BAB 20: Cemburu Merayu

IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge

BAB 20: Cemburu Merayu
Diunggah pada: 04/02/2018
Revisi: --/--/----

***

Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

BAB 20
CEMBURU MERAYU

{Faris Kamil}

1

"Lihat pohon kelapa yang di ujung sana?" Aku menggunakan jari telunjuk supaya Abimana bisa melihatnya. Aku sengaja mengajak dia bertamu ke rumah agar bisa melihat-lihat. "Terus memutar sampai deretan pohon gelagah. Itu perkebunan milik kami."

"Termasuk kebun mangga itu?"

"Benar," aku tersenyum.

Dia berdecap sambil menggeleng. "Satu-satunya aset yang kami miliki di Pamijahan hanya bangunan dan pertokoan, itu pun dipegang kakak saya. Dulu pernah punya persawahan, tapi diuangkan untuk membangun penginapan itu."

"Jadi itu murni bisnis keluarga?"

"Betul," jawabnya.

Tak perlu terlalu lama untuk menyadari karakter yang sesungguhnya dari orang ini. Aku tidak tahu kenapa dia begitu hebat menyatu dengan warga dalam waktu cepat. Jelas-jelas dia masih kuliah dan usianya jauh lebih muda dariku. Pantas dan wajar jika Dinda memiliki sesuatu yang lain dengannya.

Ya, aku tahu.

Aku sudah tahu apa yang terjadi di sini. Kedatangannya kemari juga sepenuhnya aku tahu. Gus Alwi sudah mengatakannya padaku tentang apa yang terjadi. Dia tidak ingin aku memaksa atau melepas pada situasi ini. Bagaimana juga, Kiai Rasyid ingin bersikap seadil-adilnya.

Aku hanya ingin diam tanpa memberitahu Abimana. Tapi tidak tahu apakah Dinda mengetahui kedatangannya atau tidak. Apa saat dia pingsan itu karena ini? Jelas Abimana bukanlah sesuatu yang begitu sepele bagi Dinda.

Semenjak obrolan dengan Gus Alwi tentang niatan Kiai Rasyid untuk mencari 'yang lebih baik', aku menjadi lemas rasanya. Karena hampir saja diketok palu tanggal pertunanganku dengan Dinda, sebelum entah kenapa Dinda membuka sesuatu tentang Abimana.

Jujur aku lemas.

Tapi tak apa.

Kiai Rasyid sudah membiayaiku berangkat ke pesantren tahfidz untuk alasan yang jelas. Sangar sulit menolak ini dengan bermacam pertimbangan. Benar-benar sulit.

Abimana adalah sosok yang cukup bersahaja, tapi setiap berbicara dengannya aku seolah bisa membicarakan dan mendiskusikan banyak hal. Sulit untuk tidak cemburu padanya, jujur. Tapi kembali berkaca dan melihat siapa aku ini dibanding dia. Mungkin Dinda sudah lebih dulu jatuh hati padanya, itu tidak bisa aku salahkan, tapi kenapa saat itu Dinda tidak menolak ketika harusnya aku akan melingkarkan cincin di jarinya? Dan tiba-tiba saja Gus Alwi mengatakan soal Abimana dari Dinda.

Bagaimana pun aku tidak ingin ada kata persaingan di sini. Karena untuk beberapa kasus, cinta bukan hanya sebuah perasaan, tapi juga berarti keputusan. Sekarang aku menyerahkan semuanya pada pihak Dinda termasuk keluarganya terutama Kiai Rasyid. Karena ini bukan masalah yang hanya bisa dimenangkan oleh egoku saja.

Seandainya aku dan Dinda jadi bertunangan rencananya aku akan diberangkatkan ke Tegalrejo. Kiai Rasyid sudah berkomunikasi dengan salah satu pesantren rekanan untuk menampungku. Tujuannya apa? Yakin kalian bisa menebaknya. Dan sepertinya itu berlaku sama jika Abimana yang pada akhirnya-.

"Seminggu di sini betah tidak tuh?" tanyaku.

"Aneh, Mas. Saya seolah pernah berada di sini, entah itu mimpi atau apa. Rasanya desa ini tampak tak asing. Sangat betah."

Aku tidak tahu kenapa rasanya tak ingin mendengar jawaban semacam itu. "Syukurlah. Kalau makanannya selera tidak?"

"Kebetulan makanan saya dikasih Bu Nyai. Masakannya mantap, cocok sama lidah saya. Padahal saya khawatir masakannya akan manis, tapi sesuai selera orang sunda, ini mantap juga."

Bum!

Semoga bukan Dinda yang memasak. Tidak mungkin, 'kan?

"Tidak ada masalah waktu mengajar santri-santri?"

"Wah, itu ... saya senang mereka menyambut dengan baik. Rasanya guyonan yang saya buat berhasil membuat mereka rileks. Banyak Mas, santri-santri sini yang berpotensi menjadi qari hebat. Apalagi santri yang bernama Rido, dia pendiam sekali tapi suaranya indah bukan main. Akhirnya dia mau berkelakar sama saya ketika mengajar."

Bum!

Aku memang belum bisa seperti dia. Selama beberapa bulan mengajar di sini susah sekali membuat guyonan. Apalagi aku tahu Rido itu pendiamnya seperti apa.

"Katanya Mas Faris juga baru mengajar di sini?" dia bertanya.

"Betul. Kiai Rasyid yang meminta," aku menjawab sambil mengajak Abimana kembali ke rumahku. "Tapi saya masih jauh dari kata layak untuk mengajar di pesantren."

"Kata siapa? Mas Faris itu layak sekali. Pesantren membutuhkan lebih banyak orang-orang seperti Mas Faris dari pada yang kayak saya," senyumnya mengembang. "Alasannya, asal Mas Faris tahu, santri sini menganggap bahwa Mas Faris memiliki kewibawaan yang patut dihargai."

"Hus! Jangan bilang begitu."

"Kenyataannya. Para santri yang bilang. Mereka kagum dengan pencapaian yang terlihat di diri Mas Faris. Bagaimana menghafal Alquran bisa cepat, kontrol emosi yang bikin mereka tenang, dan-,"

"Tapi saya nggak pandai buat anekdot atau lelucon lho."

"Itu unsur penting dalam mengajar, tapi bukan berarti semua orang harus memakai metode itu. Guru, Mas, seperti awan teduh bagi tumbuhan. Menjatuhkan air dengan aturan yang sama, tapi rembesannya melalui banyak cara agar bisa disesap akar. Ilmu dihamparkan oleh Allah di bumi, tapi tak ada yang bisa mematenkan cara penyampaiannya."

"Bagaimana dengan yang namanya kurikulum? Setidaknya Kiai Rasyid kan memiliki yang semacam itu."

"Bukannya itu seperti sunatullah hujan? Aturannya sama, air jatuh dari atas. Tapi tergantung bagaimana air itu diantar sampai pohon."

Lihat, dia mengajariku. Seminggu di sini membuatnya seolah menyatu. Apakah pada batas ini alam juga mendukungnya? Apa aku terkalahkan secara halus? Tidak, bahkan Abimana tidak tahu apa yang sedang dia hadapi.

"Bagaimana melakukan itu? Saya ingin memilikinya," tiba-tiba saja dia bertanya setelah menyesap teh manis.

"Melakukan apa?"

"Bersikap wibawa."

Tak ada yang mencuat dari mulutku. Aku bahkan tidak mengerti jawaban dari pertanyaannya.

"Wibawa?"

"Mas Faris memiliki itu."

"Tidak, Bim. Saya tidak punya."

"Semua santri mengatakan begitu. Mereka menaruh hormat yang layak."

Untuk sesaat aku terenyak, akal dan perasaanku membisikkan banyak hal yang begitu menyayat. Bukan karena informasi yang baru saja kudengar. Tapi aku merasa sedikit iba pada pemuda ini. Maksudku, apa dia benar-benar belum tahu apa yang sedang dia hadapi? Sehingga membuatnya begitu enteng dan tanpa beban dengan apa yang dia katakan. Harusnya dia tahu nama lengkap Dinda. Harusnya dia peka dengan nama 'Rasyid'. Tuhan benar-benar menyelimutinya.

Mau atau tidak, aku tak bisa menyangkal cemburu yang tumbuh sejak namanya pertama kali terdengar.

Yang membuat rindu terasa berat bukan hanya jarak. Tapi cemburu yang berinang pada banyak ranting pada pohon rindu. Aku cemburu dengan ranting waktu selama Dinda dan Abim kenal. Aku cemburu pada ranting jarak yang tak bisa kutekuk antara mereka. Aku cemburu pada kenyataan bahwa mereka saling mencintai. Aku cemburu setiap kali melihat orang ini. Dan aku cemburu pada apa yang tidak bisa aku ketatahui dari mereka berdua.

Cemburu itu seperti api. Dia melalap afeksi secara halus di dalam hati. Panas. Sangat membekas. Dan menciutkan nyali.

Tapi untuk orang ini, cemburu berubah menjadi sesuatu yang layak dan cukup berat. Bukan berarti aku akan memberi perlawanan. Hanya saja, aku tahu bagaimana harus bersikap lebih tenang pada posisi ini.

"Mas?" dia mengejutkanku dari lamunan.

"Eh."

"Ada apa?"

Sesuatu seperti tekad tertiup di dalam rongga dada. Aku menatapnya dengan arah paling lain selama kita bertemu. Dia juga seperti merasakannya. Ini tidak adil kalau sampai dia menjadi orang yang paling tidak tahu dengan apa yang sedang berlaku padanya. Dan jika memang harus ada persaingan pun, rasanya tidak baik kalau hanya aku saja yang tahu.

Di sinilah peran bahwa cinta adalah sebuah keputusan. Tapi bukan dengan cara paling-tahu-sendiri untuk memenangkannya. Biarlah, aku benar-benar akan sabar. Seantusias apa pun aku mengharapkan seseorang sebagai cinta, tenangkan, akan kuikat hatiku kuat-kuat. Karena kalau aku ingin membuatnya jatuh cinta dengan nyaman, aku hanya perlu memberi kesempatan pada cinta untuk mengakar dengan kecepatannya sendiri. Bukan sebuah keterpaksaan.

"Tidak apa-apa, saya hanya berpikir beruntung sekali Dinda punya teman satu kampus sepertimu. Apa semua laki-laki yang belajar di sana sama denganmu juga, Bim?"

***

{Abimana Ilyas}

2

Apa yang baru saja dia katakan? Dinda?

"Di-, Dinda?" saya terbata.

"Dinda Humaira Rasyid, waktu itu dia pingsan saat kamu ngajar. Mungkin dia sakit. Padahal bagus kalau bisa bertemu dan saling bicara."

"Yang mana?"

Mas Faris berhenti sejenak. "Putri Kiai Rasyid. Kiai Husnu Ar Rasyid."

Seperti seseorang baru saja menimpuk saya dengan serbet kotor.

Saat itu, saya merasa menjadi manusia paling BEGO di sana. Benar-benar demikian. Saya tidak bisa menjelaskan lagi bagaimana bisa seperti itu.

Apa saat itu saya terkejut? Jangan ditanya. Tapi saya nggak bisa menunjukkan apa-apa. Ada pukulan tak kasat mata mendarat di bagian diri saya. Hati berkata agar tidak sampai menjadi lebih depresi atau terluka dari sebelumnya. Tapi, rasanya saya ingin menangis. Kalau ini tidak membunuh, kenapa rasanya seperti setengah mati.

Apa saya sedang dijebak?

Ini seperti saya sedang mengikuti lomba berenang, berada di urutan paling belakang, dan mereka yang ada di depan tak ada yang memberi tahu bahwa di hadapan saya ada pusaran air.

Intinya, saya tidak bisa berkata apa-apa. Hanya ekspresi wajah yang mungkin, menyiratkan sesuatu.

"Y-ya. Saya satu kampus sama, D-Dinda. Bagaimana...?"

"Gus Alwi bilang, Kiai membawa seorang qari andal dari Tasik. Yang kebetulan satu kampus sama Dinda."

"Saya tidak tahu."

"Tapi kenal Dinda, kan?"

"Kenal?"

"Satu kampus barang kali pernah bertemu."

Mas Faris tidak boleh tahu apa yang terjadi antara kami.

"Saya ... kami pernah bertemu."

Dia mengangguk, "Saya ini orang bodoh, jadi tidak tahu kehidupan perkuliahan itu seperti apa."

Tidak banyak yang bisa saya katakan. Jadi cukup dengan senyum hambar untuk menjawab.

"Dia perempuan yang baik. Bisa dikatakan sebagai bunga yang mekar harum di desa ini."

"Kami tidak pernah sesering itu membicarakan satu sama lain."

"Jelas, kan dia putri Kiai. Pasti bisa menjaga diri."

"Tapi, apa semuanya baik-baik saja?" jangan tanya kenapa tiba-tiba saya menanyakannya. Itu adalah sesuatu yang tertahan diujung lidah sejak lama seandainya saya bisa bertemu orang yang mungkin bisa tahu jawabannya.

"Baik-baik saja bagaimana?"

Tidak langsung menjawab, "Saya dengar dia akan pindah kampus."

Mas Faris memperhatikanku.

"Apa itu benar?"

"Ooh," jawabnya, "Benar. Dia sudah mengurus semuanya sejak lama. UIN Semarang jurusan ... ekonomi syariah. Kenapa?"

"Itu mendadak sekali."

"Persiapannya sudah cukup lama sebenarnya, tiga bulan yang lalu. Gus Alwi, kamu sudah kenal kan? Dia mempersiapkannya."

Saya tidak bisa menampik ladu guntur di dada.

"A-apa, dia punya masalah?"

"Masalah?"

"Semacam alasan kenapa dia harus pindah."

Belum sempat dijawab, seorang gadis mengucap salam seraya memasukki rumah. Dia menunduk sebentar untuk menyapaku. Tangannya menenteng kantong plastik yang berisi makanan. Dia cantik, tapi bukan saat yang tepat untuk mengagumi.

"Itu adik saya, Nabila. Dia juga tahun ini lolos di UIN Bandung."

Aku tersenyum padanya sebagai perkenalan.

"Nama saya Nabila, Ustaz." Dia periang.

"Tidak usah sungkan."

"Ah, jadi Ustaz Abim juga masih kuliah di UIN Bandung?"

"Benar. Jurusan apa?" kaku sekali.

"Agroteknologi."

"Fakultas Saintek."

"Iya!" semangatnya mendorong untuk duduk. Mungkin karena ada Masnya makanya dia merasa aman. "Saya tinggal di Mahad kampus untuk tahun pertama."

Sebenarnya pikiran saya tidak benar-benar fokus untuk membahas ini. Tapi, ah, tidak tahu.

"Jadi, sudah pernah ke Bandung?"

"Sudah. Bentar lagi juga ke sana lagi. Ustaz mau di sini berapa lama?"

Saya berpikir sebelum menjawab. "Saya tidak punya alasan lagi kenapa harus di sini lebih lama lagi." tatapan bertanya menyorot dari pandangan Mas Faris.

"Boleh tanya-tanya ndak, Ustaz?" ucap Nabila.

"Huss, Bila jangan ganggu Mas lagi ngobrol."

"Tidak apa-apa. Bertanya saja, itu penting bagi mahasiswa baru," saya berkata.

Payah sekali ketika saya harus menyamarkan segala ekspresi sakit.

"Ospek di kampus seperti apa?"

Pertanyaan yang langsung membuat saya terpaku. Terlalu banyak ingatan dan ... masa-masa berkesan untuk disampaikan.

"Yang jelas tiap jurusan itu berbeda sistemnya."

Setelah kenyang menyuapi Nabila dengan jawaban-jawaban, dan dia masuk ke kamarnya. Akhirnya tanpa basa-basi saya menanyakan pertanyaan yang masih tergantung tadi pada Mas Faris.

Dan dia menjawab, "Alasan pastinya saya tidak tahu. Tapi, kabar itu baru terdengar setelah ... ada rencana kalau, Dinda, akan bertunangan."

3

Malam menghampar seperti bentangan kertas hitam. Cipratan tinta bintang apik sekali di wajahnya. Pada kertas itu, saya menorehkan banyak sekali luka dengan tinta air mata. Ini luka. Saya terpenjara. Lemas tak bersendi tersungkur pada sajadah.

Pukul dua pagi, mengambil kesempatan ketika masjid sedang dalam keadaan sepi-sepinya. Karena satu jam lagi akan mulai ramai oleh santri. Seolah tanpa sendi tubuh ini tersungkur di atas sajadah.

Tidak banyak yang dikatakan memang. Karena air mata rasanya cukup menjabarkan panjang lebar.

Tunangan?

Dengan siapa?

Kalau memang Dinda begitu, kenapa tak dia katakan sejak awal.

Lalu untuk apa saya di sini?

Apa?

Baru saja saya menyelesaikan zikir. Di belakang saya sudah ada Kiai Rasyid yang berdiri.

Meski tahu saya memiliki banyak pertanyaan yang harus diajukan, dan sedikit rasa ... kesal. Tapi saya tidak bisa mengendalikan diri untuk langsung menyalami beliau, meski dengan mata yang masih belum dikeringkan.

Beliau tersenyum menepuk punggung saya. Dan saya, menangis di atas punggung tangan beliau. Ini memalukan. Saya tidak pernah ingin menangis di depan siapapun. Tapi untuk kali ini rasanya tak bisa tertahankan.

"Ikut saya, Nak. Ada tempat yang bagus untukmu mengajukan banyak pertanyaan. Mungkin semuanya akan terjawab," kata beliau.

Saya mengangguk cepat. Sedikit banyak gemetar.

---o0o---

Silahkan komentar dan jangan lupa vote.

Oh iya, ini bagusan yang mana?

Saya sih pilih yang 1.

Insya Allah Maret bisa dipesan. Harganya? Nanti diumumin. Insya Allah sangat murah untuk novel setebal 400hlm.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top