BAB 13: Hanya Saja
TASBIH SANG KIAI
Written By: Sahlil Ge
BAB 13: Hanya Saja
Diunggah pada: 03 September 2019
Revisi: --/--/----
***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
[Inara]
Sudah seminggu yang lalu sejak aku dan Abim benar-benar selesai. Lagi. Namun rasanya berbeda jika dibandingkan dengan ketika pertama kali aku meminta untuk berakhir di malam sebelum itu. Sebab, kali ini jelas sekali Abimana lah yang pada akhirnya melepaskanku. Dia dengan kecewanya yang membara pergi di hadapanku persis. Tapi kenapa dia harus melepaskan pekerjaannya juga? Kenapa dia harus resign?!
Malam itu aku menangis sampai ingin hilang saja dari peradaban masa. Aku tahu aku sangat jahat padanya. Aku sudah menghancurkan hal yang seharusnya tak pernah terjadi. Aku sudah menghujami pria impianku dengan pedang bermata seribu dari berbagai sisi. Dan bukan hal yang mudah jika Abimana harus menerima Asya meski dengan alasan apapun.
Sekali lagi aku menghilang dari semua orang yang mencariku. Aku mengelak ketika Mom ingin berkunjung. Berkelit membuat alasan. Bahkan Nathan yang berulangkali menghubungiku tidak melakukannya lagi. Anak itu tahu kalau aku harus memiliki waktu sendiri lebih lama dari siapa pun jika sedang dilanda sesuatu yang pelik.
Waktu terus beranak pinak hingga suatu ketika, di bulan berikutnya aku harus kunjungan dengan dokterku. Kehamilanku sudah nyaris memasuki minggu ke dua puluh empat atau enam bulan. Aku ingat sekali, kalau hitungannya tidak meleset, ketika usia kehamilanku memasuki empat bulan, aku nyaris tidak tidur semalaman karena sepanjang waktunya kuhabiskan dengan berdoa. Bagaimana pun yang ada di dalam tubuhku adalah pusat perhatian dari semua kejadian dalam hidupku. Dia ada bukan tanpa alasan. Bagaimana dan dimana kisah ini akan berakhir, sesuatu dalam perutku adalah sumber konflik yang memanjang. Barangkali kalau kubiarkan dekat dengan banyak orang, kepelikan itu akan menular ke mereka juga. Jadi lebih baik kusimpan saja untuk diriku sendiri dan lebih menerima sebagaimana adanya.
"Kau sibuk?" kataku begitu Nathan menerima panggilanku.
"Tidak. Kau perlu sesuatu?" jawabnya. Aku tidak langsung menyahut. "Ini sudah berminggu-minggu kau dan aku tidak memiliki komunikasi yang baik, Kak."
Aku terkekeh palsu, "Kalau begitu datang ke rumahku sekarang."
"Sekarang, sekarang?"
"Iya, bukan sekarang nanti. Sekarang, sekarang."
"Oke, aku berangkat. Kau tidak ingin aku membeli sesuatu sebelum kau menyuruhku memutar arah karena lupa mengatakannya?" terdengar dia sedang beranjak dari suatu tempat.
"Um, aku sudah lama tidak berebut potongan pizza terakhir denganmu."
"Ekstra keju?"
"Dan brokoli."
"Dan brokoli??? Jangan bercanda, kau sangat benci pizza dengan sayuran di atasnya."
"Aaa-ku tidak tahu. Bawakan saja."
Nathan mendengkus, "Oke. Tidak sekalian acar, tomat, wortel, dan setiap elemen sayuran lain yang cukup aneh berpose di atas pizza?"
"Ide bagus."
"Aku bercanda."
"Tidak, itu ide yang bagus. Aku tidak akan mengambil satu potong pun kalau kau datang tanpa membawa pizza dengan ekstra toping sayuran."
Dia mendengkus lagi. Kali ini lebih sebal, "Yuck. Baiklah, berarti mulai sekarang kita berbeda loyang."
Nyaris satu jam kemudian Nathan melangkah masuk ke kediamanku dengan dua kotak pizza di tangannya. Aku sedang duduk di sofa membaca buku-buku bagus tentang parenting, dan tanpa sengaja meletakkan buku lain yang mengupas serius tentang Bagaimana Seorang Ibu Membesarkan Anaknya Sendirian di meja.
Tapi bukan karena buku itu senyum Nathan yang tadinya mengembang begitu melihatku lantas berubah layu. Nathan tidak menyadari buku itu. Melainkan perutku yang tampak lain dan berat badanku yang berubah. Setidaknya asupan giziku bagus.
Nathan meletakkan dua kotak itu di meja. Matanya tak lepas mengamatiku.
"Kau, tampak lain," ujarnya ragu. Dia duduk di sofa seberang. Masih mengamatiku.
"Lebih menarik?" aku meletakkan buku di tangan dan tanpa berusaha membuat alasan langsung meraih kotak pizzaku yang berlabel hijau.
Nathan mengamatiku membuka kotak itu, berdecap dengan tampilan isinya, mengendus aroma hangat lelehan keju dan aroma uap sayur yang belum matang. Dia melihatku mengambil potongan pertama dan menggigitnya seolah aku tak pernah benci dengan sayuran di atas pizza.
Aku tidak mencegah saat Nathan mengambil buku yang tergeletak di meja. Malah kubalas tatapan bertanya itu dengan senyuman baik-baik saja. Jujur, jika ada orang yang harus tahu keadaan sebenarnya selain Tyra, dia adalah Nathan.
"This is unreal," mulutnya melongo kemudian.
"Makan dulu pizzamu."
"No, Bella. Please. Jelaskan," suaranya lirih namun tetap jelas penekanannya.
Aku tidak ingin mulai emosional. Tapi bulir bening tak bisa menahan dirinya sendiri untuk meluncur dari salah satu mataku saat aku sedang mengunyah. Melihat Nathan yang ikut merasakan imbas dari ini semua membuatku sangat merasa bersalah.
Makanan yang sedang dalam kunyahan seperti sekeras batu. Mulutku kemarau yang seharusnya berliur melumat pizza yang sedang kukunyah. Aneh. Bagaimana pun makan di saat sedu tak pernah menjadi enak.
Nathan seperti kebingungan. Tatapannya semakin menampilkan bahasa teka-teki yang membingungkan dirinya sendiri.
"Abimana?"
Aku menggeleng. "Kau memang perlu tahu soal ini. Tapi sebelum aku menceritakan semuanya, aku ingin menegaskan bahwa urusanku yang ini tak akan pernah menjadi urusanmu juga."
"A-apa ...." Nathan menggeleng dengan napas mendesak, "Bella."
"Abimana tak ada kaitannya dengan ini." Aku meletakkan potongan di tanganku ke kotaknya lagi. Padahal awalnya aku ingin mengulur semuanya sebelum kuberitahu Nathan. Tapi ini sudah tidak bisa ditarik ulur kembali.
"Dave," tanpa nada tanya.
"Jangan pernah menjatuhkan dirimu pada urusan ini, Nath."
"Benar Dave?"
"Pegang janjimu."
Wajah Nathan memerah. Dia seperti bingung harus menatapku atau pura-pura mengalihkannya ke arah lain. "Apa ini alasan dari banyak hal rumit yang ... imbasnya pada jarak antara kita sekarang, Kak?" katanya, "Kenapa kau menyembunyikan ini sendirian? Aku tidak akan pernah mempermasalahkan apapun. Kau menjauh dan membuat segalanya terasa genting, karena kau tidak bisa memberitahu semua orang tentang ini?"
Pada saat itulah, dengan emosi yang ditahan-tahan aku menceritakan perlahan pada Nathan. Dan berulangkali membuatnya berjanji untuk tak pernah melibatkan diri pada masalah ini. Tidak pada Abimana, atau bahkan pada Dave; yang Nathan seperti ingin sekali membunuh dan mengadukannya sebagai kriminal.
"Kau peduli padaku ketika tak ada satu pun manusia yang peduli. Aku mungkin akan memegang janjiku untuk tidak terlibat dengan masalahmu. Meski aku sangat ingin terlibat. Tapi kau juga harus berjanji, aku ada di kehidupanmu untuk bisa meniup luka pedihmu juga. Kau boleh tidak memercayai ini, tapi setiap malam aku seperti memikirkan berjuta cara bagaimana membalas kebaikanmu padaku," suara Nathan bergetar. Aku sangat tersentuh ketika melihat Nathan beberapa kali sembunyi-sembunyi menyentuh ekor matanya dengan telunjuk. Mau dia menyembunyikan sekeras apapun, orang yang berduka selalu bisa dikenali.
"Keluarga tetap bersama, Bella. Satu-satunya keluarga yang aku miliki adalah dirimu. Dan aku tidak merasa salah kalau harus menyebut aku adalah satu-satunya yang kau miliki juga. Kita merasa bisa menjadi keluarga karena memiliki luka yang sama. Kau berjanji akan meniup lukaku, dan sejak itulah aku berjanji akan menyembuhkan lukamu. Tapi sekarang ...," dia menggeleng. Kali ini tanpa menahan lagi dia memperlihatkan satu aliran itu. lalu beranjak ke sofaku, dan berkata, "Bolehkah aku memelukmu dan kau hanya akan membiarkanku melakukannya tanpa menahanku dengan alasan apapun?"
Aku rindu anak ini dalam banyak hal. Dan ya, aku membiarkannya.
***
"Lalu apa rencanamu setelah ini?" Nathan datang dari dapur membawa dua kaleng minuman dingin. Pizzanya tersisa dua potong lagi. Aku mengambil sepotong.
"Live life in full bloom. We are young," jawabku masih songar. Kita sepakat untuk tidak berlarut dalam biru. Maksudku, sebelum Islam datang menyentuhku, hamil bukanlah masalah yang besar. Tapi amat sangat berbeda untuk sekarang.
"Setidaknya nanti kita tidak hanya berdua," kata Nathan sambil mencongkel kalengnya, "Meski rasanya aneh kau tak akan menuntut siapa pun. Kurasa Dave akan mau melakukan apa saja kalau kau mengatakannya yang sebenarnya. Tapi, kurasa itu tak bisa. Dia hanya akan merasa berhasil kalau akhirnya kau meminta sesuatu darinya."
"Kau paham itu."
"Jadi kau hanya akan melanjutkan hidup, dan menanti dia lahir?" Nathan menunjuk perutku.
"Kau bisa membantuku untuknnya."
Dia tersenyum, "Well, aku tak pernah memiliki manusia kecil di sekitarku," katanya, "Kau sudah menyiapkan nama?"
"Aku tidak tahu."
Dia berdecap.
"Bagaimana persiapannya?" aku bertanya tentang bisnis yang akan dia jalankan. Meski tak pernah kubalas, tapi Nathan rajin mengirimiku laporan dari penggunaan uang yang aku investasikan untuknya. Pekarangan rumahnya sudah dibuatkan kanopi-kanopi lebar untuk menaungi. Dia juga sudah menyiapkan beberapa furnitur yang dikustomasi. Menu-menu makanan utama dan khusus. Aku juga tidak keberatan saat dia berkata beberapa mahasiswa kenalannya ikut bekerja dengannya secara paruh waktu. Pun Abimana yang kata Nathan selalu terlibat. Omong-omong, dia masih tinggal di rumah itu. Aku pernah memaksa Nathan, apapun yang terjadi, dia harus bisa menahan Abimana untuk tidak pergi dari rumah itu.
Aku juga mendapat kabar lain. Setelah resmi resign dari kantor Dave, Abimana sekarang bekerja bersama komunitas. Dia mendapatkan pekerjaan barunya itu sebagai pengisi acara bermuatan islami di radio komunitas.
"Hanya saja," kata Nathan, "Dia sedang sering pulang telat karena bulan depan adalah pernikahannya. Dia bilang ada beberapa yang harus diurusi termasuk kedatangan keluarganya dari Indonesia. Ya, pastinya kau sudah tahu tentang itu, kan?"
***
H-12 PO
Klik link di bio untuk bergabung di grup pembaca IMD-TSK supaya tidak ketinggalan waktu PO.
:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top