Bagian 12

Kejadian beberapa hari yang lalu masih bikin aku kesal sama Bara. Aku memang salah sudah maksa dia buat ketemu berdua, tapi kalau dia nggak bisa dan ada kesibukan seharusnya kasih kabar ke aku lebih dulu atau minimal kirim SMS walaupun pakai HP orang lain. Ini nggak sama sekali. Aku paling nggak suka nunggu apalagi sama cowok, bahkan berlaku juga buat Fandi. Sumpah. Rasanya masih kesal saja kalau ingat dia. Sampai sekarang juga nggak ada niatan dia buat temui aku. Makin numpuk pula rasa kesal sama dia.

Ojek online yang aku naiki nggak terasa sudah sampai distro. Aku segera turun, melepas helm, lalu memberikan uang pada sopir ojek. Sengaja nggak bawa motor sendiri karena pikiran lagi nggak jelas, takut kenapa-napa kalau bawa motor sendiri. Mobil putih di sisi halaman distro bikin langkahku sejenak terhenti. Ternyata dia datang ke sini. Pasti mau minta maaf gara-gara kejadian kemarin. Mau masuk rasanya malas ketemu sama dia. Mau nggak masuk, tapi sudah terlanjur sampai dan ada janji sama Alma.

Napas kuhela, lalu mengayun langkah memasuki distro. Tujuanku langsung ke ruangan kerja karena tahu ada Bara di sini lagi nunggu aku. Alma juga sudah sampai dan baru saja keluar dari kantor. Pintu kantor segera kubuka, mengabaikan semua orang di ruangan pemasaran.

"Sar."

Panggilan Alma kuabaikan, memilih masuk ke dalam dan pura-pura nggak dengar. Tas segera kuletakkan di sisi meja, lalu duduk di kursi kerja. Hati terasa nggak keruan saat lihat Bara. Suara pintu terbuka mengusik pikiranku. Nggak tahu siapa yang masuk. Aku malas menatap ke sana.

"Kamu masih marah?"

Ternyata dia yang masuk. Alma ke mana? Apa dia nggak ikut masuk? Apa Bara minta dia nggak ikut masuk?

"Aku minta maaf karena sudah bikin kamu kecewa," ungkapnya.

Sesuai dugaan, kedatangan dia buat minta maaf. Permintaan maaf darinya masih aku abaikan. Masih sangat kesal. Bahkan aku nggak mau natap wajah dia. Aku datang ke sini buat ketemu Alma, bukan ketemu dia.

"Sar." Dia terdengar mengampiriku.

Aku beranjak dari kursi, mengabaikan dia yang masih meminta maaf padaku. Langkah kuhentikan saat Bara berjalan mendahului, lalu berdiri di depan pintu. Aku menatapnya malas. Dia juga menatap aku. Baru kali ini dia natap aku seperti memelas.

Suara pintu terbuka membuat aku mengalihkan pandangan. Alma terlihat masuk ke dalam ruangan ini. "Aku mau keluar," kataku.

"Dengarkan penjelasan aku lima menit saja. Aku hanya ingin meluruskan salah paham ini." Dia meminta waktu buat ngejelasin.

"Nggak perlu. Kita nggak ada salah paham. Lagian kamu nggak serius sama aku, apalagi yang harus kita selesaikan? Aku memang bukan tipe kamu. Kamu bebas memilih siapa saja dan nggak perlu lanjut taaruf kita karena merasa terpaksa." Aku membalikan tubuh, berjalan menuju meja kerja.

"Nggak serius? Kenapa kamu bilang seperti itu? Sekarang juga aku siap lamar kamu di depan orang tua kita."

Sekarang juga mau lamar aku? Aku nggak percaya. Kalau dia serius sama aku, kenapa dia bikin aku kecewa? Kenapa dia jarang menghubungi aku? Kenapa dia jarang menemui aku? Apa ini yang dia artikan serius?

"Sarah. Aku minta maaf untuk kejadian kemarin. Aku benar-benar ada pasien gawat darurat, jadi nggak bisa temui kamu dan baterai telepon aku habis. Aku hanya minta pengertian dari kamu. Aku nggak bermaksud menolak." Dia melanjutkan.

Suara masih kutahan. Bingung mau balas apa. Rasa kesal lebih menguasai pikiran dan hati. Aku bingung. Bingung sama hubungan kita.

"Kamu kenapa, sih, Sar? Sebenarnya kalian kenapa? Kenapa jadi marahan kayak gini?"

Aku masih tak bersuara. Pertanyaan Alma ikut terabaikan. Aku memilih buat pergi. Suasana juga sudah nggak enak. Tambah semakin kesal karena Bara nggak berhentiin aku. Cuma Alma yang kembali sebut nama aku buat mastiin. Mataku berkaca. Sesaat, aku menghentikan langkah sebelum membuka pintu.

"Kalau kamu emang serius, aku tunggu niat kamu buat lamar aku secepatnya." Aku membuka pintu, lalu meninggalkan ruangan itu setelah keinginanku terucap.

"Sarah!"

Aku segera keluar dari distro, mengabaikan panggilan Bara. Setidaknya sesak di dada sedikit berkurang. Hati dan pikiranku dipenuhi dengan Bara. Ada rasa takut yang tercipta setelang mengungkapkan kalimat tadi. Takut kalau Bara nggak serius sama aku. Apa aku yang terlalu berharap sama dia? Apa karena aku yang terlalu memaksa? Apa karena aku yang berlebihan menuntutnya?

Ayunan langkahku menjadi pelan saat akan melewati tempat di mana pertama kali melihat Bara. Teringat kejadian itu di waktu saat ini. Aku melangkah masuk ke halaman masjid. Aku memang butuh tempat buat menyendiri dan di sini adalah tempat yang tepat.

Ya Allah, kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa aku merasa ragu seperti ini? Apa aku takut akan terulang lagi kejadian sebelumnya? Aku sama Bara baru taaruf beberapa pekan ini. Kenapa aku takut kehilangan dia? Ya Allah, aku kenapa?

♡♡♡

Sampai sekarang Bara belum juga datang ke rumah buat buktiin kata-katanya. Gimana aku mau percaya kalau dia saja masih belum ke sini? Genap sebulan kita taaruf, tapi perkembangannya masih sama saja seperti tanpa taaruf. Wajar kalau aku ragu sama dia. Cukup sekali aku digantung hubungan asmara. Aku nggak mau sakit hati buat yang kedua kali. Kalau nggak serius, mending nggak usah ngajak taaruf sama sekali. Telepon jarang, kirim chat juga jarang, ketemu apalagi. Terakhir ketemu sama dia pas minta maaf di distro dan selanjutnya gelap, nggak ada kabar sama sekali. Dia juga nggak ada inisiatif buat bujuk aku selain chat.

"Ngelamunin apa sih anak gadis sore-sore begini?"

Pertanyaan Mama membuyarkan lamunanku. "Kerjaan, Ma." Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.

"Kerjaan apa Bara?" Mama terdengar menggoda.

Godaan dari Mama nggak kurespon, memilih sibuk menatap layar HP. Chat baru dari Alma masuk beberapa menit yang lalu.

From: Alma
Gue sama Rio nanti malam otw ke rumah lo.

Dia mau ke sini? Sama Rio? Tumben. Biasanya kalau mau ke sini nggak bilang kecuali masalah penting atau pas lagi mampir. Apa gara-gara aku nggak balas chat dia masalah Bara? Aku nggak mau saja dia tahu masalah aku sama Bara. Bara juga diam-diam saja, nggak cerita sama Alma kalau kita lagi ribut masalah pertemuan kita yang berantakan waktu itu. Alma cuma tahu kalau aku sama Bara lagi ribut gara-gara lamaran.

Suara bel membuyarkan pikiranku. Mama terlihat berjalan menuju ruang tamu buat mastiin siapa yang datang. Paling Alma sama Rio yang datang. Alasan dia saja mau datang entar malam. Jilbab di sandaran sofa segera kuraih, lalu mengenakannya untuk menutupi auratku.

"Malik! Tolong keluar dan lihat siapa yang datang!" seru Mama dari arah ruang tamu.

"Paling Alma sama Rio, Ma!" Aku menyambar.

"Kakak saja, deh. Aku lagi nanggung nyerang musuh, nih." Malik menimpali.

"Mama nyuruhnya lo! Cepat sana!" Aku mengusirnya.

Malik beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan ponsel yang masih menyala dalam posisi game-nya di-pause. Aku kembali fokus pada layar televisi. Biasanya, aku memang seperti ini, ngabisin waktu libur buat santai di rumah sama keluarga. Tapi hari ini Papa lagi sibuk sama proyek kantor, jadi beliau memilih sibuk di ruangan pribadi buat semedi sama tumpukan tugas.

"Sarah!" seru Mama.

"Ada apa sih, Ma? Tenaga Malik masih kurang?" tanyaku heran, masih menatap layar televisi.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau Bara sama orang tuanya mau ke sini?" tanya Mama.

Bara sama orang tuanya ke sini? Mama nggak salah ngomong, 'kan?

"Mama lagi nggak bercanda, kan?" Aku memastikan.

"Nggak! Itu Bara sama keluarganya ke sini. Masa kamu nggak tahu?" Mama masih terdengar panik.

Aku beranjak dari sofa, mengabaikan pertanyaan Mama, segera meninggalkan ruangan keluarga untuk menuju kamar. Ternyata bukan Alma yang datang, tapi Bara sama keluarganya. Aku kira Alma yang datang, tapi justru keluarga Bara yang ke sinu. Aku kira kata-kata Bara cuma omong kosong, tapi ternyata dia benar-benar datang. Aku harus gimana? Duh, bingung.

Setibanya di kamar, Aku langsung menghampiri lemari, memilah gamis yang tergantung. Gamis sebanyak ini terasa seperti jelek semua. Aku meraih beberapa gamis yang belum lama dibeli dan belum terpakai. Gamis warna merah jambu kutempelkan di badan. Terlihat kurang cocok. Lalu berganti dengan gamis warna abu. Masih kurang cocok. Duh, kenapa jadi nggak cocok semua, sih?

Khawatir waktu habis cuma buat milih gamis, aku segera masuk ke kamar mandi buat bersihin badan. Sejak pagi belum mandi karena rasanya malas banget. Mager segala-galanya. Aku bergegas keluar dari kamar mandi setelah selesai semedi. Semedi buat ngebersihin daki. Gamis warna biru tua segera kuraih, lalu mengenakannya. Ini gamis terakhir yang aku beli bulan ini. Koleksi gamisku bertambah jadi semakin banyak.

Setelah memastikan gamis aman di tubuh, aku segera meraih alat make up. Jangan sampai aku kelihatan pucat karena kurang tidur mikirin Bara. Setelah itu, aku meraih pasmina warna hitam, lalu menatanya agar menutup kepala dan dada. Aku mendadak nggak percaya diri mau ketemu keluarganya Bara. Malu sama dia karena sudah marah-marah nggak jelas dan ngeraguin keseriusan dia buat lamar aku. Kenapa aku jadi percaya diri banget kalau kedatangan mereka ke sini buat lamaran? Barangkali mereka datang cuma buat silaturrahmi. Duh, gimana, ini?

Suara pesan masuk mengalihkan perhatianku. HP segera kuraih buat mastiin siapa yang ngirim pesan. Bara. Ternyata dia yang kirim pesan. Aku segera membuka peaan darinya.

From: Bara
Apa aku pernah bohong masalah hubungan kita?
Aku datang sesuai janji yang pernah kuucap.
Aku bawa orang tuaku untuk menemui orang tuamu.

Senyum getir kusungging. Aku sudah salah berpikiran buruk tentangnya. Balasan segera kuketik.

To: Bara
Tapi nggak dadakan kayak gini juga.
Harusnya kamu kabari kalau mau ke sini apalagi bawa orang tua kamu. Aku dan keluarga juga butuh siap-siap.

Aku mengirim pesan balasan buat Bara. Aku akui kalau aku memang salah. Dari kemarin dia kirim pesan, tapi aku nggak balas. Dia telepon juga nggak aku angkat. Aku merasa serba salah.

Suara pintu terbuka mengalihkan pandanganku dari HP. Mama terlihat memasuki kamar ini. "Ternyata kamu sudah siap. Anak Mama kelihatan cantik banget. Ayo keluar. Orang tua Bara mau ketemu sama kamu." Mama menyampaikan.

Aku beranjak dari kursi. "Sarah sudah rapi kan, Ma?" tanyaku memastikan.

"Kurang rapi yang gimana lagi? Ini sudah rapi banget."

"Buruan keluar. Jangan bikin keluarga Bara nunggu lama." Mama membalikkan tubuh, lalu meninggalkan kamar ini.

Rasanya campur aduk mau ketemu sama orang tuanya Bara. Belum lagi sama Bara. Aku sudah banyak berpikir negatif sama dia. Ternyata dia kalau janji nggak main-main. Sekarang bukan lagi marah ke dia tapi malah takut. Langkah yang tadinya cepat sekarang malah jadi berat saat mau sampai ruang tamu.

"Saya nggak nyangka kalau gadis yang pernah ke rumah ternyata sedang jadi target Bara," ungkan abinya Bara saat aku dan mama tiba di ruang tamu.

Aku hanya bisa menunduk, menuruti perintah Mama agar duduk di samping papa. Duduk bersama mereka seperti duduk di ruang persidangan. Tegang.

Mereka melanjutkan obrolan ringan mengenai keterlibatan aku dalam membantu Bara bikin kaus buat galang dana. Aku hanya diam menjadi pendengar setia, dan akan menjawab kalau ditanya. Berbeda dengan Bara yang terlihat santai sambil menjawab pertanyaan Papa. Jujur, aku ingin sekali natap dia, tapi takut. Malu banget sama dia. Rasanya seperti sampai puncak ubun-ubun.

"Ayo, Bar."

Ludah terasa susah kutelan saat mendengar kalimat itu. Obrolan serius sudah mau dimulai. Sesaat, aku memejamkan mata buat nenangin hati yang nggak keruan. Aku sudah bilang sama Papa kalau Bara itu bukan tipe laki-laki seperti pada umumnya. Pokoknya beda. Sandi kalah jauh. Yang bikin beda adalah cara perlakuannya. Bara irit ngomong, tapi halus cara ngomongnya. Dia juga cuek, tapi demi menjaga hal-hal yang nggak diinginkan. Dia juga nggak pernah nyentuh aku. Jangankan nyentuh, natap saja hampir nggak pernah. Semapt bingung ngejelasin ke Papa.

"Om, Bara minta maaf kalau kedatangan Bara terkesan dadakan. Bara hanya ingin memastikan hubungan Bara dengan Sarah. Bara serius untuk menikahi Sarah secepatnya."

Apa?! Menikah secepatnya? Dia nggak lagi ngigo, 'kan?

Aku memberanikan diri mengangkat kepala buat natap Bara. Ekspresi wajahnya terlihat serius sambil natap Papa. Napas berat kuhela, lalu kembali menunduk. ketika mendengar Bara mengatakan hal itu. Dia terlihat serius sambil menatap Papa. Aku menghela napas berat, lalu menunduk. Salah lagi.

"Iya. Saya juga kaget dengarnya. Sarah nggak pernah bilang apa-apa setelah terakhir Nak Bara ke sini." Papa membalas.

Bukan nggak mau bilang, Pa. Sarah takut Bara PHP. Sarah nggak mau kayak waktu sama Fandi. Dia banyak janji ini dan itu, tapi akhirnya dia malah nikah sama wanita lain.

"Nggak apa-apa, Om, mungkin Sarah masih ragu, makanya sekarang Bara datang sama orang tua supaya Sarah percaya. Insya Allah, Bara ingin menikahi Sarah secepatnya." Bara menambahi.

Mataku kembali memejam. Aku nggak mimpi, kan? Bara mau nikahi aku? Secepatnya?

"Apa nggak terlalu buru-buru? Nggak lamaran dulu?" Papa mengajukan.

Tatapan kulempar ke arah Papa. Beliau masih terlihat serius menatap Bara.

"Anggap saja kedatangan Bara bersama orang tua ke sini untuk melamar Sarah." Bara menjelaskan.

Setelah mengatakan kalimat itu, Bara terluhat meraih sesuatu di saku celana, lalu meletakkannya di atas meja. Teenyata kotak cincin yang dia keluarkan. Dia serius mau lamar aku. Kenapa dia nggak kasih tahu aku dulu mau bikin rencana seperti ini?

Sar."

Panggilan Mama bikin aku kaget, langsung menatap beliau. Mama menganggukan kepala tanda agar aku segera memberi jawaban. Seperti bukan jawaban, tapi lebih ke arah setuju. Dari awal tahu kalau aku sedang taaruf sama Bara, Mama yang antusias dan bahagia. Pandanganku beralih ke arah Papa. Tatapan Papa seakan meminta jawaban, sama seperti Mama. Orang tuaku memang nggak nuntut apa-apa mengenai calon suamiku nantinya. Tentu yang dipilih kebaikannya, mapannya, dan terutama imannya.

Masih galau kasih jawaban, tapi niat Bara memang tulus dan serius buat hubungan kita ke depannya. Dia juga memenuhi janjinya tempo hari. Pada akhirnya aku mengangguk lemah di depan Papa tanda setuju. Dari awal, aku memang mengharapkan suami seperti Bara. Mungkin ini jabawan Istikharah yang sudah aku lakuin, karena sampai sekarang aku nggak mimpi apa-apa. Semua orang terlihat bahagia setelah mendengar ungkapan Papa bahwa aku menerima lamaran ini.

Ya Allah, semoga Bara jodoh terbaik buat hamba. Walaupun aku sudah marah dan cuek sama dia, tapi dia nggak marah atau cuek balik. Dia malah buktiin kalau hubungan kita nggak main-main. Terima kasih karena sudah mantapin hati dia buat menerima aku apa adanya, bukan karena paksaan atau kasihan.

☆☆☆

Duh, baper saking kebablasan halu. 🤣🤣🤣
Hayo ... kalian mau ucapin apa ke Bara sama Sarah?

Waktu dan lapak saya persilakan untuk para penggemar Bara dan Sarah. Jangan lupa vote dan follow. Thanks. ❤❤🍁


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top