8 : Awal untuk Melupakanmu

Jangan lupa vote dan komentarnya💕 happy reading🌹
.
.
.

"Bang," panggilku pada Bang Arsel yang terlihat sibuk dengan laptopnya.

"Hm."

"Aku mau tanya-tanya boleh?"

"Sejak kapan kamu kalau mau bertanya ke Abang nanya dulu?"

Aku mencibir pelan. Abangku ini memang sangat menyebalkan, heran aku tuh Mbak Zillah bisa tahan dengannya.

"Sejak Abang nyuruh Mas Regaf minta jemput aku di kampus," jawabku dengan nada kesal. Iya, memang. Banyak pertanyaan yang muncul di benakku saat laki-laki itu muncul di hadapanku beberapa minggu yang lalu. Dan pertanyaan-pertanyaan itu justru akan kupertanyakan pada Bang Arsel. Seperti, apakah Regaf pernah punya pacar? Berapa gajinya sebagai dokter? Apakah dia bisa mengangkatku jika telah menjadi suamiku kelak? Oh, sepertinya pertanyaan terakhir itu cukup memalukan. Tapi percaya atau tidak, aku selalu memimpikan sosok suami yang bisa mengangkatku jika telah menikah dengannya. Ya, anggap saja sebagai ujiannya setelah menjadi pendampingku. Oke, ini benaran halu.

Bang Arsel langsung beralih dari laptopnya lalu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Dan, sejak kapan kamu manggil Regaf dengan sebutan Mas?" tanyanya dengan nada menggoda.

Aku lantas memutar kedua bola mataku. Bukannya menjawab, Bang Arsel justru fokus pada hal lain. Ckckck.

"Udah deh, Bang. Aku mau nanya ini! Malah situ yang sibuk nanya!"

Bang Arsel terkekeh seraya mengacak pelan rambutku. Kebiasaannya saat sudah melihatku sebal.

"Bang, sejak kapan Abang kenal sama Mas–maksudku Regaf?"

Bang Arsel berdehem pelan, aku tahu dia sedang menahan senyumnya saat aku menanyakan perihal temannya itu, tapi ya masa bodoh, siapa suruh dia gencar banget nyuruh aku dekat sama temannya itu, aku kan jadinya penasaran. Ya, memang tidak bisa dipungkiri, Mas Regaf itu ganteng, bisa saja dia pilih cewek yang lebih cantik daripada aku, tapi melihat dia selalu sendiri alias tidak punya gandengan membuatku jadi penasaran. Kenapa dia sendiri? Atau karena dia bukan tipikal cowok yang suka pamer pasangannya? Ah, entahlah.

"Dia temen kuliah Abang dulu," jawab Bang Arsel masih mempertahankan ekspresi menahan senyumnya.

Aku mengangguk pelan. "Hmm, tapi kok Abang nggak ambil kedokteran?"

"Temen kan nggak musti satu jurusan, kan?" Aku mengangguk lagi. "Kok Abang nyium bau-bau ketertarikan, ya?"

"Nggak tertarik, cuma penasaran," elakku.

"Ya sama aja, sih." Bang Arsel menyenggol lenganku dan langsung kuhadiahi cubitan mesra pada lengannya yang sukses membuat dia merintih kesakitan. "Aduh, sakit banget! Abang nggak kasi info tentang dia tau rasa kamu!"

"Idih, pede. Siapa juga yang mau tau tentang dia?"

"Lah, dasar gengsian. Tadi sibuk nanya."

Aku memeletkan lidahku ke arah Bang Arsel lalu melanjutkan bermain game di ponselku. Sedangkan Bang Arsel kembali menyibukkan diri pada laptopnya.

Saat kami sedang sibuk dengan urusan masing-masing, tiba-tiba bel pintu berbunyi, aku dan Bang Arsel kemudian saling tatap.

"Buka, gih!" pinta Bang Arsel padaku.

Aku pun beranjak dan membuka pintu. Saat kulihat siapa yang bertandang, hatiku tiba-tiba kembali berdenyut nyeri. Bukan, bukan maksudku kedatangan Mbak Linda dan Kak Rifki adalah suatu kesalahan, tapi, kesiapan hatiku untuk bertemu keduanya pasca mereka menikah belum benar-benar seratus persen.

"Hai, Aya. Kami boleh masuk?"

Aku mengerjap pelan mendengar suara Kak Rifki. Dengan salah tingkah aku pun bergeser sedikit untuk mempersilakan mereka masuk.

"Ah, iya. Wajah kalian terlihat berseri, jadi, aku sempat takjub," ujarku pelan namun masih bisa didengar oleh keduanya. Oh, sebentar. Ada apa dengan ucapanku? Apakah aku mengucapkan hal yang salah? Kenapa wajah mereka berubah menjadi merah?

"Ehem, Mama, Papa sama yang lain ada?" tanya Mbak Linda setelah memasuki ruang tamu.

Aku mengangguk seraya bergumam pelan. Dan setelah mereka berada di ruang tamu, Bang Arsel langsung menyambut keduanya dengan tampang bahagia.

"Aku ... Aku panggil Mama Papa dulu," ujarku kemudian pergi tanpa menunggu jawaban dari mereka.

Mati-matian aku menahan sesak yang tiba-tiba muncul dari hatiku, ya Allah, kenapa sesulit ini mengikhlaskan Kak Rifki bersama Mbak Linda? Harusnya aku bahagia karena Kak Rifki bisa bersanding dengan orang yang tepat. Tapi, ah sudahlah.

"Loh, Aya? Ngapain?" tanya Mbak Zillah saat melihatku berhenti tepat di depan kamar Papa dan Mama.

"Oh, itu, Mbak. Ada Kak Rifki dan Mbak Linda di luar. Jadi, aku mau panggil Mama sama Papa."

"Oh, mereka lagi ada di taman belakang."

"Ya udah deh, kalo gitu Mbak tolong kasi tau, ya? Aku ... Aku lagi ada tugas di kamar. Hehe."

Tanpa menunggu jawaban Mbak Zillah, aku segera berlalu. Dan di kamar aku kembali berkubang dengan rasa sakit di dadaku. Apalagi saat melihat raut bahagia keduanya tadi. Bagus, aku benar-benar seperti orang jahat sekarang yang tak ingin melihat orang yang dicintainya dan kakaknya sendiri bahagia. Tapi, benarkah ada orang yang bisa dengan tabah mengikhlaskan orang yang dicintainya bersanding dengan orang lain? Kalau ada, sepertinya aku harus belajar darinya.

Aku menarik napas panjang dan menutup kedua mata dengan harapan agar aku bisa sedikit tenang.

Kamu nggak mau coba jalan bareng sama Regaf?

Kedua mataku terbuka lebar, kenapa justru pertanyaan Bang Arsel yang terngiang? Apakah ini petunjuk agar aku mempertimbangkan usul Bang Arsel? Tapi, memangnya Mas Regaf benaran jomlo? Orang seganteng dia bisa jomlo? Ck! Nggak masuk akal.

Sebenarnya Mas Regaf masuk dalam kategori calon suami-able, hanya saja, apakah dia mau kalau aku mendekatinya? Tapi, aku takut jika yang terjadi aku justru hanya menjadikannya sebagai pelarian dari rasa sakitku.

"Tidak, tidak. Ini tidak bisa terjadi! Stop it, Aya! Berhenti menghayalkan yang tidak-tidak! Arghh! Ini semua gara-gara Bang Arsel yang mengucapkan hal yang mengada-ada!" teriakku tertahan.

Tok tok tok

Aku menatap kaget ke arah pintu yang diketuk oleh seseorang. Siapa? Bukannya semua pada sibuk menyambut kedatangan Mbak Linda dan Kak Rifki?

Perlahan aku berjalan dan membuka pintu. Kulihat Mbak Linda dengan sebuah bingkisan di tangannya sedang tersenyum lembut ke arahku. Sejenak aku terdiam berusaha menilai ada apa di balik senyuman semringah itu.

"Hai, Aya. Mbak boleh masuk?"

Aku terperanjat lalu dengan salah tingkah mempersilakan Mbak Linda masuk ke dalam kamarku.

"Ini ada bingkisan buat kamu."

Aku menerima bingkisan itu dan membukanya. "Novel lengkap Jingga series?" Aku memang dari dulu penyuka karya-karya Mbak Esti Kinasih. Semua novelnya aku koleksi, termasuk Jingga series ini. Tapi sewaktu SMA, aku meminjamkan novel Jingga dan Senja serta Jingga dalam Elegi kepada teman sekelasku dulu di mana dia akhirnya lupa untuk mengembalikannya hingga kami lulus. Setelah kuliah, aku selalu berniat untuk membeli yang baru, tapi selalu tidak sempat. Dan tentunya Mbak Linda tahu akan kegemaranku itu.

"Wah, terima kasih, Mbak."

"Sama-sama."

Oke, sekarang aku bingung mau ngomongin apa lagi sama Mbak Linda. Tidak mungkin kan aku menanyakan hal-hal terkait Kak Rifki. Bisa-bisa Mbak Linda marah padaku.

Mbak Linda menggenggam tanganku dengan erat. Dia lalu menatapku dengan raut bersalah. Ada apa dengannya? Tadi dia datang dengan wajah senang, sekarang dia berhadapan denganku dengan wajah penuh rasa bersalah. Entah mengapa, hal itu membuat perasaanku jadi tidak enak.

"A-ada apa, Mbak?"

"Aya, lupain Rifki."

***

Assalamu'alaikum, hai!

Kalian setuju nggak dengan ucapan Mbak Linda? Huah, Aya disuruh lupain Rifki. Ckckck.

Kalau kalian di posisi Aya, apa yang akan kalian lakukan?

IG: windyharuno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top