35 : Aku Suaminya

Mencoba abai dengan kekehan menyeramkan itu. Aku memilih untuk mengistirahatkan tubuhku yang habis diguncang hebat oleh mobil Mas Deni. Tadinya aku mau tidur, tapi Mas Regaf melarang. Katanya sudah hampir memasuki waktu salat maghrib.

Sebenarnya saat ini aku sudah lapar, beruntung Mas Deni mengajakku dan Mas Regaf ke suatu tempat di mana kami bisa mendapat asupan makanan khas desa ini. Karena untuk saat ini aku merasa tidak bisa melakukan apa-apa termasuk memasak selain berbaring.

Aku mengerutkan kening saat melihat jaringan hape-ku tidak ada barang satu garis pun. Aku tentu panik. Aku bahkan belum mengabari Mama, Papa dan Ibu, Ayah bahwa kami saat ini sudah sampai.

Aku mencoba bangkit dari posisi tiduranku lalu menjulurkan tangan ke atas untuk mencari jaringan. Aku bahkan mengelilingi kamar, dan kalau dapat dua garis, aku berhenti. Tapi tidak lama, hilang lagi.

"Hih, kok nggak ada jaringan?!" keluhku.

Aku terus mencari dengan tangan terulur ke atas hingga aku tak sengaja menabrak Mas Regaf.

"Eh, maaf, Mas. Aku nggak sengaja," ucapku salah tingkah.

Mas Regaf tersenyum tipis lalu mengusap rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil yang memang sengaja dibawa.

"Nggak pa-pa. Kamu nggak mandi? Sekalian wudhu. Udah dekat waktu maghrib ini."

Menyerah karena tak mendapat jaringan. Aku pun bergegas membersihkan diri dan tak lupa berwudhu. Saat aku selesai dengan ritual bersih-bersihku, aku keluar dari kamar mandi dan menemukan Mas Regaf sudah siap dengan baju koko dan sarung yang dipakainya. Baru kali ini aku melihat Mas Regaf memakai sarung, biasanya juga dia pakai celana kain yang longgar kalau ke masjid.

"Ay, aku ke masjid dulu bareng Deni, ya."

Aku terkesiap. Apa? Ke masjid? Terus? Aku ditinggal sendiri, begitu?

"Atau kamu mau ikut?" tanya Mas Regaf setelah melihatku tidak merespon ucapannya.

"Eh, iya, Mas. Aku ikut."

"Ya sudah. Aku tunggu di luar, ya." Aku mengangguk cepat. Dan setelah Mas Regaf keluar, aku buru-buru membuka koper untuk mencari baju dan mukenah.

Aku mengeluarkan mukenah yang kebetulan berada paling atas lalu mencari pakaianku. Tapi keningku mengerut dalam saat tak kutemukan pakaian yang pantas.

Kuangkat satu pakaian berwarna pink berbahan satin itu lalu menatapnya dengan tatapan ngeri. "Apa-apaan ini? Kok semua isi koperku serba lingerie?"

Hanya ada empat pakaian yang menurutku paling masuk akal. Satu gamis berwarna hitam, satu berwarna orange, satu warna hijau botol dan yang satunya berwarna merah marun. Dan beberapa jilbab yang entah berapa. Aku tidak sempat menghitungnya karena terlalu fokus dengan lingerie berbagai warna yang ada di dalam koperku.

Tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan sosok Mas Regaf. "Ay, udah? Bentar lagi mau iqamah, nih."

Aku gelagapan. Aduh, bagaimana ini? Aku takut kalau tidak ikut, nanti ada sesuatu hal yang tidak ingin kulihat. Tapi, ini .... "Ya udah, Mas. Mas ke masjid aja. Aku di-di rumah aja salatnya."

"Oke. Aku pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Terdengar dari luar bunyi motor yang mengiringi kepergian Mas Regaf dan Mas Deni. Aku sendiri tidak tahu, motor siapa yang mereka pakai. Mungkin motor milik suami Bu Ani.

Samar-samar terdengar iqamah dari masjid yang Mas Regaf kunjungi. Aku pun bergegas memakai mukenah setelah memakai gamis berwarna hitam. Ya mending lah daripada aku harus memakai lingerie.

Setelah melaksanakan salat, aku mengambil mushaf yang sengaja kutaruh di dalam tas kecilku lalu membacanya.

Beberapa menit membaca mushaf, dari luar terdengar suara mesin motor yang kutebak adalah motor Mas Regaf dan Mas Deni. Pintu pun diketuk dan salam pun terdengar.

"Wa'alaikumussalam," sahutku dari dalam kamar.

Pintu kamar terbuka, Mas Regaf masuk dan melepas pecinya. Aku bergegas berdiri lalu mencium punggung tangannya. Dia mengelus pelan kepalaku seraya tersenyum lebar, membuatku lagi-lagi salah tingkah.

"Ayo, siap-siap. Deni nungguin di luar."

Aku mengangguk. "Kita naik mobil?" tanyaku seraya melepas mukenahku.

"Iya, soalnya udah malam. Coba masih pagi atau sorean, Deni maunya kita jalan. Soalnya, kata Deni pemandangan di sini tuh bagus banget," ujar Mas Regaf setelah melepas sarungnya. Ternyata di dalam dia memakai celana training yang cukup tebal. Kupikir .... Hmm, sudahlah. Dia juga mengganti baju kokonya dengan baju kaos berwarna hitam. Sengaja ya nyamain sama aku? Hihi.

Aku memakai jilbab yang senada dengan gamis yang kupakai lalu mengambil ponsel dan tak lupa dompetku. "Ayo, Mas."

"Ayo."

Di luar sudah ada Mas Deni yang menunggu seraya menyesap rokoknya. Dan saat melihat kami berdua, dia segera mematikan api dan membuang rokoknya ke tempat sampah yang ada di sebelahnya.

"Sudah?" tanyanya setelah berdiri dari posisi duduknya. Aku mengangguk lalu mengajak Mas Regaf mengikuti langkah Mas Deni yang sudah lebih dulu berjalan menuju mobilnya.

Saat aku akan masuk ke dalam mobil, lagi-lagi aku mendengar suara aneh. Tapi kali ini bukan berupa kekehan, melainkan geraman seperti seorang yang sedang marah. Tak mau semakin dibuat takut, aku bergegas menutup pintu mobil. Ah, perasaanku jadi tidak enak.

"Arsel tidak pernah cerita tentang kampung ini, Dek?" tanya Mas Deni seraya memutar kemudinya ke arah kanan.

"Nggak pernah, Mas. Dia mah suka cerita yang nggak ada faedahnya. Boro-boro mau cerita pengalaman dia." Mas Deni dan Mas Regaf tertawa pelan.

"Tapi Arsel selalu cerita satu hal yang berfaedah kalo sama aku," sahut Mas Regaf.

"Oh ya? Tentang apa?"

"Hm, tentang kamu," jawabnya.

Mas Deni terbahak seraya memukul-mukul kemudinya heboh. Ah, dia terlalu berlebihan. Sementara aku, pipiku sudah layak disandingkan dengan merahnya kepiting rebus.

"Nda kusangkanya deh, jago juga ko pale ma gombal di', Gaf?" (Aku nggak nyangka, ternyata kamu bisa juga ya ngegombal, Gaf?)

"Iya, tapi sama istrikuji." (Iya, tapi cuma sama istriku.)

Entah apa yang sedang mereka bicarakan, bodo amat lah. Urusan mereka.

***

Setelah Mas Deni memarkirkan mobilnya, kami pun turun dan masuk ke dalam tempat yang tepat di depan pintunya bergantung sebuah papan yang bertuliskan "Selamat Datang di Cafe Mara". Menurutku, cafe ini tidak terlalu mewah seperti cafe pada umumnya. Cafe ini justru terkesan sangat sederhana dengan dua lampu hias memanjang di dua buah jendela cafe. Tulisan-tulisan aesthetic pun juga terlukis cukup rapi di dinding cafenya. Ya, lumayan untuk dijadikan spot foto. Dan tepat di dekat meja bar, ada papan yang berukuran sedang sengaja dipajang untuk memperlihatkan menu apa saja yang bisa kami pesan. Ada mie titi, mie bakso, pangsit, barobbo, kapurung dan sup ayam. Sedangkan untuk minumannya ada air mineral, pop ice, jus jeruk, jus mangga, dan jus sirsak.

"Mas Deni, barobbo itu apa?"

"Oh, itu. Makanan yang terbuat dari bahan jagung yang disisir halus, biasanya dicampur dengan sayuran, udang atau potongan ayam dan perkedel. Pokoknya enak deh," jelas Mas Deni antusias.

Aku mengangguk paham. "Kalo kapurung?"

"Itu yang terbuat dari sagu bukan, Den?" tanya Mas Regaf.

"Iya, bener. Kapurung itu terbuat dari sagu, dan dicampur dengan mangga, udang, dan sayuran. Tapi sagunya itu dibuat bulat-bulat gitu."

"Hmm, tapi ... ngenyangin kan?"

Mas Deni terkekeh. "Ya gitu. Tapi gak semengenyangkan saat makan nasi sih."

"Tapi di menunya nggak ada nasi," ujarku pelan.

"Kami coba makan yang barobbo itu, Ay. Kayaknya lebih ngenyangin karena terbuat dari jagung," saran Mas Regaf.

"Ya sudah. Aku pesen barobbo itu aja."

"Oke. Aku pesen dulu, ya." Aku mengangguk pelan, sementara Mas Regaf pergi untuk memesan.

"Dek, aku ke toilet dulu, ya."

"Oh, iya, Mas."

Kini aku tinggal sendiri. Mengetuk-ngetuk jemari di atas meja seraya menunggu kedatangan Mas Regaf dan Mas Deni. Aku mengedarkan pandangan ke penjuru cafe, melihat-lihat gambar yang ada di dindingnya. Ada gambar ice cream, cake, dan berbagai gambar lainnya.

"Hai, sendiri aja nih?"

Aku menoleh dan menemukan dua orang cowok sedang berdiri di samping mejaku seraya tersenyum errr centil?

"Kenalan mau ki? Arya namaku. Ini Fikri. Temanku." (Mau kenalan nggak? Namaku Arya. Ini temanku, Fikri.)

Dia kemudian menjulurkan tangannya ke arahku, sementara aku menatapnya terheran-heran.

Baru saja aku mau membuka suara, tiba-tiba sebuah tangan menggapai tangan cowok yang bernama Arya itu.

"Aku suaminya. Regaf."

***

Ow ow ow. Iya deh, suaminya Aya. Punten. 😂😂😂😂

Btw, aku gak tau deh mau bilang apa lagi. Abis buka jadi capek gini. Soale, makannya balas dendam wkwkwk.

Udah ah. Mau istirahat sambil memantau para jomlo yang lagi baper. Tolong dong, bucinnya dikurang-kurangi😂

Luv,
Windy Haruno calon inem masa depan. Eh, calon istri maksudnya😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top