30 : Hadiah
Pagi ini hatiku terasa senang. Bagaimana tidak? Kami kedatangan anggota keluarga baru. Suamiku. Regaf. Aduh, kok jadi malu sendiri ya mengakui kalau lelaki super ganteng yang lagi makan di sampingku ini adalah suamiku? Kalau dipikir-pikir, tidak menyangka saja. Ketidakmenyangkaanku itu bahkan diketahui oleh Mbak Zillah, tentu karena aku yang membertahukannya tadi sebelum kami sarapan.
"Mbak, aku masih nggak nyangka," bisikku tiba-tiba ke arah Mbak Zillah yang sedang menyiram tanaman bunga milik Mama.
Mbak Zillah melirik sebentar lalu fokus kembali kepada tanaman yang mulai berbunga itu. "Nggak nyangka kenapa?" Dan tiba-tiba Mbak Zillah memasang tampang terkejut sehingga membuat aku menatapnya dengan kening berkerut. "Ah! Apa jangan-jangan kamu udah begitu ya, Ya?"
Aku berdecak sebal. Bisa-bisanya pikiran Mbak Zillah sampai ke sana. "Ck! Bukan gitu, Mbak! Ih! Kotor banget sih, pikirannya. Sini kusirami, nggan usah sirami tanamannya Mama," keluhku.
Mbak Zillah terkekeh lalu mengamit satu lenganku menggunakan tangannya yang bebas. "Oke. Lalu?"
"Um, aku nggak nyangka aja Mbak bisa nikah sama Mas Regaf. Dengan proses yang cepet banget pula. Kalau dipikir-pikir, kayak nggak mungkin dan nggak pantes aja gitu, hehehe," jelasku.
"Menurut kamu gitu?" Aku mengangguk. "Kamu pernah minta surga nggak, Ya?"
Aku mendelik ke arah Mbak Zillah. Ya Allah, ini otak Mbak Zillah kenapa sih? Masih pagi-pagi diajak ngomong malah tidak nyambung.
"Y-ya, pernah. Sering malah."
"Oke. Menurutmu, kamu pantes nggak di surga?"
"Pantes sih kayaknya nggak ya, Mbak. Tapi kan setiap manusia di dunia ini pasti penginnya ke surga lah. Dan, btw. Kenapa sih kita ngomongin ini, Mbak? Kita melenceng jauh loh dari omongan awal kita."
Mbak Zillah terkekeh. "Jadi gini, Ya. Setiap hari kamu minta Surga ke Allah dengan kondisi hati yang ngaku sendiri nggak pantas. Terus kamu dikasi cowok soleh, baik, ganteng sesuai doamu plus dia dokter lagi, kamu bilang nggak pantes? Allah itu berada di luar nalar manusia, nggak ada kata 'nggak mungkin' di dalam kamus-Nya," tandas Mbak Zillah.
Aku tersenyum mengingat ucapan Mbak Zillah, ditambah kejadian semalam yang membuat aku semakin dirundung perasaan berbunga-bunga membuat senyumku semakin melebar. Setelah aku berada di kamar mandi selama lima belas menit, aku keluar dan menemukan Mas Regaf sudah tertidur pulas. Padahal, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Eh, eh. Pengantin baru yang lagi bahagia," ujar Bang Arsel membuatku terkesiap dan tersenyum malu. "Kok aku rasanya pengin ngulang masa-masa aku jadi pengantin baru, ya?" Bang Arsel menyenggol pelan lengan Mbak Zillah, membuat perempuan itu menggeleng pelan.
"Maaf ya, gara-gara aku acara kemarin jadi kacau."
Aku dan yang lain menatap Mbak Linda yang menunduk dengan wajah bersalah. Oh, iya. Aku baru ingat. Mbak Linda pingsan kemarin.
"Eh, nggak pa-pa, Mbak. Mbak udah nggak pa-pa, kan?" tanyaku khawatir.
"Memangnya Linda kenapa?" tanya Mas Regaf dengan satu alis terangkat.
"Mbak Linda pingsan, Mas."
"Pingsan? Kurang istirahat, ya?"
Mbak Linda tersenyum. "Sepertinya begitu. Oh, ya. Aku belum ngucapin selamat, ya." Mbak Linda berdeham pelan. "Selamat, ya. Semoga pernikahan kalian sakinah, mawaddah dan warohmah. Aku turut bahagia."
"Aaamiiin. Makasih banyak, Mbak," ucapku masih dengan senyuman di bibir.
"Aamiiin, makasih, Linda," balas Mas Regaf.
"Eh, ayo makan dulu. Papa, Arsel kan harus ke kantor dan Regaf harus ke rumah sakit pagi ini," sahut Mama mengingatkan.
Aku celingukan mencari keberadaan Kak Rifki. Kenapa dia tidak bergabung pagi ini? Ke mana dia? "Kak Rifki ke mana, Mbak? Kok nggak gabung?"
"Oh, dia udah ke kantor pagi banget tadi."
Aku mengangguk pelan. Kak Rifki memang pada dasarnya pekerja keras. Aku tahu dari mana? Tentunya saat-saat dia masih sering mengajakku berangkat bersama ke kantor. Dia selalu menceritakan betapa sibuknya ia di kantor. Dia bahkan kadang meminta maaf karena tidak sempat menjemput atau mengantarku pulang karen di berangkat terlalu pagi dan pulang karena lembur.
"Oh, begitu. Eh, bentar. Soal kejadian Mbak Linda pingsan kemarin. Apa jangan-jangan Mbak Linda lagi hamil?" tebakku dengan nada senang.
"Uhuk!" Mbak Linda tersedak, membuatku merasa bersalah.
"Minum, Linda," pinta Mas Regaf khawatir. Aku mengangguk membenarkannya. Dengan begitu, segera Mbak Linda mengambil gelas yang berada di sampingnya dan meneguk airnya hingga tinggal setengah. Setelah Mbak Linda merasa lebih baik, aku meminta maaf. Karena gara-gara aku, Mbak Linda jadi tersedak.
"Udah nggak pa-pa kan, Lin?" tanya Mas Regaf. Mbak Linda menggeleng pelan. Membuatku akhirnya bernapas lega.
Papa berdeham. "Kamu memangnya nggak minta cuti dulu, Nak Regaf? Apa nggak capek, baru kemarin nikahan besoknya udah masuk kerja."
"Nah, iya. Benar kata Papa, Nak Regaf."
Mas Regaf tersenyum tipis, membuatku pangling sendiri. "Nggak, Pa. Hari ini aku dipercaya melakukan salah satu operasi, dan aku nggak bisa menolak. Mohon doanya ya Pa, Ma."
"Eh, nggak minta doa sama istri, Gaf? Biasanya doa istri itu manjur, loh," tambah Bang Arsel seraya melirikku dengan tatapan yang sukses membuatku mendengus sebal.
Kulihat Mbak Zillah tiba-tiba membisikkan sesuatu kepada Bang Arsel.
"Oh iya, aku ada sesuatu untuk kamu dan Regaf, Ya."
Aku mengernyit penasaran. Sesuatu? Aku jadi curiga. Pasalnya, sesuatu versi Bang Arsel ini patut dicurigai. Tidak boleh langsung tergiur dengan kata 'sesuatu' yang keluar dari bibirnya.
"Apa, Bang?"
"Ini, hadiah pernikahan untuk kalian berdua. Semoga suka, ya."
Di tangan Bang Arsel terdapat dua buah lembar potongan kertas yang aku tidak tahu kertas apa itu.
"Dua buah tiket!" jawab Bang Arsel dengan nada senang.
Aku melotot terkejut. Jarang-jarang, oh bukan, lebih tepatnya baru kali ini Bang Arsel memberiku hadiah sebesar ini. Biasanya hadiahnya cuma bullyan yang mengesalkan. "Wah! Tiket apa tuh?"
"Tiket pesawat."
Aku bertepuktangan senang. "Ke?"
"Makassar."
Aku mengerucutkan bibir. "Makassar? Mau yang keluar negeri, dong, Bang!" pintaku.
"Ya udah sih kalo nggak mau."
Baru saja Bang Arsel akan memasukkan dua tiket itu ke dalam sakunya, aku segera mencegahnya. Kesempatan emas ini tidak boleh dilewatkan. Apalagi kali ini aku tidak sendiri, aku bersama suamiku.
"Eh, iya, iya."
Aku segera menarik dua potong kertas itu lalu memasukkannya ke dalam kantung piyamaku. Iya, aku masih dalam mode memakai piyama. Hari ini aku tidak ke kampus karena sudah mengambil cuti. Awalnya, aku ragu mau mengambil cuti selama dua hari, apalagi sudah memasuki semester akhir yaitu persiapan skripsi. Tapi sepertinya persiapan skripsiku juga tidak akan berjalan lancar kalau aku memaksakan diri. Jadi, ya sudah. Cuma dua hari.
Usai sarapan, Papa, Bang Arsel dan Mas Regaf pun pamit. Melihat ketiga laki-laki itu berangkat bersama membuatku tertawa kecil. Lucu saja. Sayangnya Kak Rifki tidak ada.
Aku terus mengikuti mereka dalam diam. Hingga aku tak sengaja mendengar Bang Arsel berbisik pada Mas Regaf sebelum berpisah di carport.
"Manfaatkan kesempatan ini, Gaf!"
Bukan hanya Bang Arsel yang tersenyum aneh. Mas Regaf pun mengacungkan jempolnya ke arah Bang Arsel dengan senyum yang tak kalah membuatku menyipitkan kedua mata. Bahkan setelah Mas Rega masuk ke dalam mobilnya, Bang Arsel bergumam pelan.
"Rencana yang perfect agar aku segera jadi om."
***
Alohaa~
Absen dulu sini tjinta-tjintakuuuu😄😄
Yang nungguin mereka? 🙋
Betewe, Arsel terniat banget ya pengin jadi om. Kira-kira, cocok nggak Arsel dipanggil Om Arsel? wkwkwkwk.
kalian setuju nggak kalo Imam-able nanti dijadiin novel? 🤔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top