Bagian 11

Semakin ke sini jadi tambah minder rasanya taaruf sama Bara. Nggak tahu kenapa merasa nggak pantas saja bersanding sama laki-laki sempurna seperti dia. Terlebih, Bara pasti punya teman-teman yang cantik dan lebih pintar dari aku. Dia bisa dapat wanita yang bisa ngertiin dan memahami dia. Sedangkan aku? Aku orang biasa bahkan dasar ilmu agama saja sangat minim. Penggemar Bara juga menginginkan agar dia dapat wanita yang sepadan sama ilmunya. Aku sengaja mengamati media sosialnya akhir-akhir ini dan melihat komentar penggemar dia. Pengikutnya di media sosial sangat banyak dan yang paling banyak adalah wanita remaja. Tapi Alma selalu ngomel sama aku kalau lagi curhat masalah minder. Jadi malas curhat sama dia.

Suara pesan masuk membuyarkan lamunanku. Melirik ke arah HP yang tergeletak di samping sofa yang aku duduki. Bemda itu segera kuraih karena mendapat balasan pesan dari Bara.

From: Bara Hameed
Wa alaikumussalam
Ada apa, Sar?
In syaa Allah, aku sedang nggak sibuk.

Beberapa jam yang lalu aku memang mengirim pesan padanya. Berniat buat ajak dia ketemu dan memastikan niatnya untuk serius sama aku. Nggak tahu bisa apa nggak karena aku tahu kalau dia sibuk dan belum tentu mau diajak keluar sama yang bukan mahram.

To: Bara Hameed
Aku mau ajak kamu ketemu.
Penting.
Bisa?

Semoga saja dia mau. Ini memang penting. Aku takut saja dia menyesal nantinya. Dia nggak tahu sih kalau aku tipe cewek yang mudah baper dan cemburuan. Wajar lah kalau aku mau mastiin niat dia buat ke depannya.

Sudah lebih dari lima menit nunggu balasan pesan dia, tapi belum dibalas juga. Ini yang kadang-kadang bikin aku malas chat sama dia. Balasnya lama banget. Dari pada nungguin balasan dari dia, lebih baik lanjutin gambar desain karakter buat topi. Baru saja buka laptop, HP sudah bunyi tanda telepon masuk. Ganggu saja. Mataku terbuka lebar saat menatap layar HP. Ternyata Bara yang telepon aku. Ini dia nggak salah pencet, 'kan?

Suara salam Bara langsung kudengar saat HP sudah menempel di teling. Buat angkat telepon dia saja aku harus cap cip cup. Takut dia salah pencet. Eh, tapi ternyata nggak. Buktinya dia langsung ucapin salam.

"Sarah."

"Eh, iya. Wa alaikumussalam."

"Mau ketemu di mana? Apa aku ke rumah? Atau di distro?" tanyanya.

"Nggak. Aku ..." Aku menggantungkan kalimat. Ragu.

"Kenapa?" Dia memastikan.

"Aku mau ketemu berdua saja sama kamu. Ada yang mau aku sampaikan dan aku nggak mau orang lain tau." Aku berterus terang.

"Mengenai?"

Suaranya kayak ketus gitu dan nggak mau bertelw-tele. Aku jadi bingung mau jelasin.

"Aku mau bahas masalah hubungan kita," lanjutku.

"Apa ada masalah?"

Gemes banget aku sama dia. Kenapa dia nggak peka, sih?

"Mau apa nggak? Kalau nggak mau ya sudah, aku nggak masalah. Kamu kayaknya juga sibuk," ketusku.

"Apa nggak lebih baik aku ke distro atau ke rumah kamu saja? Nggak enak kalau ketemu di luar dan hanya kita berdua. Memang kenapa kalau keluargammu atau Alma tahu?" Dia memastikan.

"Kalau nggak mau ya sudah, aku nggak maksa. Aku maunya ketemu berdua sama kamu buat bahas kelanjutan hubungan kita. Aku nggak mau Alma atau keluargaku tahu karena ini masalah privasi aku," jelasku.

Hening.

Heran. Kenapa dia nggak mau ngertiin aku? Aku butuh bicara berdua dengannya mengenai kelanjutan hubungan kita. Aku hanya nggak mau dia menyesal di kemudian hari karena menikah dengan wanita biasa saja seperti aku.

"Kamu atur saja tempatnya dan kapan. InsyaAllah, aku akan menemuimu." Dia menyetujui.

"Nanti malam bisa? Di kafe dekat distro?"

"InsyaAllah." Dia menyanggupi.

"Ya sudah, aku tunggu nanti malam di sana."

Setelah membalas salamnya, aku mematikan smabungan telepin. Hp kembali kuletakkan di samping laptop. Kok aku jadi khawatir dia tersinggung karena sudah ngajak ketemu. Aku juga sebenarnya takut kalau ketemu cuma berdua. Belum lagi rasa ragu dia sama aku. Semoga saja dia tetap kukuh pada pendiriannya.

♡♡♡

Pantulan cermin kembali kutatap, memastikan penampilanku sebelum pergi dari kamar. Kemeja putih berpadu dengan rok hitam sudah rapi kukenakan. Nggak lupa khimar abu bercorakmenutupi kepalaku. Setelah cukup yakin, aku segera memasukkan benda-benda penting ke dalam tas.  Suara pintu kamarku terbuka. Kalau bukan mama, ya, Malik.

"Kakak pesan taksi online?" tanya Malik.

"Iya," balasku singkat sambil menyampirkan tas di bahu, lalu bergegas keluar dari kamar. Taksi yang aku peaan sudah datang.

"Kakak mau ke mana?" Malik terdengar penasaran.

"Kepo banget kamu. Nanti bilang sama Mama kalau Kakak pergi dulu sebentar. Ada urusan penting." Aku meninggalkan kamar.

"Jangan pulang malam-malam, Kak." Malik mengingatkan.

Lebih baik aku nggak balas, milih keluar rumah, dan segera naik ke dalam taksi biar cepat pergi. Sesudah menyampaikan tempat tujuan, sopir langsung melajukan taksi ini menuju kafe dekat distro, tempat aku janjian sama Bara.

Setiap ketemu orang, aku sengaja datang lebih awal supaya nggak buru-buru dan bisa santai di jalan. Ini pertama kali ketemu Bara hanya berdua. Walaupun tadi siang bujuk aku biar nggak ketemu dulu, tapi aku maksa buat ketemu dia. Aku butuh waktu di mana kita bertemu dan bicara tanpa ada pihak ketiga, keempat, dan seterusnya.

Taksi yang aku naiki sudah sampai di halaman kafe. Nggak terasa udah sampai saja. Setelah memberikan uang pada sopir, aku segera turun. Suasana halaman kafe cukup rame. Maklum, biasanya di sini tempat anak-anak muda nongkrong. Dulu awal buka juga aku pernah ke sini sama Alma. Sekarang sudah jarang ke sini karena bosan. Bisa juga karena sudah nggak ada teman yang bisa diajak ke sini. Aku mengayun langkah untuk masuk ke dalam. Di bawah cukup ramai, jadi lebih baik aku pilih di lantai dua saja. Biasanya di atas banyak tempat kosong. Sesuai dugaan. Di atas mwmang ada beberapa meja kosong. Aku pilih yang dekat balkon biar bisa lihat pemandangan sekitar dan kena semilir angin malam.

Setelah pesan minuman, aku segera mengambil HP di dalam tas buat kasih tahu Bara kalau aku sudah sampai di sini. Mungkin dia lagi siap-siapa atau sudah di jalan buat ke sini. HP kuletakkan di atas meja setelah mengirim pesan pada Bara.  Minuman yang aku pesan akhirnya tiba. Aku melirik HP, berharap Bara balas pesanku, tapi belum juga dia balas, padahal sudah terkirim. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah setengah jam aku nunggu. Apa aku telepon dia?

Sudah berulang kali aku telepon dia, tapi nggak diangkat. Chat aku juga belum dibaca. Aku harus nanya ke siapa? Nggak mungkin aku nanya Umi. Dia ke mana, sih?

Sumpah. Bara bikin aku kesal. Sudah mau jam sembilan, tapi dia nggak sampai-sampai. Nggak kasih kabar atau balas pesan aku. Kalau dia nggak mau ketemu sama aku, kenapa nggak ngomong langsung? Kenapa dia menyanggupi? Kesal!

Aku keluar dari kafe dengan perasaan kecewa. Kecewa sama Bara yang nggak datang dan nggak kasih kabar. Sudah sejam setengah aku nunggu, tapi dia nggak datang. Ini pertama kali aku kecewa sama dia. Aku nggak mau lagi ketemu sama dia. Nggak mau tahu. Titik.

"Sarah."

Panggilan itu bikin langkahku terhenti. Aku maaih pada posisi, belum membalikkan tubuh. Takut salah duga kalau aku cuma halusinasi karena lagi mikirin dia. Perlahan aku membalikkan tubuh. Dugaan aku nggak salah. Dia ada di hadapan aku saat ini. Jarak kami hanya lima meter. Tapi tetap saja dia sudah bikin aku kesal.

"Maaf kalau aku terlambat."

Aku baru sadar kalau dia masih pakai seragam dinasnya.

"Aku mau pulang." Aku kembali membalikan tubuh.

"Aku tahu kamu kesal sama aku." Dia mengakui kesalahannya.

Sudah tahu aku kesal, kenapa nggak kasih kabar? Kalau sibuk, ya nggak usah menyanggupi pertemuan ini dari pada bikin orang lain kecewa.

"Aku akan antar kamu pulang." Dia menawarkan diri.

"Nggak. Aku bisa pulang sendiri dan sudah pesan taksi online." Aku menolak.

"Sar, aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf karena terlambat menemui kamu. Tadi ada pasien dadakan." Dia beralasan.

Di waktu yang sama taksi online pesananku tiba. Aku langsung mengampiri dan masuk ke dalam mobil, mengabaikan Bara yang masih berdiri nunggu aku. Biarin saja. Aku terlanjur kecewa sama dia. Biarkan dia merasa bersalah karena ulahnya sendiri.

Napas kuhela saat menatap pintu gerbang rumah. Malas masuk karena masih kepikiran kejadian tadi. Aku mengayun langkah untuk masuk ke dalam. Pintu kuketuk saat tiba di teras sambil melepas sepatu. Tak lama, seseorang membukakan pintu untukku. Ternyata Papa yang bukain pintu. Aku segera masuk setelah meletakkan sepatu di rak yang ada di sisi kiri.

"Kamu darimana, Sar?" tanya Papa.

"Cari angin, Pa." Aku membalas dengan nada lesu sambil masuk ke dalam.

Pertanyaan Papa selanjutnya kuabaikan, memilih masuk ke dalam kamar, lalu mengempaskan tubuh di atas kasur. Suasana hatiku nggak keruan. Kesal, marah, kecewa, sedih, semua bercampur jadi satu. Masalah itu bersumber dari satu orang. Bara.

Suara deringan tanda panggilan telepon masuk menambah beban pikiran. Aku menduga jika itu telepon dari dia. Benar saja. Modus HP segera kuubah jadi diam, lalu membalikkan layar. Masa bodoh. Aku nggak peduli kalau dia mau telepon aku beratus-ratus kali. Dia saja nggak peduli sama aku.

Kalau saja kamu kasih kabar sebelumnya jika ada pasien dadakan, mungkin aku nggak akan sekecewa ini sama kamu, Bara. Sayangnya kamu nggak ngerti juga kondisi aku. Aku kesal sama kamu. Kesal, kesal, kesaaallll!!! Kamu mengesalkan Bara Hameed!!!

♡♡♡

Nah, lo sendiri Sar yang salah 🤣🤣🤣
Takdirnya lo nggak ketemu Bara.
Bukan salah Bara, bukan juga salah takdir.
Ntar lo nyesel karena sudah kesal sama Bara, loh.

Menurut kalian salah siapa, Gaes??
Jangan salahin aku, ya. Wkwkwk


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top