Bagian 8

Nggak terasa hari pernikahan Alma sama Rio pun tiba. Bikin baper kaum jomlo kayak aku. Kalau saja Fandi serius sama aku, mungkin aku sama dia duluan yang nikah. Duh, kenapa harus bahas Fandi lagi, sih? Dia saja sudah bahagia sama pacar barunya, ngapain aku masih mikirin dia? Mending aku fokus benahi diri biar dapat calon yang lebih baik dari Fandi. Aku bersyukur karena Allah segera tunjukin kelakuan Fandi yang sebenarnya. Sekarang, aku harus lebih hati-hati memilih calon pendamping dan nggak main-main. Kalau aku niatnya main-main, ya jangan salah kalau Allah juga kasih laki-laki yang main-main. Bena,  sih, Allah itu sesuai prasangka hambaNya.

"Kak! Jadi diantar sekarang?!"

Lamunanku buyar, menoleh ke arah pintu. Malik sudah teriak, mungkin sudah lama nunggu. "Jadi!" Aku beranjak dari kursi. Sebelum mengayun langkah, aku kembali memastikan penampilan dari pantulan cermin. Rapi. Aku melangkah menghampiri pintu untuk keluar.

"Lama banget." Malik menggerutu saat aku membuka pintu.

"Kalau nggak lama bukan cewek namanya," balasku santai.

Malik tak membalas, berjalan di depanku menuju pintu utama. Hanya tersenyum yang kulakukan saat melihat kelakuan Malik. Adik semata wayangku yang kini sudah remaja.

"Ma, Sarah berangkat ke rumah Alma, ya!" seruku pada Mama yang masih sibuk di dapur.

"Iya! Hati-hati! Jangan pulang malam-malam!" Mama mengingatkan.

"Iya!" balasku singkat.

Aku bergegas keluar rumah karena takut Malik ngomel lagi. Cowok paling males nunggu apalagi nunggu cewek dandan. Malik kadang jadi korban karena nungguin aku. Semoga nanti ceweknya nggak kayak aku.

Setelah aku dan Malik naik ke atas motor, kami pun meninggalkan garasi untuk meuju rumah Alma. Aku sengaja minta diantar Malik karena dia nggak ada tugas sekolah dan supaya dia nggak kelayapan karena ini malam minggu, jadi aku paksa dia buat ikut ke rumah Alma. Ancamannya nggak jauh dari uang jajan tambahan. Mama sengaja nggak aku ajak biar besok saja bareng ke sana pas resepsi. Sekarang hanya acara siraman saja.

"Kapan Kak Sarah nyusul Mbak Alma?"

Kepala Malik yang terlapisi helm segera kutabok. "Ngeledek," gerutuku.

Gelak tawa terdengar menggema. Aku hanya memanyunkan bibir. Dia sama seperti Papa, suka bercanda. Aku lebih menurun ke Mama yang nggak begitu suka bercanda, lebih ke arah diam. Memang. Dalam satu rumah bisa beda-beda karakter. Mbak Hana malah kolaborasi antara Mama dan Papa, diam tapi suka bercanda juga. Duh, jadi kangen kakak semata wayang. Nasib anak kejepit. Aku memang anak kejepit antara Kak Hana dan Malik. Tapi yang paling cantik tetap aku.

Sstelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Aku turun dari motor ketika kami tiba di halaman rumah Alma. Tenda pengantin sudah terpasang. Suasana pun sudah ramai. Pandanganku tertuju pada mobil yang tak jauh dari tempatku berpijak saat ini. Itu memang mobil Bara. Ternyata dia sudah datang.

"Mbak Sarah."

Panggilan itu membuat aku menoleh ke sumber suara. Ternyata adiknya Alma yangmenyapaku. Namanya Arini. Senyum ramah kusungging, lalu menghampirinya. Lengan kugerakkan untuk menyenggol Malik. Cubitan mendarat di lenganku, membuat aku menoleh ke arah Malik, lalu tersenyum menggoda. Saat aku mengenalkannya dengan Arini, dia salting. Pura-pura malu sama Arini, tapi setelah di rumah nanyain mulu tentang gadis yang masih sekolah SMP itu. Aku sempat cerita ke Alma mengenai adik aku yang nanyain adik dia terus, lalu Alma menyampaikan omongan aku ke Rini, dan sukses bikin Rini malu-malu. Sampai sekarang kalau mereka berdua bertemu selalu malu-malu. Tujuan aku ajak Malik ke sini ya bisa jadi karena Rini.

"Ayo masuk, Mbak. Mbak Alma sudah nunggu Mbak Sarah," ajak Rini sambil berjalan masuk.

Langkah kuayun untuk mengikutinya masuk ke dalam. Merasa ada yang kurang, aku menoleh ke belakang karena tak mendapati Malik mengikutiku. "Ayo," ajakku padanya.

"Kakak saja yang masuk, aku di luar saja. Gerah." Malik menolak masuk.

Dia pasti tahu kalau di dalam lebih banyak ibu-ibu dan akan bikin jenuh. Aku hanya mengangguk pada Malik, lalu melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam. Suasana di dalam sudah ramai. Hal pertama yang bikin terkesan adalah suara tilawah yang sedang dilantunkan. Sudah pasti suaranya Bara. Suara tilawahnya benar-benar bikin merinding. Apalagi yang dibaca surat Ar Rahman. Duh, baper aku jadinya. Kapan aku dibacain surat itu?

Aku duduk tak jauh dari posisi Alma saat ini. Posisiku di belakang tubuh Alma. Di sini aku bisa melihat jelas wajah Bara. Dia tenang banget sambil tilawah. Adem rasanya. Pastinya bikin jomlo seperti aku baper akut. Duh, mana penampilan Bara serba putih. Seperti dia yang mau nikah saja sama Alma. Aku mikir apa, sih?!

Setelah acara pengajin, prosesi siraman pun dimulai. Aku hanya menyaksikan sekaligus mengabadikan momen kali ini. Rasanya terharu sekaligus iri. Aku kapan, ya? Semoga segera, ya Allah.

Empat jam menyaksikan acara pengajian dan siraman sampai nggak terasa sudah hampir jam sembilan. Perasaan tadi pas ke sini masih jam lima, tapi kenapa waktu seakan cepat berlalu saja.

"Sar. Beneran lo nggak mau temani gue? Malam ini saja. Please." Alma merajuk.

"Bukannya nggak mau, Al. Besok kan gue mau ke tempat Putro dulu sebelum ke sini. Kalau gue nggak datang ke sana, bisa dibanjiri omelan gue sama Putro. Lagian lo kan banyak saudara. Besok juga gue kan bawa nyokap, jadi entar siapa yang temani nyokap gue ke sini?" Aku beralasan.

Sebenarnya, ada alasan lain kenapa aku nggak mau nemenin dia. Aku nggak mau semakin makin baper. Bukan berarti aku tega, tapi aku benar-benar nggak bisa temani Alma menuju hari bahagianya. Aku benar-benar minta maaf sama Alma. Dia juga nggak bisa maksa karena aku memang banyak alasan. Banyak!

Setelah pamitan pada Alma dan orang tuanya, aku melangkah keluar dari rumah itu. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah Bara. Dia Bara sedang berbicara dengan sepupunya Alma. Kapan dia nggak akrab sama orang kecuali cewek?

Senyum kusungging saat melihat Malik bersama Rini sesang ngobrol santai. "Cie ... cie ..." godaku pada Malik saat tiba di dekat mereka.

"Apaan, sih, Kak." Malik terlihat malu. Bukan malik saja, tapi Rini juga. Tertangkap basah.

"Mau pulang nggak?" ajakku.

"Kayaknya cepat banget acaranya," celetuk Malik.

Tawa tak bisa kutahan, mencubit lengannya karena gemas. "Kamu ada-ada saja."

"Rin, aku pulang, ya." Malik pamit pada Rini.

"Iya, hati-hati." Rini tersenyum.

"Kakak pulang ya, Ri." Aku melambaikan tangan pada Rini sambil berlalu dari hadapannya.

"Hati-hati, Kak."

Sesekali aku menggoda Malik karena sudah berani mendekati Rini.

"Sarah."

Senyum di wajahku memudar saat mendengar panggilan itu. Panggilan dari seorang laki-laki yang sangat aku kenal. Siapa lagi jika bukan Bara. Aku menoleh ke sumber suara. Bara terlihat menghampiri aku dan Malik. Senyum kembali kusungging. Tersenyum paksa.

"Kamu mau pulang?" tanyanya.

"Iya," balasku singkat sambil mengangguk lemah. Lebih tepatnya canggung.

Dia hanya tersenyum. Senyum yang bikin semua wanita jadi salah tingkah kalau sudah disenyumi dia. Senyum Bara ngalahin gula.

"Oh, iya. Kenalin, ini adik aku, Malik." Aku mengenalkan Malik pada Bara.

Bara mengulurkan tangan sambil tersenyum. Malik pun menjabat tangan Bara sambil tersenyum, lalu menyebut namanya sendiri sebagai perkenalan.

"Lik, Kak Bara ini temannya Mbak Alma yang kemarin minta tolong gambarin karakter sama masalah sablon kaos buat galang dana itu. Ini orangnya." Aku mengulas tentang Bara pada adikku.

"Oh, jadi ini orangnya. Nggak nyangka bakal ketemu di sini. Aslinya  cakep banget." Malik memuji.

Keluar deh pujian alaynya. Cari muka saja nih si Malik. Semoga saja nggak jadi bahan balas dendam gara-gara suka diledekin masalah Rini.

"Aku terima kasih banyak sama kamu sudah mau batuin aku promosiin kaos buat galang dana. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu." Bara pun membalas ucapan Malik.

Bara tahu kalau aku minta Malik buat pasarin kausnya? Apa Alma cerita sama Bara? Kapan? Kenapa Alma cerita ke Bara? Bikin aku malu saja! Alma!

Pikiranku seketika buyar saat lengan disenggol Malik. Aku langsung menatapnya. Dia menggerakkan matanya, menginstruksi agar aku bicara pada Bara.

"Bar, aku pulang dulu, ya. Salam buat Umi." Aku pamit.

"Iya, Fii amanillah." Bara melambaikan tangan.

Hanya mengangguk yang kulakukan. Begitupun Malik. Aku bergegas naik ke atas motor, sedangkan Bara masih berdiri di tempatnya. Tangan kulambaikan padanya saat Malik mulai menarik gas. Dia hanya membalas dengan anggukan. Ingin sekali menoleh ke belakang, tapi berusaha untuk menahan agar tidak menoleh. Jangan sampai bikin Malik curiga.

☆☆☆

Tubuh kusandarkan pada kursi ketika tiba di ruangan kerja. Mumet. Kepala rasanya pusing tujuh keliling. Sumpah. Nggak ada Alma di sini rasanya nggak enak banget. Aku jadi ngerjain tugas dia, belum lagi tugas aku. Bikin laporan, cek pemasukan, bayar mingguan pekerja, ketemu Putro, semuanya jadi aku yang ngerjain. Rasanya pingin teriak. Ini baru beberapa hari, gimana kalau sebulan? dua bulan? setahun? Bisa stres aku yang ada.

"Al, lo honeymoon jangan lama-lama ya, nanti. Aku beneran bisa stres ngurus distro sendiri," kataku pada diri sendiri.

Deringan ponsel mengalihkan perhatian. Kuraih benda pipih itu yang tergeletak di atas meja dengan gerakan malas. Layar kugeser untuk menerima panggilan telepon karena Malik yang menghubungiku, lalu kembali menyandarkan tubuh pada kursi. Gumaman dariku mengawali obrolan saat telepon tersambung.

"Kakak di mana? Aku otewe ke distro sama Mama." Malik membalas.

"Iya, Kakak sudah di distro." Aku mengangkat kepala.

"Sudah siap, kan?" tanyanya.

"Iya, jangan cerewet kamu, Kakak lagi pusing. Ya sudah, Kakak matiin." Aku mematikan sambungan telepon, mengubah modus telepon menjadi diam.

Napas kuhela karena lelah, melempar pandangan ke arah cermin di samping meja kerjaku. Tanpa berdiri pun aku masih bisa bercermin karena ruangan ini hampir semuanya terdapat cermin. Cukup berantakan. Aku beranjak dari kursi untuk menuju kamar mandi, mengganti baju yang sudah jadi dress code. Alma benar-benar bikin aku makin bad mood. Aku disuruh pakai gamis warna hijau botol, padahal dia tahu kalau aku nggak suka warna ini, tapi malah jadi dress code coba. Gimana aku nggak makin kesal sama dia.

Cermin kembali kutatap setelah mengganti pakaian, memantulkan tubuhku yang sudah terhias gamis warna hijau botol. Napas berat kembali keluar dari mulutku. Tak lupa jilbab kembali kurapikan sebelum meninggalkan cermin. Gamis yang aku pakai kembali kupastikan. Entah kenapa aku meras cocok pakai gamis ini. Duh, seenggak sukanya kah aku sama warna hijau sampai nggak sadar kalau aku cocok pakai baju warna ini?

Suara pintu terbuka membuat konsentrasiku teralih. Malik terlihat berdiri di ambang pintu. Ternyata dia sudah datang.

"Ditelepon nggak diangkat-angkat," gerutu Malik.

Cermin kutinggalkan setelah puas menatapnya, mengayun langkah menghampiri meja. Ponsel kuraih, memastikan omongan Malik. Beberapa panggilan masuk tertera. Aku hanya bisa tersenyum lebar pada Malik. Kasihan adikku.

"Cepat! Mama sudah nunggu!" Malik berlalu dari ruangan ini.

Langkah kuayun untuk meninggalkan ruangan ini. "Jasmin, aku duluan, ya." Aku pamit pada Jasmin.

"Iya, Mbak." Jasmin membalas.

Taksi yang akan membawa kami ke rumah Alma sudah menunggu saat aku tiba di halaman distro. Kali ini, Papa nggak bisa ikut karena ada tugas di Bandung sejak hari Jumat dan mobil dibawa beliau. Alhasil kami menggunakan jasa taksi buat ke acaranya Alma. Aku masuk ke dalam taksi, duduk di kursi penumpang berdampingan dengan Mama.

"Kenapa lama banget, Sar? Ditelepon juga nggak diangkat-angkat?" Mama terdengar heran.

"HP Sarah silent, Ma. Tadi juga lagi ganti baju." Aku beralasan.

"Kamu nggak salah pakai gamis warna ini?" tanya Mama.

Rupanya Mama memperhatikan penampilanku. Mama tahu kalau aku nggak suka warna hijau, jadi nanya seperti ini.

"Ini gamis dari Alma, Ma. Katanya suruh dipakai kalau ke acaranya dia. Ya Sarah pakai walaupun nggak suka demi menghormati dia. Sebenarnya sih males banget pakainya. Mama tau sendiri kalau Sarah nggak suka warna hijau." Aku menjelaskan.

"Tapi kamu cantik kok pakai gamis ini. Cocok sama jilbabnya." Mama memuji.

Senyum getir kusungging untuk membalas Mama. Bersyukur banget karena Mama dukung aku buat hijrah. Nggak ada respon negatif atau disuruh ini dan itu sama beliau. Terkadang, Mama malah nyuruh aku buat beli gamis lagi biar nggak bosen pakai yang itu-itu saja. Aku jadi semangat kalau dapat respon positif apalagi dari orang tua. Malik malah nggak kalah. Dia terkadang suka ceramah kalau aku dandan.

Taksi yang kami naiki tiba di tempat tujuan. Kami turun dari taksi setelah Mama memberikan uang pada supir. Halaman gedung acara pernikahan Alma dan Rio sudah dipadati kendaraan yang mau menghadiri pernikahan sekaligus resepsi mereka. Aku, Mama dan Malik pun masuk ke dalam. Kami disambut penerima tamu. Syukurnya aku nggak mau jadi pagar ayu pernikahan Alma. Kalau mau, sudah otomatis bakal didandani kayak lenong.

"Sarah."

Sapaan itu membuatku menghentikan langkah, lalu menatap sumber suara. Senyum kusungging saat tahu orang yang menyapaku adalah ibunya Bara. "Umi," balasku ramah, mengulurkan tangan pada beliau.

Aku mencium punggung tangan beliau saat uluran tanganku diterima. Tante Maryam mengusap kepalaku lembut.

"Ma, kenalin. Ini Umi Maryam, ibunya Mas Bara." Aku mengenalkan ibunya Bara pada Mama.

Mama dan Tante Maryam saling berjabat tangan, saling berkenalan.  Malik pun menangkupkan tangan, mengangguk disertai senyuman pada beliau. Obrolan ringan bersama Tante Maryam pun tercipta. Beliau datang bersama Bara tadi pagi. Berarti beliau sudah lama di sini. Ya sudah, akhirnya kami berkumpul supaya Tante Maeyam nggak merasa asing. Aku mengedarkan pandangan untuk mencari sosok putranya. Sosok Bara terlihat sedang berada di atas panggung. Aku baru sadar kalau salawat yang tadi aku dengar itu suara Bara, bukan suara orang lain. Dia ternyata juga bisa nyanyi.

"Ma, Malik ambil makan dulu, ya." Malik beranjak dari kursi.

Mama hanya mengangguk.

"Mama mau Sarah ambilkan makanannya atau mau ambil sendiri?" Aku menawari Mama.

"Boleh, Sar. Jangan banyak-banyak, ya." Mama mengangguk.

Jempol kuacungkan pada mama, lalu mengalihkan pandangan pada Tante Maryam. "Sarah ambil makanan dulu, Umi. Apa Umi mau sekalian Sarah ambilkan?" Aku menawarkan.

"Tidak perlu. Umi sudah makan tadi." Beliau menolak halus.

Setelah mengangguk pada beliau, aku beranjak dari kursi, melangkah menuju tempat prasmanan. Beberapa orang menyapaku karena tamu Alma sebagian besar teman dekat aku juga. Nggak lain dan nggak bukan ya teman kuliah kami dulu. Akhirnya aku pasrahkan pesanan Mama ke Malik karena aku diajak teman-teman foto. Baper jamaah yang ada kalau sudah seperti ini. Godaan dari mereka pun datang mengenai kandasnya hubungan aku sama Fandi. Sumpah. Mereka benar-benar bikin aku bete.

Mereka kutinggalkan setelah puas ngobrol panjang kali lebar nggak jelas. Suasana hatiku pun ambyar karena godaan mereka. Langkahku terhenti ketika melihat punggung seseorang yang cukup aku kenal. Dia bergabung dengan Mama dan Malik. Kali ini dia pakai kemeja lengan panjang warna putih. Eh, bukan. Dia pakai kurta. Lengannya digulung sampai siku.

Gabung atau nggak?

Cukup lama aku bergelut dengan batin antara kembali gabung dengan teman atau keluarga. Pilihanku adalah bergabung kembali dengan keluarga walaupun harus merasa canggung dengan laki-laki tampan itu. Rubuh kudaratnya di atas kursi yang sebelumnya aku duduki.

"Bara ganteng, ya, Sar," celetuk Mama.

Kenapa Mama kudu bilang gitu, sih? Bikin aku malu saja sama Bara dan ibunya. Aku cuma bisa tersenyum getir. Malu.

Terjadilah obrolan ringan antara keluarga Bara dan keluarga aku. Lebih tepatnya Mama yang banyak tanya karena kepo. Aku benar-benar malu di depan Bara dan ibunya. Walaupun mereka sangat memahami dan ramah, tapi tetap saja aku malu.

Duh, setiap aku melihat Bara pasti kagum. Dia ini sempurna banget. Apalagi penampilannya saat ini. Banyak cewek-cewek yang meliriknya sekarang. Apalagi kalau mereka tahu Bara itu dokter, hafiz Quran, selebgram. Sudah pasti banyak banget yang ngejar-ngejar dia. Ya Allah, beneran, aku jadi ikut kesemsem sama dia. Ada apanya sih dia?

☆☆☆

Baper dah.
Aku sih udah duluan bapernya. 🤣

Selamat menikmati akhir pekan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top