BAB 5: Tumbuh Dan Mengakar
TASBIH SANG KIAI
Written By: Sahlil Ge
BAB 5: Tumbuh Dan Mengakar
Diunggah pada: 17/06/2018
Revisi: --/--/----
***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
{Bella}
Seolah tadi pagi saat aku dan Abimana berangkat ke kantor tidak pernah ada obrolan yang membuat hatiku hangat. Ketika berkendara menuju komunitas pun Abimana tidak memberi tanda ketertarikan untuk membahasnya lebih jauh. Yang kami bahas justru interviewnya siang itu. Dia menanyakan apa saja posisi yang kemungkinan didapatkan olehnya, sebab Matt tidak menyebutkan secara rinci. Aku pun tak tahu, itu wewenang Matt. Tapi aku tetap memberinya penjelasan singkat mengenai budaya kerja di kantor (kita) nantinya.
Selanjutnya, hampir selama belasan menit dia membicarakan sesuatu secara panjang lebar. Aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan. Hanya memperhatikan bibirnya yang bergerak mengatakan apa saja. Mungkin karena pikiranku sedang berkeliaran di tempat lain, atau aku yang merasa bukan di dalam mobil bersamanya, tetapi sesuatu seperti ruang hati yang telah terbuka untukku. Dia sangat santai dan kuharap akan terbiasa tetap seperti itu.
Alih-alih, aku malah sibuk memikirkan perpisahan kita beberapa menit berikutnya saat dia turun nanti dan aku harus kembali kerja. Ya meski kita akan bertemu nanti sore, aku ingin menemui Nathan.
Semua orang jika menilai kami pasti tidak akan pernah percaya pada gagasan sosok kolam yang tenang seperti Abimana dan gejolak ombak seperti Bella bisa bersama, atau malah mungkin tak ada yang sudi melihat kami menjadi dekat. Tapi Tuhan memiliki rencana yang berbeda untukku dan untuk kita berdua. Apa aku tadi menyebut 'Tuhan'? Iya, kekuatan besar itu yang kucurigai pertama kali untuk urusan ini.
Cara matanya menyembunyikan miliaran hal rumit itu sangat menarik. Dia memiliki salah satu senyum yang begitu sangat laki-laki dan dewasa, hingga akhirnya aku harus mengakui bahwa itu adalah salah satu hal paling mengasyikkan yang pernah kuletakkan di mataku. Orang ini mencentang semua itu, yang ajaibnya, saat ini sedang menyetir mobil untuk berdua.
Mobil berhenti kemudian. Dia keluar dari pintu dan aku bergeser menggantikannya. Kubuka kaca jendela, dan pura-pura fokus dengan apapun yang dia katakan.
"Kembalilah ke tempat kerja, tidak perlu menjemputku lagi untuk nanti. Aku bisa naik taksi untuk membiasakan diri. Ada rapat dengan Habib dan ustaz lainnya untuk membahas semacam kurikulum penting. Dan pastinya aku tidak tahu akan selesai pukul berapa," dia menembak dadaku dengan senyumnya satu kali lagi. Benar-benar senyum yang tak nakal. Tapi anehnya, aku merasa tergoda untuk terbakar dan meleleh.
"Oke. Tapi aku perlu tahu saat kau sudah selesai dengan urusanmu," kataku dengan suara sember. Ouch, menahan perasaan bisa menghancurkan pita suara.
"Akan aku kabari," ada jeda di sana sebelum aku mengangguk. Hanya beberapa detik saja sebelum dia pergi, kami saling tersenyum dan melihat ke dalam mata masing-masing hingga tak ada kalimat lagi yang dibutuhkan untuk mengatakan sisanya. Dan saat itulah, aku tahu dia-lah dia, aku tahu aku akan jatuh cinta padanya jutaan kali setiap hari, dan aku menyadarinya dengan jelas bahwa aku ingin jadi miliknya selamanya.
Ah, rasanya aku ingin keluar dari mobil untuk memeluk dan menghentikannya, tapi aku bahkan tak sanggup mengucapkan satu kata pun sebagai salam sampai jumpai. Mungkin karena tatapan itu seperti sebuah jabatan tangan versi kami.
Kenapa laki-laki ini sungguh berbeda?
Dari semua letupan itu, hasilnya aku menancap gas dengan semangat yang melambung. Kuraih ponsel untuk menelepon Tyra.
"Tyraaaaaaaa!" jeritku.
Dia pasti menjauhkan ponsel dari telinganya. "What the h* are you doing?"
"Kau tidak akan percaya!"
"Oke, oke, apa yang sudah diperbuat laki-laki itu padamu? Dia menciummu?"
"No! ... tapi semoga."
"Lalu apa?"
"Dia menyukaiku, OMG!"
"Dia mengatakannya?"
"Iya! Aku ingin menangiiiis."
"Astaga, apa jadinya kalau dia melamarmu."
"Siapkan pemakamanku kalau begitu. Aku pasti sekarat. Aaaa, ya ampuuuun. He drove me twice today!"
"Kau tidak boleh mati! Itu penyiksaan kalau mempelai pria kehilangan tarianmu di malam pertamanya."
"Oh, please, jangan kausebut-sebut soal malam pertama, bulan madu, atau ... aaaaa, aku sangat mencintai orang itu!!!"
"Sekarang kau di mana?"
"I'm driving."
"Kau sedang menyetir? Kau gila?"
"Tidak gila, tapi aku sedang jatuh cinta."
"Ya, aku tahu itu gejala ke arah sana."
"Omagash, Omagash, Omagash. Dia tadi menatap mataku! Deep, deep, and very very deep!"
Tyra mendengus, "jadi kau meneleponku hanya untuk ini?"
"Iya."
"Ya Tuhan."
"Oh, aku lupa sesuatu. Temani aku belanja baju seperti itu lagi."
"Kapan?"
"Kapan saja kau punya waktu luang. Malam ini?"
"Half nine, PM."
"Okay."
"Kau tidak berencana membeli kain yang disebut burqa, kan?"
"Tidak. Lagi pula di mana belinya pun aku tidak tahu. Aku kenal dengan seseorang, dan sudah kupesan lima setel. Tinggal kuambil saja."
"Baiklah. Kapan rencana kau akan resmi masuk Islam?"
Pertanyaan itu, "Kurasa bulan depan, karena ada beberapa pelajaran yang belum aku pahami. Kau tahu sebenarnya aku bisa masuk Islam saat ini juga, tapi aku tidak ingin terlalu kosong ketika nanti."
"Apapun, itu keputusanmu. Aku hanya mendukung. Lusa aku ada jadwal di gereja. Tn. Baldwin memintaku untuk ikut berperan di acara sosial. Jadi mungkin kalau kau perlu ditemani olehku ke mana saja, aku tak bisa."
"Alright. Itu bagus untukmu. Setelah sekian lama akhirnya kau kembali ke gereja juga. Aku senang, itu baik untukmu. Apalagi aksi sosial."
"Mhmm."
"Aku akan kembali bekerja. Kita terhubung lagi nanti sore."
"Bye."
Aku meraih kaca spion di atas kepalaku, dan pipiku masih matang sempurna. Uh, bagaimana ini bisa bertahan begitu lama?
Sesampai di kantor Dave sedang menunggu di dekat mejaku.
"Kau dari mana?" dia bertanya.
"Mengantar seseorang. Kalau kau tak keberatan, aku punya setumpuk urusan yang harus selesai sebelum aku pulang."
"Setumpuk urusan dan kau malah keluar saat jam kerja?"
"Ayolah, Dave. Aku yang memegang bidangku dan segalanya sangat terkendali."
Dia seperti sedang menahan sesuatu, "Apa yang seperti ini akan terjadi lagi lain kali?"
"Apa masalahnya?"
"Kau bertanya apa masalahnya? Ini masalah bagiku."
"Ya ampun, Dave. Aku punya banyak orang di sini. Mereka profesional, tahu apa yang harus dilakukannya bahkan ketika tanpa aku. Tadi aku hanya pergi selama setengah jam, itu pun saat sedang tak ada sesuatu yang aku sibukkan. Kau lihat tumpukan itu? Folder untuk siaran lusa pun sudah selesai. Sekarang yang akan kugarap hanya file bidang untuk laporan akhir bulan. Bahkan kalau mau, aku bisa membawanya ke rumah dan meletakkannya di mejamu pagi buta."
"Hey, calm down."
"Look what you made me do," aku mengibaskan tangan lalu beranjak duduk, menyolokkan flashdisk dan membuka email.
"Aku hanya khawatir padamu."
"Oh, trims."
Dave mendesah, seperti menyerah pada sikapku, tapi terlihat tak akan menghentikannya.
"Temanmu potensial," katanya kemudian.
Itu baru topik pembicaraan, "Apa kubilang. Dia bukan orang sembarangan."
"Yeah."
"Kau ikut menyeleksinya?"
"Tahap akhir."
"Bagus."
"Hanya mengajukan satu pertanyaan penting."
"Ya, itu yang harusnya dilakukan seorang bos."
"Aku bertanya apa arti dirimu baginya."
Seketika aku menoleh. Dave menarik sebuah kursi dan duduk mendekatiku. "Ya ampun, Dave, kau pasti bercanda," meski aku penasaran apa jawabannya.
"Aku serius. Karena aku tidak perlu pertanyaan lain untuk menerimanya kerja di sini. Matt terlihat menyukai semua jawaban-jawabannya."
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Apa yang dia jawab?"
"Kau mau tahu?"
"Ya, itu ada kaitannya tentangku."
"Teman. Dia bilang, kau hanya teman."
Aku mengangkat alis, abai. Mana mungkin Abimana mengumumkan perasaannya pada orang lain secara terbuka. Apalagi di tempat kerja. Oh, jantungku.
"Apa pentingnya pertanyaan itu dan jawabannya bagimu?"
"Sangat penting."
Dia mengambil tangan kiriku. Mengusapnya. Tiba-tiba sikapnya menjadi sangat lembut.
"Orang tuaku sedang ada di sini. Mereka terbang dari Boston semalam. Dan kurasa ini waktu yang tepat untuk mengenalkan seseorang."
Dia menyelam ke dalam mataku.
"Lalu?" tanyaku hati-hati.
"Aku harap kau bisa meluangkan waktu."
"Apa?!" Aku tidak tahu jalan pikirnya. Apa kurang jelas aku menolaknya berkali-kali? Dan bagaimana bisa dia mengatakan hal semacam itu saat semua yang kulakukan sudah sangat jelas? "Dave, harus seperti apalagi aku menjelaskannya padamu?" kataku pelan.
"No, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Meski ini memang masih dalam usahaku untuk mendapat kepercayaanmu. Aku mohon temuilah mereka. Sebelum mereka nekat mengenalkanku dengan jalang."
Aku tak tulus tertawa, "Jalang? Aku rasa itu yang kau sukai."
"Ayolah, Belle."
"Hanya bertemu."
"Ya. Mungkin dengan makan malam berempat."
"Makan malam?"
"Ini acara dengan orang tuaku, kau tahu."
"Kau tidak sedang berencana akan melamar atau semacamnya, kan?" Ya ampun.
Dia tersenyum, "Belum."
"Bukan belum, tapi jangan pernah."
Dia tak menyerah, "jadi bagaimana?"
"Asal kau tidak akan melakukan hal yang membuatku marah dan ini hanya ramah-tamah dengan orang tua temanku saja. Oke?"
Dia mengangguk dengan wajah puas, "Kau yang terbaik. Malam ini?"
"Aku tidak bisa malam ini atau pun besok."
"Lusa?"
"Mmm, aku tidak tahu."
"Oke, lusa. Aku akan menjemputmu pukul tujuh malam."
"Kau jangan macam-macam."
"Ambil nyawaku sebagai jaminan."
"Dengan senang hati, kalau aku mampu."
Bibirnya tersenyum sekali lagi sebelum pergi.
Aku hanya bisa merambah pekerjaan sampai pukul empat sore, dan itu baru setengahnya saja.
Tyra bilang dia sudah ada di bawah ketika akhirnya jam kerja selesai. Sisa pekerjaan yang tertunda akan kugarap di rumah saja.
Rambut afronya yang mengembang tertiup angin, persis seperti pohon musim semi di Central Park. Dia sedang mengobrol genit dengan seseorang yang kalau tidak salah itu orang keamanan di kantor.
"Hey, sudahlah," kataku bersama ketukan hak mendekatinya.
Tyra melepaskan kerah pria itu dengan sedikit hempasan dan kedipan mata. "Sampai jumpa, seksi," kata pria itu pergi membalas kedipan Tyra. Dua orang yang sama-sama gila.
"Kau sangat menjijikan," kataku dengan gerutu.
"Bukankah dia lucu?"
"Ya, aku dengar orang-orang mengatakan itu pada monyet juga."
"Dia akan berlutut padaku malam ini," matanya berandai-andai.
"Tidak malam ini, dan tidak akan pernah. Kau harus menghentikan sikapmu yang seperti itu!"
"Kenapa? Aku selalu melakukannya dengan aman."
"Aman hanya keberuntungan yang berkala. Ugh!"
"Aku sudah siap punya bayi."
"Dan kau harus pastikan siapa ayahnya."
"Entahlah. Itu terlalu random."
"Ya ampun."
Kami masuk ke mobil kemudian.
"Apa rencanamu sore ini?" tanya Tyra.
"Kita berjanji akan bertemu setengah sembilan seperti katamu. Dan sekarang lihatlah, ini masih siang. Oh, menjelang senja."
"Aku tidak menduga akan sebosan ini. Ada dua orang yang sedang magang di hotel, itu bagus karena pekerjaanku bisa dialihkan."
"Oke, kalau begitu belanja adalah solusi terbaik untuk wanita-wanita stres."
"Kulkasku sudah kosong."
"Kulkasmu memang selalu kosong setiap saat. Kau tidak perempuan sama sekali."
"Karena aku curiga akan ada orang yang mengetuk pintu malam ini," dia mengedipkan sebelah matanya, "ayo kita berbelanja bahan-bahan."
"Kau tidak akan melanjutkan dengan laki-laki itu atau siapapun. Kecuali kau akan mengambil hubungan serius."
"Diamlah, Mom."
Aku menyerah. Tyra adalah Tyra, dengan atau tanpa interfensiku.
Ketika kami sudah menjejali bagasi dengan persediaan yang sangat banyak, giliran tenaga kami yang terkuras karena ke sana ke mari mendorong troli. Tyra memesan dua ember es krim di Starbuck, rasa baru yang rupanya belum pernah kami berdua nikmati sama sekali.
"Keputusan terbaik," kataku saat dua pesanan kami menghampiri meja.
"Es krim adalah solusi kedua untuk wanita-wanita stres."
"Kau seperti telah melakukan riset untuk ini."
"Sedikit."
Sesaat kemudian kami sibuk menikmati es krim. Meski waktunya kurang tepat. Hari sudah menggelap dan udara di luar perlahan tak lagi hangat. Tapi rasa lelah nampaknya tak bisa berkompromi dengan waktu.
Tyra mungkin gila dengan gaya hidupnya yang bebas. Tapi terlepas dari itu, dia sangat setia untuk dijadikan sebagai seorang sahabat. Dia tak akan menyerah padaku dalam situasi apapun. Dia tidak peduli dengan marahku atau keputusanku sejauh ini. Untuk itulah rasanya aku terlalu nyaman menuangkan semua rencana hidupku untuk dibahas bersamanya bahkan di atas meja Starbuck sekalipun.
"Aku memikirkan ini dari tadi," kataku.
"Biar kutebak, pasti tentang orang Asia itu?"
"Bagaimana menurutmu kalau aku menaruh mobil di rumah itu? Maksudku Nathan juga membutuhkannya, mereka bisa menggunakan mobil itu bergantian."
"Hanya karena Abimana tidak mau satu mobil denganmu lagi untuk berangkat kerja atau ke mana saja? Untuk sekian lama aku setuju, tapi ini keputusanmu yang sedikit menggangguku."
"Kau keberatan?"
"Kurasa."
"Aku ingin melakukan sesuatu, Tyra."
"Kau sudah melakukan banyak hal. Membelikannya tiket pesawat, membiarkannya menginap secara cuma-cuma, memberi celah untuk kerja, dan sekarang, mobil?"
"Tapi ini untuk Nathan juga. Aku pernah menjanjikannya."
"Aku takut Abimana menjadi sangat manja dan memanfaatkanmu melalui pesonanya."
"Jangan menilai kalau kau belum mengenal dia dengan baik. Dia bukan tipikal seperti itu."
Tyra tidak menjawab.
"Aku peduli, oke? Kalau kau akan bilang aku sudah dibutakan oleh cinta, ya, memang. Dan aku tidak ingin ada seorang pun yang membiarkanku melihat dari kebutaan ini. Aku tidak bisa melakukan banyak kontak dengannya kalau aku sudah menjadi muslim nantinya. Karena itulah ini menjadi momen terbaikku jika ingin melakukan gerakan. Dan aku tak punya banyak gerakan. Abimana bukan tipikal orang yang akan tergoda oleh materi apapun yang kumiliki, aku tahu. Dan seandainya aku membiarkannya melihat seutuh tubuhku, atau membebaskan dia menyentuh pantatku pun, dia tidak akan pernah melakukannya. Itu yang membuatku tak ingin melepaskannya. Dia menjagaku, kehormatanku, bahkan ketika aku sendiri begitu lemah menjaganya. Hanya satu kali aku berhasil mengecup pipinya ketika di bandara, itu karena aku takut dan benar-benar ketakutan tidak akan bisa melihatnya lagi. Dan ketika akhirnya secara ajaib dia kembali, dengan aku alasannya ... aku ingin melakukan sesuatu yang lebih."
Selesai aku berkata panjang, tangan Tyra merayap di meja dan mengelus lenganku.
"Aku tak akan menghalangi lagi jika itu bisa menyenangkanmu. Tapi kalau tiba-tiba dia melakukan hal tak senonoh padamu, katakan padaku. Aku akan menendang miliknya sampai tamat."
"Katakan kau tak akan pernah melakuka itu."
Dia tertawa lebar.
"Bella, Bella. Kau pun sudah sangat rumit di mataku, dan dipertemukan dengan laki-laki rumit seperti dia."
"Dia tidak rumit, kau hanya perlu menyentuh hatinya saja."
"Oke, kalau kau ingin menaruh mobil untuk mereka berdua, memangnya kau punya mobil lain selain yang kau pakai sehari-hari? Ha?"
"Kudengar Matt akan menjual mustang miliknya."
"Kukira kau akan membeli SUV."
"Aku tahu kau akan lebih menolak kalau aku membelikannya SUV atau yang setingkat itu."
"Kapan kau berencana membawa mobil itu?"
"Malam ini."
"Apa?!"
Pulangnya Tyra mengemudi mobilku sampai ke tempat Matt. Sedikit obrolan dan Matt langsung mengerti. Bahkan dia dengan ringan hati memperbolehkan aku membawa mustangnya terlebih dulu sementara pembayarannya bisa aku urus besok.
Mustang memang mobil klasik, tapi yang kudapat dari Matt fisiknya masih bagus dan sangat layak. Ini yang Nathan inginkan, sebuah mobil tua yang melintas di antara rapatnya mobil mewah di jalanan New York.
Aku menyetir mustang itu dan Tyra mengurus mobilku. Setibanya di rumah Nathan sangat bahagia dan langsung menebak apa yang kubawakan malam ini ada kaitannya dengan keberadaan Abimana di sini. Dia menata belanjaan di kulkas karena aku juga sengaja membeli beberapa tambahan persediaan untuk mereka berdua.
"Karena kalian ada di sini, kalian harus mencoba masakanku. Yang lebih sepesial lagi, ini resep dari Abimana."
Jangan ditanya aku tergoda atau tidak, tentu ya!
"Tadi dia mengirim pesan padaku, katanya dia sedang dalam perjalanan taksi menuju ke sini."
"Kapan dia mengirim pesan?"
"Beberapa menit yang lalu, kurasa sebentar lagi sampai."
Deru mesin taksi terdengar tak lama kemudian, aku bergegas ke luar dan memberi kode pada Tyra untuk ikut juga. Karena kalau kami lebih lama lagi di sana, Abimana pasti akan punya cara lain untuk menolak mobil itu. Dan akhirnya aku berhasil mengihindarkan penolakan itu dengan baik.
***
Malam itu adalah kali pertama yang rasanya seperti aku dan Abimana menjadi lebih dekat. Dia tak marah atau protes saat aku menyisipkan emoji hati yang berdegup pada email yang kukirimkan. Bahkan ketika akhirnya kami berhasil membuat candaan pada setiap kiriman masing-masing.
Tapi momen menyenangkan itu terganggu saat Abimana bilang bahwa Maja sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Ini yang jadi pertanyaanku beberapa hari ini, kenapa anak itu tidak sampai dengan cepat?
Dan ternyata masalahnya adalah, dia sedang dihadapkan dengan situasi genting dengan pacarnya.
Maja pernah bilang kalau ada seorang gadis yang dia sukai dan tinggal di New York. Lalu entah bagaimana ceritanya dia kehilangan tas saat di bandara. Dan sekarang dia menginap di salah satu kenalannya tak jauh dari bandara. Dia tidak bisa melakukan banyak hal. Tapi yang membuat Abimana terlihat sangat marah adalah ketika Maja baru menceritakan keseluruhan ceritanya keesokan harinya persis ketika tengah malam.
Nathan sedang membawa mobil keluar untuk acara sebuah acara dengan teman-temannya. Aku harap dia punya pacar. Sementara yang bisa diandalkan saat itu memang hanya aku dan mobilku.
Sepanjang perjalanan ke stasiun Grand Central, tempat di mana Maja mendesak agar ditemui di sana, ekspresi wajah Abimana terlihat sangat marah. Aku bahkan nyaris tak berani menanyakan apapun.
"Dia memang selalu merepotkan seperti ini," kata Abimana kesal.
"Kau baik-baik saja?"
Dia mengiyakan dengan kerjapan mata.
"Kita akan tiba di sana sebentar lagi. Aku tidak keberatan semalam ini harus keluar mengurusi sesuatu," kataku berusaha membuat dia rileks. "kau mau menceritakan masalah yang sedang terjadi?"
Dia tidak sedang dalam konsentrasi mendengar suaraku. Wajahnya kacau dan cukup menyedihkan. Seperti ada masalah berat yang menimpanya sejak Maja menginformasikan.
Setibanya di Grand Central, aku kerepotan megikuti langkah Abimana. Dia terlihat panik mencari arah.
"Kau mau ke mana? Katakan padaku, aku cukup hafal tempat ini."
"Peron pemberangkatan, anak kurang ajar itu ada di sana."
Well, cara dia menyebut Maja menjelaskan seberapa serius masalahnya.
Kami tiba di peron kemudian, dan mendapati seorang Maja sedang duduk termenung di sebuah kursi. Tapi apa yang terjadi? Abimana segera menyomot kerah Maja. Aku tertegun. Terkejut melihat tindakan Abimana yang tiba-tiba ini. Saat kukira dia akan meninju, namun tangannya melepaskan perlahan. Setelah itu aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan dengan bahasa Indonesia. Tapi aku sangat yakin itu bukan sesuatu yang bagus.
Kemudian Abimana menoleh padaku.
"Aku tahu ini memalukan, tapi bisakah kau pinjamkan mobilmu untuk Maja? Dia perlu mengejar seseorang sampai pemberhentian kereta selanjutnya. Aku akan menjamin apapun yang terjadi pada mobilmu kalau Maja membuat kesalahan."
Itulah marahnya seorang sahabat, pasti berakhir dengan kepedulian, "Sure, ya, kau boleh memakainya, Maja. Aku dan Abimana bisa memesan taksi."
Setelah Abimana mengulurkan beberapa lembar uang pada Maja, aku menyerahkan kunci mobil dan dengan cepat Maja yang terlihat kacau berlari keluar. Setelah dia menghilang jauh, Abimana terduduk lesu di kursi. Aku mengambil posisi persis di sebelahnya.
"Maafkan aku, Bella," katanya.
"It's okay. Aku tidak masalah. Tapi sepertinya kau perlu menceritakan apa yang sedang terjadi di sini."
"Maja menghamili pacarnya. Dan perempuan itu akan pergi jauh, menggugurkan kandungannya, atau bunuh diri jika Maja tidak berhasil mencegahnya di pemberhentian selanjutnya. Perempuan itu menunggu lama di sini, tapi Maja tidak bisa bergerak cepat karena uangnya ada di dalam tas yang hilang. Akses kartu banknya juga sedang bermasalah, jadi, ya, dia mengacau."
"Apa?! Itu serius sekali masalahnya."
"Dan yang membuatku sangat marah, karena perempuan itu adalah mahasiswi Indonesia yang sedang belajar di NYU." Dia menoleh memandangku, "Aku berhutang banyak padamu bahkan sampai malam ini, Bella."
"Kau tak perlu mengatakan itu. Aku tahu ini bukan masalah yang kecil."
"Kau mengantuk?" pertanyaan itu terdengar sangat perhatian.
"Tadinya, tapi suasana Grand Central yang mulai sepi seperti ini, dan ketegangan yang menular darimu juga Maja menghilangkan kantuk itu."
"Kau mau pulang lebih cepat?"
"Bagaimana kau memutuskan saja."
Saat itulah aku bahagia sekali melihat sebuah senyum yang terbit di wajah risaunya.
Kami berjalan beriringan, sangat santai, dan jarak kami sangat dekat. Malam tak begeming dari geliat kotanya yang kian membuai. Padahal kami bisa saja menghentikan satu taksi begitu keluar dari Grand Central, tapi entah kenapa Abimana masih terus berjalan di sepanjang trotoar. Kalau boleh jujur, aku menyukai momen ini terlepas dari kekacauan sebelumnya. Meski suhu dingin yang ditiupkan angin pembuka musim semi begitu terasa dan memaksaku mengusap lengang.
"Kau kedinginan?" tanya Abimana.
"Dan kau tidak mungkin akan menyerahkan jaketmu, kan?"
Dia berdecap. Tanpa kuduga dia melepaskan jaketnya "Kau pikir laki-laki seperti apa aku ini, yang membiarkan seorang perempuan kedinginan sementara tubuhkan hangat," katanya begitu santai, "Pakai ini."
"Tidak, sementara kau yang akan kedinginan."
"Kau tidak mau memakai jaketku?"
"Kau akan kedinginan, oke?"
"Aku memaksa."
Tatapannya yang membayang di bawah malam tak bisa membuatku bertahan lebih lama lagi. Akhirnya aku menerima jaket itu dan menjadikannya jubah.
"Dadaku berkeringat, kalau saja Maja bisa lebih awal mengatakannya pasti tidak akan ada acara lari-lari seperti ini. Jadi aku sedang butuh udara dingin untuk meredakan gerah," katanya lagi.
Suasana canggung ini menikam jeda obrolan antara kami.
"Maja memang ceroboh dan bodoh, tapi terlepas dari itu kuakui dia keren mau bertanggungjawab. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama kalau orang yang kucintai mengambil keputusan seperti itu. Menghilang, kucari, dan akan kutanyai apa alsannya dia pergi."
Dia seperti sedang mengenang sesuatu.
"Lalu apa aku harus melakukan itu agar kau mengejarku?" kataku.
"Kau? Untuk apa?"
Aku menggeleng, kembali hening. Satu dua kendaraan yang melintas di sepanjang jalan cukup menjadi pemecah keheningan itu.
"Baik, aku tahu. Tapi kau tak perlu melakukan itu hanya agar mendapat perhatianku," katanya kemudian dengan sedikit seringai percaya diri.
"Kau tak pernah memberiku perhatian, kalau aku tidak salah mengingat," aku berusaha menangkap momen.
"Memberi perhatian pada orang yang disukai bukanlah tipikalku."
Jantungku mulai berdegup dengan tempo lain.
"Dan mengabaikannya adalah tipikalmu?"
"Tidak sepenuhnya mengabaikan," dia membuat jeda untuk kalimat berikutnya, "aku memikirkanmu," napasku seperti akan hilang, "tapi dengan caraku sendiri."
Aku kesusahan menelan liur untuk menanggapi ini, "Kenapa kau sangat yakin bahwa caramu sudah yang paling benar?"
"Bukan yang paling benar, tapi penggarisku yang Maha Benar atas segala Garis-Nya. Aku hanya menjaga diri dan menjagamu."
"Itu caramu menyukai seseorang? Wow, kasihan sekali perempuan yang kau sukai itu. Mendekam pada sepinya tanda tanya," aku membuat perumpamaan diriku.
"Tidak jika dia mengetahui maksudku," dan dia memahami.
"Sepertinya kau harus mengatakan maksudmu itu agar dia mengerti."
"Begitu?"
"Mhmm."
Abimana menghirup udara dalam-dalam, dan mengembuskannya melalui mulut dalam bentuk uap yang menggoda.
"Akan ada saatnya ketika aku melimpahkan segenap kasih sayang, cinta, dan pengorbananku untuknya."
"Terdengar keren. Omong-omong kapan waktu itu datang?"
"Jika perempuan itu sudah menjadi milikku seutuhnya."
Aku bisa mati di tengah jalan malam ini, "Kau berencana memilikinya?"
"Ya, jika dia mau dimiliki olehku."
Hentikan itu, atau aku benar-benar sekarat, "Sepertinya dia sangat mau."
"Mau saja itu tidak cukup."
"Maksudmu?"
"Dia harus mengenali keluargaku, dan sebaliknya, aku harus mengenal keluarganya."
"Itu hal yang mudah."
"Penerimaan kedua belah pihak keluarga adalah pertimbanganku selanjutnya. Jadi tidak hanya sekadar tahu, tapi perlu kesiapan besar untuk memahami bagaimana kami hidup, dan menerima satu sama lain."
"Kau tahu, aku pikir perempuan itu sangat mencintaimu dan bersedia melakukan apa saja."
"Jika semuanya sudah jelas dan tuntas, kelak. Aku siap menjadikannya istriku."
Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu percaya diri mengatakan semua ini. Apa karena keterpurukan Maja membuatnya terinspirasi? Atau karena malam ini sedang sangat sepi dan bagus-bagusnya?
"Bagaimana denganku?" aku harus lebih berani mengajukan diri.
"Aku harap kau menganggap perempuan yang sedang kita bicarakan tadi adalah dirimu."
"Itu yang kau mau?"
"Tidak lebih."
"Seberapa jauh kau berani mengatakan itu?"
"Aku tidak tahu, tapi ia tumbuh dan megakar di dalamku. Aku tidak bisa menyangkalnya lagi."
"Apa kau sudah mencapai tahap mencintaiku?"
"Jika itu yang kau mau."
"Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu."
Dia tersenyum sedikit menunduk, lalu meluruskan pandangannya ke jalan di depan "Iya. Tapi aku tak akan mengatakannya."
"Kuanggap kau tadi baru saja mengatakannya."
"Belle, bagaimana kau memulai perasaan itu?"
"Ketika aku mulai menyadari bahwa tak bisa menjangkaumu dengan jarak itu membuatku mati sedikit setiap saat. Ketika kau kembali ke negaramu kematianku seakan lebih cepat. Saat kau berbicara atau dekat dengan perempuan lain itu akan lebih cepat lagi. Dan setiap melihat atau mendengarmu sedang bersedih, atau kepayahan, nadi dan jantungku soalah tak ada pertanda lagi."
"Apa itu kata-kata William Shakespeare?"
"Orang itu tidak hidup di zamannya Abimana Ilyas dan Bella bertemu. Jadi kurasa ini bukan kata-kata siapapun kecuali punyaku."
"Kau merencanakan ini?"
"Tidak. Momen dan perasaan yang menciptakan semua susunannya."
"Lalu bagaimana kau memulainya?" giliranku yang bertanya.
"Aku ... seperti tanah kosong yang kau siram terus menerus. Tak pernah tahu ada yang tumbuh sebelum kau menyiramnya lagi dan menyentuh tunasnya."
"Bagaimana kalau aku mengharap untuk dimilikimu selamanya?"
Abimana berhenti berjalan seketika. Menunduk. Itu membuatku sedikit gemetar, takut dia akan marah karena pertanyaanku terlalu berlebihan. Lalu dia menghadapku di sebelahnya.
Aku, dengan napas yang begitu memburu menatap matanya yang begitu temaram. Bagian dada kemejanya masih terlihat basah oleh keringat. Seperti memang dia tipikal orang yang mudah berkeringat. Tapi tidak bau. Ekspresi wajahnya sulit untuk kuterjemahkan, serumit banyak hal yang disembunyikan kedua bola matanya yang menatapku tajam nan fokus.
"Aku sudah mencintaimu, Bella McMillian. Dan kau tahu apa yang didoakan seorang pencinta untuk kekasihnya? Semoga Tuhan mengizinkan untuk memilikinya selamanya."
***
Uuuuuuum.
What do you feel?
Link chatroom WA untuk pembaca IMD-TSK bisa kalian klik di bio Wattpad saya. Di grup itu kamu akan bertemu dengan pembaca lain dan mendapat informasi mengenai pembukuan IMD dan TSK.
Dan bagi yang belum kebagian stok IMD silakan pantengin grup itu untuk info cetak ulang. :)
Kalau kesulitan gabung, silakan hubungi 089516802345 WA/Chat Only.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top