaimu,'.
Aku tidak mengerti. Aku ingin ada seseorang yang menerangkan arti cinta yang Allah berikan dalam wujud percobaan seperti ini. Percobaan? Apa ini bukan hukuman? Lalu siapa yang harus menjelaskannya? Abimana? Tidak.
Apakah tidak ada kisah cinta yang sesungguhnya antara Inara Zahratusy-Syita dengan Abimana Ilyas? Bahkan kedua nama milikku itu tidak berhak dicintai olehnya?
Aku terpuruk di dalam kamar. Pekerjaanku hilang. Keluargaku tak ada. Dan apa aku akan kehilangan Abimana juga? Ya Allah, aku tidak ingin menyakiti hati laki-laki itu.
***
Silakan berkomentar dan jangan lupa kasih bintang.
☺
Mohon untuk kencangkan sabuk pengaman. Mungkin bab ini hanya bisa dipahami dengan baik oleh mereka yang sudah membaca IMD versi buku.
Buat yang kesulitan gabung grup pangkalan pembaca IMD-TSK silakan hubungi nomor ini via WhatsApp.
089516802345
Chat Only
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top