37 : Istri Idaman
.
.
.
Fia. Anak Bu Ani yang tadi malam baru pulang dari Makassar menaruh empat gelas berisi teh hangat di atas meja. Sedangkan anak kecil yang akrab dipanggil Rara yang merupakan anak dari Mbak Fia menggelayut manja di samping neneknya-Bu Ani. Dia terus menatapku dan Mas Regaf dengan tatapan malu-malu. Antara ingin mengajak bermain tapi ia malu.
"Aduh, maaf sekali Nak Aya, gara-gara Mila kepala Nak Aya jadi luka begitu," ucap Bu Ani dengan perasaan bersalah.
Aku tersenyum tipis. "Nggak pa-pa, Bu."
"Dia mungkin kaget, karena baru lihat Nak Aya," tambah Pak Nurdin setelah menyesap teh buatan Mbak Fia.
Aku mengangguk. Ya, sepertinya ucapan Pak Nurdin ada benarnya.
"Jadi, Bu. Kenapa Mbak Mila sampai dipasung begitu?" tanya Mas Regaf penasaran.
"Sebenarnya Nak Mila itu anaknya Pak Taufik dan Bu Sari. Cuma, mereka kan pergi ke kota karena ada kerjaan di sana. Jadi itu Pak Taufik dan Bu Sari titip anaknya sama kami," jelas Pak Nurdin. "Sebenarnya Nak Mila dulu ndak begituji. Tapi, dulu dia pernah menikah dan ditinggal sama suaminya. Suaminya sering KDRT juga, sama kalau suaminya mau melakukan hubungan suami istri, suaminya itu suka kasar begitu. Sempat itu Nak Mila hamil, tapi keguguranki karena mulai terkena sakit begitu," tambahnya.
Aku dan Mas Regaf mengangguk paham. Sangat miris mendengarnya, apalagi dia yang sempat hamil harus keguguran karena mengalami hal seperti itu dan harus ditinggal pula oleh suaminya.
"Terus, orang tuanya Mbak Mila tidak pernah balik lagi ke sini, Pak?" tanyaku karena semakin penasaran dengan kisah Mbak Mila.
"Oh, iya. Biasanya mereka pulang kalau mau idul fitri dan idul adha. Ya, dua kali setahun lah. Tapi kadang juga pulang kalau memang ada cutinya di hari lain."
"Um, kenapa Mbak Mila ndak dibawa berobat, Pak?" Kali ini kembali Mas Regaf membuka suara.
Bu Ani mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Aih, Nak. Nda adami harapan itu. Begitu terusmi," (Aih, Nah. Sudah tidak ada harapan. Dia akan terus seperti itu.) respon Bu Ani.
Wah, baru kali ini aku melihat ekspresi rumpi Bu Ani yang ternyata sama dengan ibu-ibu rumpi kebanyakan. Ingin tertawa, tetapi sekarang bukanlah waktu yang tepat.
"Jangan bilang begitu, Bu. Semua ada harapan untuk sembuh. Termasuk Mbak Mila kalau memang mendapat penanganan khusus. Dan sebenarnya orang yang mengalami hal yang seperti Mbak Mila itu tidak boleh dipasung, Bu, Pak," ujar Mas Regaf kemudian menyeruput tehnya.
"Kenapa? Kalo ndak dipasung dia bisa mengamuk. Dan bisa saja keluar dari rumah," sahut Bu Ani sambil mengelus pelan rambut Rara.
"Bawa saja ke rumah sakit jiwa, Bu. Biar bisa langsung ditangani. Setahuku di Makassar kan ada rumah sakit jiwa. Dan keluarganya ada di Makassar kan?" Bu Ani mengangguk. "Nah. Biar bisa sekalian dijenguk sama mereka. Karena orang yang memasung ODGJ itu bisa kena hukum pidana loh, Bu, Pak."
"Mas, ODGJ itu apa?"
"Orang dengan gangguan jiwa, Ay."
Bu Ani dan Pak Nurdin terlihat kaget dengan penjelasan Mas Regaf. Begitu pun dengan aku. Aku baru tahu kalau orang yang memasung orang dengan gangguan jiwa bisa terkenan hukuman. Aduh, jadi kelihatan kan aku ini ilmunya kurang banget.
"Aduh, kami ndak tau Nak kalau memasung bisa dikena hukum. Nanti kukasi tau orang tuanya," (Aduh, kami tidak tahu Nak kalau memasung bisa dikenai hukum. Nanti saya beri tahu orang tuanya.) ucap Pak Nurdin dengan nada takut. Mungkin dia pikir Mas Regaf akan melaporkan kedua suami istri itu.
"Iya, nanti Bapak kasi tau saja orang tuanya. Biar bisa langsung ditangani sama ahlinya."
"Mas bukannya dokter? Gak bisa ya Mas aja yang nanganin?"
"Ya nggak bisa, Ay. Obat atau pun penanganan untuk orang yang tidak menderita gangguan jiwa dan orang yang mengalami gangguan jiwa itu beda. Nah, itu ranahnya dokter spesialis kejiwaan atau biasa disebut dengan psikiater, mereka itu lah yang mumpuni untuk memberikan obat khusus pada ODGJ."
"Oooh, begitu. Jadi memang ada spesialisnya, ya."
Kami lanjut mengobrol hingga menjelang maghrib. Bahkan tak lupa Pak Nurdin mengajak kami jalan-jalan ke kebun kacang tanah yang mereka punya besok. Kata Bu Ani, mereka akan panen kacang tanah.
***
Setelah mengobrol panjang lebar dengan kedua pasutri itu, aku dan Mas Regaf pun memutuskan untuk pulang. Selain Mas Regaf yang akan berangkat ke masjid, aku juga harus memasak untuk makan malam nanti. Beruntung tadi pagi aku dan Mas Regaf di temani Mbak Fia menyempatkan diri ke pasar untuk belanja.
"Mas mandi duluan aja." Aku memotong-motong sayuran yang akan kumasak nanti setelah salat maghrib. Tapi sebelum itu, tentunya aku memberitahu Mas Regaf agar tidak kaget dengan rasa masakanku nanti. Kalau pun pada akhirnya masakanku tidak layak makan, aku sudah mewanti-wanti akan numpang makan di rumah Bu Ani. Tapi, dalam hati aku terus merapalkan doa agar masakanku masih bisa diterima oleh jiwa dan raga Mas Regaf.
"Jangan sampai malu-maluin, Ya," ucapku bergumam.
"Ay, aku ke masjid dulu bareng Pak Nurdin, ya. Aku juga pulangnya habis isya nggak pa-pa?" tanya Mas Regaf seraya memasang pecinya.
"Iya, Mas. Nggak pa-pa." Tentu saja tidak apa-apa. Toh ketakutanku selama ini juga ternyata bukan berasal dari makhluk tak kasat mata. Jadi, aku bisa dibilang cukup berani lah saat ini.
Setelah mengucap salam, Mas Regaf pun menyusul Pak Nurdin yang menunggunya di depan rumah dengan motor tuanya. Saat Mas Regaf dan Pak Nurdin pergi, aku menyempatkan diri untuk melihat ke arah rumah di mana Mbak Mila dikurung. Sebenarnya aku kasihan dengan Mbak Mila, di umurnya yang masih bisa dikatakan muda itu dia harus menanggung beban psikis yang begitu berat. Sebenarnya dia butuh support dari keluarga, tapi mau bagaimana lagi, keluarganya pun semua merantau ke Makassar untuk mencari nafkah.
Beruntung tadi Mas Regaf memasang lampu di dalam rumah itu, setidaknya ada tanda bahwa di dalam rumah itu masih ada penghuninya. Jadi, orang tidak akan sembarangan masuk hingga bisa saja membahayakan diri orang tersebut maupun diri Mbak Mila sendiri.
Menghela napas pelan, aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam. Selain karena adzan sudah berkumandang, tidak baik juga masih berada di luar di saat maghrib begini. Tapi saat aku sudah berbalik, kudengar suara ketukan yang berasal dari rumah Mbak Mila. Aku pun kembali dan melihat Mbak Mila yang tengah menatapku dengan tatapan kosong. Telunjuk tangannya seperti menuliskan sesuatu tetapi tidak tahu apa. Saat ini pasungan Mbak Mila memang telah dilepas atas permintaan Mas Regaf. Aku tentu mendukung permintaan Mas Regaf, karena bagaimana pun Mbak Mila punya hak untuk dibebaskan juga. Tetapi, penjagaan Mbak Mila juga harus ekstra, meski benda-benda tajam sudah dijauhkan, tetap saja, ODGJ harus selalu berada dalam pengawasan orang-orang di sekitarnya.
Aku tersenyum ke arah Mbak Mila, dan beberapa detik menunggu, tetap saja tak ada respon darinya. Tapi, tak lama dia pun akhirnya menyunggingkan senyum tipis seolah dia ingin menyampaikan sesuatu.
Karena iqamah sudah dikumandangkan, aku pun bergegas masuk dan melaksanakan salat.
***
Aku sudah menyelesaikan proses memasakku, piring dan gelas pun sudah tertata di atas meja. Mas Regaf belum pulang karena memang tengah menunggu waktu salat isya.
Karena tidak melakukan apa-apa, aku pun berinisiatif membawa makanan untuk Mbak Mila. Mungkin saja dia belum makan kan? Tadi aku juga sudah meminta izin pada Bu Ani, kalau saja aku ingin mengunjungi Mbak Mila. Tanpa muluk-muluk lagi, Bu Ani bahkan memberiku satu kunci cadangan.
Tadi, aku berhasil memasak sayur bening, ikan goreng dan telur dadar. Rasanya pun masih bisa lah diterima oleh lidah. Maka kuputuskan membawa sebagian untuk Mbak Mila.
"Assalamu'alaikum," sahutku sesaat setelah membuka pintu rumah Mbak Mila.
Tak ada jawaban, tapi aku tetap melangkah masuk. Kucari keberadaan Mbak Mila yang ternyata berada di sudut ruangan. Kudengar ia menangis tersedu-sedu, suaranya tidak begitu besar tapi sarat akan kepedihan. Hatiku bahkan sakit melihat keadaannya.
"Mbak Mila," panggilku pelan. Dia mendongak dan menatapku dengan kedua mata yang sudah sembab. Aku mendekatinya lalu menaruh piring berisi nasi, ikan dan sayuran di atas meja yang tak jauh dari posisi Mbak Mila. "Ayo, makan dulu ya, Mbak."
Awalnya aku sedikit takut, bagaimana jika dia tiba-tiba kembali memukulku? Tapi ketakutan hanya ketakutan saja, Mbak Mila justru menggenggam tanganku dengan sedikit erat seraya bergumam.
"Hiks, janganki pukulka. Janganki. Hiks." (Hiks, jangan pukul aku. Jangan. Hiks.)
Aku tidak mengerti Mbak Mila bilang apa, maka dari itu aku memilih untuk menariknya untuk mendekat ke arah kursi, setelah memastikan dia duduk dengan baik, aku mengambil piring dan mulai bersiap untuk menyuapinya. "Mbak, makan duluki. Ayo." Aku tidak tahu logatku itu sudah benar atau salah, pasalnya aku hanya asal-asal menambahkan kata 'ki' di belakang ucapanku. Tapi, begitu kan kedengarannya?
Aku mengarahkan sendok ke arah mulut Mbak Mila yang langsung diterima olehnya. Tentu aku senang, karena baru kali ini aku merawat orang dengan gangguan jiwa dan bisa merasa diterima olehnya. Padahal kalau dipikir aku ini orang baru di sekitarnya.
"Assalamu'alaikum. Ay, kamu di dalam?"
"Wa'alaikumussalam, iya, Mas. Aku di sini."
Tak lama, sosok Mas Regaf dan Pak Nurdin muncul dengan ekspresi wajah takjub. Terutama Pak Nurdin.
"Lagi ngapain, Ay?"
"Lagi nyuapin Mbak Mila, Mas. Hehe."
"Wah, barusannya mau makan disuap sama orang. Biasanya tidak mau," (Wah, tumben dia mau makan disuapi sama orang. Biasanya tidak mau.) timpal Pak Nurdin masih dengan ekspresi takjubnya.
Mas Regaf tersenyum, aku juga ikut tersenyum meski tidak paham apa yang dikatakan oleh Pak Nurdin.
"Memang begitu kalau disuapi sama istri idaman, Pak," ujar Mas Regaf masih mempertahankan senyumnya. Dia bahkan melirikku dengan tampang jailnya. Ah, aku suka melihat wajahnya yang usil begitu. Dia jadi lebih mirip cowok bad boy di SMA dibanding dokter.
***
***
Selamat malam duhai kekasih~ 🎤
Btw, ngomongin soal pasung, ini aku ada catatannya. Silakan dipahami dan share, ya. Biar nggak ada lagi pasung-memasung:
Jadi, tindakan pemasungan terhadap ODGJ itu merupakan hal yang dilarang dan diancam pidana UU No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pasal 86 yang menyatakan:
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan dan atau menyuruh orang lain melakukan pemasungan, penelantaran dan atau kekerasan terhadap ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hukum ODGJ dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 333 menyatakan juga dalam salah satu pasalnya bahwa barang siapa yang dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian diancam dengan pidana penjara yang paling lama delapan tahun. Hukuman akan bertambah bila kemudian menimbulkan luka-luka bahkan kematian.
Adanya jaminan undang-undang mengharuskan ODGJ mendapat pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan dan tidak dipasung karena pemasungan merupakan pelanggaran hak pengobatan dan juga merupakan bentuk kekerasan terhadap ODGJ.
Nah, itu dia catatan yang perlu dan penting banget kita pahami dan memberi pemahaman kepada yang lain😊 agar tidak salah ambil tindakan, ya.
Uhh, kalo Aya yang nggak pandai-pandai amat masak bisa jadi istri idaman, apa kabar kitorang yang pandai masak yes. Apakah masuk kriteria istri idaman Mas Regaf juga? Gak diragukan lagi! Tapi, sayangnya, Mas Regaf udah ada pasangan. Jadi, hatinya sabar-sabarin ya😄
Btw, makasih buat kalian yg masih setia baca Imam-able. I purple you 💜💜💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top