BAB 11: Cinta Yang Tertunda

IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge

BAB 11: Cinta Yang Tertunda
Diunggah pada: 09/11/2017
Revisi: --/--/----

***

Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

BAB 11

CINTA YANG TERTUNDA

{Dinda Humaira Rasyid}

1

Aku tidak merespon apapun itu maksud dari perkataannya. Dia pasti ingin menggodaku biar salah tingkah. Atau biar dia bisa puas menjebakku pada posisi yang aneh.

"Kok kamu diam saja," katanya setelah dia menghabiskan makanannya. Kami terhening setelah dia bilang 'mengkode'.

"Ada yang perlu aku jawab memangnya?"

"Nggak ada."

"Lalu kenapa harus bilang?"

"Kamu lagi pura-pura ya Dinda."

Ih!

"Pura-pura apa sih Mas!"

"Mas?" katanya terkejut.

Aku segera menutup mulut yang sedari tadi sudah menolak untuk dimasukkan makanan. Aku memang masih suka kelepasan memanggil laki-laki sini dengan panggilan 'Mas'. Padahal harusnya 'Akang' atau 'Aa'. Tapi tak ada yang perlu disalahkan bukan? Aku belum terbiasa saja.

"Jangan romantis begitu ah. Saya jadi nggak enak," katanya dengan tatapan yang seakan ingin meninggikan rasa maluku. Dia benar-benar kepedean! Apa sih yang romantis di sini! Aku cuma kelepasan memanggilnya 'Mas'. Dan itu bukan hal yang salah kurasa.

"Apanya yang romantis, Kang! Aku kelepasan aja."

"Tapi saya suka itu. Belum pernah dipanggil pakai 'Mas'. Kok kedengarannya bagus ya, 'Mas Abimana'. Duh, kebetulan itu nama saya Jawa sekali."

"Tadi aku cuma kelepasan. Dan nggak ada unsur romantis-romantisnya!"

"Bagi saya beda lagi."

"Apanya yang beda?"

"Seperti saya lagi pacaran sama kamu. Karena kamu orang Jawa, maka manggil sayanya pake Mas."

Rahangku mengetat. Bersama sergapan rasa panas di seluruh pipi. Ini orang benar-benar keterlaluan!

Hei, Abimana! Aku tahu kamu nggak akan pacaran. Dan jangan harap kalau bilang yang kayak gitu bakal bikin aku senang. Tidak! Jika iya pun, kesenangan itu rasanya abu-abu. Karena kalau ... kamu tahu aku menyukaimu (Ya Tuhan, aku benar-benar mengakui pada diri sendiri kali ini). Itu akan menjadi kesakitan buatku saja.

Kamu tak tahu, di jarak sedekat ini, ada lolongan yang mengganggu. Aku ingin mengaku. Aku ingin berkata. Aku ingin bicara. Aku ingin berujar. Aku ingin memberi isyarat. Aku menyukai setiap jengkalmu. Di dalam dada aku hanya bisa berkata itu. Andai kamu dengar. Kenapa manusia harus tidak bisa mendengar isi hati yang lainnya? Aku mencintaimu. Hei! Kamu tahu tidak! Aku berteriak lantang dalam hati, bahwa aku ingin. Tapi kamu tak mungkin.

Aku menunduk semakin dalam.

"Kenapa harus menekuk begitu kepalanya?" katanya. Itu tak sopan!

"Jangan bilang yang kayak gitu lagi."

"Memangnya kenapa?"

"Aku tahu kamu bukan yang seperti itu. Dan kamu juga tahu aku juga bukan."

"Maksudmu apa?"

Aku tidak menjawab. Menelan kembali tumpukan aksara yang sudah bergelantung di ujung lidah. Aku tidak ingin aksara itu terlontar dan membicarakan soal komitmen orang itu dan teman-temannya. Tidak! Biarlah dia dengan pilihannya itu. Aku tak apa! Tapi apa daya lidahku juga sama seperti yang lainnya, tak bertulang, sehingga aksara itu meluncur begitu saja.

"Aku tahu kamu nggak mungkin pacaran. Kamu punya komitmen itu sama teman sekamar. Jadi berhenti mengatakan yang aneh-aneh. Mungkin kalau kamu bercanda itu bukan masalah buatmu. Tapi kamu nggak tahu, apa yang mungkin saja dirasakan lawan bicaramu kan? Berhenti bersikap enteng," aku mengatakannya dengan gugup.

Kulihat sesaat, dia sedang menatapku dengan bibir terkatup.

Setelah berkata begitu. Aku serasa melakukan hal yang bodoh. Aku berdiri dari sana dan langsung membayar makanan. Lalu pergi keluar.

Bukankah aku tak harus bersikap demikian? Itu hanya membuat keadaan makin aneh. Dia akan semakin menyadari sesuatu dengan sikapku yang begini-begitu secara mendadak. Tapi aku juga tak tahu kenapa bisa sedrama ini dalam bersikap. Apa iya aku seperti berdrama? Tidak kan? Aku hanya menyelamatkan diri. Aku takut nanti semakin hanyut pada keabu-abuan kalimatnya itu. Rasaku abu-abu.

Saat sampai di tepi jalan raya, niatku akan segera kembali menyusul teman yang sedang berburu referensi di perpustakaan. Tapi apa daya aku takut menyeberang. Lalu lintas padat sekali. Dan nggak ada security yang berjaga di sana. Mungkin sedang istirahat di pos. Namun seseorang berlari sampai terhenti di sampingku.

"Jangan seperti ini," katanya. Itu Abimana.

Heran, kenapa dalam sesaat aku dan dia sudah seperti sepasang kekasih yang sedang berantem. Padahal aku tidak tahu apa yang dia rasakan padaku. kenapa dia mengejarku? Apa ini penting buatnya? apa berkata 'jangan seperti ini' memiliki makna yang lain?

Tolong, kamu yang jangan begini.

Dia merepet di sisiku. Lalu tangan kanannya diangkat dan itu membuat kendaraan yang berjalan memelankan kecepatannya.

"Ayo," katanya.

Tatapan matanya menjadi teduh. Ada nuansa bersalah dan khawatir di sana. Tolong jangan katakan itu karenaku.

Aku tidak bermaksud.

Kalau kamu tidak seperti dugaanku, maka berhentilah bersikap begini. Buatlah aku menjauh. Jangan mengejarku. Aku tidak bisa. aku tidak bisa membaca makna dari setiap tatapanmu yang misteri itu.

Saat berhasil menyeberang. Aku berjalan mendahuluinya untuk sampai ke perpustakaan. Dia tidak mengikutiku. Sepertinya berbelok ke lahan parkir untuk menemui motornya dan pulang. Aku juga tidak mengerti, kenapa tadi ... kenapa tadi aku bisa berduaan dengannya. Makan bersama seolah kami ini adalah pasangan yang diperbolehkan. Aku bingung dengan ketololanku sendiri. Kenapa aku bisa begini? kenapa? kenapa? kenapa Abimana bisa membuat lajur baru untuk kakiku melangkah? Dan apa alasan dari dia yang selalu terlibat denganku?

Mungkin ini salah satu jerat lelaki. Melakukan serangan tak kasat mata supaya incarannya luluh. Membuai dengan gerakan halus tanpa ketahuan. Tapi kenapa? Dia bahkan membuatku jatuh cinta tanpa menyentuh. Dia mengatakan kalimat-kalimat itu secara santai dan seolah biasa-biasa saja. Lalu kenapa hatiku bisa semeriah ini? ah! Ya Allah, tolong aku.

Mungkin ini adalah sebuah ujian baru. Bagiku, jatuh cinta adalah sebuah ujian terberat. Saat ini aku bisa merasakannya. Alurnya seperti berhasil membuat deretan titik spiral yang menghipnotis akalku tanpa sadar. Tapi apa mungkin Abimana melakukannya?

Aku dengan kesal mengambil buku dan membacanya di pojok karel. Berharap tidak ada yang melihat betapa redupnya wajahku oleh rasa-rasa itu.

Tepat ketika aku sedang mulai mereda. Betapa terkejutnya melihat ponselku berdering dan Abimana meneleponku. Satu kali, dua kali, tiga kali, tidak aku angkat! aku kesal! sebal! entah karena apa!

Dia mengirimi sebuah pesan kemudian.

"Angkat sebelum kamu menyesal," ketiknya.

Aku mencoba membuat penafsiran pada pesan itu. Tapi sebelum aku menemui sebuah makna. Dia meneleponku lagi. Mula-mula kudiamkan agak lama, tapi akhirnya dengan tarikan napas aku mengangkatnya.

"Maafkan saya," katanya seketika. aku tidak ingin mengatakan apapun. Biarkan dia yang berkata apa maunya. "Maaf kalau saya sering membuatmu tertarik pada situasi yang aneh. Saya terkejut kenapa kamu bisa tahu komitmen itu. Padahal saya nggak ingin ada orang yang tahu. Dinda tahu dari siapa?"

Aku tidak menjawab apapun.

Senyap cukup lama, kemudian dia berkata. "Baiklah. Saya ingin jujur."

Napasku tercegat seketika. Seolah di dada sudah tidak ada lagi ruang kosong untuk dijejali oksigen.

"Dinda, saya nggak pernah punya batuk. Sebulan kemarin saya menghilang bukan karena menutup komunikasi atau karena sesuatu yang kamu pikirkan, barangkali.

Saya tidak mengatakan ini pada siapapun, tapi saya ingin kamu tahu. Sedikitnya interaksi denganmu malah melahirkan sebuah rasa pada diri saya."

Napasku semakin sempit.

"Iya, saya memiliki komitmen itu dengan teman-teman, dan komitmen itu akan selalu saya jaga."

"Maksudmu apa? Tidak usah berkata begitu."

"Tidak akan berpacaran bukan berarti saya nggak bisa jatuh cinta, Dinda."

Padahal aku tidak sedang berada di jarak dekat dengan dia. Tapi rasanya kalimat itu dia katakan bersama kehadiran.

"Saya suka kamu, Dinda."

Aku terhenyak di sana. Terperangah pada apa yang baru saja aku dengar. Aku menutup mulut dengan tangan. Aku tidak merasa bahagia. Justru aku merasa takut.

"Teman-teman saya juga sama memiliki komitmen, tapi bukan berarti mereka tidak sedang dalam sebuah perasaan.

Entah kenapa saya bisa mengatakan ini. Saya nggak ingat kapan kali terakhir memiliki perasaan seperti ini pada seseorang. Jangan mengira selama beberapa bulan ini kita jarang berinteraksi secara langsung nggak membuat saya abai. Justru saya menikmati jarang itu, Dinda.

Saya menunggu kapan waktunya bisa berinteraksi dengan kamu. Jadi kenapa saya langsung berlari ke perpus, kamu sudah tahu alasannya.

Beberapa perasaan memang tidak butuh adanya keterbiasaan.

Maaf kalau saya lancang."

"Kamu jangan menggoda ya!" suaraku kacau sekali. Tak tahu bagaimana ini terdengar.

"Apa saya terdengar meragukan?"

Aku bungkam.

"Terus apa maksudmu?" apa aku tidak terdengar sedang memancing?

"Baik. Saya nggak ingin bertele-tele. Saya jatuh cinta sama kamu.

Selama saya sakit, saya hanya berharap bisa mereda sebentar biar bisa bilang ini. Tadi pagi saya nggak punya niat buat bilang, tapi reaksimu tadi membuat saya ingin.

Saya cuma ingin Dinda tahu. Kalau saya jatuh cinta sama Dinda. Saya tahu Dinda bukan perempuan yang seperti itu. Tapi saya yakin Dinda juga bukan perempuan bodoh yang nggak mengerti perasaan yang seperti ini, kan?"

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Kenapa sih orang ini selalu tiba-tiba. Dan kalau sudah begini harus bagaimana? Biarkan. Aku biarkan saja dia mau berbicara apa.

"Saya minta izin ke Dinda untuk punya perasaan ini. Saya juga ingin tahu bagaimana perasaan Dinda. Jangan dijawab sekarang. Berpikirlah. Kalau Dinda tidak kasih izin, nggak apa-apa, berarti tadi adalah pertemuan terakhir kita, Dinda. Saya nggak ingin kalau Dinda tidak mengizinkan, lantas saya terus jadi denging nyamuk di sekitar Dinda. Mengganggu kan?

Jangan mintai alasan, saya nggak jago bikin alasan.

Saya kasih kesempatan buat Dinda sampai pukul enam sore nanti. Boleh dijawab lewat WA.

Kalau Dinda benci saya. Katakan saja."

2

Pukul 23.00

Ketika penghuni asrama yang lain sudah terlelap. Aku justru masih mondar-mandir dengan pikiranku yang kacau. Aku tidak berhenti gemetar. Aku bingung. Bahkan sampai selarut ini aku belum memberi jawaban atau respon apa-apa pada Abimana Ilyas. Bukannya dia memberiku kesempatan sampai pukul 6 sore?

Aku bingung dengan perasaanku. Memangnya aku harus menjawab apa? Aku kasih izin kamu mencintaiku. Apa begitu? Atau, aku juga memiliki rasa yang sama. Humm?

Aku bahkan tadi menangis saat sholat Isya. Karena benar-benar bingung dan merasa tertekan. Padahal dia tidak memberi penekanan apa-apa.

Tidak, dia tidak mengajakku pacaran. Dia cuma mengakui perasaannya. Dan jawaban yang harus aku berikan juga bukan tentang apakah kita harus pacaran atau tidak. Aku cuma perlu memberi dia izin atau tidak. Dia juga menanyai perasaanku terhadapnya. Jelas iya! Aku cinta Kang Abim. Aku sudah dimabuk olehnya lebih dulu. Tapi aku masih terperangkap pada ketakutan bahwa aku belum pernah mengalami momen semacam ini sebelumnya.

Kang, aku cinta kamu!
Aku ingin kamu!
Aku bahagia kamu memiliki perasaan itu! Bahagia sekali!
Aku ingin jadi makmummu!
Saktahku bukanlah sebuah dusta!

Lalu dengan kemantapan diri, aku mengirimi pesan padanya.

"Assalamualaikum," isi pesanku.

Tapi...
Setengah jam menunggu, dia tidak membalasnya.

Aku menggeleng-geleng panik. Apa dia menepati waktu tenggatnya? Apa kesempatanku sudah habis? Dia kan harusnya tahu kalau aku perlu berpikir panjang untuk ini.

Di sana aku nggak tahu kenapa menangis. Tapi karena ada sebuah ketakutan, akhirnya aku memutuskan untuk menelepon dia.

Tersambung!

Tapi tidak diangkat!

"Kang," bisikku sambil menangis.

Aku menekan nomornya lagi. Dan kali ini aku tidak salah lagi, dia menolak panggilanku mentah-mentah.

Aku menangis lagi.

Aah. Ini salahku. Bodoh bodoh bodoh!

Dan lebih bodohnya lagi, aku mengambil payung yang sudah sejak tiga bulan yang lalu menggantung di balik pintu. Aku memeluknya! Bodoh! Aku mencium payung itu! Bodoh! Aku menangis.

Pesan WA yang aku kirimkan sudah dibaca olehnya. Tapi kenapa nggak dijawab!

Aku mengirim sebuah emoji menangis padanya "😢"

Tapi dia tidak membalas. Mungkin dia ketiduran.

Keesokannya, aku terbangung dengan mata sembab. Seperti orang gembala yang habis menangis karena kehilangan seribu dombanya.

Dan tidak ada balasan apa-apa. Apa kesempatanku sudah hilang?

Lalu karena perasaanku sudah kalut. Aku mengirimi pesan lagi. "Selamat Pagi."

Apa yang terjadi? Dia hanya membacanya.

Sampai seminggu kemudian, dia tak pernah membalas pesanku lagi.

Kang!!!!!!!!!

---o0o---

Jangan lupa kasih bintang ⭐
Dan komentar sesukamu 💬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top