39. Menaruh Curiga
Happy reading buat yang suka cerita ini. Yang nggak suka atau nggak sreg, jangan dipaksakan.😊
.
.
.
.
.
.
"Mas," panggilku.
Mas Regaf yang tadinya sibuk membaca sesuatu di ponselnya pun menoleh sebentar lalu kembali menatap serius layar ponselnya.
"Kenapa, Ay?"
"Mas ada jaringan, ya?"
"Nggak ada, Ay. Kenapa?"
Aku menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. "Nggak. Kirain lagi ada jaringan. Terus Mas lagi liatin apa di situ?" Sumpah ya, kok kali ini aku jadi banyak tanya. Tumben-tumbenan. Biasanya juga malas banget cari bahan pembicaraan.
"Ini, lagi baca ulang buku-buku tentang kedokteran, Ay."
"Wih, kayak yang besok mau ulangan aja."
Mas Regaf tersenyum ke arahku. "Loh, memang harusnya gitu, Ay. Kita perlu mengulang-ulang sesuatu biar nggak cepet lupa."
"Hm, begitu. Tapi, Mas. Ternyata gini ya rasanya nggak main ponsel? Hm, sedikit membosankan," keluhku seraya menatap langit-langit kamar. "Atau kita coba ke kuburan aja ya, Mas?"
Mas Regaf menatapku dengan tatapan terkejut. Ya, tidak heran, sih. Kemarin saat kutanya-tanya Mbak Fia mengenai jaringan yang tidak terjangkau itu, aku pun kaget. Menurut penuturan Mbak Fia, kalau mau dapat jaringan yang bagus, bisa ke kuburan. Kan bikin kaget sekaligus merinding, ya.
"Ke kuburan? Mau ngapain?"
"Kata Mbak Fia, di sana sinyalnya bagus. Cobain, yuk, Mas."
"Ada-ada saja kamu, Ay," timpalnya seraya menggeleng pelan.
Aku mengerucutkan bibir. "Aku kan pengin lihat aja Mas notif-notif yang masuk di hp-ku. Kali aja ada chat dari Bang Arsel ya kan? Atau ada chat tentang tugas atau apa gitu di kampusku."
Kulihat Mas Regaf tampak berpikir lalu mengunci layar ponselnya. Dia kemudian ikut berbarik di sampingku, menatap langit-langit kamar yang tampak kusam karena cat yang sudah lama tidak diperbarui.
"Yasudah, besok pagi kita ke sana. Sekalian jalan-jalan," ujar Mas Regaf yang kemudian menutup kedua matanya.
Sepertinya Mas Regaf kelelahan. Sejak pulang sehabis memanen kacang tanah tadi pagi hingga menjelang waktu zuhur, aku dan Mas Regaf memang memutuskan untuk rebahan sejenak sebelum salat. Kaki-ku rasanya mati rasa. Pinggul dan lenganku pun rasanya sakit habis jalan jauh dan adu kekuatan dengan Bu Ani.
Memikirkan adu kekuatan dengan Bu Ani tadi pagi sukses membuatku tersenyum tipis. Tidak menyangka saja bahwa ternyata Bu Ani tipikal emak-emak yang tidak mau kalah juga dengan yang lebih muda darinya. Tapi, tent saja pada akhirnya, tentulah aku yang keluar menjadi pemenang, meski ada sedikit adegan drama di mana Bu Ani curang karena menyembunyikan sebagian hasil cabutanku, tapi tetap saja, yang namanya kecurangan pasti akan ketahuan. Bu Ani yang tadinya mendapat mahkota rumput yang dibuat oleh Rara, segera beralih ke kepalaku yang tertutupi hijab.
"Mas, aku mau tanya-tanya, boleh?" tanyaku dengan nada ragu.
Masih dengan kedua mata terpejam, Mas Regaf bergumam pelan. "Hm, boleh, Ay."
"Umm, kenapa Mas mau-mau aja dijodohin sama aku?"
"Memangnya kenapa?" Kini Mas Regaf mengganti posisi dari yang telentang jadi menyamping menghadapku. Aku jadi sedikit salah tingkah.
"Y-ya, nggak pa-pa. Mau tau aja, Mas. Kalau kupikir-pikir, kan Mas Regaf ganteng, baik, dokter pula. Kok mau-maunya sama cewek yang biasa-biasa aja kayak aku?" Oke. Sepertinya aku terlalu rendah diri. Tapi kalau disandingkan dengan cowok sekelas Mas Regaf, harusnya cewek sekelasku memang kudu rendah diri dan tahu diri tentunya.
"Kamu tahu? Arsel itu memang tipikal manusia yang punya jiwa-jiwa marketing yang luar biasa. Kamu tuh sudah kayak semacam barang berharga milik Arsel yang paling sering digadang-gadangkan sama aku. Sempat aku mau nolak, tapi melihat keseriusan Arsel berharap aku bisa mendapatkan kamu, aku jadi berpikir. Memangnya seluarbiasa apa sih adik Arsel ini? Kenapa kakak kamu itu gencar banget pengin aku jadi iparnya. Dan saat kita ketemu pertama kali, ternyata benar dugaanku, biasa aja. Tapi setelah makan malam itu, aku tiba-tiba berpikir. Masih ada ya cewek kayak kamu?"
Oke. Ini kalimat terpanjang yang pernah kudengar dari mulut Mas Regaf dan sukses bikin hati aku berdesir aneh. Dan terakhir, dia bertanya masih ada cewek kayak aku? Memangnya aku kenapa?
"Kayak aku? Maksudnya gimana, Mas?" tanyaku menyuarakan isi hati.
Kedua mata Mas Regaf terbuka dan otomatis langsung menatap padaku. Dia pun tersenyum tipis, membuat rasa gugupku semakin bertambah saja. Aduh, kenapa sih, dia yang senyum kok aku yang deg-degan?
"Kamu itu beda aja dari cewek kebanyakan. Kamu kayak tipikal cewek yang punya daya tarik yang bikin aku penasaran. Kelihatan dari cara kamu malu-malu, cara kamu berucap dan berperilaku. Kamu malu-malu tapi nggak malu-maluin. Nggak sama kayak cewek kebanyakan yang selama ini deketin aku. Mereka terlalu ... agresif."
Ingin sekali aku terbahak. Apakah aku baru saja tersanjung dengan ucapan Mas Regaf? Ah, patutlah orang biasa ini bangga.
"Mas terlalu berlebihan."
"Aku jujur loh, Ay."
"Iya, deh."
"Terus kenapa kamu mau-mau aja nerima lamaran aku?"
Haruskah aku jelaskan bahwa salah satu alasan aku menerimanya adalag karena sakit hati tak dipilih oleh Kak Rifki. Jangan ... jangan, bisa-bisa Mas Regaf langsung minta pisah kalau tahu alasanku itu.
"Kenapa, ya? Mungkin karena aku udah putus asa nggak dapet cowok cakep?" jawabku asal. Tapi, tidak bisa dimungkiri, sudah berumur dua puluh dua tahun aku belum pernah merasakan yang namanya indahnya ditembak cowok cakep, atau nggak usah ditembak lah. Yang menyatakan perasaan saja, hanya satu orang. Itu pun karena mereka sedang bermain true or dare. Mengesalkan? Tentu saja. Tapi Allah balas kan dengan mendatangkan cowok cakep yang cakepnya tidak pernah terbayang di hidup aku. Ah, memang bersabar itu perlu, dan biarkan Allah yang mengurus semuanya.
"Oh, jadi aku cakep?" tanyanya dengan nada menggoda.
"Ya iyalah! Eh! M-maksud aku ... Um, Mas Regaf tuh ... Mas Regaf tuh ... umm, baik. Tapi, yaiya sih, cakep juga," jawabku dengan terbata-bata. "Udah cakep, mapan, ngajak nikah lagi. Ya gimana hayati mau nolak."
Mas Regaf tertawa membuatku juga ikut tertawa. Hingga menjelang zuhur, kami terus bercerita. Entah itu tentang keseharian Mas Regaf di rumah sakit, hingga keseharianku di kampus. Dan entah mengapa, aku merasakan hal aneh yang terus berdesir saat melihat tawa Mas Regaf. Apa ini yang namanya cinta?
***
Sesuai dengan kesepakatan kemarin, setelah melaksanakan salat subuh, aku dan Mas Regaf memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kampung. Sepi. Hanya segelintir orang saja yang kami temui, beberapa petani yang berangkat ke sawah dan ibu-ibu yang berolahraga ringan di depan rumahnya.
Suasana pagi di desa Mara ini sejuk sekali. Mungkin karena desa ini masih minim kendaraan dan banyak pepohonan di sekitar desa. Saking menikmatinya, aku sampai tidak menyadari jika saat ini arloji yang melingkar di pergelangan tangan Mas Regaf telah menunjukkan pukul tujuh lebih delapan belas menit.
"Ay, kamu yakin mau ke kuburan?" Aku mengangguk antusias. "Emang nggak ada tempat lain?"
"Nggak ada, Mas. Di situ tuh udah tempat yang sinyalnya bejibun."
Mendengar nada antusias dariku, akhirnya mau tak mau Mas Regaf menurut saja.
Lokasi makam ternyata tidak terlalu jauh, hanya berjalan sekitar sepuluh menit dan berbagai jenis batu nisan pun akan terlihat. Makam di sini tidak seperti tempat makam di Jakarta yang teratur dan bersih. Kalau kata Mbak Fia, orang-orang di desa akan bertandang ke makam hanya setelah idul fitri atau idul adha, maka tidak heran jika rumput-rumput liar banyak yang tumbuh di sekitar makam.
Aku dan Mas Regaf memilih tempat yang tidak terlalu jauh masuk ke dalam lokasi makam. Hanya memilih menduduki sebuah batu yang lumayan besar. Aku mengambil ponsel yang kutaruh di dalam jaket. Setelah mengeluarkannya, dengan cepat aku mengaktifkan data seluler. Ternyata benar, jaringan di sini begitu lancar jaya. Berbagai notifikasi dari sosmed-ku bermunculan, membuatku kelumpungan sendiri.
"Kamu artis ya, Ay?"
"Bukan, kok."
"Habisnya, ponsel kamu bunyi terus, notifnya pasti banyak."
Aku terkekeh. Ngomong-ngomong, lucu juga ya, aku dan Mas Regaf jadi seperti pasangan yang diam-diam berduaan. Sampai memilih tempat berduaan di makam begini.
"Notif sosmed, Mas. Paling-paling like dari followers. Beberapa chat juga sih dari temen-temen kampus. Nah, kan. Ini ada info penyusunan skripsi."
Selain info mengenai penyusunan skripsi, ada juga chat dari Mbak Zillah dan Mama yang kepo. Tapi ada satu keanehan. Tak ada satu pun chat dari Bang Arsel. Hmm, oh iya, dia kan sudah tahu kalau di desa ini minim sinyal.
Setelah membalas beberapa chat yang masuk, aku iseng melirik ke arah ponsel Mas Regaf. Ada satu chat yang sukses membuatku mengerutkan kening. Tapi chat itu berasal dari nomor ponsel yang tak ada namanya.
I was gone, but not my love?. Siapa? Siapa yang telah mengirim chat itu?
***
Kira-kira, itu chat dari siapa ya?🤔
Btw, makasih buat temen-temen yang udah ngasi kritik dan saran kemarin.
Dan tentunya yang udah terus setia ngasi aku semangat. Makasih, makasih. Aku sayang kalian😘😘😘😘 *kecup satu-satu
Luv,
Windy Haruno
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top