48 : Apakah?

Ada yang nungguin?
















































Happy Reading

💕
💕
💕

Beberapa hari terakhir ini aku disibukkan dengan urusan skripsi, ke sana ke mari menemui dosen pembimbing yang berharap dikejar seperti cewek yang lagi ngambek berharap dikejar oleh kekasihnya. Tapi ini versi yang beda, kalau cewek digombal sedikit atau si cowok minta maaf dengan senyum yang tulus saja sudah bisa membuat hati si cewek luluh, beda lagi dengan dospem alias dosen pembimbing, tidak akan semudah itu meluluhkan hatinya.

"Eh, Kak Aya? Baru pulang?" tanya Zahra yang sedang sibuk belajar di ruang tamu.

Aku mengangguk lemas. "Iya, Dek. Kamu udah makan?"

Meski tubuhku ini sudah lelah seperti habis melakukan kerja rodi, tidak berarti aku mengabaikan kesejahteraan makhluk-makhluk yang ada di rumah ini dan tentunya makhluk-makhluk yang ada di dalam perut. Walau Ibu dan Ayah tidak menitahkan bahwa aku harus memasak dan berberes-beres rumah, tapi aku juga harus tahu diri sebagai menantu. Lagipula, di sini hanya aku yang bisa diandalkan. Maaf, kepedean.

"Udah, Kak."

"Makan apa?"

"Tadi Zahra masak sayur, perkedel sama ikan, Kak. Masih ada tuh di bawah tudung saji. Kalo kakak mau, silakan. Tadi Zahra masak banyak, hehe."

Aku menatap Zahra tak percaya. Ke mana saja aku selama ini? Kenapa aku tidak tahu jika adik iparku itu ternyata bisa masak?

"Bisa dimakan kan, Dek?" tanyaku ragu. Masa sih anak seusia Zahra sudah bisa masak? Aku saja yang sudah kepala dua masih dalam tahap belajar, masa dia sudah khatam dengan dunia perdapuran?

Zahra tertawa, "Ya bisa lah, Kak. Dijamin Kak Aya ketagihan!"

"Hm, awas ya kalau kakak malah diare, tak laporin kamu ke Mas Regaf."

"Hih? Kak Aya! Kak Regaf aja ketagihan sama masakan Zahra."

Hah? Apa? Mas Regaf bahkan bisa ketagihan sama masakan Zahra? Hahaha. Anak ini pasti sedang ngibulin aku. Ck!

Tanpa menghiraukan ucapan Zahra, aku buru-buru ke ruang makan, ingin membuktikan kebenaran dari ucapannya. Dengan segera kubuka tudung saji dan terlihatlah beberapa lauk yang sudah dimasak oleh anak SMP itu. Kelihatannya sih tidak meyakinkan. Maka, kuambil satu buah perkedel dan menggigitnya.

"Astaghfirullah!" Ternyata ucapan Zahra benar! Apakah aku harus sungkem padanya karena telah meremehkan masakannya?

Tanpa banyak bicara lagi, aku segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi, sayur, perkedel dan ikan buatan Zahra. Patut disyukuri, karena di saat tubuhku melemah seperti sekarang ini rasa-rasanya aku tidak sanggup melakukan apa-apa. Aku benar-benar kehilangan energi yang cukup banyak hari ini.

"Gimana, Kak?" tanya Zahra saat aku muncul di dekatnya dan duduk di sofa.

"Hm, lumayan. Kamu belajar masak sejak kapan, Dek?" tanyaku tanpa menghentikan suapan demi suapan ke mulutku.

"Sejak kelas satu SMP, Kak! Ibu ngajarin Zahra masak biar nggak terlalu bergantung sama mereka. Apalagi kalau Ibu dan Ayah bepergian kayak sekarang ini, Zahra harus mandiri. Apalagi Mas Regaf juga jarang di rumah," jelasnya membuatku mengangguk paham.

Tapi, berbicara mengenai Mas Regaf, seharian ini aku tidak pernah bertukar kabar dengannya. Last seen-di whatsapp pun pukul delapan pagi. Sesibuk itu kah dia? Ini sudah hari ke-3 Mas Regaf seperti itu. Apakah aku salah jika ... sedikit curiga? Ya Allah, salahkah kalau aku curiga? Jika ya, tolong hapuskan rasa curiga ini.

"Um, Dek. Kakak mau nanya."

"Nanya apa, Kak?" jawab Zahra seraya terus menulis sesuatu di atas bukunya.

Sebenarnya aku sedikit canggung menanyakan hal ini. Tapi daripada aku terus dihantui rasa penasaran, lebih baik aku bertanya kan?

"Itu, Mas Regaf memang kadang pulang larut ya?"

Zahra mengangkat kepalanya menatapku. "Um, seingatku ... Kak Regaf memang kadang pulang larut, bahkan pernah Kak Regaf nginep di rumah sakit. Kenapa, Kak?"

"Eh? Nggak pa-pa. Cuma, jam segini kok dia belum pulang, ya?"

"Mungkin pasiennya lagi banyak-banyaknya, Kak. Hehe."

Aku tersenyum dan berusaha menyetujui ucapan Zahra, meski hatiku tetap saja menolaknya.

"Hmm, mungkin, ya."

***

Tadi malam aku tidur dengan cepat, niatnya mau menunggu Mas Regaf, tapi ternyata mataku sudah tidak sanggup bertahan lagi. Bahkan aku tidak tahu persis jam berapa Mas Regaf datang.

Aku terbangun tepat saat adzan subuh berkumandang. Kulirik Mas Regaf yang masih tertidur pulas lalu mengelus pelan rambutnya yang sedikit berantakan sebelum beranjak untuk mengambil air wudu.

"Kamu terlalu memaksakan diri, Mas. Harusnya kamu bisa menjaga kesehatan kamu terlebih dahulu sebelum memikirkan pasien-pasienmu."

Itu bukan egois. Hanya saja, menurutku ... Mas Regaf kan seorang dokter. Agar bisa mengurus pasien-pasiennya, dia juga harus menjaga kesehatannya.

Aku segera mengambil wudu dan tak lupa membangunkan Mas Regaf. Akibat kelelahan dia bahkan tidak mendengar suara adzan berkumandang.

"Mas, ayo bangun. Sudah waktunya salat subuh."

Kedua mata Mas Regaf mengerjap-ngerjap berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang sudah kunyalakan. "Sudah subuh ya, Ay?" Mas Regaf bangun seraya menggaruk pelan keningnya. "Aduh, aku nggak denger suara adzannya."

Aku tersenyum lembut ke arahnya. Ia lalu beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Sementara aku menyiapkan baju koko dan sarung yang biasa digunakan ke masjid. Setelah selesai, Mas Regaf segera bersiap-siap untuk ke masjid.

Sementara Mas Regaf ke masjid, aku salat di rumah lalu memasak untuk sarapan sekaligus bersih-bersih rumah. Hari ini aku tidak ke kampus karena berniat menuntaskan rasa penasaran yang membuncah di benakku.

Hari ini aku akan membuntuti ke mana Mas Regaf akan pergi. Terkesan lebay? Terserah, yang penting batinku harus mendapat kepastian. Daripada terus dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berdasar, lebih baik aku cari tahu kebenarannya.

Saat aku tengah sibuk mengepel lantai, tiba-tiba ponselku berbunyi pertanda ada chat yang masuk. Tapi, siapa yang sepagi ini mengirimkan chat?

Kuambil ponsel yang tadinya tergeletak di samping TV lalu membuka aplikasi whatsapp. Oh, ternyata chat dari Kiki. Tumben sekali.

Kiki
Ya, gimana kabar Mbak Linda?

Keningku mengerut. Mbak Linda? Memangnya ada apa dengan Mbak Linda? Terakhir bertemu, perasaan dia tidak apa-apa.

Aya
Mbak Linda? Memangnya dia kenapa?

Kiki
Loh, lo nggak tau kalo Mbak Linda habis kecelakaan?🤔

Aya
Kecelakaan? Kok bisa?😐 gue beneran nggak tau apa-apa.

Kiki
Ya ampun, adik macam apa lo ini. Mbaknya kecelakaan tapi adeknya nggak tau. Ckck

Aya
Gue lagi di rumah suami. Lagian orang rumah juga nggak ada yang ngabarin😑

Kiki
Oh, ya udah deh kalo gt. Gue pikir lo lagi di rumah sakit. Makanya gue chat lo.

Chat terakhir dari Kiki tidak lagi kubalas. Aku terlalu terkejut dengan berita yang disampaikan oleh Kiki. Mbak Linda kecelakaan? Sejak kapan? Kok aku tidak dikabari? Apa Mas Regaf juga tidak tahu mengenai hal ini?

Dengan tangan sedikit bergetar aku berusaha mengirim chat ke Kak Rifki, menanyakan perihal Mbak Linda yang katanya kecelakaan. Dan ternyata Kiki sepertinya tidak sedang berbohong karena balasan Kak Rifki seolah menyembunyikan hal itu kepadaku. Tapi kenapa? Kenapa semua orang akhir-akhir ini jadi sedikit berbeda? Tidak biasanya Mama, Papa, Bang Arsel apalagi Mbak Zillah menyembunyikan hal seperti ini.

Kak Rifki
Kamu tahu dari mana?

Aya
Kiki yang chat. Kok Kakak nggak bilang-bilang kalo Mbak Linda kecelakaan?!

Setelah chat terakhirku itu, Kak Rifki tidak lagi membalasnya. Dengan kesal aku mencoba mengirim chat kepada Bang Arsel dan Mbak Zillah, tapi yang ada chatku tidak terkirim.

Jam menunjukkan pukul tujuh lebih empat menit. Kulihat Mas Regaf sudah duduk di kursi makan bersama Zahra.

"Kak Aya, ayo sarapan bareng," ajak Zahra.

"Nanti, Dek. Kakak mandi dulu."

Ya, setelah aku mengikuti alias membuntuti Mas Regaf, aku akan mencari tahu mengenai Mbak Linda. Lihat saja, aku akan memarahi mereka semua karena telah menyembunyikan hal seperti itu. Bagaimana bisa mereka membiarkan aku jadi terlihat jahat seperti ini? Membiarkan Mbak Linda terbaring sementara aku sibuk dengan urusan sendiri. Hah! Benar-benar!

Aku segera bersiap-siap dan setelah aku keluar dari kamar, Mas Regaf juga sudah berdiri dari posisi duduknya. Sepertinya dia sudah akan berangkat.

"Ay, aku udah mau berangkat ini. Kamu nggak keluar hari ini?" tanyanya setelah melihat aku yang hanya menggunakan baju kaos lengan panjang berwarna merah bata dan celana spandeks berwarna hitam.

"Iya, Mas."

"Oke. Hati-hati ya. Kunci pintunya."

"Mas, pulang cepet kan?" tanyaku dengan sedikit ragu.

Mas Regaf tampak berpikir. "Hm, aku tidak janji."

Aku mengangguk pelan dengan jawaban keragu-raguan itu dan kemudian mengekor di belakang Mas Regaf untuk mengantarnya sampai di depan rumah. Setelah mobil Mas Regaf keluar dari pekarangan rumah, aku segera berlari mengambil sling bag dan jilbab lalu berusaha mengejar Mas Regaf menggunakan taksi online yang sebelumnya memang sudah kupesan. Tentu dengan wejangan singkat, padat dan tidak tahu apakah itu jelas atau tidak kepada Zahra yang pada saat itu masih khidmat menyantap sarapannya, bahwa aku sedang ingin keluar, jangan lupa kunci pintunya kalau mau berangkat sekolah. Semoga anak itu mendengarnya dengan baik.

"Ikuti terus mobil itu ya, Bang."

"Siap."

Selama hampir tujuh belas menit mengikuti mobil Mas Regaf, akhirnya mobil itu belok ke arah parkiran rumah sakit Hope–tempat dia mengabdikan diri. Sementara taksi online yang kutumpangi berhenti tepat di depan rumah sakit. Aku buru-buru turun setelah membayarnya. Entah mengapa rasa curiga itu masih ada meski kutahu tujuan Mas Regaf tetaplah tempat kerjanya.

Kulihat Mas Regaf memasuki lobi, aku pun segera mengekor di belakangnya dengan terus merapalkan doa agar tidak ketahuan olehnya. Ya, aku tahu tampilanku saat ini sangat aneh, tidak heran jika semua tatapan jadi tertuju padaku. Beruntung lift segera terbuka, beberapa orang termasuk aku dan Mas Regaf pun bergegas masuk. Ugh, ternyata bukan hanya orang-orang yang ada di lobi, semua orang yang ada di lift pun sesekali melirik ke arahku yang sengaja memilih tempat di sudut lift. Semoga tatapan dari orang-orang yang ada di lift saat ini tidak membuat Mas Regaf menoleh pula ke arahku.

Doaku terkabul, lift terbuka dan Mas Regaf segera keluar. Lagi, aku mengikutinya hingga aku berada di koridor rumah sakit yang terlihat lebih mewah dari koridor-koridor yang kulalui sebelumnya.

Aku terus mengikuti Mas Regaf hingga dia berhenti tepat di depan sebuah ruangan bertuliskan VIP.

Dan saat itu juga, seorang lelaki yang tak lain adalah Kak Rifki membuka pintu dan mempersilakan Mas Regaf masuk. Aku yang memilih untuk bersembunyi di balik dinding pembatas setiap pintu kamar pun kembali dirundung tanya.

Sebenarnya apa yang disembunyikan oleh mereka? Apakah Mbak Linda juga ada di ruangan itu? Apakah ini yang menyebabkan Mas Regaf sering pulang telat? Apakah Mama, Papa, Bang Arsel dan Mbak Zillah tahu akan hal ini? Apakah ... hanya aku yang tidak tahu?

***

Ternyata Regaf dan Aya masih senang buat klean penasaran.😁

Satu kata buat part ini coba😘

Jangan lupa follow ig-ku @windyharuno

Btw, kalo ada typo mohon dikoreksi ya. Soalnya abis kuketik langsung kupublis. Jadi takut ada yg salket aja gito loh 😆💕

Makasih, tjinta-tjintakuh~

Luv,
Windy Haruno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top