BAB 4: Gerak Hati
TASBIH SANG KIAI
Written By: Sahlil Ge
BAB 4: Gerak Hati
Diunggah pada: 10/06/2018
Revisi: --/--/----
***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
{Abimana Ilyas}
Hati; Orang-orang biasa mengenalnya dengan qalbu, dalam bahasa arab disebut qalb, yang asalnya bermakna membalikkan. Itu sebabnya hati mudah berubah-ubah keputusannya. Jadi penamaan hati dengan qalb itu sesuai dengan sifatnya yang susah konsisten atau mudah bolak-balik. Dari sanalah Rasul Saw membekali sebuah doa, 'Yaa muqalibal qulub, tsabit qalbii 'ala diinik', yang maknanya 'Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamamu.'
Seperti pun hati saya, atau kita, yang selalu bergerak dari satu keputusan ke keputusan lainnya, dari satu urusan ke urusan lainnya, dan dari satu orang ke orang yang baru.
Lalu apa yang mampu mempengaruhi gerak hati? Apakah hanya satu faktor saja?
Saya pernah menghadiri sebuah kajian yang dibimbing oleh seorang Syekh terkemuka yang didatangkan dari Istanbul. Saat itu kalau tidak salah di awal bulan Ramadhan ketika saya meliput di Marakech. Beliau berkata bahwa gerak hati itu disebut dengan 'Khaathir'. Dan Khaathir atau gerak hati itu ada empat macam;
Beliau menyebutkan, yang pertama disebut Khaathiru-nafsii atau gerak hati yang dipengaruhi oleh nafsu atau diri sendiri. Ya, saya menyadari bahwa kebanyakan dari kita paling mudah dikendarai oleh nafsu. Kita nggak perlu jauh-jauh memaknai nafsu sebagai suatu istilah yang berkaitan dengan hasrat biologis, rasa ingin berhura-hura, nafsu makan, malas-malasan, dan sebagainya. Karena semua itu sudah terrangkum dalam satu kata, yaitu 'nafs' alias 'diri sendiri' alias 'kemauan diri', sebuah sifat dasar manusia yang tidak dimiliki binatang, sebab binatang hanya dibekali oleh insting. Binatang makan, berkembang biak, bernapas, dan mempertahankan diri itu bukan karena mereka memiliki nafsu, melainkan itu dipengaruhi oleh insting hewani mereka.
Misalnya ketika saya lebih memilih makanan karena rasanya yang enak dan tampilannya yang memikat, itu nafsu. Atau, seandainya saya hanya akan menilai perempuan dari seberapa bagus tubuhnya terlihat, misal, itu nafsu.
Yang kedua, beliau menyebutkan gerak hati setan atau Khaathiru-syaithani. Sebuah keputusan hati yang dipengaruhi oleh bisikan-bisikan setan, desas-desus yang setan tiupkan pada telinga kita. Contohnya apa? Ya ketika saya mengambil porsi berlebih dari makanan yang saya sukai itu. Sekalipun makanannya halal, namun akibat dari rasa tamak bujukan setan maka makanan itu tidak memberi kebaikan bagi diri saya. Atau, contoh lain seperti seorang laki-laki yang menikahi perempuan hanya agar bisa memuaskan hasrat biologis sebab keindahan perempuan itu. Atau ketika kita lebih memutuskan untuk menonton tivi lebih lama dan menunda waktu sholat.
Lain halnya dengan Khaathiru-malakii atau gerak hati malaikat. Segala keputusan hati yang mengarahkan pemiliknya pada perbuatan baik nan terpuji, itu berasal dari pengaruh para malaikat yang berada di sekeliling hati. Kalian tahu? Hati kita tidaklah mengambil keputusannya secara pribadi setiap saat. Dia dikelilingi oleh beberapa hal seperti nafsu, godaan setan, bisikan malaikat yang menyuruh kebaikan, dan sisanya yaitu apa yang kita sebut sebagai ilham atau petunjuk; datangnya dari gerak hati ketuhanan, itu Khaathir yang keempat.
Allah pada intinya membisiki kita dengan petunjuk-petunjuk. Termasuk bagaimana Dia mengarahkan hati kita untuk menentukan suatu pilihan. Salah satu yang menjadi arahannya saya pikir seperti ketika hati terpikat pada seseorang, dia yang ternyata adalah jodoh kita, pasti Allah akan memberi kemantapan hati kita untuk menumbuhkan rasa ingin memiliki secara tulus dan dengan niatan mencintai serta memiliki karena Allah.
Kau masih tidak memahami konsep mencintai karena Allah?
Saya sedikit memahami konsep tersebut.
Menikah adalah ibadah terlama, sejak antara dua orang manusia disahkan melalui akad pernikahan bahkan hingga setelah mati. Pernikahan juga merupakan suatu sunah rasul yang berlimpah pahala. Bayangkan saja! Selama dua orang masih terikat sebagai suami-istri, maka mereka masih menjalankan sebuah sunah. Ketika kamu berniat ingin memiliki seseorang untuk dijadikan pasangan sekaligus rekan beribadah seumur hidup, dengan rasa mencintai yang tulus dan harapan mardhatillah yang tinggi maka itu bisa disebut mencintai karena Allah. Lillahi ta'ala, ketika kau melakukan segala hal dengan landasan karena mengharap ridha Allah.
Apa kaitannya dengan Khaathir?
Entah sejak kapan pastinya, saya sudah merasakan Khaathir pertama saya pada Bella. Pergerakan hati yang bermula dari ketertarikan normal antara laki-laki dan perempuan. Lalu saya berusaha keras menutup Khaathir setan yang menggiring saya untuk berpuas diri pada jarak dekat kami. Melainkan saya membuka selebar mungkin pada para malaikat untuk terus berdengung di sekeliling hati saya. Zikir-zikir senantiasa saya coba hidupkan dalam hati. Itu akan membuat hati menjadi terang. Hasilnya malaikat mendekat dan setan tamat.
Sehingga perasaan itu akan menggiring agar saya memenuhi hak Bella, sebagai seorang muslim kepada dia yang ingin tahu. Toh apa yang Bella lakukan karena dia benar-benar memulai dari nol tanpa anutan.
Mungkin sampai saat ini khaathir itu masih bertahan pada level malakii. Bahwa hati saya tergerak ke arahnya, untuk berbuat baik.
"Bagaimana penilaianmu?" tanya Bella saat dia sudah duduk di sofa tamu, wajahnya terlihat dan cadarnya ditanggalkan.
"Ya, semua perempuan yang tidak memamerkan tubuhnya itu cantik," jawab saya singkat dari meja makan. Jadi kami tidak berada di ruangan yang sama.
"Jadi aku cantik?"
"Tergantung."
"Kenapa?"
"Kau tahu? Seandainya kau ini orang dari negaraku, lalu ada yang melihat kau memakai pakaian semenarik ini padahal biasanya tidak, pasti akan menuai pujian. Kemudian ketika tiba-tiba atau sebut saja dalam sekejap kau melepaskannya dan kembali berpakaian seterbuka seperti semula. Lihat saja."
"Apa yang terjadi?"
"Banyak yang akan mencibir."
"Mereka tidak open minded. Buktinya banyak muslimah yang masih tidak memakai penutup kepala. Kenapa jika ada satu orang saja yang buka-tutup begitu lantas mendapat cibiran? Kau benar, aku pernah membaca sebuah artikel mengenai ini. Tentang seorang selebriti yang mendapat banyak cemooh hanya karena dia melepas hijabnya. Why? Apa alasan mereka mencemooh begitu."
"No, Bella. Aku setuju soal tidak perlu mencemooh, tapi aku membantah soal tidak open minded. Pada dasarnya begini, seseorang cenderung bahagia ketika melihat orang lain berubah ke arah yang lebih baik. Makanya mereka memuji dan mendoakan agar tetap dijalan baik itu. Nah, di sanalah letak harapan. Banyak yang mengharapkan agar selebriti itu tetap berhijab. Dan ketika tiba-tiba melepaskannya, ya tentu banyak sekali harapan yang menetas jadi kekecewaan."
"Jadi banyak yang marah hanya karena harapan mereka berubah jadi kecewa?"
"Yap."
"Dan mereka mencemooh?"
"Mmm, ada banyak yang begitu. Mencemooh bukan perbuatan terpuji."
"Waw."
"Pelajaran buatmu, perempuan dalam Islam sangatlah berharga. Seperti permata bernilai yang patut dijaga."
"Dengan kain penutup seperti ini?"
"Yap, dan akhlak."
"Siapa yang mencetuskan?"
"Allah mengaturnya dalam Alquran. Dengan aurat yang tertutup maka ada banyak keburukan yang tercegah. Maksiat mata, dosa mengumbar, dan dosa syahwat, semuanya bisa dihindari."
"Jadi aku harus menutup aurat?"
Saya mengangkat bahu, "Bukan hanya itu. Setidaknya diri yang tertutup juga semakin mempercantik akhlaknya. Tidak seterbuka biasanya," di sini saya menekankan dengan sedikit sindiran, "menjaga jarak dengan yang bukan makhrom. Menjaga mulut dari kejahatan lisan dan apa saja yang dimakan. Menundukkan pandang pada apa yang bisa mengundang syahwat. Tapi kembali lagi, yang terpenting adalah kelembutan akhlak. Bagaimana kau membawa dirimu pada orang lain."
Lengang mengambil alih. Sementara itu saya menyibukkan diri mempersiapkan bumbu untuk nasi goreng. Semalam Nathan sudah menanak beras karena ingin dibuatkan nasi goreng lagi oleh saya.
"Nath! Turunlah. Kau sudah siap dengan pelatihan pertamamu?" saya berseru berharap Nathan mendengar dari atas.
Lama tak ada jawaban saya lantas berjalan menuju tangga. Saat saya hendak memijak di anak tangga pertama tiba-tiba Bella berkata, "Jadi perempuan tipikalmu itu yang seperti Asya?" seketika saya terhenti. Membalik badan lalu menghadap padanya.
Saat itulah saya sengaja menatap padanya, melempar senyum yang jujur, dan berkata dengan mantap, "Ya. Tipikal perempuan seperti dia."
Ekspresi wajahnya langsung luntur. Saya tidak berniat membuatnya terluka. Hanya ingin membuktikan apa kata Nathan soal Bella yang akan melakukan apa saja untuk membuat orang lain percaya pada apa yang ingin dia buktikan. Kalau dia ingin menjadi muslim, maka saya harus menunjukkan apa yang sebenarnya digariskan oleh agama. Lain lagi kalau dia tidak serius, pasti akan sulit melepas budaya kebarat-baratan dan segala 'keterbukaannya.'
"Jadi Asya punya kesempatan untuk menarik hatimu?"
Alis saya menyudut, "Aku tak tahu apa alasan kenapa tiba-tiba kau mengaitkan Asya di sini. Belle, aku ini laki-laki yang terbuka pada siapa saja. Tidak ada batasan yang menghalangi orang lain untuk menjalin silaturahmi. Tentang hati, aku pikir semua perempuan memilik kesempatan yang sama untuk tinggal di hatiku, selama dia mencentang kriteria yang aku inginkan. Kau tahu, setiap orang punya impiannya sendiri."
Ekspresi Bella mendadak gamang, "D-dan, dan termasuk aku juga punya kesempatan?"
Saya diam sejenak, "Ya, tentu kau termasuk."
Saat itu juga saya melihat bara di pipinya. Lalu saya naik ke atas untuk memanggil Nathan. Meninggalkan Bella dengan letupan pesan secara tersirat, berharap dia mengerti kalau saya sedang memberinya kesempatan.
***
Di rumah itu ada satu kamar yang saya duga sering dipakai Bella kalau menginap. Dan beberapa saat yang lalu dia mengganti baju tertutupnya itu dengan pakaian kerja di sana.
Kini, saya sedang menyetir mobil dengan Bella di sebelah saya. Dia lebih banyak diam sekarang. Ada pergerakan air muka yang tak sama seperti sebelum-sebelumnya.
"Nathan semalam menceritakan dirinya," saya berusaha mencairkan suasana.
"Hum?" jelas sekali tadi dia sedang melayang pikirannya.
"Katanya kau mengangkat dia sebagai adikmu?"
"Begitu?"
"Aku sedang bertanya."
"Ya?"
Aku menggeleng.
"Oh, maaf, maaf aku sedang-."
"Kau sedang tidak di sini. Apa yang mengganggu pikiranmu?"
"Apa aku terlihat sedang memikirkan sesuatu?"
"Kelihatannya."
"Ow."
Saya memutuskan untuk menahan pembicaraan, kecuali kalau dia mau berterus terang.
"Aku hanya sedang membayangkan apabila aku menjadi muslim."
"Apa yang kaubayangkan?"
"Hidupku akan berubah."
"Perubahan yang seperti?"
"Mungkin aku akan kehilangan pekerjaanku, beberapa teman yang konservatif juga akan jarang menghubungiku, dan tentunya pola hidupku akan menjadi lain."
"Aku harap kau sudah memikirkan semuanya baik-baik."
"Ya, tentu sudah kupikirkan. Tempat kerjaku tidak menerima wanita berhijab. Karena itu mungkin aku akan memikirkan bisnis lain untuk melanjutkan hidup."
Saya sangat tersentuh mendengar itu.
"Kau yakin?"
"Ya. Aku yakin."
Saya mengangguk sambil terus fokus ke jalan raya.
"Aku sangat mengapresiasi apapun yang kau lakukan sejauh ini. Tentang Nathan dan, ya, usahamu untuk mengenal Islam."
"Kau hanya perlu mengawasi saja."
"Akan kulakukan."
"Hey, umm," dia terdengar gamang.
"Ya?"
"Aku memikirkan ini sejak kemarin."
"Apa itu?"
"Kau menyukai Asya?"
Hampir saja saya mengerem mobil saat itu juga.
"Asya?"
"Y-ya, aku melihatmu sedang mengawasi Asya kemarin. Dia tipemu bukan?"
"Ah."
"Ada apa? Ayolah jujur saja. Kau suka dia kaaan?" cara dia meledek justru terdengar menyedihkan. Bella seperti tak ikhlas melakukannya.
"Kenapa memangnya?"
"Aku bisa mengenalkanmu padanya. Asya dan aku cukup akrab."
"Apa tujuanmu ingin mengenalkanku padanya?"
"Ya, kau pasti tahu."
"Omong kosong, Bella."
"Aku tahu seperti apa kisah keluarganya, saudaranya siapa saja ... dia perempuan yang baik. Dan ... sepertinya ... kalian cocok."
Kali ini saya benar-benar menepi dan menghentikan mobil.
"Apa maksudmu?" tanya saya.
"Kau tadi bilang kalau tipikal perempuan idamanmu itu seperti Asya."
"Kau ingin menjodohkanku?" tanya saya sekali lagi dengan nada tegas. Jengkel. "Dan kau akan pura-pura baik saja?"
Seketika Bella menatap balik ke saya. Napasnya memburu seperti ketakutan. Entah apa yang sedang dia takutkan. Saya sangat tahu kalau itu adalah reaksi kecemburuannya.
"Aku sudah menduga kau akan bereaksi seperti ini, Belle," kata saya merendah, "Aku tahu di sana kau juga memperhatikanku saat menelisik Asya."
"Ya karena kau suka dia."
"Tidak sama sekali," dia menunduk, "aku sengaja melakukan itu agar kau tahu perempuan seperti apa yang bisa membuatku terdiam. Dan pagi ini akhirnya aku tahu bahwa kau tahu."
"Aku takut. Oke?" suaranya bergetar. "Aku takut kehilangan seseorang, Bim. Aku takut ditinggal sendiri."
"Siapa yang akan meninggalkanmu?"
"Aku tahu bahwa kau tahu apa yang terjadi padaku tentangmu."
Sekarang napas saya yang memburu.
"Meski pun aku tahu, aku tidak berencana mengatakan apa yang Aku tahu tentang itu."
"Kenapa?"
"Itu bukan rencanaku."
"Kau juga penakut?"
"Penakut?"
"Kau punya masa lalu yang tak menyenangkan dengan seseorang?"
"Bukan tentang itu. Ini belum saatnya kita membicarakannya."
"Lalu kapan?"
Saya menyalakan mobil dan berusaha menjauh dari pembicaraan.
Jarak sudah tertinggal ratusan meter dari pemberhentian tadi. Saat Bella berkata,
"Mungkin aku memang tidak memiliki kesempatan yang sama seperti perempuan lain kalau yang kau bilang itu benar."
"Tidak semua perasaan yang diungkapkan akan membawa kebaikan, Bella."
"Tidak usah berkilah kalau kenyataannya kau tidak menyukaiku."
Saya mendesah, sepertinya saya harus menyerah pada kejar-kejaran ini. Saya tidak bisa membohongi siapapun bahwa dentuman itu kian ada.
"Jika harus jujur, aku memang menyukaimu."
Saya tahu seketika itu dia menoleh pada saya. Namun bibirnya terkunci rapat.
"Dan aku mengatakan itu agar kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Itu cukup. Kau tak perlu bereaksi berlebihan. Aku tidak mengharapkan sesuatu saat mengatakan itu tadi. Aku yang khawatir kau semakin bertingkah begitu jika di tempat kerja nanti aku harus berkomunikasi dengan banyak rekan perempuan. Satu lagi, jangan kau beberkan pada siapa pun soal pengakuan ini. Karena ini bukan tentang kita akan menikah atau apa. Aku hanya mengatakan aku menyukaimu."
Saat saya menoleh, Bella sedang menutup mulutnya dengan tangan. Lalu membelesak di jok dan tetap bungkam tanpa kata.
"Dan setelah kau tahu tentang ini. Aku tidak akan pernah mau satu mobil denganmu, atau berada di jarak yang cukup dekat seperti ini. Aku akan naik taksi setiap kali berangkat bekerja. Atau aku akan membeli sepeda. Aku akan sering menyibukkan diri dengan pekerjaan dan mengajar di komunitas. Dengan pernyataan itu, bukan berarti aku akan memiliki lebih banyak waktu berduaan denganmu. Atau kau lantas bebas mendekatiku. Justru, aku ingin jarak kita semakin terjaga. Oke?"
Kulihat dia malah mengangguk sangat cepat seperti anak kecil yang dijanjikan sesuatu.
"Ya Tuhan," saya mendesah, "Ya, aku harus. Aku tahu harus bertanggung jawab untuk pernyataan tadi," lalu menjadi sangat gugup, "Emailku aktif dua puluh empat jam. Kau bebas menanyakan apa pun yang ingin kau tahu tentang agamaku. Kalau kau ingin belajar dengan tatap muka, aku punya jadwal mengajar mualaf di hari Sabtu sore. Kau datang ke sana saja dengan pakaian tertutup."
Kulihat dia masih mengangguk lagi, kali ini lebih cepat dan seperti dia sedang menahan sebuah reaksi dahsyat.
"Dan jangan sampai tiba-tiba kau minta dinikahi," saya gugup sekali mengatakan ini. "Aku belum punya pekerjaan tetap. Aku masih beradaptasi. D-dan aku belum mengenal keluargamu dengan baik. Kau, pahami saja agamaku dengan serius. Jika sudah, kau akan tahu alasannya kenapa aku mengatakan semua ini."
Setelah itu tidak ada percakapan apa pun. Lengang. Canggung.
Akhirnya pernyataan itu keluar dari mulut saya. Telinga saya memerah dan panas. Saya memang tidak berencana akan mengatakan itu hari ini, tapi ketika melihat dia seperti ketakutan kehilangan saya, dan saya khawatir semangatnya akan jatuh, sepertinya malah saya yang tiba-tiba diserang kekhawatiran. Apalagi saat dia mulai membawa-bawa Asya dan malah akan menjodohkan. Di sana hati saya lemas.
Sesampainya di kantor, Bella memandu saya ke sebuah ruangan dan memperkenalkan saya dengan seseorang bernama Matthew. Dia adalah orang yang akan menilai saya. Meski kata Bella saya sudah dipastikan diterima. Ini hanya formalitas agar pihak kantor mengenal saya sebelum memulai.
Sekitar dua jam saya mengikuti sesi seleksi. Mereka cukup detil dalam menyeleksi. Dan hasilnya belum ditentukan saat itu juga, maksudnya bidang kerja saya.
Saya berpisah dengan Bella di kantor, karena dia ada tugas dengan pekerjaannya. Namun saya sempat dia kenalkan dengan David Kohl. Seseorang yang kata Nathan adalah satu-satunya saingan saya jika ingin memenangkan Bella. Dave memiliki perawakan yang sedikit lebih tinggi dari saya, bule tampan mungkin, pakaiannya sangat eksekutif, aromanya seperti orang kaya. Sangat kaya.
"Semoga beruntung, men," katanya sebelum berpisah. Jujur, saya menangkap aura yang tak bersahabat dari cara dia menjabat tangan saya.
Sorenya setelah waktu asar, saya meluncur dengan taksi menuju komunitas. Saya bertemu Habib untuk merapatkan materi yang perlu saya ajarkan atau teruskan dari ustaz sebelumnya. Saya juga berkenalan dengan banyak ustaz dan ustazah baru di sana. Lalu baru bisa pulang saat hari sudah malam.
Nathan berkali-kali mengirim saya pesan menanyakan kapan saya akan pulang dan mencicipi nasi goreng buatannya. Begitu saya mengabari sedang dalam perjalanan taksi, dia sangat bersemangat menunggu saya.
Taksi berhenti di depan rumah. Setelah saya membayar ongkosnya dan taksi itu pergi, saya tertahan hendak masuk ke pekarangan. Bella ada di sana menunggu saya, dengan sebuah mobil lain. Ada dua mobil, saya kira itu punya Tyra.
"Hei," Bella menyapa sedikit malu-malu.
"Kau di sini," kata saya.
"Ya, Nathan menunggumu untuk menilai masakannya," kata Bella.
"Dia cukup berbakat, aku habis memakan satu porsi," Tyra menyahut dari dekat pintu lalu berjalan keluar menuju mobil.
"Oh iya, aku ke sini ingin mengantar mobil ini ... untuk Nathan. Tapi kau boleh memakainya juga. Aku menjanjikan mobil itu padanya, kasihan, dia selama ini harus mengayuh sepede."
Saya tidak percaya dia mengantar mobil itu untuk Nathan.
"Kau tidak harus melakukan ini."
"Aku pulang dulu, sudah malam," dia tidak memberi kesempatan pada saya untuk berkata. Lalu pergi.
Lihat, kadang saya sungguh kehabisan kata untuk mendeskripsikan Bella. Dia perempuan yang cukup terbuka untuk menyampaikan pendapat atau perasaannya. Kalau marah, pasti akan dia katakan marah. Suka, dia akan bilang suka. Selama tiga tahun lebih saya mengenalnya, ada banyak kejutan yang cukup membuat saya tersenyum. Di dekat Bella saya merasa terhibur sekaligus takut, takut tidak bisa memberikan apa yang dia harapkan dari saya.
Dia salah satu orang yang pembawaannya begitu menyenangkan. Mudah memahami suatu hal dan jujur sangat penurut. Dia termasuk yang bisa mengimbangi saya.
Meski Nathan mengaku kalau mobil itu untuknya, tapi saya bisa membaca sesuatu yang sedang dia sembunyikan. Tidak mungkin juga tiba-tiba Bella mengantar mobil itu kecuali setelah saya mengatakan tidak akan satu mobil lagi untuk ke tempat kerja. Apalagi, Nathan cuma minta diantar jemput saja di sekolahnya.
Dan tentang nasi goreng itu, mengejutkannya, buatan Nathan lebih enak dari punyaku.
Malam itu, tepat saat saya merangkum materi dari silabus sederhana untuk mengajar, Bella mengirimi saya sebuah email. Dia memberi bocoran kalau saya mendapat posisi kerja di bagian pencatatan naskah konten dan editorial. Itu yang saya harapkan. Dan anehnya, email bocoran itu mendapat bonus emoji hati yang berdenyut di bagian akhir email.
Ah. Setelah bertahun-tahun, akhirnya sama bertemu lagi dengan sebuah Khaathir.
Wahai angin yang berderu di antara rapatnya gedung New York. Bertiuplah dengan pelan agar gerak hati ini tak begitu galak.
Ada email masuk lagi yang belum terbaca, dan itu dari Maja, dengan subjek 'HELP'.
***
IMD -> Saktah
TSK -> Khaathir
Apa komentarmu?
Jangan lupa bintangnya.
Next chapter will be updated soon.
IMD-TSK akan dicetak dalam sampul satu tema. Mungkin sekitar bulan November.
Agar tidak ketinggalan informasi nanti temen-temen akan saya kumpulkan dalam grup chat WA Business. Saat ini grup itu sudah ada dan dihuni sekitar 30 lebih anggota, mereka sudah seperti keluarga yang sangat dekat. Kadang saling bahas IMD dan obrolan menarik.
Lebih lanjutnya tunggu saja infonya di chapter berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top