Bagian 6
Memang, melupakan masa indah dengan mantan itu sulit, apalagi aku sangat cinta sama Fandi. Mau bagaimana lagi kalau akhirnya seperti ini. Menerima kenyataan pahit kalau aku memang wajib untuk melupakannya. Anggap saja dia bukan jodohku. Lagian, sudah banyak kebohongan yang dia tutupi dari aku selama ini. Dia juga nggak serius sama aku. Tambah lagi dia selingkuh. Komplit sudah kebusukan dia yang sudah terungkap. Memang kita nggak jodoh. Nggak ada alasan lain buat aku mempertahankannya. Sekarang aku jomlo lagi, sama seperti dua tahun yang lalu. Jomlo lagi, jomlo lagi.
Aku terkesiap ketika pintu ruangan ini terbuka. Nggak lain dan nggak bukan adalah Alma. Dia paling mau jemput aku buat ke acaranya Bara. Dari kemarin sudah bujuk-bujuk buat ikut ke acara yang diadakan Bara di salah satu masjid terbesar di kota ini. Nggak lain lagi kalau bukan untuk donasi negara kelahirannya.
"Lo jadi ikut kan, Sar?" tanya Alma ketika dia sudah duduk di kursi keejanya.
"Lo saja sih yang datang, kenapa gue kudu ikut juga? Kan tugas gue sudah selesai sama Bara?" Aku masih menolak.
Kesal saja aku sama dia. Sudah aku tolak, tapi masih saja bujuk buat ikut ke acara itu. Aku juga sudah bantuin Bara bikin pamflet buat promosi di akun media sosial dua. Kurang apalagi coba?
"Ya, barangkali lo lagi butuh siraman rohani setelah putus dari Fandi. Siapa tau lo dapat pencerahan dari acara itu mengenai masalah yang menimpa lo. Lagian itu acara bagus, kok, kenapa lo masih mikir?" Alma menambahi.
Napas kuhela. Pantas dia masuk marketing. Bujuk orang kalau belum kena dikejar terus. Nggak heran kalau dia dipercaya atasan karena jago merayu. Lidahnya udah kayak ular.
"Gimana, Sar? Waktunya tinggal beberapa menit lagi, loh! Nanti nyesal nggak datang ke sana. Bagus, kok, dijamin." Alma masih terus meyakinkan.
"Iya! Gue ikut! Puas?!" Aku membalas kesal.
Tak ada balasan. Aku menatapnya. Dia terlihat menahan tawa. Puas banget dia kalau sudah bikin aku kayak begini. Setiap ngajak pergi selalu keluar jurus mautnya. Herannya, aku selalu menuruti permintaan dia. Memang acaranya baik, tapi aku belum pernah hadir ke acara seperti itu, apalagi ini acaranya Bara. Ya sudah, mau bagaimana lagi kalau sudah kayak gini.
***
Langkah kuayun masuk ke dalam masjid mengikuti Alma. Dia yang lebih tahu mengenai hal seperti ini. Setelah makan siang, dia langsung ngajak aku ke sini. Masjid ini sudah ramai. Orang yang hadir lebih banyak wanita daripada laki-laki. Aneh.
Tanganku ditarik Alma, bikin aku kaget saja. Aku langsung menatapnya kesal. Mana tempatnya ramai seperti ini. Yang lebih parah lagi, aku nggak percaya diri karena pakaianku yang jauh lebih baik dari mereka. Mereka pakai gamis dan jilbab panjang, sedangkan aku pakai celana levis dan jilbab segiempat. Mana pakaian aku ketat lagi. Malu.
"Bara!!!" seru Alma.
Seruan Alma membuatku menatap ke depan. Terlihat laki-laki mengenakan jubah biru keabuan berdiri tak jauh dari posisi kami berdiri saat ini. Dia benar-benar berbeda. Dia sangat tampan dan membuatku tak bisa berkata. Dia tersenyum. Duh, bikin aku makin meleleh. Mungkin bukan aku saja, tapi setiap mata gadis yang hadir di sini terpesona dengan ketampanan Bara. Ih, aku mikir apa, sih?!
"Terima kasih karena sudah mau datang ke sini." Bara membuka suara.
Aku menatap ke arah lain. Malu. Entah kenapa aku selalu malu jika bertemu dengan Bara. Apalagi setelah kejadian saat dia ditonjok Fandi. Aku benar-benar malu dengannya mengenai hal itu. Dia nggak salah apa-apa tapi justru kena imbasnya. Syukurnya dia nggak marah dan nggak dendam, apalagi negur aku.
"Sar."
Pandangan kualihkan pada Alma saat dia memanggil namaku. Dia melotot, lalu menggerakan kepala, mengunstruksi agar aku menatap Bara. Napas kuhela, lalu menoleh ke arah Bara sambil memaksa senyum.
"Mas, Mas Rizki nyariin Mas." Hasan menyampaikan pesan.
"Al, Sar, aku tinggal dulu." Bara pamit.
"Iya," balas Alma singkat, menyilakan agar Bara pergi.
Bara mengangguk pada kami, lalu beranjak pergi. Aku dan Alma hanya memerhatikan langkahnya yang semakin menjauh. Dia sangat berbeda dengan biasanya. Entah kenapa aku merasa kagum dengannya. Dia berbeda dengan laki-laki pada umumnya yang selalu cari perhatian dengan wanita di sekelilingnya. Bara berbeda. Dia justru selalu tersenyum ramah dan menghindari kontak mata dengan wanita yang dia ajak bicara, termasuk aku dan Alma.
Ya Allah, kenapa aku jadi seperti ini? Apa aku suka sama dia? Nggak mungkin. Aku cuma kagum saja. Nggak cocok aku buat Bara yang sempurna. Lupakan pikiran berlebihmu, Sarah.
Setelah kepergian Bara, aku dan Alma duduk nggak jauh dari panggung. Acara sedang dibuka oleh salah satu moderator. Pantas jika pengikut Bara di sosial media banyak. Dia nggak cuma tampan, tapi pintar. Nggak cuma dokter, tapi motivator. Dia juga qori dan hafiz Quran Banyak banget penggemarnya. Bisa dilihat sekarang ini. Yang datang di sini banyak. Masjid ini hampir penuh. Ini masjid besar. Nggak bisa terbayang berapa yang datang. Yang aku lihat, kebanyakan yang hadir adalah wanita. Masih muda-muda pula. Aku salut.
Pikiranku buyar saat nama Bara disebut. Dia terlihat naik ke atas panggung sambil tersenyum, lalu menyapa orang-orang yang hadir di sini. Seketika aku termenung ketika dia melantunkan ayat-ayat suci. Aku nggak tahu surat apa yang dia baca, tapi suaranya benar-benar sangat nggak asing dalam ingatanku. Aku langsung teringat saat di masjid beberapa pekan yang lalu. Suaranya sama. Suratnya juga kayaknya sama.
Apa Bara yang waktu itu di masjid? Aku nggak mungkin salah. Suaranya sama persis dan suratnya juga kayaknya sama. Iya. Aku nggak salah dengar. Orang itu pasti Bara.
Perhatianku teralih saat Alma menyenggol lenganku. Pandangan kulempar ke arahnya.
"Kenapa?" tanyanya dengan raut datar.
Hanya gelengan yang kulakukan sambil tersenyum paksa. Hatiku masih dipenuhi pertanyaan mengenai suara Bara dan suara laki-laki saat aku di masjid waktu itu. Mungkin aku akan tanya ke Bara.
***
Layar ponsel yang menampilkan media sosial milik Bara masih jadi perhatianku. Jariku bergerak ke atas untuk melihat foto-foto yang Bara posting di akun Instagram-nya. Banyak foto yang dia unggah. Ada foto dia bersama temannya, dengan anak-anak Palestina, dan ada foto dia bersama tim relawan. Seketika aku terhenti pada satu foto wanita di IG-nya. Aku memerhatikan wajah wanita itu dengan seksama. Cantik. Wajahnya khas orang luar. Aku juga nggak tahu apa kata-kata yang diposting bareng sama foto ini.
Suara pintu terbuka membuat aku segera menutup aplikasi yang masih menampilkan IG Bara. Jangan sampai Alma tahu kalau aku kepo sama akun media sosial Bara. Bisa-bisa dia heboh dan goda aku habis-habisan. Layar lapton kini jadi sasaran pengalihan. Alma terdengar duduk di kursi kerjanya.
"Al ..." Aku membuka suara, berniat tanya ke dia tentang kejadian tempo hari saat mau bertemu Bara.
Gumaman terdengar dari arahnya.
"Lo ingat nggak waktu nyuruh gue cepat- cepat ke sini buat ketemu Bara pertama kali?" tanyaku membuka obrolan serius.
"Kenapa?" tanya Alma singkat tanpa menatapku.
"Waktu itu hujan, 'kan? Bara sudah sampai sini apa lo ketemu sama dia di tempat lain? Lo masih ingat dia pakai baju apa?" ulikku.
Tatapan Alma mengarah ke aku. Dia terlihat sedang berpikir. Aku masih menanti jawabannya.
"Dia nunggu di masjid seberang. Dia pakai kemeja putih kalau nggak salah," balasnya.
Benar. Ternyata Bara yang aku lihat waktu itu pas di masjid. Dia yang baca Alquran saat itu. Dugaanku benar.
"Kenapa, Sar?" tanya Alma.
Aku menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Karena lo kelamaan, jadi dia pergi karena buru-buru ada pasien darurat." Alma kembali sibuk dengan tugasnya.
"Dia sudah punya pacar?"
Tawa Alma menggema.
Apa aku salah nanya? Wajar kan aku nanya gitu?
"Bara mana pacaran, Sar. Dia bukan tipe laki-laki kayak gitu." Alma membalasku setelah tawanya reda.
"Terus, yang diposting dia di Instagram itu siapa? Cewek. Cantik. Ada emoji sedih dan ..." Aku menggantungkan kalimat karena keceplosan.
Sarah! Kamu bego banget, sih. Alma pasti curiga ke kamu kalau tanya seperti ini.
"Lo kwpoin IG Bara?" Tatapan Sarah terlihat mengintimidasi.
Bibir bawah kugigit. Ketahuan. Malu. "Cuma lihat-lihat saja. Kebetulan nemu foto itu. Wajar lah gue penasaran, lagian akun dia juga publik, kok. Salah gue di mana?" kilahku.
"Cewek itu relawan dari Jordania yang ke Palestina kalau nggak salah. Dia meninggal akibat ditembak tentara Israel. Sempat viral waktu itu. Lo nggak lihat?" Alma menjelaskan. "Setahu gue, Bara belum punya calon. Ini setahu gue, ya. Kenapa? Lo naksir Bara?" godanya kemudian.
Aku menggeleng cepat. "Gue sadar diri, kok. Kriteria dia pasti lebih cantik, lebih baik, dan lebih berwibawa dari gue. Gue mah apa, cuma wanita biasa yang nggak tahu apa-apa."
"Lo masih punya kesempatan buat dapatin Bara, Sar. Kalau gue kan sudah nggak bisa. Dan bagi Allah itu nggak ada yang nggak mungkin kalau Dia sudah berkehendak. Lo suka sama Bara, ya, itu sah-sah saja buat lo."
Napas kembali kuhela, menatap Alma datar. "Gue nggak tahu ini rasa suka atau sebatas kagum saja. Tapi yang gue rasain tuh adem saja lihat dia. Beruntung ya wanita yang bisa dapatin dia. Hafal Quran, dokter, baik, tampan lagi. Sempurna banget Bara," ungkapku.
Alma tersenyum. Aku nggak tahu alasan kenapa dia tersenyum. Dia bisa menebak apa yang aku rasa. Memang seperti itu yang aku rasa. Wajar nggak, sih? Aku juga wanita normal.
"Lo coba perbaiki diri. Kalau lo mau jodoh yang baik, lo juga harus baik dulu. Contohnya ibadah. Perbaiki salat lo, cara pakaian lo, dan cara ngomong lo. Itu mungkin bisa mempengaruhi." Alma menasehati.
Ibadah? Aku memang merasa ibadahku masih belum seberapa. Salat saja masih bolong-bolong. Ya Allah, aku malu kalau mau dapat suami yang baik, tapi salatku saja masih nggak karuan. Pakaian aku? Aku memang masih belum baik dalam pakaian. Masih pakai celana ketat, jilbab pendek, bahkan nggak pakai kalau keluar di sekitar rumah. Cara ngomong aku? Ya, aku memang masih suka ceplas-ceplos kalau ngomong. Gimana aku mau dapat suami yang baik seperti Bara kalau apa yang disebutkan Alma sangat jauh dari aku?
"Berpikir positif. Kalau nggak dapat Bara, minimal lo dapat suami yang jauh lebih baik dari Fandi. Yang bisa bimbing lo lebih baik lagi. Yang nggak cuma mainin perasaan lo saja. Yang nggak cuma ngajak lo buat senang-senang saja. Cari calon yang serius, yang baik, dan bisa ngerti keadaan lo." Alma menambahi.
Kata-kata Alma yang itu nampar aku. Dia benar. Selama ini, aku sudah salah berhubungan. Kenapa aku baru sadar sekarang? Alma sering negur aku masalah ini, tapi aku selalu mengabaikan apa yang dia ucapkan padahal itu buat kebaikan aku. Kalau nggak kayak gini, mungkin aku nggak akan terbuka pikirannya.
"Nggak ada yang nggak mungkin, Sar. Semua bisa mungkin. Lo minta saja sama Allah. Pasti Allah kasih, kok. Asal lo yakin saja. Jangankan laki-laki baik, Bara pun bisa saja Allah kasih ke elo kalau lo sungguh-sungguh."
"Jangan bikin gue makin baper, Al. Sumpah, gue baper banget sama kata-kata lo," balasku sedih.
Alma tertawa. "Lo sudah sadar?" tanyanya kemudian.
"Maafin gue kalau dulu sering menyepelekan peringatan dari lo. Iya, gue sadar sekarang. Gue butuh calon suami yang bisa ngertiin gue, dan Fandi nggak ada di kriteria itu. Gue nyesel," tambahku.
"Mungkin ini tanda dari Allah biar lo bisa berubah dan dapat calon yang lebih baik dari Fandi dan tentunya bisa bimbing lo ke jalan yang benar."
"Thanks, Al." Aku mengangguk.
Mungkin benar, aku harus berubah. Aku membenarkan kata-kata Alma kali ini. Allah minta aku berubah supaya aku dapat calon yang lebih baik. Ya. Sekarang aku mengerti. Semoga aku bisa berubah lebih baik lagi. Ya, walaupun bukan Bara, seenggaknya aku dapat suami yang baik dan bisa bimbing aku. Aku bakal belajar.
🍁🍁🍁
Bener nggak?
Semuanya butuh proses.
Kalau kamu mau dapat calon yang baik, mala kamu juga harus perbaiki kualitas kebaikan kamu di depan Allah. Semoga ya, biat para singlelillah bisa terus belajar lebih baik dan calon/pasangan kalian pun Allah perbaiki. Percaya saja.
Nah, ini dia sosok Sarah.
Cocok nggak menurut kalean?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top