Bagian 18

Langkah kuayun untuk keluar dari kamar setelah beberapa hari semedi di dalam tempat persembunyian. Aku sembunyi karena sedih ditinggal Bara ke Palestina. Siapa yang nggak sedih, baru nikah sepuluh hari yang lalu, lagi sayang-sayangnya, sekarang ditinggal tugas negara. Jauh pula beda negara, kalau beda pulau nggak akan bikin aku segalau ini. Walaupun cuma seminggu, ya tetap saja aku bakal rindu berat sama dia. Aku mau ikut, tapi dia nggak izinin karena kondisi di sana nggak memungkinkan. Mau melarang, tapi dia sudah siapkan semua ini jauh-jauh hari, bahkan sebelum aku nikah sama dia. Baru sehari ditinggal, aku sudah rindu banget sama dia. Semalam nggak bisa tidur karena nggak dengar suara tilawah dia atau lagu pengantar tidur dari dia.

"Sudah bosan di kamar?" tanya Mama ketika aku tiba di ruang makan.

Kalau saja nggak ada tanggungjawab dengan distro, mungkin aku masih semedi di dalam kamar. Makan saja ogah rasanya. Di pikiran sama hatiku cuma ada Bara, Bara, Baraaaaaaaaa.

"Suami kamu pergi buat tugas negara, Sar. Buat bela negaranya. Harusnya kamu ngerti." Mama menambahi.

Aku duduk di kursi, meraih piring, menyendok nasi. Percuma saja balas omongan Mama karena beliau belain menantu kesayangannya itu. Aku pilih diam saja dari pada ujungnya beruntun dan bikin aku kesal.

"Sudah hubungi Bara? Tadi pagi Bara telepon Mama, nanya kamu sudah bangun apa belum? Sudah makan apa belum? Dia itu khawatir sama kamu, masa kamu nggak khawatir sama dia. Hubungi dia, Sar. Hibur dia. Dia pasti sedang butuh dukungan karena melihat kondisi negaranya semrawut. Kamu jangan egois. Nggak baik." Mama menasehati.

Kalau saja Mama tahu, aku lebih khawatir mikirin Bara. Aku sampai nggak bisa tidur cuma mikirin dia. Dia lagi apa? Sudah makan atau belum? Tidurnya enak nggak? Makannya enak apa nggak? Setiap detik selalu lihat perkembangan dia di stori WA. Aku khawatir banget dengan kondisi dia karena kondisi di sana yang mencekam.

Mama beranjak dari kursi karena tak mendapati balasan dariku. Aku mengembuskan napas berat. Kalau saja aku ikut Bara ke sana, pasti aku nggak akan merasa khawatir seperti ini.

Setelah selesai makan, aku bersiap-siap untuk menuju distro. Lebih baik aku ke distro daripada nggak ada kegiatan di rumah dan sibuk mikirin Bara. Ponsel di atas kasur segera kuraih, memasukannya ke dalam tas. Gerakanku terhenti ketika akan meraih kunci mobil yang tergeletas di atas meja yang biasa kupakai untuk kerja. Ini kunci mobil Bara. Dia berangkat naik taksi. Pas dia mau berangkat, aku masih kesal dengannya, dan nggak antar dia ke depan atau ke bandara. Aku menyesal karena nggak antar dia. Kenapa menyesalnya baru sekarang?

Kunci mobil segera kuraih, lalu keluar dari kamar. Bara membolehkan aku memakai mobilnya untuk ke distro atau ke mana pun. Dia nggak batasi aku atau melarang aku untuk seperti yang dia mau selama itu tak melanggar aturan Islam.

"Ma, Sarah ke distro." Aku pamit pada Mama saat keluar dari kamar. Beliau sedang menatap layar televisi di ruang keluarga.

"Sudah pamit sama Bara?" tanya Mama.

Hampir lupa. Setiap mau ke mana-mana aku harus pamit dengannya. Bukan harus, sih, tapi memang wajib. "Nanti," balasku singkat, berlalu dari ruang tengah.

Aku meraih ponsel dari dalam tas untuk mengirim pesan pada Bara jika akan ke distro. Kalau saja Mama nggak ingatin, mungkin aku akan lupa.

To: My Hubbi
Aku ke distro, By.

Sudah kuduga. Hanya centang satu. Dia pasti lagi sibuk. Lebih baik aku cepat ke distro daripada nunggu balasan dari dia yang entah kapan dibalas. Aku masuk ke dalam mobil. Aroma parfum Bara langsung menembus hidungku. Seketika rindu menggebu.

Mobil segera kunyalakan. Sejenak, aku terdiam karena memori saat kami berdua di dalam sini hadir. Aku memejamkan mata, menikmati momen itu saat bersama dia di dalam mobil. Candaannya masih teringat jelas. Rinduku semakin tak terbendung. Bara. Aku rindu kamu. Aku rindu candamu, tilawahmu, senyummu, juga perlakuan manismu. Kapan kamu pulang, Hubby?

Nggak mau swmakin lama memikirkannya, aku melajukan mobil, meninggalkan halaman rumah. Lama-lama aku bisa stres mikirin Bara. Sampai sekarang dia masih belum balas WA aku. Nggak tahu apa kalau aku nungguin.

Hampir satu jam menempuh perjalanan, akhirnya tiba di diatro. Aku bergegas turun dari mobil setelah tiba halaman distro. Alma pasti sudah menunggu aku di dalam. Salam kuucapkan saat memasuki distro.

"Wa alaikumussalam." Terdengar jawaban salam dari dalam.

"Alma sudah datang, Jas?" tanyaku pada Jasmin.

"Sudah, Mbak, ada di dalam." Jasmin membalas.

Setelah mengangguk pada Jasmin, aku berlalu menuju ruang kerja, mengucapkan salam saat masuk ke ruangan itu. Tak ada jawaban. Aku mengedarkan pandangan. Pandanganku tertuju pada sosok Alma yang sedang tertidur di atas sofa. Langkah kuayun menghampiri meja kerja, meletakkan tas di sisi meja, lalu duduk di kursi. Pandangan kembali kulempar ke arah Alma.

Tumben banget dia tidur pagi-pagi begini. Apa dia habis bergadang sama Rio biar cepat jadi? Lah, aku bahas apaan, sih? Wajarlah kalau mereka ngebut bikin anak. Aku juga. Aku menahan tawa.

Tumpukan berkas di atas meja kini jadi pusat perhatianku. Terdapat tumpukan berkas aporan pemasukan, pemasaran, dan pengeluaran diatro. Aku membuka laporan bagian atas. Yang pertama aku buka adalah laporan penjualan. Semuanya seperti biasa, sesuai target. Aku mulai sibuk meneliti semua berkas yang tersaji.

"Lo udah datang, Sar?"

Pertanyaan itu membuat aku melempar pandangan ke arah Alma. Ternyata dia sudah bangun. Wajahnya terlihat pucat seperti lagi sakit. Apa Alma sakit?

"Lo nggak apa-apa, 'kan, Al? Muka lo pucat gitu." Aku membalasnya.

"Gue baik-baik saja, Sar. Bawaan orang hamil, jadi kayak gini." Alma menimpali.

Mataku membulat. "Lo hamil? Seriusan?!" tanyaku kaget, nggak percaya.

"Ya kali gue bohong sama lo." Alma beranjak dari sofa, berlalu menuju meja kerjanya.

Iya, sih. Toh, dia hamil ada suaminya. Tapi kok aku baru tahu?

"Lo udah baca laporan di atas meja kerja lo?" tanyanya.

"Sudah. Baru saja selesai." Aku menimpali. "Kalau lo lagi hamil muda, kenapa lo datang ke distro? Kenapa nggak di rumah saja, istirahat?" tanyaku menambahi.

"Jenuh gue di rumah nggak ada kerjaan. Di sini kan ada kerjaan, minimal ada teman ngobrol dan ada yang bisa gue kerjain."

"Iya, sih." Aku tersenyum getir.

Maklum. Dia habis pindahan ke rumah baru, jadi masih sepi suasananya. Kalau di sini memang ada aku atau ada yang bisa bikin dia sibuk dan nggak bikin dia capek. Duh, aku jadi ingin nyusul Alma, ikutan hamil.

"Lo ke sini diantar Bara atau sendiri?"

Pertanyaan itu bikin pikiranku buyar. "Gue ke sini sendiri. Bara kemarin berangkat ke Palestina. Gue lagi galau, Al," balasku dengan nada sedih.

"Galau kenapa?" Dia memastikan.

"Gue mau ikut dia ke sana, tapi dia nggak izinin gue buat ikut. Kan gue jadi kesel sama dia. Gue lagi sayang-sayangnya, lagi nikmati pengantin baru, eh dia tinggal pergi ke Palestina." Aku mengungkapkan unek-unek pada Alma.

"Kan dia udah lama rencana mau ke sana. Ya, lo ngertiin dia. Kan bisa lanjut lagi sayang-sayangnya pas dia pulang," timpalnya.

"Ya, tetep aja gue kesel, Al. Kenapa kudu dadakan begini? Kenapa gue nggak boleh ikut?" Aku menggerutu.

"Dia kasih alasan apa pas nggak kasih izin lo ikut?"

"Dia bilang, kondisi di sana sedang darurat, nggak memungkinkan aku ikut, dan urus visanya susah." Aku menjelaskan.

"Ya, benar apa yang diucapin Bara. Di sana nggak enak, Sar. Mending kamu di sini saja, doain dia biar pulang ke Indonesia dalam keadaan sehat, dan semoga keadaan Palestina kembali kondusif."

Nyesel banget cerita sama dia. Sudah pasti Alma bela Bara, teman dekatnya. Nggak di rumah nggak di sini, semua bela Bara. Aku hanya pasrah menerima takdir ini, berpisah sementara dari suami demi Palestina. Semoga keadaan di sana cepat kondusif biar Bara cepat balik ke Indonesia. Aamiin.

***

Langkah kuayun masuk ke dalam rumah dengan gerakan gontai sambil mengucapkan salam. Setelah dari distro, aku langsung pulang tanpa mampir ke tempat mana pun. Sampai sekarang, aku masih belum dapat balasan WA dari Bara. Nggak tahu apa yang terjadi di sana. Aku selalu mencari info perkembangan Palestina lewat sosial media supaya bisa memastikan keadaan Bara di sana.

Tubuh kuempaskan di atas sofa, melepas tas dari tubuh, lalu meletakkannya di sisi sofa. Mataku terpejam, berharap kerusuhan di dalam pikiranku hilang.

"Kapan pulang, Sar? Papa nggak dengar kamu buka pintu."

Mata masih kupejamkan. Sudah tahu siapa yang tanya. Papa. "Baru lima menit yang lalu, Pa. Sarah udah salam, tapi nggak ada yang balas." Masih memejamkan mata.

Terdengar Papa duduk di sampingku. "Gimana kabar Bara di sana?" tanya beliau.

"Dari pagi Bara belum balas WA Sarah, jadi belum tau kabar dia. Sarah jadi gemas nungguin balasan WA dia." Aku menimpali sambil membuka mata. Gagal menenangkan pikiran.

"Sudah tau kabar terbaru dari sana? Katanya ada relawan yang gugur karena ditembak polisi Israel."

Relawan? Ditembak Israel? Bara? Semoga bukan Bara. Ya Allah, lindungi suami hamba di sana. Aku nggak siap jadi janda muda. Lindungi Bara, ya Allah. Jangan sampai dia kenapa-napa di sana.

"Bukan relawan Indonesia, tapi relawan dari negara lain." Papa melanjutkan.

Aku menghela napas. "Papa bikin Sarah takut aja," dengusku kesal.

Papa tersenyum lebar saat melihat ekspresi wajahku. Takut. Puas banget ngeledek anaknya yang lagi khawatir.

"Jangan bikin Sarah tambah khawatir napa, sih, Pa. Bukannya ditenangin, malah di kasih kabar kayak gitu." Mama angkat suara. Menegur Papa.

"Tau tuh, Papa. Sarah kan jadi semakin kepikiran sama Bara. Semalam saja nggak bisa tidur gara-gara mikirin dia. Eh, Papa nambahin jadi bikin Sarah takut dan cemas sama keadaan Bara." Aku menambahi dengan nada kesal.

"Kamu sudah dapat kabar dari Bara, Sar?" tanya Mama.

"Belum, Ma. Dari pagi belum di balas WA Sarah. Sarah jadi khawatir ini, taku dia kenapa-napa." Aku menatap Mama sedih.

"Mungkin listrik di sana belum nyala. Kamu kan tau kalau listrik di sana cuma nyala empat jam saja. Sabar saja, nanti kalau dia aktif juga dibalas." Mama menenangkan aku.

Iya juga, sih  di sana hanya empat jam doang listrik nyala. Bisa saja ponsel Bara mati karena kehabisan baterai. Aku kudu sabar nunggu balasan dari dia. Tapi aku kangen banget sama dia. Semoga dia baik-baik di sana dan selalu dalam lindunganNya. Aamiin.

***

Pejuang LDR ada? Gimana rasanya?
Semoga tetap prasangka baik, ya.
Kira-kira Bara kenapa di sana?
Kenapa WA Sarah lama dibalas?

Jangan lupa follow, tap bintang, dan koment.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top