5 : Tak Ada Kesempatan

Jangan lupa vote dan komennya🌹

💜💜💜

"Gimana?"

Aku menatap Bang Arsel dengan kening berkerut. Apa maksudnya dia datang-datang langsung nanya begitu?

"Abang kenapa?" tanyaku seraya mencomot satu buah anggur yang ada di pangkuanku.

Bang Arsel mendekat lalu duduk tepat di sampingku. Ia ikut mencomot anggur lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Pura-pura lagi," balasnya.

Aku berdecak pelan. Bang Arsel ini nggak jelas banget memang. Mau main tebak-tebakan apa ya? Males banget aku tuh main permainan macam begitu.

"Gimana sama Regaf?"

"Hah? Gimana apanya sih, Bang. Ya, seperti titah Abang ke dia. Setelah jemput Aya, anterin pulang, nyampe di rumah. Udah."

"Nggak ada kejadian apa, gitu? Semisal kamu yang deg-degan karena liat cogan."

Hampir saja aku tersedak buah anggur yang sedang kumakan, apa yang Bang Arsel bilang? Deg-degan karena lihat cogan? Memang, Regan itu termasuk dalam kriteria cogan, tapi please, untuk deg-degan sepertinya belum saatnya. Lagipula, tak ada kejadian istimewa yang bisa dijadikan alasan untuk membuat jantungku berdetak sama seperti saat aku bersama Kak Rifki.

Tuh, kan! Tuh, kan! Mulai lagi keinget Kak Rifki!

"Ehem, kamu kenapa? Kok mukanya tiba-tiba asem banget kayak lagi makan asam?"

Secepatnya aku mengubah ekspresi wajah menjadi biasa saja, pasalnya Bang Arsel ini sepertinya punya keahlian dalam membaca ekspresi wajah. Ekspresi berubah dikit, langsung ditanyain.

"Nggak pa-pa, Bang. Cuma sakit perut, dikit."

"Kok ... Hooo, kamu belum makan?"

"Ini lagi makan."

"Ck, maksud Abang makan nasi."

Abang sudah pasti tidak tahu kalau mulai tadi malam aku sudah memantapkan diri untuk melakukan diet. Rencana mau ikut dietnya IU, tapi setelah kupikir-pikir kok ya nyiksa banget gitu. Jadilah aku hanya mengurangi makan namun tidak seekstrim dietnya IU.

"Jangan-jangan, kamu lagi diet, ya?"

Aku menaikkan sebelah alisku. Ekspresi Bang Arsel terlalu berlebihan menurutku. "Abang ih, santai aja kali."

Bang Arsel menggeleng pelan. Kebiasaannya kalau tidak setuju dengan pilihanku.

"Ngapain diet sih? Begini juga udah bagus."

Aku mendengus geli mendengar pernyataan Bang Arsel. Udah bagus katanya? HA. HA. HA! Tidak mungkin. Mana ada berat badan tujuh puluh delapan dengan tinggi badan 158 itu bagus? Ck ck ck. Mbak Zillah yang berat badannya hanya naik satu kilo saja dia sudah berceloteh ria minta Mbak Zillah olahraga. Lah, aku? Kok dilarang-larang? Lagian, ini untuk kelangsungan hidupku juga ke depannya. Aku harus bisa kurus biar bisa dilirik cowok juga.

"Jadi gini loh, Ya. Kamu tuh nggak boleh diet. Kamu mau maag kamu kambuh? Maag kamu kan termasuk udah akut. Inget kamu kata dokter. Kurangi makan yang asam-asam dan yang pedas."

Aku memejamkan kedua mata dan menarik napas dalam-dalam. Kalau kebawelan Bang Arsel mulai muncul, ya begini. Lebih ribet dari Mama dan Mbak Zillah. Untungnya Mbak Linda tidak seperti mereka. Tapi, justru dengan kecerewetan mereka, aku jadi lebih akrab dengan mereka.

Berbicara mengenai Mbak Linda, sejak pertemuan antara keluargaku dan keluarga Kak Rifki, hubunganku dengan Mbakku itu jadi semakin kaku. Mungkin masih merupakan efek dari penghianatan Kak Rifki terhadapku, yang lebih memilih Mbak Linda dibanding aku.

Sebentar, apa kejadian kemarin bisa dikatakan sebagai penghianatan?

"Hei! Malah bengong. Pokoknya Abang nggak setuju kalau kamu diet. Kulaporin kamu sama Mama baru tau rasa."

Aku mencibir pelan. "Dasar Abang jahat. Abang mau liat aku menjomlo seumur hidup? Nggak kan?" elakku.

Bang Arsel menggeleng masih mempertahankan argumennya. Dia bahkan sudah berkacak pinggang pertanda tidak ingin dibantah.

"No! No! Dengerin kata Abang. Kamu itu nggak papa dengan bobot badan yang ... seperti ini. Yang penting kamu sehat. Kamu cuma butuh olahrag dan sedikit mengurangi cemilan kamu yang menggunung itu. Abang yakin, badan kamu akan sehat setelah itu. Nggak usah lah diet seketat ini. Cari penyakit namanya."

Aku terdiam. Kalau Abang yang sudah mengeluarkan titah seperti ini, aku mah bisa apa? Ck.

Masih sibuk memikirkan larangan Bang Arsel, tiba-tiba Mbak Linda, Mbak Zilla dan Mama muncul dari balik pintu utama. Masing-masing mereka menenteng kantung yang entah apa isinya, mungkin kain?

Sebelum pergi, Mama juga sempat mengajakku ke toko kain bersama Mbak Zillah dan juga Mbak Linda, tapi aku menolak. Entah mengapa hari ini aku merasa lemas. Apa karena ini pengaruh diet yang sedang kujalani? Mungkin saja.

"Loh, kalian dari mana?" tanya Bang Arsel dengan nada terkejut.

Mama menaruh belanjaannya itu tepat di hadapanku. "Ini, Mama habis belanja kain buat nikahan Linda. Ini Linda sendiri loh yang pilih. Jenis kain dan warnanya juga cantik banget. Mama jadi nggak sabar pengin make bajunya. Hihihi."

Melihat Mama seantusias itu membuatku sedikit sakit. Ah, jahat sekali ya aku. Bukannya berbahagia atas pernikahan kakaknya, aku justru merasa sakit dan marah. Ya Allah, aku harus bagaimana? Perasaan terhadap Kak Rifki ternyata semenyiksa ini.

"Ehem. Um, Zil. Kamu bawa belanjaan ini ke dalam," ujar Bang Arsel yang langsung diiyakan oleh Mbak Zillah. Aku menghela napas pelan karena merasa bersalah atas perasaan ini. Gara-gara perasaan ini, aku seperti mengesampingkan kebahagiaan keluargaku.

Tidak mau semakin dilingkupi perasaan aneh ini, aku juga ikut beranjak menuju kamar. Saat aku akan menutup pintu kamar, tiba-tiba Mbak Linda muncul dan menahan pergerakanku.

"Aya. Mbak mau ngomong sebentar saja."

Jujur saja, aku kaget dengan kedatangan Mbak Linda di depan kamarku, aku tidak pernah menyangka jika dia akan mengikutiku sampai ke kamar. Meski sedikit merasa aneh, aku tetap mengangguk menyetujui permintaannya. Ah, aku deg-degan. Kira-kira, apa yang mau Mbak Linda bicarakan? Apakah ini terkait dengan lamaran Kak Rifki? Ugh, jujur saja, kalau bisa, aku tidak ingin ada yang membahas soal laki-laki itu. Bagaimana dengan usahaku untuk melupakannya jika terus digerayangi dan terus direcoki dengan hal-hal tentangnya.

Aku ikut duduk di tepi ranjang, mengikuti Mbak Linda yang sudah lebih dulu duduk di sana. Kulihat berkali-kali Mbak Linda menghela napas berat. Aku tahu, ini sulit untuknya dan juga untukku. Tapi, semua tidak memungkinkan lagi. Sudah terlambat juga untuk membatalkan semuanya.

Apakah aku ingin semuanya batal? Tentu aku tidak sejahat itu. Aku tidak akan mencoba merusak kebahagiaan Kak Rifki. Ya, tidak akan.

"Ya, Mbak tahu ini berat bagi kamu. Begitu pun bagi Mbak. Mbak nggak tau lagi bagaimana caranya agar Mbak bisa mengembalikan lagi keceriaanmu. Mbak merasa telah merebut kebahagiaan adik Mbak sendiri, dan itu ... membuat Mbak merasa sangat bersalah."

Aku menunduk, tak berani menatap wajah sedih Mbak Linda. Sebenarnya ini bukanlah salah Mbak Linda, di sini aku lah yang paling bersalah. Mempunyai perasaan kepada laki-laki yang ternyata tak punya rasa sama sekali terhadapku dan membiarkan Mbak Linda berada pada posisi membingungkan seperti ini. Kenapa membingungkan? Ya, karena aku lah yang menyetujui Mbak Linda menerima lamaran Kak Rifki lalu kemudian bersikap seolah Mbak Linda lah yang bersalah atas keputusanku itu. Aku benar-benar merasa telah menjadi adik yang paling jahat di dunia ini.

Aku menggeleng. Air mataku bahkan kini menumpuk di pelupuk mata.

Sebegini sakitnya kah memupuk cinta yang ternyata bertepuk sebelah tangan?

"Mbak tidak perlu merasa bersalah. Aya ... Aya tidak bermaksud untuk membuat Mbak Linda menanggung semua ini. Aya hanya ingin Kak Rifki dan Mbak Linda bahagia," ucapku dengan nada gemetar.

Kurasakan Mbak Linda menyentuh punggung tanganku, ia lalu mengelus pelan menggunakan ibu jarinya.

"Siapa bilang Mbak bahagia? Melihat kamu tersiks seperti ini justru membuat Mbak jadi merasa bersalah, Ya. Kamu tenang aja, Mbak akan coba ngomong ke Papa buat batalin pernikahan ini."

Aku mendongak kaget dengan ucapan Mbak Linda. Apa-apaan itu? Tidak, ini tidak boleh terjadi.

Aku menggenggam tangan Mbak Linda dengan sedikit erat. Kutatap matanya yang juga memancarkan kesedihan. Ya Allah, baru kali ini aku melihat Mbak Linda sekacau ini.

"Mbak, Mbak jangan ngelakuin itu. Aya ... Aya sungguh nggak apa-apa, Mbak. Pasti suatu saat nanti Aya bisa ngelupain Kak Rifki, iya, Aya pasti bisa, Mbak," ujarku meyakinkannya.

"Tapi kamu–"

"Mbak, aku mohon. Kalau Mbak mau melihatku bahagia, jangan melakukan hal itu." Lagipula, jika Kak Rifki tidak bersama Mbak Linda pun, aku tidak akan pernah punya posisi di dalam hatinya.

Meski masih terlihat berat, namun akhirnya Mbak Linda mengangguk menyetujui ucapanku.

Oh, lihat. Apakah aku baru saja menutup kesempatan itu? Memangnya, berapa persen kesempatan aku bisa bersama Kak Rifki? Sepertinya tak ada.

💔💔💔

Pertama-tama, aku mau ucapin banyak terima kasih buat kalian yang masih setia menunggu kehadiran Aya dan tentunya buat kalian yg selalu ngasi aku support buat tulisan-tulisanku. Terima kasih, thankyou, syukron, xiexie💕 *peluksatusatu*

Malam ini aku apdet khusus buat kalian, supporter tebaikku~💖

Daaan jangan lupa, di-vote dan komen ya. Hehee kalau mau kasi kritik dan saran yang membangun jg boleh😘

Sampai jumpa di part selanjutnya~💕
.
Ig: windyharuno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top