Bagian 19

Kesel banget sumpah. Aku kesal banget, banget, banget sama Bara. Baru beberapa hari ini reda rasa kesal aku sama dia gara-ara susah dihubungi, eh, sekarang dia bikin aku kesal lagi. Dan yang lebih parah, Bara nggak bisa aku hubungi lagi dari kemarin, terakhir dia unggah video di stori WA. Gimana aku nggak kesal coba? Di dalam video itu ada Safira. Bara nggak ngomong apa-apa sama aku kalau di situ ada Safira atau dia lagi tugas di sana sama wanita itu. Aku tahu dari video itu, dan nggak sengaja lihat Safira lagi ngomong sama seseorang. Ah! Pokoknya aku kesal. Aku cemburu. Wajar bukan kalau aku cemburu sedangkan nggak ada penjelasan dari Bara?

Tas kuletakkan di atas meja dengan kasar. Mood aku berantakan sejak kemarin sore. Kalau saja nggak ada janji sama Putro, mungkin aku nggak datang ke sini.

"Kenapa, sih, kayak lagi bete gitu?" tanya Alma.

Tubuh kuempaskan di atas kursi kerja. "Gue lagi kesal sama Bara," balasku dengan nada kesal.

"Bukannya udah baikan? Kenapa lagi? Bara susah dihubungi lagi?" tanyanya menambahi.

"Kalau misalkan Rio tugas ke luar kota, terus dia ketemu sama mantannya, terus mereka tinggal satu hotel, dan Rio nggak cerita sama Lo, apa yang lo bakal lakuin?" tanyaku.

"Kok jadi suami gue? Ini gue nanya elo sama Bara, Sar." Alma komplain.

"Ini misalkan, Al," ketusku.

"Ya, jangan suami gue. Na'udzubillah pokoknya. Jangan suami gue." Alma masih berdalih.

"Ya sudah, gue nggak usah muter-muter. Gue langsung bilang saja kalau itu Bara. Dia di sana ketemu sama Safira. Dia nggak bilang sama aku kalau ketemu sama wanita itu. Dan sejak kemarin dia susah banget gue hubungi. Wajar nggak kalau gue kesal, cemburu, dan was-was?" Aku menjelaskan. Nggak mau muter-muter.

"Nah, gitu, dong. Yang jelas. Jangan suami gue dijadin bahan sama lo. Kan gue juga nggak mau." Alma menimpali.

Aku menjulingkan mata. "Jadi gimana menurut lo?" tanyaku memastikan.

"Ya, nggak salah sih kalau lo cemburu. Lo kan istrinya. Apalagi jauh di sana. Tapi lo coba tunggu dulu dan minta penjelasan ke Bara. Gue yakin, kok, Bara pasti punya alasan kenapa nggak mau cerita sama lo mengenai Safira. Atau dia belum sempat saja karena sibuk."

Sudah kuduga. Ujungnya pasti Alma belain Bara. Sudah bisa aku tebak. Tahu gitu nggak usah aku cerita. Simpan rasa cemburuku, kesalku, dan semua yang nano-nano di hatiku mengenai Bara. Mending aku kerja saja.

Laptop segera kubuka tanpa ingin melanjutkan obrolan bersama Alma. Percuma. Nggak di rumah atau di sini, sama saja. Semua belain Bara. Nggak ada yang belain aku. Sedih banget aku.

***

Setelah ketemu dengan Putro, aku dan Alma nggak kembali ke distro. Alma sudah kuantar pulang ke rumahnya. Kasihan ibu hamil kalau pulang sendiri khawatir kenapa-napa di jalan. Lagian aku bawa mobil. Biasa, mobil punya Bara. Kita punya kesibukan masing-masing karena sudah  memiliki keluarga, jadi kita akan ke distro kalau ada masalah penting. Selebihnya, kita bicarakan lewat chat atau telepon.

Aku turun dari mobil ketika tiba di depan gerbang rumah orang tua Bara. Sengaja nggak langsung pulang ke rumah karena sudah lama nggak ke sini. Ini kali pertama ke sini setelah menikah dengan Bara. Kali ini datang sendiri. Bara berpesan agar aku mengunjungi rumah orang tuanya kalau ada waktu selama dia di Palestina. Entah kenapa aku menurutinya kali ini walaupun sedang kesal dengan dia.

Ponsel kuraih dari dalam tas ketika melihat pintu gerbang digembok. Mencari kontak Umi, lalu menghubungi beliau. Kedatanganku ke sini memang tanpa rencana sebelumnya, jadi Umi belum tahu kalau aku mau ke sini. Kalimat salam menyapaku dari seberang sana saat telepon tersambung.

"Wa alaikumussalam. Umi. Sarah di depan." Aku membalas Umi.

"Masyaallah. Kamu tidak kabari Umi terlebih dahulu mau ke sini." Umi terdengar kaget. Lalu terdengar beliau menyuruh pembantu untuk membukakan pintu gerbang.

"Iya, Umi, baalsku setelah Umi kembali fokus padaku.

Nggak lama, Mbak Fami keluar dari arah garasi. Aku tersenyum padanya. "Mi. Sarah masukin mobil dulu, ya." Aku fokus pada panggilan telepon.

Aku masuk ke dalam mobil setelah Mbak Fami membukakan pintu gerbang. Mobil segera melaju untuk masuk ke halaman rumah ini. Aku turun dari mobil setelah meraih buah tangan yang sengaja aku beli sebelum ke rumah Umi, lalu berjalan menuju teras rumah. Ada rindu yang terselip saat tiba di rumah ini. Ingat saat pertama ke rumah ini. Aku tersenyum.

"Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam ketika masuk ke dalam rumah.

"Wa alaikumussalam." Umi membalas salamku dari dalam.

Aku masuk ke dalam. Kulihat Umi berjalan menghampiriku. Aku meletakkan buah tangan di atas meja ruang tengah. Umi memelukku. Aku dengan senang hati menerima pelukan dari beliau.

"Kenapa tidak kasih kabar kalau mau ke sini?" tanya Umi, masih memelukku.

Aku melepas pelukan. "Sengaja, Mi. Pulang dari tempat sablon langsung ke sini." Aku membalas.

"Sudah makan?" tanya Umi.

"Belum." Aku tersenyum.

Umi mengajak aku ke ruang makan. Syukurnya beliau masak. Aku jadi numpang makan di sini. Aku duduk di kursi setelah tiba di ruang makan. Umi membuka tutup saji. Tersaji makanan yang cukup asing bagi aku. Aku tahu makanan ini, tapi belum pernah makan.

"Kalau tahu kamu mau ke sini, Umi bisa siap-siap masak buat kamu. Hanya ini yang ada. Dapat kiriman dari teman Umi." Umi menyendokkan nasi itu untukku.

Aku merasa tak enak karena mendapat perlakuan seperti ini dari Umi. Beliau menyajikan di depanku, lalu duduk di sampingku.

"Umi sudah makan?" tanyaku.

"Umi sedang puasa." Beliau tersenyum.

Duh, aku lupa kalau ini hari Kamis. Biasanya Bara juga puasa sunah senin dan kamis. Kok aku jadi kangen sama dia. Rasa kesal aku sama dia juga sudah nggak begitu dominan. Apa karena aku ketemu sama Umi?

"Kalau saja ada Bara, mungkin nasi ini sudah habis. Dia sangat suka dengan nasi briyani." Umi mengulas.

Aku mulai menyantap nasi yang ada di hadapanku. Rasanya memang khas timur tengah. Ternyata ini nasi briyani. Nggak jauh beda warnanya dengan nasi kebuli. Enak. Aku jadi nggak enak sama Umi karena makan di depan beliau yang sedang puasa. Ternyata Bara menuruni kebiasaan ibunya.

"Mi. Sarah boleh nanya tentang Bara nggak?" tanyaku pada Umi di sela makan.

"Tentu boleh,Nak. Mau tanya apa?" tanya Beliau dengan senyum ramah.

"Kenapa Umi nggak setuju hubungan Bara dengan Safira?" tanyaku ragu.

Umi kembali tersenyum. "Umi hanya tidak ingin dia jauh. Kalau jauhnya masih satu negara tidak masalah. Ini beda negara. Ya, walaupun Safira masih bisa diajak ke sini, entah kenapa Umi merasa tidak setuju saja jika Bara berhubungan serius dengan Safira." Umi menjelaskan.

Aku hanya mengangguk. "Kenapa Umi merestui saat Bara ingin berhubungan serius dengan Sarah?" aku kembali bertanya dengan senyum malu.

Umi menyentuh pipiku sambil tersenyum. "Karena kamu cantik," pujinya.

Aku hanya tersenyum getir. Aku cantik? Nggak salah? Yang aku lihat malah lebih cantik Safira daripada aku. Apa Umi cuma ingin agar aku adem? Aku nggak yakin dengan pujian Umi.

Umi banyak cerita tentang Bara. Tentang masa kecil Bara saat di Palestina. Tentang Bara yang polos. Tentang Bara yang selalu menutup diri sampai beranjak dewasa. Umi bersyukur memiliki anak seperti Bara yang tak banyak menuntut. Kata beliau, Bara sangat senang ketika tinggal di sini. Dia tak lagi ketakutan karena mendengar suara bom. Dia tak lagi khawatir dengan mati lampu. Dia tak lagi sedih melihat orang-orang mati. Aku jadi ikut sedih. Ternyata di sana memang menakutkan. Aku bertanya mengenai mereka yang masih bertahan di sana. Jawaban Umi membuatku tercengang. Mereka bertahan karena menjaga kiblat kedua umat muslim. Kalau bukan mereka yang menjaga, siapa yang akan menjaga? Biar mereka syahid asal kiblat kedua umat muslim tak dijajah kaum yahudi. Sedih. Banyak sekali yang Umi ceritakan padaku.

***

Aku menghempaskan tubuh di atas sofa ketika tiba di ruangan keluarga. Setelah salat Asar, aku pamit pulang sama Umi. Saat ini, pikiranku masih tertuju pada Bara. Sampai sekarang aku belum dapat balasan pesan atau telepon darinya.  aku jafi khawatir sama dia.

Ponsel kuraih dari dalam tas untuk menghubungi Bara. Nggak biasanya dia seperti ini, nggak aktif lama. Nihil. Nomornya masih nggak aktif.

"Tumben pulangnya sore banget?"

Pikiranku buyar, menatap sumber suara. Kulihat Mama duduk di sofa lain. "Tadi mampir ke rumah Umi," balasku darar.

Mama hanya mengangguk. "Sudah ada kabar dari Bara?" tanya Mama.

"Belum. Sejak kemarin nomor Bara nggak aktif. Sarah jadi khawatir." Aku meletakkan ponsel di atas meja.

"Mungkin dia sibuk. Nanti kalau aktif juga hubungi kamu. Biasanya juga begitu." Mama menenangkan aku.

"Nggak biasanya dia nggak aktif lama seperti ini, Ma. Wajarlah kalau Sarah khawatir. Sarah istrinya," ungkapku.

"Iya, Mama ngerti. Sana mandi biar segar. Siapa tau habis mandi dapat kabar dari Bara. Atau makan dulu. Mungkin itu efek laper, jadi baper karena nggak dapat kabar dari sang pacar." Mama membalas dengan godaan.

Tatapan kualihkan pada Mama, lalu tersenyum. "Tumben Mama bisa bilang kata-kata gombal kayak gitu." Aku menimpali.

"Bisalah. Mama juga pernah muda." Mama tak mau kalah.

Aku hanya tertawa. Setelah cukup tenang, aku beranjak dari sofa untuk menuju kamar. Lebih baik aku mandi biar segar dan siap-siap salat Magrib.  Siapa tahu setelah dalat dapat kabar dari Bara.

***

Kangen banget rasanya update.
Part ini kukira sudah terupdate, ternyata kemarin cuma diedit doang. Wkwkwk ...

Maafkan slow update, ya, lagi sibuk banget sama baby B.
Semangatin aku, dong. Atau tab bintang biar aku semangat nulisnya. 😁

Part ini kalo berkendala nanti dihapus, ya. Kalo ga dihapus nanti ga urut. Jadi, siapa cepat dia yg baca. Aku tunggu sampai bintang minimal 50 orang. Buruan baca, jangan ditunda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top