BAB 1: Tasbih di Malam Natal
IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge
BAB 1: Tasbih di Malam Natal
Diunggah pada: 28/09/2017
Revisi: --/--/----
***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
BAB 1
TASBIH DI MALAM NATAL
{Abimana Ilyas}
1
Bismillahirrohmanirrohim...
Antara Semuanya ....
Saat itu malam natal, saya baru saja selesai mewawancarai seorang jemaat katolik yang akan mengikuti peribadatan di The Cathedral of Saint Stephen, di Vienna, Austria.
Sebagai jurnalis freelance atau saya lebih merasa keren kalau menyebut diri sebagai koresponden sekalipun nggak ada yang mengutus, saya wajib bin fardu untuk meliput berita yang penting dan sekiranya bisa menjadi headline. Karena memang kalau sudah waktunya, semua kantor berita selalu berlomba-lomba untuk menampilkan headline paling menarik tentang natal. Apalagi berita yang saya dapat, jujur tidak pernah tidak laku, pasti ada yang mau membayarnya. Entah itu untuk koran, radio, bahkan televisi. Dan liputan yang saya kulik malam itu, mungkin menjadi yang terakhir saya lakukan secara freelance. Sebab, setelah lewat pergantian tahun nanti, saya harus segera kembali ke Jakarta dan memulai hari pertama bekerja secara tetap di sebuah stasiun televisi. Tentu bersama Maja, dia Fixer saya.
Kalau kalian ingin tahu, tugas Fixer itu sangat penting bagi seorang koresponden, sebut saja begitu. Karena dia yang tugasnya mengatur jadwal pertemuan dengan narasumber, tempat, penginapan, urusan makan, dan hal lain-lain yang sekiranya mendukung kelancaran. Tapi jangan sebut Fixer itu seperti kacung, bukan, bagi saya Fixer itu seperti teman. Apalagi yang bertalenta public relation andal seperti Maja, sekaligus yang cukup paham urusan perekaman dan kamera, Maja lebih dari sekadar Fixer.
Maja adalah kawan saya sejak mulai menggiati profesi mengasyikan ini, tepatnya saat tahun pertama kuliah S2 di bidang ilmu komunikasi. Padahal saya S1 di jurusan Manajemen, UIN Bandung. Berbeda dengan Maja yang memang basisnya anak ilmu komunikasi. Tapi, untuk jadi seorang jurnalis tidak mewajibkan harus lulusan bidang ilmu tersebut. Yaa, yang penting bisa mendapatkan berita yang kredibel, berimbang, dan high value untuk bertengger di headline.
Kalau dulu saya tahu akan menyenangi dunia jurnalistik, pasti saya tidak akan memilih Manajemen sebagai bidang keilmuan saya waktu S1. Jadi, apakah saya menyesal? Tidak juga. Tapi itu sudah terlanjur, yang penting saya masih bisa melanjutkan pendidikan di ilmu komunikasi. Lagi pula, saya masih bisa mendapatkan ilmu-ilmu dasar dari Maja.
Kita berdua satu tim, ke mana-mana mencari berita selalu kita lakukan bersama. Bermodal kamera khusus untuk meliput, dua laptop, dan alat pendukung lainnya. Jangan tanyakan modalnya dari mana, tapi kalau kalian ingin tahu, semua akomodasi kami pada awalnya didapat dari orang tuanya Maja yang memang berduit. Dan saya yang beruntung di sini, karena akrab dengan Maja, makanya jadi ikut digaet untuk sekalian terjun di dunia jurnalistik ini.
Lalu kenapa Maja yang jadi Fixer, padahal modal datang dari pihak dia? Jadi, di sini kami berusaha mengimbangi. Maja lebih unggul untuk urusan teknisi dan menyenangkan, tapi dia tidak pede untuk berdiri di depan kamera dan melaporkan berita atau bercakap-cakap untuk melakukan wawancara. Sekalipun urusan membuat janji dengan narasumber dia memang sudah tidak perlu diragukan lagi, apalagi jika harus berurusan dengan kantor berita. Sementara saya, justru tidak terlalu memahami secara mendalam soal teknisi, tapi bisa dibilang cakap untuk urusan berbicara di depan kamera dan menulis berita. Makanya, di sini kita posisinya saling menguntungkan.
Sejak bertemu saat kuliah S2, saya dan Maja kerap menjadi kontributor berita berkonten ringan untuk stasiun televisi, kadang radio, dan yang paling sering untuk koran, apapun kantor redaksinya asal berita saya laku dan mendapat bayaran. Itu pemikiran waktu masih krisis uang saku dulu. Tapi sekarang kami berdua sudah berkomitmen untuk selalu menjual berita yang hak dan tanpa simpang siur. Di mana tempat berita itu terjadi, maka akan kami datangi!
Dan awal kami mulai berani berburu berita ke luar negeri, itu setelah kami wisuda. Kami memulainya dengan nekad pergi ke Washington, DC untuk memburu berita tentang panasnya bursa pemilu presiden Amerika Serikat. Kami tinggal di apartemen yang dihuni mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berkuliah di sana.
Orang tua Maja sudah tidak peduli dengan apapun keputusannya. Mereka cuma terlalu mudah memberi sokongan materil, asal Maja bisa menekuni profesi yang dia sukai. Orang tua yang keren. Apalah saya yang hanya memiliki seorang ayah dan kakak laki-laki, namanya Firman. Ibu meninggal sejak saya kuliah di semester 1, dan ayah tidak menikah lagi. Beliau masih sehat dan masih cukup giat untuk melakukan pekerjaan yang disenanginya. Apalagi, terakhir Aa kasih kabar kalau Ayah sudah nggak bekerja, tapi sibuk mengabdi di masjid. Itu tidak masalah, toh sekarang kehidupan ayah ditopang oleh saya sama Aa, dan alhamdulillah sejahtera.
2
Sebenarnya ada sedikit rasa biru di malam natal itu. Karena, saat pagi hari sebelum saya dan Maja menyiapkan segala sesuatu untuk datang ke Katedral dan meliput semua, atau saya sebut saja sedang mengirim berita ke stasiun televisi di tanah air, saya membuka beberapa email penting. Sekalipun sekarang zaman modern yang akses komunikasi hampir tidak ada hambatan lagi, tapi saya masih suka berkirim email dengan kawan-kawan lama saya semasa tinggal di asrama pesantren dulu. Kami memang punya kontak masing-masing, tapi rasanya lebih enak dan berkesan merindukan kalau komunikasi dilakukan lewat email, bukan Whatsapp atau Naver yang terlalu mudah untuk mendapat balasan. Yaa, mungkin karena kami ini laki-laki yang cukup malas untuk ber-chatting ria dengan sesama teman laki-laki. Sekalipun kadang kangen ngobrol, tapi kami lebih memilih untuk tetap menjaga kangen itu dengan intensitas obrolan yang tidak mudah. Itung-itung supaya email ada gunanya juga, bukan cuma untuk syarat buat akun media sosial saja.
Email pertama yang dibuka itu dari Banda, sebenarnya lebih tertarik dengan email dari A Firman, tak tahu itu isinya apa, tapi dari kawan-kawan dulu saja.
Perlu diketahui kalau kami nggak pernah memulai email dengan percakapan formal, tapi langsung secara kasual supaya enak ngobrolnya. Makanya, nggak heran kalau sesekali email bisa sampai lebih dari 80 inboxes yang belum terbaca dalam sehari saja, dan itu hanya dari milis yang kami buat. Grup diskusi anak kamar asrama pesantren dulu, yang isinya cuma saya, Banda, Raja dan Taqi. Berbeda dengan email khusus urusan kerja, itu sudah pasti lebih banyak lagi.
Banda:
"Apa kabar Bim? Aku sengaja nggak share di milis, karena undangan nggak afdal kalau dishare lewat grup, aku pengin secara personal. Hehe."
Baru membaca sampai kalimat itu saja, saya sudah tersenyum dan paham sekali mau ke mana arah pembicaraannya.
"Nikahanku bakal dihelat pertengahan Januari nanti. Masih lama memang, tapi aku sengaja kasih tahu kamu sekarang, takutnya kamu banyak kerjaan dan malah nggak bisa ngeluangin waktu buat datang. Jangan terlalu sibuklah, sempatkan hadir ya!"
Lagi-lagi bibir saya menggaris senyum. Sebelum melanjutkan baca, saya meneguk machiato instan yang dibikin oleh Maja. Dia sedang mengedit video sementara saya baru selesai mengirim lima buah artikel.
Langsung saya melingkari angka 16 di kalender ponsel dan membuat reminder untuk lima hari sebelum hari H.
"Aku juga sudah kasih tahu anak-anak. Kalian berangkat bareng aja nanti. Oke?" tutupnya pada email itu.
"Udah pada mau nikah aja, saya ditinggal sendiri neh?" gumam saya tak serius.
"Kenapa lu?" Maja menyahut dari meja sebelah, kemudian dia meneguk minuman gingseng yang masih beruap. Badannya rapat memakai jaket tebal, tidak berbeda dengan saya. Bahkan cindung pun saya pakai, maklum saja, kami makhluk tropis, belum terlalu kuat untuk cuaca dingin yang ekstrem. Di luar salju sedang turun lebat, banyak sekali pohon natal yang sudah tertutup salju dan hanya menunjukkan kerlip lampu hiasannya.
Kalau kamu berada di posisi saya saat itu, dan berani melongok ke jendela, pasti wajah kamu akan terkena udara beku, atau paling tidak akan ada satu dua fraktal salju yang menyangkut di kepala. Di luar atap-atap penduduk sudah seperti kue-kue yang ditaburi bubuk gula, saya pernah melihat kue bertema winter saat di Zürich. Sementara itu, percuma juga misal ingin membuka jendela kalau engselnya pun beku, rekat seperti lem. Jadi tidak bisa dibuka.
"Nggak apa-apa, saya lagi baca email dari kawan," jawab saya. Tapi Maja mustahil mendengarnya karena dia sudah lagi manggut-manggut dengan headset di kepalanya.
Email berikutnya dari Raja. Dia cuma memberitahu kalau proses syutingnya di Paris juga sudah selesai, dia sama-sama menunggu tahun baru untuk kembali ke Indonesia. Bukan, dia bukan aktor, tapi dia salah satu kru yang ikut mengawal proses syuting di sana. Sekalipun dia memang punya obsesi sejak dulu untuk jadi artis. Mungkin kalian pernah menonton film hasil sumbangsihnya itu di bioskop.
Nggak ada email dari Taqi, kayaknya dia masih sibuk di kantor notaris tempat dia bekerja.
Yep, jadi, antara kami berempat hanya saya yang kerjanya masih belum jelas. Sebentar lagi sih. Raja sudah tiga tahun terakhir bekerja di ranah produksi perfilman, dia lulusan Sastra Inggris, jadi lumayan nyambung sama pekerjaan dia, seenggaknya dia bisa mengaplikasikan skill komunikasinya. Banda sudah jadi dosen di UIN Jogja, masih honorer tapi kerenlah. Lalu Taqi bekerja di kantor notaris, saya tidak tahu apa posisi dia, itu juga bagus. Sekali lagi, saya menjadi yang paling berbeda karena menyimpang dari bidang keilmuan saya pada awalnya. Tapi saya menikmatinya, sangat.
Email terakhir dari A Firman, dia cuma nanyain kabar saya dan kasih kabar keadaan orang rumah. Tapi dia juga ngirimin dua foto sebuah undangan pernikahan.
"Tiba tadi malam undangannya, dari Dinda," tulisnya di email itu.
Saya tertegun membacanya. Memperhatikan baik-baik gambar undangan itu. Rasanya, seperti itu ... seperti apa? Ya bayangkan saja saat kamu mendapat undangan pernikahan tiba-tiba dari kekasihmu dulu. Bagaimana? Seperti itu, kan? Jangan dijelaskan.
Saya menutup laman web. Beranjak menjauh dari komputer menuju kamar penginapan. Kenapa saya harus merasakan yang seperti ini?
3
Menjelang puncak malam natal, salju mereda. Tapi gundukan putih nan suci itu masih menyelimuti hampir setiap jengkal kota. Vienna menjadi putih dan terlihat menenangkan. Dingin sekali. Menggigil kuduk dan menggeretak tulang-tulang.
Maja sedang melakukan peliputan pada bangunan katedral. Sementara saya berdiri tepat lurus di hadapan pintu utama. Bangunan yang sangat megah dan luar biasa arsitekturnya, bernuansa gotik. Dentang lonceng sesekali berbunyi. Alunan lagu-lagu rohani dinyanyikan merdu dari dalam gereja. Wajah orang-orang yang berlalu lalang terlihat penuh kasih sayang. Pesta kekeluargaan terhelat meriah di rumah-rumah pribumi. Lampu-lampu dan hiasan natal menjadi rasa tersendiri. Inilah natal, hari spesial bagi umat nasrani.
Sesekali ada orang yang lewat dan menyalami saya dengan ucapan, "Selamat natal."
Saya menjawabnya dengan senyum ramah, "Selamat tahun baru."
Ah, ini lagi. Kenapa saya jadi tidak ingin pulang ke Indonesia setelah melihat undangan itu? padahal tugas saya di sini hampir selesai. Kenapa semua orang seoalah harus menikah di Januari?
Saat tertegun itu, salju kembali turun. Saya merasakan ada yang mengembun di mata, segera saya usap sebelum membeku.
"Dinda Humaira Rasyid, kamu akan menikah ya?" bisik saya bersama uap tebal yang berembus dari mulut. Mempererat dekapan mantel agar lebih hangat.
Saat hendak bergegas mencari Maja, ponsel saya bergetar. Ada sebaris nama yang menelepon, itu membuat saya tersenyum. Lalu suara lembut seorang perempuan mulai terdengar.
Langkah yang bergemeresak menginjak salju, ditemani obrolan hangat dengan seseorang, itu sudah cukup bagi saya untuk merasa tenang. Butiran salju berjatuhan dengan indah. Seperti butiran tasbih yang dijatuhkan malaikat dari Baitul Makmur. Benda suci yang mensucikan. Di kedalaman hati, ratusan tasbih terucap. Memuji ciptaan Sang Khaliq yang selalu berhasil membuat saya terkagum.
Setelah panggilan terputus. Saya melihat Maja sedang merekam seorang tunawisma yang menggigil dan bersandar pada tembok luar katedral. Kemudian saya mendekat.
"Siapa dia?" tanya saya ke Maja.
"Yang jelas orang asing. Tapi dia nggak mau jawab pertanyaanku."
"Sir, kenapa anda tidak masuk ke dalam saja?" saya mencoba bersikap hangat. Orang itu lantas menatap saya. Matanya yang kelabu terlihat jelas saat dia menengadah. Saya lihat tangan kanannya sedang menggenggam erat sebuah kalung berbandul salib. Gemetar.
Karena dia tak kunjung menjawab, lalu tangan saya beranikan diri untuk memegang pundaknya untuk memapah.
"Mari saya bantu," ucap saya.
"Bim, kamu mau bawa dia ke mana?"
"Kamu nggak lihat dia menggigil? Apapun yang terlihat, yang jelas saya tahu ini berbahaya buat tubuhnya yang ringkih."
Maja menatap heran ke saya.
"Apa anda mau saya antar ke dalam gereja, Sir?"
"Tidak, tidak. Jangan gereja."
"Apa anda butuh tumpangan untuk ke rumah?" saya menawarkan.
"Bim!" Maja meninggi. "Kamu apa-apaan?"
"Ini natal miliknya, dia juga berhak mendapat bahagia, Maja."
"Tapi nggak serta merta kamu ajak dia ke mobil kita. Kamu bahkan nggak ngerti dia tinggal di mana."
"Anda tinggal di mana, Sir?"
Terlihat Maja sedang mengerjap.
"Saya perlu makanan."
"Kamu dengar nggak? Dia cuma butuh makanan. Tenang, saya yang bakal antar dia ke tempat makan."
Maja mendengus sambil membereskan kameranya ketika saya berlalu.
Saya langsung menuntun pria itu ke mobil. Sekalipun agak tidak suka, tapi Maja tetap mengikuti saya. Malahan dia yang mau menyetir mobilnya.
"Biar aku aja yang nyetir. Kamu di jok belakang buat jaga-jaga. Siapa tahu dia bawa pistol," katanya.
"Makanan saja dia nggak punya, apalagi pistol?"
"Siapa tahu. Kamu nggak ingat waktu kita di Zürich dan hampir saja urat nadi leherku terputus gara-gara disandera."
"Itu cuma nasib. Zürich kota yang kejahatannya sepi terdengar."
"Kamu itu terlalu banyak baca buku tulisan traveller bodong. Apa yang terjadi padaku itu nyata, jangan berusaha menampik."
"Jadi masih trauma sama orang asing?"
"Bukan orang asing, tapi mereka yang mencurigakan."
"Apa pria ini mencurigakan?"
"Lumayan."
"Lalu kenapa tadi kamu merekam dia?"
Maja tidak menjawab, lalu dia menyalakan mesin penghangat sebelum menghidupkan mobil. Sementara itu saya berusaha menenangkan pria ringkih yang sudah ada di sebelah jok saya.
"Nama anda siapa?"
"Karl. Itu nama palsu, kau tak boleh tahu namaku. Cukup Karl." suaranya tidak jelas. Saya heran kenapa dia harus mengaku kalau itu nama palsu.
"Oke! Sekarang aku curiga orang ini buronan." seloroh Maja sambil menyetir. Saya tahu sekali dia mulai geram ke saya.
"Semua orang berhak menyembunyikan identitasnya, Maja," kata saya.
"Tapi kamu cuma nanya nama, Bim! Nama! Sesulit apa sih menyebutkan nama?"
"Lalu kenapa kamu harus menggunakan anonim saat pedekate sama Vivian? Saya nggak lagi menuntut balas, cuma ya-."
"Oke, udah cukup."
Saya tersenyum puas kalau sudah berhasil membuat Maja bungkam. Dia memang cerewet dan naik turun emosinya, tapi sayangnya dia teman yang bisa bikin saya betah lama-lama bareng dia. Maja orangnya tidak dibuat-buat. Punya pacar yang namanya Vivian; dia sudah bekerja di kantor berita, dan dialah yang menjadi jembatan penghubung antara hasil kerja kita berdua dengan redaksi.
Sejurus kemudian mobil melambat saat mendekati sebuah tempat makan. Kemudian saya membantu Karl untuk keluar dari mobil sementara Maja harus parkir di lot yang tersedia.
"Ingat, jangan pesan makanan yang mahal," Maja mengingatkan.
"Kalem aja, ini pakai duit saya."
"Bagus."
Setelah mendapat tempat duduk di dalam, lalu saya memesankan sup dan minuman buat Karl. Maja juga memesan menu ikan. Meskipun beberapa saat yang lalu perut terasa cekung, tapi nafsu makan telah lenyap entah untuk alasan apa.
Semua pusat bisnis hampir bernuansa sama, yaitu bertema natal. Pohon cemara yang sudah berhias banyak lampu warna-warni bertengger di sudut ruangan, pita-pita menggelayut dari sudut ke sudut. Cukup jelas terdengar instrumen piano sedang memainkan lagu 'jingle bell'. Lalu pengunjung yang duduk tak jauh dari saya seperti sedang membicarakan kenangannya menonton film 'Home Alone' saat malam natal bersama kakek mereka yang sudah meninggal.
Ini memang bukan hari raya agama saya, tetapi kehangatan selalu terlihat sama pada banyak sekali momen hari raya dari bermacam agama. Tapi tetap saja, tidak ada yang bisa menggantikan damainya Idul Fitri dan nikmatnya tusukan sate di Idul Adha.
Berulang kali saya mengatakan ke Maja kalau saya tidak ingin memakan apapun. Dia mungkin merasa kalau ini tidak adil ketika orang lain menikmati sup sementara saya yang membayarnya harus puas menonton saja. Anggap saja karena beberapa laki-laki memang malas makan banyak.
Tak lama kemudian, akhirnya mereka berdua selesai makan. Saya menyerahkan beberapa dollar ke Maja agar sekalian dibayarkan. Setelah itu kami keluar.
Saya heran kenapa setelah dikasih makanan ekspresi wajah Karl masih saja menyedihkan, bahkan saat saya menyerahkan jaket yang sedang saya pakai supaya dia tidak terlalu menggigil, tubuhnya masih tetap berguncang seolah ketakutan.
"Di mana rumahmu? Biar saya antar."
Tapi Karl tidak menjawab. Kemudian secara mengejutkan dia menyerahkan dengan paksa kalung salib itu ke saya. Seketika saya saling tatap dengan Maja.
"You're the One," kata Karl yang semakin membingungkan. "You've been awaited."
Apa maksudnya? Lalu sebelum saya berusaha menanyakan tiba-tiba dia melarikan diri. Berlari seolah tadi tidak pernah ringkih atau pun mengaku kelaparan. Langkahnya membekas di atas salju.
"Sialan! aku bilang juga apa, Bim! Terlalu banyak bangsat di dunia ini." Maja meracau sambil menendangi gundukan salju. "Sekarang kamu lihat sendiri, kan? Nggak semua orang benar-benar butuh bantuan kita!"
Saya malah tidak berpikir begitu, dalam tertegun itu justru saya memikirkan sesuatu. Kalung salib di tangan kemudian saya simpan di saku.
4
Pukul satu dini hari saya sudah ada di kamar penginapan. Sementara Maja sedang keluar bersama kenalannya. Katanya ada perayaan yang harus dinikmati. Entahlah, sekalipun sudah dekat sejak lama tetap saja Maja dan saya memiliki karakter berbeda yang tidak bisa dengan mudah untuk menyelaraskannya, kecuali untuk urusan kerja kita bisa kompak.
Jam segini pasti milis lagi ramai, saya membuka email kemudian. Mungkin dengan bercanda bareng Banda, Raja sama Taqi bisa menghibur diri. Tapi justru malah yang pertama muncul di layar adalah email dari A Firman. Dan saya menyesal ketika dengan bodohnya mengklik email itu terlebih dahulu.
"Aa menelepon kamu berkali-kali tapi nggak bisa, pulsanya nggak mampu. Tadi maghrib Dinda menelepon ke Aa minta nomor kamu, katanya ada sesuatu yang penting..."
Penting? Sudah beberapa kali pergantian tahun kami tidak saling berkomunikasi, dan sekarang dia ingin mengatakan sesuatu yang penting?
"Ini nomornya +62xxx-xxxx-xxx. Telepon dia, barang kali ada hal yang nggak bisa kamu lewatkan."
Ahh!
A Firman memang orang yang paling mendukung, tapi kenapa dia harus menginformasikan semua hal ke saya! Apalagi ini soal Dinda.
Dengan perasaan kalut saya meninggalkan layar monitor. Dada terasa sesak dan udara dingin semakin menggigil tulang. Bayangan wajahnya seketika hadir bahkan saat berusaha saya memejam.
Astaghfirullah...
Astaghfirullah...
Astaghfirullah...
Ulang saya perlahan untuk menenangkan hati.
Saya adalah orang yang paling rentan jika mendengar segala sesuatu tentang dia. Dan ini akan semakin mengerikan jika saya tidak memaksakan diri untuk mengikuti arusnya.
Saya tahu jika sekarang saya menelepon dia, tentang apa kepentingan yang harus saya dengar itu masih tabu. Tapi sebaliknya jika saya menahan diri dan seolah sanggup menipu diri bahwa membiarkan nomor itu tertinggal di layar tanpa perlakuan apapun akan lebih memutus nadi lagi.
Di email itu A Firman juga mengatakan agar saya harus bisa mengendalikan emosi dan perasaan. Peringatan itu nggak ada gunanya jika jalar adrenalin ini terlalu cepat merayap di buluh-buluh nadi.
Kalimat tasbih menjadi penyusup di sela napas.
Wudu! Saya harus segera wudu! Lalu sholat!
Saya mengusap wajah dengan telapak tangan, lalu segera melesat ke kamar mandi untuk berwudu. Percayalah, aliran air malam itu bisa menghentikan kehidupan ikan kecil begitu cepat, dingin sekali.
Sajadah? Mana sajadah?
Saya agak aneh ketika masih harus memikirkan ke mana arah kiblat, padahal jelas sekali sajadah yang terhampar sudah tepat menghadap ke arah yang benar.
Berdosa sekali rasanya ketika dalam sholat pun bayang-bayang tentangnya masih tampak begitu nyata. Tiga ratus tasbih lunas saya bacakan dalam empat rokaat sholat tasbih.
Lalu tiga ratus guliran istighfar menyusul setelah salam. Dan rasanya ingin sekali saya menyurati Allah dengan ayat terakhir surat Al Baqarah, sampai saya mengulangi bacaannya berkali-kali dengan hati bergetar.
"Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Anta maulaana fansurnaa 'alalqaumil kaafiriin."
Perlahan ketenangan sudah mengambil alih gundah. Napas kembali bekerja sebagaimana mestinya setelah Al Fatihah terucap untuk pamungkas surat cinta saya kepada Allah.
Masih mengenakan peci, saya mengambil ponsel dan duduk di kursi dekat jendela. Tangan kanan masih memegang tasbih, benda yang sudah seperti teman rahasia saya.
Jemari bergerak menyingkap kelambu, mengintip salju yang kembali lebat di luar sana. Ah, mungkin Maja menginap. Lanturan ini hanya cara bodoh saya untuk mengumpulkan nyali menekan nomor itu.
Seolah kehilangan kendali, jempol saya menelepon nomor tadi. Mata seperti mengamati undian lotere ketika ponsel saya mulai menghubungi. Berdebar rasanya saat mulai terdengar bunyi menyambungkan. Sampai akhirnya...
"Assalamualaikum..." sapa suara di seberang sana. Ya Rabbi, kenapa suara itu masih sama lembutnya?
Saya tidak menjawab salam itu dengan bersuara. Tapi cukup dalam hati, entah kenapa.
"Halo?" suara saya sedikit aneh dan ragu-ragu.
Tapi tidak ada jawaban lagi. Sepi. Seakan suara tadi hanya ilusi saja dan tidak pernah benar-benar ada.
Kemudian saya beranikan diri ─sungguh sangat memberanikan diri─ untuk menyebut sebuah nama.
"Dinda?"
"Mas Bima..." katanya. Napas saya seketika menggebu seperti baru berlari sejauh kiloan meter. Pemilik suara itu seperti sedang menangis. Dan kata 'Mas', yang saat pertama kali dia menggunakannya untuk saya, dulu, itu terasa asing sekali, kini rasanya sungguh dirindukan. Kenapa Dinda? Apa kabar Dinda? Sedang apa Dinda? Di mana Dinda? Ingin rasanya saya menanyakan itu semua. Tapi kalimat-kalimat itu patah sebelum terucap, ketika dia mengatakan. "Bawa aku pergi, Mas Bima."
Langsung, tanpa ada bahasa apa-apa lagi saya memutuskan panggilan.
Ini! ... ini yang saya sesalkan ketika dengan bodohnya menelepon.
Telinga saya memanas dan tanpa penghalang lagi air mata meluncur tanpa henti. Mulut masih terkunci tanpa suara, tapi aliran itu semakin deras saja. Hanya bisa menggigit bibir dan kerepotan memunguti air mata.
Saya ingin melakukan banyak hal untuk melupakan sesuatu. Entah itu hal remeh sekalipun. Tapi sebuah kenangan malah hadir di dalam kepala. Tentang pertemuan saya dengan dia yang dimulai dengan sesuatu yang menyebalkan. Mungkin lebih 'menyebalkan' lagi menurut dia.
---❄❄❄---
______________________________________
☆☆☆☆☆
______________________________________
Atur napas dulu ... 😥
BAB 1 sengaja dibuat panjang. Setelah ini semuanya akan kembali kepada yang lebih awal lagi (flashback). Dengan alur yang renyah dan candu.
Jangan membuat kesimpulan apapun, ini baru BAB pertama.
IMAM MASA DEPAN adalah cerita roman religi terbaru saya. Ini bukan tentang seseorang yang memiliki kemampuan futuristik teknologi yang canggih. Juga bukan tentang orang yang bergelut di dunia robotik. Tapi ... kalian ikuti saja, supaya tahu apa maksudnya. Tidak perlu menebak-nebak, just let it flow.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top