BAB 12: Jem Apel
IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge
BAB 12: Jem Apel
Diunggah pada: 15/11/2017
Revisi: --/--/----
***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
BAB 12
JEM APEL
{Faris Kamil}
1
Yang memiliki pikiran pelik tentang jodoh bukan hanya perempuan. Justru laki-laki juga tidak kalah sibuknya memikirkan ini, hanya saja kami lebih pandai menyembunyikannya dari pada berekspresi.
Laki-laki memiliki tanggungjawab lebih besar. Dia seperti nahkoda bagi kapal, masinis bagi kereta, pilot pada pesawat dan yang jelas imam dalam sholat. Apabila baik dalam perannya, baik pula yang diemban. Banyak laki-laki yang menunda buat menikah karena tak sedikit yang merasa takut pada evolusi mental perempuan yang semakin hari kian materialistis. Iya, memang tidak semua begitu, tapi setidaknya mewakili apa yang terjadi pada masa sekarang. Dan evolusi mentalnya juga tak selalu seburuk ini, ada banyak yang bahkan berdampak positif. Tapi salah satunya memang itu.
Menurutku, memanglah tidak salah berpikir soal materi, karena dalam membangun kehidupan yang sejahtera itu tak bisa dilepaskan dari ketersedian materi yang menjamin. Boleh saja memimpikan hidup bahagia dalam cinta, tapi kembali lagi pada realita yang ada.
Di usia yang menginjak 26 tahun ini, aku mulai mendapat pertanyaan soal pernikahan. Lebih sering yang bertanya itu mereka yang bekerja di perkebunanku. Itu hak mereka untuk bertanya, dan hakku juga untuk tidak menjawab. Mungkin aku salah satu dari sekian banyak laki-laki yang takut mengecewakan perempuan. Aku tak ingin meminang perempuan hanya bermodalkan cinta. Siapa pun dia yang akan menjadi istriku kelak, aku ingin membuatnya bersyukur bisa memilikiku. Jika yang dituntut adalah cinta, kesetiaan, atau bahkan kejujuran, aku bisa memberikannya sebanyak yang dia mau. Tapi yang namanya harta, itu ada takarannya sendiri untuk menikmatinya.
Aku tak pernah menargetkan di usia berapa harus bebas dari urusan finansial. Target hanya batas minim, selebihnya hanya ekspektasi. Karena itu aku selalu bekerja secukupnya saja, dan hidup sebagaimana manusia pada umumnya.
Menjadi seorang polisi hutan memang tak sepopuler BRIMOB, Polantas atau pun Densus 88. Karena daerah operasi kami ya di hutan, tempat-tempat terpencil. Karenanya harus memiliki jiwa dan mental kuat apabila sedang mendapat patroli di tengah hutan dengan sekelompok kecil saja. Kami juga bukan bagian dari Polri. Kalau yang belum tahu, Polhut itu berada di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Taman Nasional, Balai KSDA dan Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten/Kota, ini untuk polhut yang berstatus PNS. Sementara saya merupakan yang Non-PNS, mendapat tempat di Perhutani. Tugasnya ya hanya di wilayah hutan kabupaten saja.
Selain tugas pengawasan, yang harus saya hadapi itu bukan melulu soal cukong-cukong kayu yang curang. Tapi lebih dari itu kami memeluk alam dengan sayap-sayap pelindung kami. Seolah menjadikan alam sebagai bagian dari diri kami sendiri. Kami juga melakukan pemburuan, dan mangsa kami adalah pemburu yang seperti kalian pahami. Selebihnya, kalian akan tahu perlahan.
Sejak sore tadi, hujan turun deras. Aku dan Yudi masih berada di tengah belantara jati yang luas. Jauh dari gubuk pantauan yang bisa digunakan untuk berteduh. Alih-alih menghindari basah kuyup, daun sente yang aku pegang malah sobek gara-gara terhempas angin kencang. Sementara Yudi masih aman di bawah batang pisang. Kasus pencurian kayu yang belakangan terjadi membuat kami harus berada pada situasi seperti ini; sebuah risiko yang kadang kala harus sesekali dinikmati.
Pelan-pelan kami berjalan di bawah pepohonan jati yang tinggi. Karena daun sente sudah tidak efektif lagi, aku membuangnya di dekat semak. Akhirnya nekat menerabas hujan dengan keadaan kuyup. Aku melangkah di depan memimpin jalan, suara serak panggilan walky talky di dada kiri mengisyaratkan anggota yang lain sudah sampai di gubuk. Tadi kami berpencar melakukan patroli.
Ketika akhirnya sampai, di sana sudah ada enam orang yang sedang berteduh. Itu pun kami masih harus berjalan jauh agar sampai pada tempat motor kami disimpan.
"Bagaimana?" Agung, pemimpin patroli ini menanyaiku.
"Tidak ada yang mencurigakan."
"Jadi mereka baru menjarah di wilayah Barat. Tadi sudah saya ambil kartu memori dari kamera pengintai di area sana. Coba nanti kamu teliti ya. Laporannya saya tunggu secepatnya."
"Siap, Ndan."
Aku pernah melakukan ini, melihat hasil perekaman, dan yang kami dapati kadang tidak sesuai harapan. Alih-alih memergoki pencuri, yang didapat justru penampakan kawanan babi hutan, macan, rusa, dan tak jarang sekelabat makhluk aneh. Ya, ini hutan, bisa dimaklum. Yang pernah kami hadapi ada yang lebih menegangkan dari sekadar penampakan begituan.
"Kita ini super hero," kata Yudi yang sedang memeras bajunya. "Nyari penjahat di hutan-hutan."
Aku tersenyum mendengar cara bicaranya yang pede sekali.
"Super Hero bujang," Agung menyeletuk, membuat kami tertawa lebar. Tertawa laki-laki perkasa yang gelegarnya lebih bangga dari pada guntur di atas petala langit.
Di kelompok ini hanya aku dan Yudi yang masih membujang. Tapi agaknya bulan depan Yudi akan mendahuluiku.
Di urusan ini aku akan bersabar. Meskipun akhirnya teringat juga pada kejadian sebulan yang lalu. Saat secara mengejutkan Kiai Rasyid mampir ke perkebunanku bersama dua orang santrinya.
Ketika itu aku sedang memeriksa lima belas pohon mangga di kebun sebelah Barat, memastikan apakah buah-buahnya sudah layak dipanen atau belum, tetapi agaknya masih perlu beberapa minggu lagi agar bisa mantap dipanen. Tidak semuanya akan dijual, tapi aku menyisakan satu atau dua keranjang barangkali Nabila ingin menikmatinya juga.
Pak Imran berlari tergesa menghampiriku yang sibuk mendongak ke atas pohon dengan tanpa mengenakan baju, maksudnya hanya bertelanjang dada, gerah. Dia berkata terengah-engah, "Mas, Mas Faris, ada tamu agung."
Aku menoleh padanya, "Siapa?"
"Romo Kiai Rasyid, Mas Faris. Itu beliau datang bersama dua santrinya."
Aku terkejut mendengar informasi itu. Karena yang kutahu Kiai Rasyid jarang sekali keluar dari lingkungan pesantren kecuali untuk mengisi pengajian di suatu tempat. Beliau adalah sosok yang paling dihormati di desa ini, ibaratnya matahari kedua yang menyinari siang, bulan kedua yang memberi penerang malam, dan peneduh kedua setelah awan untuk hati yang kering kerontang tanpa sejuknya iman.
Belakangan aku rutin mengikuti pengajiannya di hari Minggu pagi. Dan aku yakin beliau pun tidak terlalu mengenali wajahku karena aku duduk di barisan paling belakang di antara bapak-bapak, atau paling sering sebelahan dengan seorang kakek tua. Terlepas dari itu, aku menjadi pengunjung yang paling muda di antara yang lain, kecuali para santri yang ada. Ini mungkin yang akan menjadi kontras.
"Yo wes, biar saya yang rampungkan periksa buah."
"Ndak perlu, Pak Imran temani saya saja. Saya takut gentar kalau menghadap Romo Kiai sendirian. Lagian di rumah ndak ada siapa-siapa to?" kataku sambil gugup memakai kaos.
"Yo wes, saya temani. Tapi nanti saya saja yang menyiapkan jamuan. Barangkali Pak Kiai perlunya sama Mas Faris bukan sama saya juga."
Aku tidak yakin, tapi yang kulakukan hanya mengangguk.
Tak menunggu lama, akhirnya aku dan Pak Imran berjalan tergesa kembali ke rumah. Melewati deretan tanaman jagung yang tinggi, dan hempasan angin yang membuat klaras-klarasnya bergemerisik.
Saat rumahku sudah terlihat, jantung mendadak berdebar manakala melihat sosok Kiai Rasyid sedang berdiri di depan rumahku. Beliau melemparkan pandangannya ke ladang jagung nan luas, menerabas tiap tangkainya sampai tertuju pada kubah masjid pesantren miliknya. Benar, aku bisa melihat kubah pesantren dari depan rumahku. Sementara itu, dua santrinya yang sering aku lihat ketika mengikuti pengajian sedang berdiri di dekat pohon ekaliptus. Mereka berdua berdiri dengan keadaan menunduk penuh takdzim.
Dari jarak langkah yang semakin mendekat, aku mulai bisa mengerti apa yang sedang dirasakan dua santri itu. Kiai Rasyid, sekalipun perawakannya tinggi dan sudah sangat beruban, tapi caranya berjalan masih tegap dan tanpa bungkuk. Bekas-bekas fisik mudanya yang perkasa masih membayang di tubuhnya. Perutnya tidak buncit dan badannya normal. Aku selalu senang kalau diam-diam melihat wajah beliau lekat-lekat ketika sedang mengajar, hanya karena yakin kalau tatapan kepada seorang guru akan membawa berkah. Dan sekarang, di jarak yang sedekat ini yang ada dalam dadaku hanya gemuruh bahagia yang bercampur bersama ladunya sebuah penghormatan. Aku setuju sekali pada sebuah pernyataan yang berkata bahwa ketika kita berada di dekat orang alim, maka dosa-dosa yang ada pada diri kita akan muncul semua di dalam kepala, tiba-tiba saja aku memikirkan semua dosa itu.
"Assalamualaikum," kataku sambil berjalan membungkuk mendekati beliau. Tubuhnya menoleh dan langsung memancarkan sebuah senyum ketenangan. Aku menggamit tangan kanannya untuk mencium. Tapi, keterkejutanku bukan hanya sampai pada pertemuan ini, namun semakin terasa ketika dia memberi kesempatan untuk benar-benar mencium tangannya. Semua orang tahu kalau Kiai Rasyid jarang sekali mau dicium tangannya. Dan kali ini aku beruntung, bahkan beliau menepuk pundakku juga.
"Waalaikumsalam, anak muda," jawab beliau, suaranya sangat menenangkan sekali.
Kulihat Pak Imran langsung menyelundup masuk ke dalam rumah, mungkin sesuai janjinya tadi dia yang akan menjamu.
"Tidak perlu kamu paksakan datang kalau pekerjaannya belum selesai," ucapnya seolah tahu kalau aku tadi sedang sibuk. Tapi apa mungkin aku akan tetap menyibukkan diri sementara ada tamu agung di rumahku?
"Injih, Pak Kiai, tidak apa-apa," aku berusaha untuk selalu menundukkan kepala. "Monggo, Kiai. Pinarak teng dalem." (Silahkan, Kiai. Duduk-duduk di dalam.)
"Tidak usah. Saya, datang ke sini hanya ingin memandang desa dari sudut pandang yang lain. Dan di sini ternyata semuanya terlihat bagus, Nak Faris."
Aku sedikit mengangguk. Di saat yang bersamaan kembali dikejutkan mendengar beliau menyebut namaku. Bagaimana beliau bisa tahu?
Lalu aku menggeser posisi berdiri. Memberanikan untuk bersejajar dengannya di sisi kiri dan ikut memandang desa. Memang, dari depan rumahku jangkauan pandang ke arah rumah penduduk terlihat bagus.
"Maaf Kiai, tidak sopan rasanya kalau saya membiarkan Kiai duduk seperti ini. Sebagai tuan rumah, sudah menjadi kewajiban bagi saya untuk menjamu tamu dengan sebaik mungkin," kataku penuh gugup.
"Lalu, kamu ingin saya duduk?"
Aku bungkam dan hanya menunduk.
"Baiklah, saya akan duduk," terdengar kekeh sederhana dari beliau. Aku sedikit takut kalau yang kulakukan tadi bukanlah sesuatu yang sopan. Aku benar kan meminta tamuku untuk duduk?
Kemudian aku mengikuti langkahnya ke teras. Beliau tidak mau masuk ke dalam, tapi duduk di kursi yang ada di teras. Dua santri itu, hanya dengan melihat kibasan sederhana dari tangan Kiai Rasyid sudah mengerti apa maksudnya dan langsung pergi. Terus kenapa mereka meninggalkan Kiai Rasyid di sini? Atau, kenapa Kiai Rasyid ingin ditinggalkan?
Untuk mengusir kecanggungan, meski sulit, aku mengusap lengan sebagai pengalih perhatian.
Kami hening sesaat. Benar-benar tidak tahu harus membuka percakapan dengan apa, beliau datang kemari dengan perlu apa itu pun aku tidak tahu. Yang beliau lakukan hanya sedikit tersenyum, berkekeh pelan seperti ada yang lucu, menghela napas, mengangguk-angguk, sembari tatapannya mengarah ke rumah penduduk. Kadang penasaran dengan apa isi kepala orang-orang seperti beliau. Apakah mereka bisa menjangkau apa yang akal manusia bodoh sepertiku ini tidak bisa?
Pak Imran keluar membawa nampan berisi dua cangkir teh yang mengepul uapnya. Ini kesempatanku untuk berbasa-basi mempersilahkan beliau.
"Nak Faris ini, polisi hutan to?" tanya beliau waktu itu.
"Betul, Kiai."
"Bagaimana keadaan hutan kabupaten kita saat ini?" duh, kenapa beliau bertanya tentang ini.
"Keadaannya, tidak lebih buruk dari yang sudah-sudah, Kiai. Meskipun masih banyak pencurian kayu, penyadapan getah secara liar, penggunaan lahan tanpa izin, dan yang masih cukup parah soal perburuan satwa. Tapi, alhamdulillah saya dan tim sedang semakin gencar berpatroli," aku menahan napas ketika berhenti, menimbang-nimbang apakah jawabanku tadi terlalu panjang atau tidak.
"Masih banyak yang seperti itu?"
"Tidak terlalu banyak."
Tak lama setelah itu, beliau tiba-tiba membelokkan topik.
"Bagaimana menurutmu soal masyarakat desa ini? Apa ada yang perlu diperbaiki atau diubah?"
"Kenapa Kiai menanyakan itu?"
"Saya ingin mendengar perspektif banyak orang."
Aku terdiam sejenak, memproses semua hal yang memang sedari dulu berdenging di dalam kepala soal protes tehadap hal-hal yang demikian. Tapi aku sadar harus bisa menyampaikannya denga cara yang benar, karena yang sedang aku hadapi ini adalah Kiai Rasyid.
Aku berdehem sebelum menjawab, "Menurut saya tidak ada yang perlu diubah soal budaya masyarakat di desa ini Kiai. Zaman senantiasa berubah dan itu sudah menjadi semacam hukum alam bahwa manusia harus mengikutinya. Modernisasi sosial, gaya hidup yang sedemikian canggih, rakyat yang susah dibohongi lagi, dan informasi yang serba cepat. Manusia dari segala penjuru cepat atau lambat tetap akan mengikuti perubahannya. Menurut saya," aku terhenti di sini. Khawatir beliau berpikir kalau aku sedang sok tahu.
Tapi beliau seolah bisa membaca pikiran, "Kenapa? Saya sedang menikmati jawabanmu, Nak Faris."
Aku semakin menunduk mendengar beliau berkata demikian. "Menurut saya yang perlu diperbaiki dan dibangun kembali adalah pola pikir dan kesadaran masyarakat. Bagaimana mereka harus tetap bergulir bersama zaman tanpa merusak, makanya perlu ditanamkan pengetahuan etika. Yaa, sebagai salah satu cara terbaik adalah dengan menggugah masyarakat untuk terus merasa haus dengan ilmu agama, bisa dengan rutin mengikuti pengajiannya Pak Kiai misalnya."
Dia seperti tertawa kecil, tapi mulutnya masih terkatup.
Aku memberanikan untuk ikut terkekeh lirih. "Yang saya amati, kesadaran pemuda di sini pada pembangunan desa sangat rendah. Mereka seolah memasrahkan semuanya pada pemerintahan desa. Seolah tidak mau tahu dan hanya protes. Ditambah keadaan Kepala Desa kita yang, mohon maaf, banyak mendapat cibiran. Pamong desanya yang semuanya adalah orang tua. Tidak ada peran pemuda di sini. Jadi tidak heran jika akhirnya saya menilai tata arah desa ini sangat, kolot. Masih banyak di antara pemuda dan pemudinya yang berpikiran buat-apa-sekolah-tinggi-tinggi. Jadi mereka tidak peduli dengan pendidikan, makanya banyak pelanggaran etika yang tak kasat."
"Nah, bagaimana menurutmu tata arah desa yang baik?"
"Kiai jauh lebih mengerti dari saya."
"Lho, saya ini orang tua. Kamu sendiri to yang bilang sudah saatnya pemuda bicara. Nanti kalau saya yang berpendapat malah, kolot."
"Maaf Kiai," kataku sambil tertunduk malu. "Bukan begitu maksud-."
"Katakan saja apa yang ada dalam gagasanmu."
Akhirnya aku pasrah saja dari pada malu. Berada di dekat orang seperti beliau rasanya memang seolah apa yang ada di dalam benak keluar semua. Tak bisa berbohong.
"Tatanan baru dengan pemuda yang jadi perannya. Mulai dari kepala desa, pamong, sampai pelaksanaan program-program terencana. Biarkan yang tua istirahat, giliran yang muda yang menyingsingkan lengan baju."
Aku tidak ingat seberapa jauh percakapan kami. Intinya setelah itu beliau menanyakan soal profesiku. Iya, sedikit aneh memang, namun aku senang sekali bisa menjelaskan tugas-tugas yang harus diemban oleh seorang polisi hutan.
Beliau duduk di sana sampai menjelang pukul sebelas siang. Saat itu juga dua santrinya yang tadi pergi kembali lagi. Aku tidak tahu mereka pergi ke mana sebelumnya.
Karena tidak punya sesuatu yang istimewa untuk diberikan kepada beliau sebagai buah tangan, aku meminta Pak Imran untuk memetikkan jagung muda sebanyak satu karung ukuran sedang agar bisa dibawa pulang. Tidak, Kiai Rasyid sama sekali tidak menolak atau basa-basi dengan pemberianku. Beliau juga selama aku tahu, memang tak pernah menampakkan ekspresi perasaannya secara berlebih.
2
Seperti yang pernah aku ceritakan, bahwasanya laki-laki juga memikirkan soal pasangan. Bagiku sendiri, aku tidak memiliki standar calon yang muluk-muluk. Aku sadar diri saja, siapa aku? Percuma mematok standar tinggi tapi diri masih berada pada taraf cetek dari standar yang dipatok sendiri. Aku sama seperti kebanyakan orang, ingin mendapatkan pasangan yang bisa menerima apa adanya. Hanya itu. Selebihnya, biar kelebihanku dan kelebihannya bisa dijadikan penutup bagi kekurangan masing-masing.
Tak pernah aku sangka, empat hari setelah kedatangan Kiai Rasyid. Giliran Gus Alwi yang bertandang ke rumah. Meski dengan penuh kesusahan, akhirnya kursi rodanya berhasil didorong sampai ke teras rumahku. Kedatangannya malah membuatku berjanji pada diri sendiri untuk membuat akses baru bagi yang berkebutuhan khusus agar bisa main ke perkebunan tanpa hambatan.
Beliau datang hendak memesan jagung muda, katanya ketagihan dengan rasa manis dari jagung yang tempo hari aku jadikan oleh-oleh buat Romo Kiai.
"Tidak perlu membeli, Gus. Silahkan petik saja sebanyak yang Gus Alwi inginkan," kataku pada beliau.
"Saya datang untuk membeli, Mas Faris. Bukan untuk meminta," beliau tersenyum. Memang, semua orang juga mengakui kalau perangainya lebih santun dari pada putra Kiai Rasyid lainnya, dan wajahnya lebih tampan pula. Sekalipun sepanjang hidupnya dihabiskan di atas kursi roda, tapi beliau sudah layak dimasukkan ke dalam daftar pengusaha muda yang sukses.
"Saya tidak akan menerima uangnya sekalipun Gus Alwi memaksa," aku berkekeh. Bagaimanapun, aku dan Gus Alwi ini sepantaran. Hanya saja, aku tidak menemukan dia dalam kenangan masa kecil. Karena beliau juga lebih sering di pesantren dari pada main. Namun, aku pernah melihatnya bermain di tepi sungai ditemani santri Kiai Rasyid. Dan belakangan aku sering ngobrol dengannya ketika mengikuti pengajian di pesantren.
Akan tetapi, membeli jagung hari itu ternyata hanya sebagai basa-basi saja. Sebab akhirnya beliau mengatakan tujuan utamanya. Ini lebih tidak pernah aku kira lagi. Gus Alwi sengaja datang karena disuruh oleh Kiai Rasyid untuk menemuiku. Beliau menyampaikan sebuah undangan ke rumah Kiai. Katanya ada sesuatu yang ingin disampaikan. Jantungku mendadak ribut sekali, gaduh menerka keperluan apa sampai-sampai harus mengutus Gus Alwi yang, maaf, memiliki keterbatasan akses.
Setelah Gus Alwi menyampaikan maksudnya, beliau juga betah lama-lama di rumahku untuk melihat perkebunan. Katanya nyaman kalau bisa tinggal di rumah seperti punyaku.
Malamnya, aku benar-benar datang ke rumah Kiai Rasyid. Memakai celana bahan yang disetrika melipit dan baju batik berbahan halus mirip sutera, cukup sopan ketika aku mengenakan kopiah.
Aku tidak ingin menceritakan apa saja yang dibahas ketika aku, Kiai Rasyid, dan Gus Alwi duduk di ruang yang sama. Jelasnya, ruhku seolah terlepas ketika melangkahi pintu rumah Kiai untuk pulang. Pikiranku buyar. Tidak ada sendi yang benar-benar berfungsi dengan baik. Bahkan aku mengendarai motor dengan pikiran entah bagaimana penjelasannya.
Bagaimana tidak? Seorang pemuda yang kedua orang tuanya telah tiada ini, diminta untuk berkenalan lebih dekat dengan putri tunggal Kiai. Mengenal dalam artian apa? kalian bisa menebaknya sendiri.
Apakah aku lantas menerimanya dengan mudah? Tidak, aku menolaknya. Dengan alasan siapa aku dibanding mereka? tidak ada pantas sedikitpun apabila laki-laki bodoh yang cuma lulusan SMA ini mengenal dekat putri Kiai yang berilmu agama dan berpendidikan formal tinggi. Aku tidak bisa. Yang ada nanti jadi buah bibir masyarakat kalau semuanya berjalan sampai jauh. Aku tidak ingin menodai nama baik keluarga itu dengan keberadaanku di antara mereka.
Akan tetapi, lain lagi ceritanya ketika aku merundingkan ini dengan Nabila. Dia malah menerima, dia mendukung dan seolah ingin agar aku cepat-cepat memulai perkenalan. Katanya, jodoh memang tidak pernah diduga kedatangannya, bahkan bagaimana cara dia datang pun tak pernah kita tahu. Nabila berpikiran bahwa perempuan seperti putri Kiai, pasti bisa mengerti keadaan laki-laki yang kelak menjadi pasangannya tanpa merendahkan statusnya. Tapi aku membantah, perempuan yang berpendidikan formal tinggi pasti akan mengharapkan, minimal, laki-laki yang kapasitas ilmunya setara dengan dirinya. Apalagi, bukan tidak mungkin kalau seorang Dinda Humaira Rasyid akan melanjutkan pendidikannya ke S2. Apa yang terjadi jika aku tetap mau mendekati? Aku hanya akan menjadi aib buatnya. Mungkin.
Lalu Nabila menggunakan profesiku sebagai pendorong. Bukan berarti aku merenedahkan profesiku, tapi gaji yang aku dapat tidak seberapa dan rasanya jauh dari harapan sosok putri Kiai yang barangkali ingin dimanja. Lagi-lagi Nabila menyela, katanya bukan perempuan berpendidikan tinggi kalau masih menilai suaminya dari kekayaan harta, bukan akhlak.
"Mas Faris memiliki akhlak yang baik di mata Nabila. Renungkanlah, Mas, menurutmu apa alasan Kiai Rasyid yang tak disangka-sangka memberikan tiket emas itu padamu?"
"Mas tidak tahu, Bil."
"Ya itu alasannya."
"Bagaimana kamu menyangka seperti itu?"
"Lalu kalau yang dipandang Kiai Rasyid itu adalah harta kekayaan, kenapa bukan Mas Dani putra tunggal haji Ridwan yang kaya itu yang diberi kesempatan? Itu karena Kiai Rasyid memiliki pandangan yang lain. Mas, ada sesuatu yang tidak bisa orang-orang biasa seperti kita lihat tetapi bisa dilihat oleh beliau."
"Menurutmu begitu?"
"Coba saja. Jodoh itu barangkali cuma satu, Mas. Kalau ternyata ini jalannya, dan kamu melewatkan. Yakin tidak akan menyesal?"
Aku terdiam seribu bahasa.
"Bagaimana kalau semuanya tidak berjalan sesuai kehendak?"
"Kiai Rasyid dan keluarga memintamu untuk mengenal dulu, kan? Bukan untuk ke arah yang lebih jauh? Iya mungkin maksudnya itu, tapi untuk sekadar berkenalan, apa yang salah."
Akhirnya aku memutuskan untuk mengiyakan. Mencoba dulu saja.
Beberapa hari kemudian Gus Alwi kembali main ke rumahku untuk menanyakan apakah aku mau atau tidak. Dan dengan ragu-ragu, aku menjawab iya.
Di saat itu, dengan antusiasnya Gus Alwi menceritakan sedikit kilasan tentang Dinda. Aku berusaha untuk tetap tenang dan tidak memberi respon yang berlebih.
Dari sinilah aku tahu kalau Dinda sangat menyukai jem apel. Kebetulan sekali aku memiliki sedikit modal di sebuah kebun apel yang dikelola oleh seseorang. Aku tanam modal di sana. Itu bukan kebun yang besar, masih tahap percobaan tapi hasilnya sudah lumayan bagus. Makanya aku tidak ragu untuk memintanya beberapa buah untuk dibuatkan jem sama Nabila, dan memberanikan diri untuk mengirimkan jem itu untuk dia yang di Bandung.
Bersama sebuah memo singkat aku mengantar paket berisi botolan jems ke jasa kargo.
---o0o---
Jangan lupa kasih bintang dan silahkan komentar sesuka kalian. ☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top