41 : Memadu Kasih

Masih pada nungguin nggak, nih? Absen dulu sini~
.
.
.
.
.
.
.
.

Hari ini merupakan hari terakhir aku dan Mas sRegaf di desa Mara. Pukul sebelas tadi Mas Deni sudah datang untuk menjemput kami. Ah, hatiku rasanya berat meninggalkan desa ini. Meski jaringan sim card susah, makan dengan hasil berkebun dan masih mengandalkan kedua kaki untuk mencari nafkah, aku merasa senang. Selain karena warga-warga di sini tidak terpengaruh oleh benda yang namanya gadget, aku senang melakukan hal-hal yang masih mengandalkan fisik. Ya walau ujung-ujungnya kecapekan, tapi itu juga karena fisik yang kurang terlatih. Pantas saja orang-orang di sini, meski sudah berusia lanjut, tubuhnya terlihat masih sehat dan bugar.

"Ay, mau makan jagung rebus nggak?"

Aku mendongak. "Jagung rebus? Hmm, boleh deh, Mas."

"Yuk, ke rumah Bu Ani."

Aku berdiri dari posisi duduk lalu dengan segera mengenakan jilbab. "Jagung dari kebun Bu Ani lagi?"

"Iya, Ay."

Kami berdua pun berjalan beriringan menuju rumah Bu Ani. Di teras rumah terlihat sudah ramai. Sepertinya Bu Ani masak jagung besar-besaran. Sampai tetangga pun berdatangan.

"Eh, Nak Regaf, Nak Aya. Sini, sini. Ayo, dimakan. Mumpung masih panas."

Bu Ani mengangsurkan piring yang berisi jagung rebus yang belum dibuka kulitnya beserta sepiring kecil garam beserta cabe yang sudah dihancurkan menggunakan sendok.

"Ayo, Nak. Dimakan."

"Iya, Bu."

Aku menatap Mas Regaf yang mulai mengambil satu buah jagung. Dia kemudian membuka kulitnya sesekali meniup tangannya karena jagung yang dibuka ternyata masih panas. Terbukti dengan kepulan asap yang menguar dari jagungnya.

Aku juga ikut mengambil satu buah lalu mencoba membukanya, tapi yang ada kulitnya jadi susah dibuka karena masih panas pake banget. Aku melirik Bu Ani, Pak Nurdin, Mbak Fia, Mas Deni dan yang lain terlihat khusyu memakan jagungnya. Sementara di sini ada aku dan Mas Regaf yang kesulitan membuka kulitnya.

Ini kenapa kulitnya nggak dibuka dulu, sih? Begini kan ribet makannya.

Mas Regaf berhasil membuka kulit jagungnya dan kemudian melirikku melalui ekor matanya.

"Ini." Mas Regaf menyerahkan jagung yang ada di tangannya kepadaku.

"Makan lah, Mas."

"Ini buat kamu."

Karena sudah ngiler melihat jagung itu, aku pun mau tak mau mengambil jagung yang ada di tangan Mas Regaf. Sementara dia kembali mencoba membuka yang lain. Lagi, tangannya sedikit ia kibas-kibaskan karena panas. Aku yang kasihan melihatnya pun refleks menarik jemarinya dan meniup hingga bekas kemerahan di tangannya pun menghilang.

"Uhuk, mau ta mi juga ditiupkan tanganta kodong." (Uhuk, kita juga mau dong tangannya ditiupin.)

Semua orang tiba-tiba tertawa, tak terkecuali Mas Regaf. Sementara aku? Hanya bisa melongo karena tak mengerti.

"Maklumi mi, Deni. Pengantin baru to. Begitu juga saya dulu waktu masih pengantin baru sama Pak Nurdin," (Maklumlah, Deni. Kan pengantin baru. Dulu saya sama Pak Nurdin waktu pengantin baru juga begitu.) timpal Bu Ani yang kembali sukses membuat orang yang ada di sini terbahak.

"Campur garam, Ya," sahut Mbak Fia. Sepertinya Mbak Fia kasihan melihatku yang tidak mengerti dengan ucapan mereka.

"Garam?" tanyaku heran. Seumur hidupku, aku belum pernah makan jagung rebus dicampur dengan garam seperti orang-orang di sini.

Mbak Fia mengangguk antusias. "Iya, coba deh. Pasti ketagihan!"

Karena penasaran, aku pun langsung mencobanya dengan mengikuti cara orang-orang di sini. Pertama, mengambil sejumput garam yang sudah dicampur dengan cabe lalu mengolesnya di atas jagung. Kedua, dimakan, deh. Ternyata benar, ini enak. Ya Allah, kenapa cara ini baru kuketahui sekarang? Kenapa aku sama sekali tidak kepikiran akan hal ini? Mama, Papa, Bang Arsel dan Mbak Zillah harus tahu cara makan jagung ala masyarakat desa Mara ini.

"Gimana? Enakkan?" tanya Mbak Fia dengan mata berbinar.

Aku mengangguk antusias, tidak tahu lagi mau berkata apa. "Enak banget, Mbak." Saking enaknya, aku sampai lupa makan berapa buah.

***

"Aduh, Mas. Aku kenyang banget."

Mas Regaf tersenyum tipis melihatku yang bersandar di kepala ranjang seraya mengelus pelan perut yang terasa semakin membuncit karena kekenyangan.

"Sampai kalap gitu ya, Ay," komentar Mas Regaf.

"Huhft, iya nih, Mas. Gila, enak banget ternyata jagung dicampur garam begitu. Pokoknya nanti aku rekomendasiin sama orang rumah." Mas Regaf lagi-lagi tersenyum tipis. Aduh, kenapa sih senyum Mas Regaf selalu berhasil membuatku pangling? Apakah ini sehat untuk kesehatan jantungku?

"Kamu belum salat isya, kan? Ayo, salat dulu. Biar mas yang beresin baju-baju kita."

Aku menghela napas pelan. Sepertinya setan-setan masih gencar menggodaku untuk segera rebahan. Mungkin ini salah satu manfaat hadist Rasulullah yang melarang kita terlalu kenyang. Begini kan efeknya. Apa-apa jadi terbengkalai, termasuk salat. Walaupun begitu, tentunya aku tidak mau tergoda. Sebisa mungkin aku bangkit dan ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Mas Regaf sih enak, saat di rumah Bu Ani tadi, dia, Mas Deni dan Pak Nurdin menyempatkan untuk salat berjamaah di masjid.

"Udah, Mas. Biar aku aja nanti yang beresin," ucapku seraya mengenakan mukenah dan menggelar sajadah.

"Nggak pa-pa. Salat, gih. Habis itu kita tidur."

Aku sebenarnya juga basa-basi, kok. Mana sanggup aku berberes dengan keadaan seperti ini. Satu-satunya yang kuinginkan saat ini hanyalah rebahan.

Saat aku selesai melaksanakan salat, Mas Regaf juga telah selesai menata baju-baju kami. Setelah itu, Mas Regaf kemudian pamit sebentar untuk mengambil wudu. Satu kebiasaan Mas Regaf yang juga kukagumi adalah dia tidak pernah meninggalkan yang namanya wudu sebelum tidur. Begitu pun saat dia usai mandi, atau kehilangan wudunya. Kenapa aku tahu? Karena dia yang selalu mengingatkanku akan hal itu, meski kadang aku tidak melakukannya karena terpaku oleh kata 'nanti'.

Merasa perut sudah enakan. Aku pun memilih untuk berbaring seraya memainkan ponselku, membuka galeri dan melihat-lihat kembali isinya. Hingga Mas Regaf kembali dan ikut berbaring di sampingku. Dia juga mengambil ponselnya lalu mengecek sesuatu yang entah apa itu.

Kurasakan ranjang sedikit berderit karena pergerakan Mas Regaf. Oh, ternyata dia mendekat kepadaku dengan aplikasi kamera yang terbuka.

"Foto yuk, Ay."

"Idih, ngapain sih foto dengan latar seperti ini, Mas?"

"Kenapa? Biar ada bukti bahwa kita pernah memadu kasih di sini."

Wait, wait. Apa pendengaranku tidak salah dengar? Memadu kasih? Umm, sepertinya itu terlalu ambigu dan ... terlalu erotis?

"Kamu kenapa, Ay? Sakit perut?"

Aku tersentak. "Ah, nggak kok, Mas. Hehe. Y-ya sudah lah."

Mas Regaf pun mengangkat ponselnya tinggi-tinggi hingga gambar kami berdua bisa terrekam oleh kamera ponselnya. Mas Regaf tersenyum lebar sementara aku memeletkan lidah dengan jari telunjuk menurunkan area bawah mata hingga posenya jadi terlihat lucu.

Mas Regaf menurunkan tangannya lalu membuka galeri ponselnya. Aku dan Mas Regaf sukses tertawa melihat hasilnya. Lucu saja, jarang-jarang aku berpose seperti itu. Acara foto-foto gaje itu berlangsung hingga kami merasa lelah dan memutuskan untuk berhenti. Lagipula, sudah banyak juga foto yang tersimpan di galeri foto Mas Regaf yang ternyata sebelum-sebelumnya kosong. Aku sempat heran, dia ini ganteng alias cakep, tapi kok tak satu pun fotonya tersimpan di ponselnya? Mungkin nunggu aku ngedampingin dulu kali ya? Hahaha.

"Kamu memangnya mau memadu kasih, Mas?"

Sepertinya aku salah ngomong. Ingin menariknya, tapi percuma, karena telinga Mas Regaf ternyata bisa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.

"Memang ... boleh?"

Aku menelan salivaku susah payah. Merasa awkward dengan ucapanku sendiri dan tentunya pertanyaan Mas Regaf. Tapi, aku bisa apa sekarang? Ini sih sama saja aku yang memancing.

"Kalau ... Mas mau?"

***

CUT! CUT! CUT!

Cieeeee nggak jadi siaran langsung😂😂


Btw, aku gak tau lagi deh gimana caranya berterima kasih ke kalian yang udah teruuuuuuuss ngasi aku semangat hingga saat ini. Makasiiih makaasiiiih makaaasiiiiiiih banget.🙏🙏❤️❤️❤️❤️

Pokoknya, kubagaikan remahan oreo jika tanpa kalian. 😘😘😘😘😘

Jangan lupa nabung untuk versi novel Imam-able hihihi.

Luv, Luv, Luv

Windy Haruno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top