BAB 13: Rekonsiliasi Hati
IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge
BAB 13: Rekonsiliasi Hati
Diunggah pada: 02/12/2017
Revisi: --/--/----
***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
BAB 13
REKONSOLIASI HATI
{Abimana Ilyas}
*Dimohon maklum kalau masih nemu typo. Nggak perlu diprotes.
1
Sehampar sajadah menjadi alas nyaman buat saya duduk dan memejam. Malam sedang bergerak perlahan. Mereduplah cahaya, dan mengeraslah suara-suara.
Di asrama yang masih terjaga hanya saya dan Raja. Tumben sekali Taqi dan Banda tidur sekamar. Tadi saya lihat mereka sudah pulas, Banda tertidur di atas sajadah halus dengan tangan memegang tasbih, sementara Taqi terlentang dengan wajah tertutup halaman buku.
Saat ini ada beberapa suara yang tertangkap jelas di telinga saya. Pertama, suara jingkat jemari Raja yang sedang mengetik di laptop, katanya sedang menggarap naskah drama buat tugas kuliah. Kedua adalah suara kasar kereta yang melaju di atas rel dari arah selatan, mungkin lintasan tak jauh dari Stadion Bandung Lautan Api. Suara klaksonnya, atau entah itu apa namanya, terdengar keras sampai jauh. Tak lama disusul suara berisik dari langit. Wilayah udara di atas asrama saya rupanya menjadi titik belok dari beberapa pesawat, makanya sering terdengar pesawat melaju rendah sekali.
Namun ada satu suara yang sedari tadi saya tunggu tapi tak kunjung terdengar. Saya sengaja mensenyapkan semua notifikasi grup WA supaya barang kali ada pesan dari Dinda yang masuk. Sebuah pesan jawaban tentang dia yang mengizinkan saya mencintai dia atau tidak. Entahlah apa yang ada dalam pikiran saya, kenapa setelah sekian banyak hati yang mengharapkan balasan dari saya, hanya Dinda yang membuat saya ingin lebih dekat.
Dulu saat itu, yang saya pikirkan adalah, apabila saya mati dan belum sempat menyatakan cinta pada seseorang yang berhasil bikin saya penasaran, itu rasanya tidak menyenangkan. Saya tahu, kontak yang terjadi antara saya sama Dinda tidaklah sering, justru di sinilah letak rasa-rasa itu muncul. Beberapa cinta memang tumbuh karena jarangnya pertemuan dan jangka waktu yang singkat. Tidak semua harus karena terbiasa. Apa lagi, saya bukan laki-laki yang lebih soleh dari Banda. Tapi, yang sesoleh dia pun juga punya kisah cinta. Kami manusia, khilaf dan kesalahan yang dilakukan itu wajar.
Yang ada dalam pikiran saya bukan soal bersenang-senang dengan perasaan, tapi lebih dari itu, saya ingin mencintai seseorang yang paten sampai kelak, jika maut tidak meminang saya lebih dulu.
Tapi apakah ini adil buat Dinda? Bagaimana jadinya kalau dia tahu? Jujur saya akui bahwa yang saya lakukan itu bodoh. Kadang ingin berhenti, tapi alasannya begitu tabu. Saya orang yang gampang tersentuh. Tipikal orang yang mudah meleleh perasaannya pada momen-momen sederhana. Hanya saja, saya juga pandai menipu mata orang banyak dengan sikap tegar yang sengaja saya tampakkan.
Sekarang sudah pukul sebelas malam, dan belum ada balasan apapun dari Dinda. Mungkin dugaan saya benar. Dia cuma menganggap saya tak lebih dari sebagai kakak tingkat. Itu tidak bisa disalahkan. Atau karena Dinda yang memang tidak ingin terlibat dalam perasaan seperti ini.
"Minggu depan orang tua gue mau datang ke sini, Bim," kata Raja tiba-tiba. Terkadang saya masih merasa ganjil dengan gaya bahasa Raja yang akrab sekali menggunakan 'gue'. Tapi saya tidak heran kalau melihat dari cara dia menjalani hidup. Maksudnya dalam artian baik.
Saya melipat sajadah dan ganti baju. "Dari Aceh?"
"Iya, padahal gue udah melarang. Bukan apa-apa sih, tapi kan sayang uangnya barangkali dipakai buat keperluan lain. Tapi mereka kekeh mau datang."
"Kalau kekehnya rindu sama anak mah duit pun nggak akan jadi beban, Ja. Kan kemungkinan libur semester ganjil kamu nggak akan pulang lagi, belum juga ketemu sama KKN. Jadi mungkin mereka yang ngalah mau datang ke sini."
"Iya, memang gitu alasannya. Katanya juga mau main ke paman di Semarang sebelum balik ke Aceh."
"Bagus."
"Cuman yang jadi masalahnya sekarang, gue bingung nanti mereka mau ditempatkan di mana? Masa iya bareng kita di asrama. Pesantren kita kan nggak ada wisma khusus buat tamu. Hotel di seberang tarifnya berapa ya?"
"Nggak apa-apa kalau mereka tidur di sini, kita yang ngalah tidur di aula bawah. Beres. Dari pada ngeluarin duit lagi buat beli kamar hotel."
"Gimana nantilah." Raja membereskan laptop dan serakan kertas. Buku-buku yang terbuka dia tumpuk kembali. Napasnya terhela lega.
"Coba saja Putri bisa ikut," katanya. Saya lihat dia sudah berbaring, kedua tangannya dilipat ke belakang kepala sebagai bantal. Bibirnya samar-samar tersenyum.
"Lagi kangen?"
Dia terkekeh.
"Telepon atuh."
"Nggak tahu, Bim. Sudah sebulan ini gue nggak dengar suara dia."
"Sebulan?" Saya lumayan terkejut, karena sebelum-sebelumnya Raja kerap teleponan, hampir setiap hari. "Masa sih? Kuat amat. Lagi ada masalah?"
"Nggak juga."
"Lalu?"
Dia terdiam sesaat, "Gue lagi ngetes aja, apakah gue bisa tahan kalau nggak telepon dia. Rupanya sampai satu bulan ini, dia ataupun gue sama-sama kuat. Gue mikir sih, apakah dia... entahlah. Kalau dia jodoh gue, pasti akan dikasih sabar sampai nanti."
"Begitu?"
"Iya."
"Katanya dia lagi ada proyek sosial? Itu gimana?"
"Kurang tahu. Gue sih doain dia supaya bisa lolos. Tapi masalahnya kalau lolos dia harus berangkat ke New Zeland. Sementara gue-."
"Jodoh ada yang ngatur."
"Iya memang ada yang ngatur. Tapi gue suka mikir gini, kita boleh saja menikmati sebuah rasa bersama seseorang sekarang. Yang menyakitkannya ada pada kerahasiaan jodoh itu sendiri. bagaimana kalau ternyata dia bukan jodoh gue? Maksudnya aturan dari Tuhan atau garis batasnya memang gue sama dia hanya sampai batas ini saja. Yang pacaran bisa putus, yang menikah bisa cerai, yang tunangan bisa batal. Apalagi gue sama dia yang tanpa status apa-apa?" saya ikut berpikir dari kalimat yang Raja jelaskan. "Jadi, gue cuma mikir kalau semuanya akan lebih lemah. Ini sulit, ketika bahkan sekarang gue sama dia yang sengaja menjeda komunikasi terasa biasa saja."
"Maksudnya biasa saja?"
"Rindu yang gue rasakan terasa mengambang."
"Saya belum mengerti."
"Bisa saja kan tanpa sepengetahuan gue ternyata Putri punya kesan nyaman dengan orang lain?"
"Loh, kok kamu ngomongnya gitu."
"Ini bukan curiga atau prasangka buruk."
"Itu jelas prasangka buruk, Raja."
"Ini khawatir."
"Dan khawatirmu itu bikin saya takut."
Raja menoleh ke arah saya. Ada kilatan lemah di raut mukanya.
"Saya mau tanya, apakah orang tua kamu sudah tahu soal Putri?"
Raja ragu-ragu, lalu mengangguk lemah.
"Bagaimana pendapatnya?"
"Kurang mengarah ke hal yang baik. Mereka cuma tahu kalau Putri satu pesantren sama gue dulu."
"Kamu pernah membahasnya?"
"Pernah. Intinya kurang setuju."
Saya terdiam. Tiba-tiba malam yang semakin sepi seolah menghantar udara dingin pada Raja. Dia canggung pada masalah hatinya sendiri.
Di antara Banda, Taqi dan Raja, jujur orang yang paling saya mengerti dan terdekat adalah Raja. Dia memiliki sisi berontak seperti saya, dalam artian positif. Sekalipun ada beberapa hal darinya yang bisa dinilai cukup payah dimata saya, tapi sebagian besar lainnya justru membuat saya nyaman ngobrol dan bekerja sama dengan dia. Saya menyukai pengetahuan umum, sementara dia memiliki referensi info populer yang bagus. Jadi ada kecocokan lidah ketika berbicara.
Sudah pernah saya katakan kalau saya memegang rahasia masing-masing dari mereka bertiga, soal hati. Tapi mereka tidak membuka rahasia masing-masing pada antara ketiganya itu. Tapi urusan hati saya sendiri tak berani untuk dibuka pada siapapun. Mereka tidak pernah tahu apa yang terjadi antara saya dengan Dinda.
"Dia sudah dilamar orang tiga kali, Bim."
Saya belum mengerti maksudnya tapi wajah Raja sudah berubah sangat muram. Lalu ada tempo lain pada jantung saya. Terkejut.
"Putri sudah tiga kali dilamar olah orang yang berbeda tanpa sepengetahuan gue."
"Dari mana kamu tahu?"
"Seseorang memberitahu."
Saya tidak berani menanyakan apa-apa lagi. Intinya kalau ada yang berkenan membagi rahasianya, saya selalu membiarkan mereka menuangkannya tanpa ada paksaan. Kalau mereka memutuskan untuk tetap diam, itu juga bukan urusan saya.
"Putri selalu berkomunikasi dengan manis tanpa memberitahu apa yang terjadi. Saat Fahmi cerita, konon Putri tak bisa menerima lamaran siapapun karena ada gue. Dia bahkan tidak membuka hatinya pada siapapun, padahal mereka yang melamar jelas memiliki kompeten yang luar biasa untuk diterima."
"Tunggu, apa kamu pernah menjajikan sesuatu padanya?"
"Tidak lebih hanya sebatas kalau-kita-berjodoh."
"Bisa disimpulkan dia sangat mencintai kamu."
"Gue takut kedepannya tidak berjalan sebaik sekarang. Dia sudah banyak menolak, tapi yang ditakutkan misal dari pihak gue sendiri, orang tua, tidak membiarkan janur melengkung dengan namanya dan nama gue sebagai pengantinnya. Gue takut dia menunggu sesuatu yang sia-sia."
Apa di Aceh ada janur melengkung saat pernikahan? Oh, mungkin itu hanya permisalan. Atau, ya, saya kurang mengerti.
"Istikharah-lah."
"Sudah ratusan kali."
"Kamu sudah mendapat jawabannya?"
"Entah, tapi gue yakin akan jadi orang terkenal. Gue memimpikannya," katanya setengah tertawa.
Seketika saya melempar lipatan sajadah tepat ke badannya. Seenaknya saja dia membelokkan topik seserius ini. "Alih-alih soal jodoh, kamu malah lebih memilih soal itu."
"Seenggaknya gue ngikutin pendapat kamu soal urusan agama tidak melulu tentang jodoh dan aurat."
Saya tertawa kesal pada polahnya. "Jadi sekarang seperti apa cuaca dadamu?"
"Malam ini?"
Saya mengangkat bahu.
"Cuacanya bersih tanpa awan, banyak bintang, anginnya sepoi-sepoi, ada tiga bulan purnama yang mengorbit di angkasanya, tapi sedikit terganggu sama suara kentongan tukang nasgor di bawah. Sumpah gue laper. Mau beli? Ayo."
Saya mendengus mendengar susunan katanya yang selompatan itu. "Apaan tiga purnama," gerutu saya sambil menyiapkan receh. Tidak mungkin dia membeli nasi satu porsi. Saya curiga Raja memiliki lambung yang tak lebih dari setengah mangkuk. Ini, satu kebiasaannya yang lain. Dia selalu memesan nasi goreng dengan porsi setengah, kalau tidak, maka saya akan jadi objek rayuannya untuk membayar setengahnya lagi. Dia cukup iba bahkan ke tukang nasi goreng jika hanya mengulurukan selembar lima ribu rupiah dan satu koin lima ratusan.
"Kamu, Banda, Taqi, adalah tiga purnama saya tadi."
"Halah," saya melempar gulungan uang ke anak yang ingin sekali terkenal itu. "Tolong jangan pakai acar banyak-banyak kalau akhirnya saya juga yang harus mengahabiskan. Kamu kan tahu, saya tidak suka sayur fermentasi itu, yang masih murni oke saja."
"Panaskan air, masih ada teh herbal yang itu."
"Maksudmu teh herbal milik Taqi?"
"Dia nggak akan mau meminumnya."
Saya tertawa geli, "Hei! Kalau saya jadi dia juga nggak akan mau menyeduh teh itu sementara yang akan teringat bahwa teh itu tak lain adalah produk MLM yang bikin dia tekor lima ratus ribu tanpa untung!"
Raja tertawa keras sekali sambil menuruni tangga keluar, lalu terdengar dia meneriaki tukang nasgor.
Sadar tak ada siapapun yang melihat, saya langsung meraih ponsel dan memeriksa pesan masuk WA. Selenting ada bunyi beep, itu mungkin saja dari Dinda.
Itu benar, tapi dia hanya mengucapkan salam. Tidak saya balas, tapi dalam hati menjawab. Yah, saya hanya bertaruh kalau dia hanya akan meminta maaf karena tidak bisa mengizinkan saya untuk mencintai dia. Maksudnya, ini sudah pukul setengah dua belas malam! Sepertinya tidak salah kalau saya menyebut dia sudah melewati tenggat selama lebih dari lima jam sejak pukul enam sore. Bahkan saat esok paginya saya lihat dia mengirim ucapan selamat pagi, saya cukup berani dengan hanya membacanya. Kenapa? Dia pasti hanya akan berusaha menghibur dengan kalimat, kita akan baik-baik saja kalau hanya berteman. The end.
2
"Ayo, Bim," Banda mengajak saya untuk bergegas ke masjid. Hari ini tepat sepuluh hari semenjak malam mengecewakan itu, juga lima hari menjelang Hari Raya Idul Adha. Jadi santri senior angkatan saya dilibatkan penuh dalam hari H nanti. Bayangan gagal mudik sudah menghantui.
"Bentar. Lagian baru selesai sholat dzuhur."
"Iya makanya, kita harus bantu-bantu nyiapin tempat. Rais 'aam sudah berkoar-koar di grup."
Karena saya dan Banda kebetulan punya jadwal kuliah yang sama di jam keenam atau selepas ashar, makanya hadir ke masjid. Sementara kebanyakan lainnya pada di kampus. Jadi tidak bisa menjamin kalau nanti akan banyak yang datang.
Hasil rapat itu menyatakan bahwa saya memang tidak bisa mudik. Boleh, asal setelah urusan daging pungkas. Sama saja bohong.
Seorang santriwati yang menjadi alasan kenapa pohon delima di dalam dada Banda selalu bergemerisik menghampiri kami yang masih di beranda masjid. Sekali lagi perlu saya ingatkan, di sini batasan sangat tipis, mungkin karena interaksi sosial yang semakin dibutuhkan untuk banyak muamalah.
"Kang, ini daftar santriwati yang dipastikan tidak mudik. Hanya ada sembilan orang saja."
"Sembilan?" jawab Banda sambil menerima kertas. Dia tidak pandai menahan rona pipi.
"Iya, hanya itu."
"Berapapun asal kalian siap bantu ibu-ibu buat masak besok, itu tidak masalah. Karena tugas kalian cuma itu selain menunggu jatah daging," kata saya.
Wajah gadis itu tak malu untuk menunjukan ekspresi sebal pada saya. Ah, itu juga paling karena ada Banda. "Tentu kami siap. Jangan lupa anak laki-laki harus bikin tusuk sate yang banyak. Aku nggak ingin kejadian tahun lalu terulang lagi. Daging sudah dipotong sebaskom penuh, tapi tusuk satenya cuma ada lima puluh. Padahal itu semua untuk santri. Apalagi nanti ada dua sapi dan empat kambing."
"Nggak tahu, saya pulang ke Tasik tahun lalu." saya membela diri. Tapi dia seolah tak pernah ingin mendengar saya yang jawab. Jelas sekali satu-satunya percakapan yang dia inginkan adalah suara dari Banda. Tapi yang diharapkan bersuara, malah menunduk pura-pura membaca kertas.
"Kang Banda nggak pulang?" tanya gadis itu.
Malu-malu Banda mendongak, "Saya di sini."
Setelah mengangguk dan tak lupa meninggalkan sepicis senyum di hati Banda. Gadis itu pergi.
Ya Allah, tolong jodohkan mereka.
Saat di asrama saya tertarik memastikan nama Dinda ada di sana. Tidak tahu, padahal saya memutuskan untuk lupa saja. Tapi nyatanya mustahil kalau saya masih tertarik membaca sebaris nama itu. Dan dia memang tidak mudik. Ini pasti akan membuatnya sedih, pertama kali untuknya lebaran haji di Bandung. Bukannya dia juga lama di Pekalongan untuk mondok? Sepertinya ini tidak akan separah itu.
Setelah ashar saya langsung melesat ke kampus. Ada kelas Riset Operasi yang harus dihadiri. Saya kasih garis bawah, harus, karena satu kali lagi saya tak masuk maka tidak ada harapan nilai UAS saya akan keluar. Saya sudah memakai semua jatah alfa di matkul ini.
Ketika saya menaiki lantai tiga, saya tidak sengaja berpapasan dengan Dinda yang hendak turun. Sekilas, ya, hanya amat sangat sekilas berpapsan saya langsung menangkap tatapan muram luar biasa di wajahnya. Saya nggak tahu kenapa wajah cantik itu jadi lebih menarik ketika terlihat sedang marah. Saya abaikan saja. Melupakan cepat-cepat ekspresi wajah yang seperti ingin mencabik-cabik muka saya itu. Kenapa dia harus terlihat sangat marah? Itu bukan hak yang patut dia tujukan ke saya. Rasanya.
3
Selain masjid kampus yang selalu ramai. Masjid Kifayatul Akhyar yang berada di samping kanan gerbang kampus juga selalu padat setiap menjelang sholat lima waktu. Masjid ini milik pribumi, tapi justru yang meramaikannya adalah mahasiswa. Kecuali ketika sholat jumat, itu pun masih tetap lebih banyak mahasiswanya. Dan hari selasa, setiap bakda ashar ada pengajian ibu-ibu yang hasilnya jamaah sholat ashar jadi sangat padat di tempat akhwat.
Petang ini Bandung sedang bercuaca bagus. Maghrib terasa nyaman dengan kepala basah bekas wudu, meski sedikit dingin. Nah, ketika saya sedang mengikat tali sepatu, ponsel saya bergetar dan foto kartun muslimah memenuhi layar dengan nama pemilik kontak Dinda. Saya tidak bergegas mengangkat. Kejadian ini terjadi lebih sering sejak saya tidak merespon Dinda.
Lalu disusul sebuah pesan.
"Kamu kenapa sih?" ketiknya. "Aku punya dosa apa sampai kamu nggak pernah kasih balasan, telepon pun nggak diangkat. Aku tadi telepon kamu, kemarin, kemarin, kemarinya lagi juga."
Kali ini saya membalasnya. "Saya tahu, tadi lihat ponselnya berbunyi."
"Nah."
Saya memutuskan untuk duduk di teras masjid dulu, kebetulan malam minggu pengajian libur. Anak-anak juga paling belum ada di asrama. "Saya nggak akan ganggu privasimu, tenang saja," balas saya.
"Terlalu cepat menyimpulkan!"
"Terlalu mudah untuk disimpulkan."
"Sekarang kamu sedang membalas pesanku. Aku ingin ngomong dan kamu nggak bisa kabur-kaburan lagi."
"Kabur? Kenapa bahasanya seperti saya pernah kepergok mencuri sesuatu."
"Seenggaknya kamu memang pencuri. Dan tanggung jawab seorang pencuri hati adalah dengan tidak menghilang begitu saja, abai, lalu terlalu tuli untuk mendengarkan penjelasan."
Saya menelan ludah di sana. Khawatir sudah melewatkan banyak halaman sebelum sampai pada kesimpulan. "Saya bukan pencuri apa itu tadi. Waktu itu saya sudah cukup tegas dengan pukul enam sore, lalu ada salam menjelang tengah malam. Jadi sekarang kalau bukan untuk menghibur patah hati saya, apa lagi?"
"Siapa yang patah hati?"
"Saya patah hati, Dinda."
"Hanya karana aku terlalu lambat ngasih jawaban?"
"Terlambat itu wajarnya hanya beberapa menit, kalau tidak salah kamu punya lima jam lebih lama."
"Sekarang musim hujan. Matahari di musim ini terjadwal oleh semesta akan mulai menyinari Bandung sebelum tepat pukul tujuh. Itu pasti. Tapi semua orang tahu, awan kadang menghadang di ufuk timur bahkan sejak subuh sampai pukul sepuluh, lalu ketika matahari baru terlihat selingkar bentuknya ketika pukul sebelas, apa kamu akan menganggap itu bukan matahari? Kalau kamu benar-benar ingin mengeringkan sorban yang basah, bukannya kamu akan tetap menjemurnya sejak pukul tujuh bahkan ketika matahari belum muncul. Kecuali kalau kamu bercanda ingin mencintaiku."
Saya ketar-ketir membaca pesannya, itu seratus persen menerbangkan hijab pemahaman saya. Sebelum saya bergegas membalas dia menyusulkan satu pesan baru, mungkin ini lebih panjang.
"Harusnya kamu tahu, ini bukan pertanyaan yang mudah untuk aku jawab. Sejak kamu menyatakan itu, jangan pikir jantungku berdetak seperti biasanya. Dia meronta. Dia menghardikku dan seolah menodong kalau aku juga harus jujur. Aku mempertimbangkan banyak hal. Malam itu aku akan memberi izin. Harusnya setelah kamu menjawab salamku, aku juga akan bilang mengenai perasaanku. Harunya setelah kamu jawab ucapan selamat pagi itu, aku juga akan mengatakan hal ya sama. Tapi ketidaksabaranmu ternyata merusak. Tidak menjawab selama berhari-hari, tanpa peduli."
Seperti ada pukulan keras di ulu hati. Kenapa saya bisa seceroboh itu? Saya yakin sekali dalam pesan itu Dinda juga sedang mengakui perasaannya sendiri. Jelas.
"Dinda maafkan saya."
Dia tidak membalasnya lagi. Seketika saya gusar. Di teras ini rasanya semakin hampa dan sesak. Mungkin saya harus berganti tempat. Tapi ketika berdiri hendak pergi, sosoknya sudah berdiri dengan punggung menegak di depan saya, persis. Sejak kapan dia ada di sana?
Ada kilatan seperti petir di matanya, "Kamu nyebbbelin banget," katanya yang tidak perlu menunggu lama untuk sukses menggorok perasaan saya. Dia berlalu sambil menyeka sesuatu di wajahnya.
Bodoh! apa yang sudah saya perbuat?
Saat itu saya langsung mengejarnya sampai berhasil mengimbangi langkahnya. Lalu lintas jam segini super padat. Waktunya para pekerja pulang dari meja kantornya. Juga saat paling padat bagi para angkot beroperasi mencari penumpang. Dan salah satu dari angkot itu melintas cukup sabar, tapi saya yang jalannya kurang pinggir sebab ada Dinda, benturan sedikit keras menyerempet punggung kanan saya sampai sedikit mental dua langkah.
Bruuuk...
Masih baik saya tidak terjatuh. Sepertinya sopir angkotnya juga tidak menyadari. Hanya Dinda yang mungkin sedang paling sadar. Karena merasa tidak ada luka ataupun memar, cuma sedikit pegal. Saya langsung menghadang Dinda di depannya persis. Matanya melebar khawatir, jelas sekali dia baru saja menangis.
"Mau berhenti dan membicarakan ini?" tanya saya.
Dia menagangguk ketakutan.
"Bagus. Ikuti saya, tolong jangan protes," saya berjalan mendahului sambil pura-pura memegangi bagian yang terserempet. Biasanya perempuan akan berempati kalau melihat yang dicintainya terluka. Oke, tebakan saya Dinda memiliki perasaan yang sama dari bahasa penjelasannya tadi.
Sampai di tempat parkir kampus yang letaknya persis di samping gedung perpustakaan yang besar, saya langsung mengajaknya bicara. Sekalipun malam mulai menggelap dan tempat parkir sudah sepi meski masih banyak motor di sana.
"Dinda, tolong dengarkan saya. Satu sisi, mungkin saya memang bersalah karena mengambil kesimpulan dengan sangat dangkal. Saya cuma kesal kenapa seolah ungkapan saya tidak dianggap serius olehmu. Maksud saya, lima jam!"
Saya mengangkat tangan sebelum dia menyela. "Tapi kamu juga harus ingat, ada sisi dimana kamu memang bersalah di sana."
Dia sudah membuka mulut sampai saya langsung mencegatnya dengan tangan terangkat, "Lebih baik kita sudahi ini, atau akan ada pertengkaran ego yang sama sekali tidak dewasa."
Di akhir kalimat saya, Dinda lantas merengek seperti anak kecil.
"Astaghfirullah," desah saya sambil berkacak pinggang, memutar badan, lalu berbalik lagi.
"Kang Abim ngerti nggak sih. Aku itu sebal, kesal, tapi di satu sisi ketakutan minta ampun!" katanya. Sementara saya menelengkan kepala sambil menatap heran perempuan yang sedang menangis seperti anak kecil ini. "Aku takut melukai, dan yang lebih besar lagi aku takut nggak punya kesempatan."
Saya mengangguk mengerti. "Saya paham."
"Kenapa Kang Abim juga nggak langsung paham pada waktu itu?"
"Kamu juga pasti bisa mengerti perasaan saya Dinda. Kenapa saya langsung tidak merespon apa-apa. Jujur saya patah hati."
"Apa kamu juga nggak berpikir kalau aku patah hati juga saat itu? Selain patah hati aku juga merasa bersalah, Kang. Apa lagi dicuekin selama itu."
"Oke, sudah. Tidak usah dibahas lagi. Intinya saya sudah paham."
Dinda berhasil melunak, tangannya sedang kerepotan mengelap matanya. "He, sudah," kata saya.
Dia mengambil kacamata dari dalam tasnya dan mengenakannya. Menyembunyikan sedikit sembab yang berbekas.
"Maaf, Dinda. Saya nggak punya tisu."
Dia hampir mau tertawa ketika saya mengatakan itu. Tapi rasanya mustahil.
Posisinya sekarang berdiri tegap, berbicara tanpa menatap lurus mata saya, tapi mungkin yang dia perhatikan adalah bagian dada saya sebagai pengalihan. "Aku kasih izin."
Saya mengangguk, ingin tersenyum tapi belum saatnya merasa ge-er. "Makasih," kata saya.
"Tapi hanya sebatas itu. Kamu mencintaiku, aku juga mencintaimu, tidak ada hubungan apapun."
"Saya tahu. Terimakasuh untuk sudah memberi izin dan mencintai saya."
"Jangan berharap lebih, ya! Bukan berarti antara kita akan jadi seperti orang yang sedang pacaran."
"Tidak akan."
Dinda mengangguk sambil sesekali mengeringkan matanya.
"Dinda, saya mau tanya."
"Mm."
"Kenapa harus menangis?"
Tatapannya langsung tajam sekali seperti tak ingin ada pertanyaan seperti itu. Sebelum dia meledak, saya langsung mengangkat tangan. "Oke, nggak usah dijawab. Tapi tolong jangan lepas kacamatanya. Itu bagus."
Dia malah berdecak sambil terus menajamkan tatap, "Aku bilang, antara kita jangan kayak orang pacaran!"
"Lah, siapa yang lagi kayak pacaran? Saya cuma bilang, kalau kamu pakai kacamata itu terlihat bagus," kata saya dengan nada protes.
"Tuh, kita debat kayak gini jadi seperti pacaran."
"Hei, dengar. Kamu pernah pacaran berapa kali?"
Dia menjawab ragu, "Belum pernah."
"Ya sudah kenapa dipersulit begini?"
"Maaf."
"Sekarang kamu mau ke mana?" tanya saya setelah situasi benar-benar mereda.
"Pulang."
"Baiklah, saya nggak akan nawarin tumpangan. Toh kamu juga nggak akan mau."
Dinda salah tingkah, itu jelas sekali. "Memang."
"Tapi kalau kamu mau, naik aja. Akan saya antar sampai bundaran. Di sana ada tukang surabi, saya lapar, sepertinya mau makan di sana."
Dia terlihat sedang berpikir. "Ada, rasa apa aja surabinya?" katanya kemudian.
Saya mengangkat alis, merasa heran dengan anak ini. Ada sinyal-sinyal aneh dari gelagatnya.
"Kalau mau tahu mending naik saja," kata saya. Tidak memberi kesempatan untuk dia protes, saya langsung naik ke motor. "Diharap untuk nggak usah protes atau mengatakan apa-apa. cukup langsung naik. Kalau kamu protes dan saya melawan, nanti seperti kata kamu tadi, kita akan jadi seperti orang yang lagi pacaran. Sementara ini, kamu cukup menganggap kalau saya ini ojek."
Seperti ada tahan tawa di sana. "Ini helmnya," saya menyerahkan.
"Kamu?"
"Tukang ojek selalu mengutamakan keselamatan penumpang."
"Nanti ada-."
"Nggak ada polisi jam segini. Mereka sudah lagi mandi dan siap-siap makan malam sama keluarganya di rumah."
"Sok tahu," katanya sambil naik.
Tanpa ketahuan, saya tersenyum lebar saat mulai menjalankan motor.
Dia gadis aneh. Dalam artian ketika dia menjalani perasaannya sendiri. Saya tahu, untuk sampai pada tahap ini dia pasti sudah melewati pergulatan batin yang panjang. dan urusan naik motor saya pun, ada kenekatan yang jelas.
Malam itu, Dinda berada di jok belakang motor saya. Dari tempat parkir itu, saya tidak langsung bertolak ke gerbang. Tapi sengaja memutar mengambil rute yang lebih panjang dan mustahil dilakukan oleh mahasiswa lain. Dari perpustakaan saya meliuk ke arah fakultas psikologi. Lalu menukik ke arah Fidkom, sampai pada batas belakang saya masih terus melaju melewati kampus anak FAH sebelum melaju lurus di sebelah gedung saintek dan meneruskan rute sampai gerbang utama.
Saya yakin Dinda merasakan keanehan kenapa saya mengambil tute panjang. Tapi saya juga mininggikan kepercayaan bahwa dia juga sudah paham kenapa saya melakukannya.
Selama perjalanan itu, tidak ada percakapan apapun. Bahkan saya sebagai tukang ojeknya pun tidak berani basa-basi dengan penumpangnya, yang mungkin sedang berdebar-debar hebat.
Ini resmi, kalau dia menganggap ini pacaran, saat itu berarti kami resmi jadian. Akan tetapi, saya menghormati keinginan Dinda untuk hanya menganggap antara kami hanya ada hubungan hati ke hati tanpa perlu ada status. Saya yakin kalian juga tidak perlu penjelasan panjang lebar soal ini.
4
"Jadi Dinda nggak pulang lebaran ini?" tanya saya. Dia sedang membelah surabi telur isi kedelai di sisi bangku yang lain. Di belakang kami, kendaraan sedang melaju. Tempat kami makan surabi berada persis di tepi jalan raya. Malam sudah memasuki waktu isya beberapa menit yang lalu. Langit sedang terbangun dengan beberapa benik lintang, tapi dari sisi selatan terlihat ada gumpalan awan yang siap berarak menyelubung dengan berkubik-kubik air hujan. Mungkin akan ada hujan tengah malam.
"Tidak."
Kami memutuskan untuk tidak pernah mengungkit apa yang terjadi sebelumnya. Biarkan yang ada hanya interaksi sewajarnya saja.
Saya mengambil teh panas di meja rendah. "Memangnya nggak rindu keluarga?" tanya saya setelah menyeruput.
"H-2 Mas Alwi akan datang ke sini untuk menengok. Seenggaknya itu akan meredakan kerinduan pada rumah."
"Mas Alwi siapa?"
"Kakakku. Kemungkinan dia juga akan mengajak tunangannya kalau jadi."
"Tunangan?"
"Iya, namanya Mba Hasna. Paling nanti akan ada empat orang yang datang. Mas Alwi, santrinya Abi, Mba Hasna dan juga ibunya."
Saya mengangguk sambil mengunyah satu suap potongan surabi, kuahnya luar biasa enak.
"Mas Abim," katanya disertai jeda. Itu membuat saya senang dipanggil Mas. "Mau kenalan sama mereka?"
"Ha?"
"Cuma menawarkan."
"Entah, saya tidak tahu antara kamu dan saya akan secepat itu melibatkan keluarga."
"Ge-er! Kenalan apa salahnya?"
Saya tertawa, "Boleh saja."
"Mas Alwi dan Mba Hasna adalah dua orang yang paling terpercaya menampung informasi pribadiku. Setelah lebaran nanti akan resmi jadi suami istri."
"Begitu?"
"Iya."
Sebelum pembicaraan semakin jauh. Saya merasa ponsel saya bergetar. Itu pesan dari Raja.
"Bim, di mana? Ada sesuatu yang harus gue ceritakan. Ini kurang baik. Stress berat ini."
---o0o---
🎉 I am back. 🎉
Jangan lupa kasih bintang 🌟 dan silakan komentar bebas sesukamu. 💬
Next Part, dimohon untuk mengencangkan sabuk pengaman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top